Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH STUDI ISLAM

“Filsafat Islam dan Perkembangannya”

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam

Dosen Pengampu : Ahmad Hifni, S.Hum, MA

Disusun oleh :

Muhammad Bilal Ramadhan (11190240000077)

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH


PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai


kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat untuk
membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang
saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba
membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat yang diambil dari gagasan
filsafat Yunani tida bertentangan dengan iman. Para filosof berusaha
memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan
filsafat, atau antara akal dengan wahyu.
Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato,
maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof
Muslim. Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi
sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan
dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab
seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan”
atau musyrik (penyembah bintang).
Dengan demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih
mandiri dalam berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur,
memiliki ciri khas dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok Islam,
walaupun secara umum disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya
sama, yaitu soal Tuhan, manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos).

2. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan filsafat islam?
2. Siapa saja filsuf islam?
3. Apa pengertian filsafat islam menurut filsuf muslim?
4. Apa saja tema-tema dalam filsafat islam?

2
3. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa tujuan filsafat islam.
2. Agar mengetahui tokoh filsuf islam.
3. Agar mengetahui pengertian islam menurut filsuf muslim.
4. Agar mengetahui tema tema yang berada dalam filsafat islam.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Islam.

Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim
merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika,
moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam
dunia Islam atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran
Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian
filsafat— falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi,
ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti
"berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution,
perkembangan kajian filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu
periode klasik, periode pertengahan,dan periode modern. Periode klasik dari
filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga
pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut

3
periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir
yaitu periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an
hingga saat ini.
Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai
berkurang pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 M. Terdapat banyak
pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik
kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan
dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan
Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat
kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan
Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Ketertarikan
dalam kajian filsafat Islam dapat dikatakan mulai hidup kembali saat
berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad ke-19 di Timur Tengah
yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap
berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad
Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.

B. Tujuan Filsafat Islam.


Filsafat sebagai suatu usaha untuk memahami makna dan nilai alam
semesta ini, memiliki suatu tujuan untuk mendapatkan pengertian dan
kebijaksanaan (understanding and wisdom). Sebagaimana halnya dengan ilmu
mempunyai tujuan deskripsi dan kontrol; seni punya tujuan kreativitas
(creativity), kesempurnaan (perfection), bentuk (form), keindahan (beauty),
komunikasi (communication) dan ekspresi (expression) Kalaulah ilmu dapat
memberikan manusia pengetahuan, maka filsafat dapat memberikan hikmah
sehingga memberikan kepuasan kepada manusia dengan pengetahuan yang
teratur rapi dan benar. Filsafat bukan sekedar pintu penjara tradisi yang penuh
dengan mitos dan mite, melainkan juga membebaskan manusia dari
keterkungkungan penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan
dan kebodohannya. Demikian pula, filsafat membebaskan manusia dari

4
belenggu cara berpikir yang mistis dan mitis itu. Lebih dari itu, filsafat
membimbing manusia untuk berpikir secara logis dan sistematis, secara integral
dan koheren, sehingga manusia menemukan kebenaran yang hakiki yang
menjadi persoalan yang dihadapi semua manusia.

C. Para Filsuf Muslim dan Pemikirannya.

1. Al-Kindi.
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya
filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang
membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu
mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari
filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya
agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari
keduanya. Agama di samping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga
mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat
dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi
telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar.
Di samping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan
tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan
juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-
hal sebaliknya.

2. Al-Farabi.
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang
sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara
agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai

5
kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles.
Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam
hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus. Untuk mempertemukan dua
filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea.
Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu
diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas
pemikiran saja. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan
menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya.
Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat
diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea
pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga
kemungkinan:

a) Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar.

b) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa


antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

c) Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal


definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang
yang ada secara mutlak.

3. Ibnu Sina.
a) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi
manusia kedalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah
mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak
lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya
telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan
imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung

6
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian
mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya
imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis.
Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-
fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan
ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya
terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri
manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung
kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia
berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan
manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari
perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah,
tetapi melalui akal fa’al.

4. Al-Razi.
Karena filsafatnya terkenal dengan lima yang kekal, sebenarnya
pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya
pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal, antara lain; Al-Baary Ta’ala
(Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula
(materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan
al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup
dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu
materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.

7
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia
menciptakan alam ini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat
(jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah,
akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-
Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-
atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama,
bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.

D. Tema-Tema pemikiran Filsafat Islam.


1. Metafisika.
metafisika itu adalah ilmu yang mempelajari eksistensi-eksistensi
(maujud-maujud), dan ada muatan ganda yaitu tentang wujud dan teologi.
Artinya bahwa metafisika itu ilmu yang mempelajari tentang konsep-konsep
umum tentang wujud, spesies aksiden, kesatuan, sedangkan teologi itu sendiri
adalah sebagai bagian dari ilmu universal tersebut, karena Tuhan secara
umum adalah prinsip wujud. Menurut al-Farabi ada tiga masalah penting
mengenai metafisika yaitu esensi, eksistensi sesuatu, pokok utama segala
yang maujud, dan dan prinsip utama mengenai gerak dasar menurut ilmu
pengetahuan.
Emanasi pada dasarnya itu bermula pada bentuk tunggal dan bertingkat
sampai akhirnya menimbulkan atau menciptakan segala sesuatu yang
beraneka ragam. Wujud Allah itu adalah wujud mutlak yang berfikir, sebelum
adanya wujud-wujud selain diri-Nya. Yaitu berfikir tentang dirinya yang
akhirnya memancarkan akal pertama. Dan akal pertama ini juga berfikir
tentang Allah dan terpancarlah akal kedua, kemudian proses ini berjalan terus
menerus sampai pada akal yang kesepuluh. Dan akal kesepuluh ini adalah
wujud terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud immaterial, dimana akal
kesepuluh ini sebagai adalah akal terakhir.

8
2. Moral
pembahasan mengenai pandangan filsafat moral dari seorang filsafat
islam Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi (864-925M), yang lebih
dikenal dengan Ar-Razi. Ar-Razi, menjelaskan tentang filsafat moralnya itu
dengan baik, ia menjelaskan tentang tindakan-tindakan, atau sifat-sifat buruk,
seperti iri hati, dusta, dan ia juga menjelaskan tentang kebahagiaan,
kesenangan dan yang lainya. Ia dalam teorinya tentang kesenangan,
menjelaskan bahwa kebahagiaan ialah kembalinya apa yang telah tersingkir
dari kemudharatan, seperti orang yang meninggalkan tempat teduh menuju
tempat yang terkena sinar matahari yang panas akan senang ketika kembali
ketempat teduh.
Keseluruhan etikanya difokuskan pada himbauan akal yang mengontrol
hawa nafsu, yaitu penting memerangi, dan menekan dan mengendalikan hawa
nafsu. Mungkin inilah perbedaanya dengan David Hume yang mengatakan
moralitas itu tidak ada kaitanya dengan akal. Sedangkan Ar-Razi yang sudah
dikatakan diatas akal yang memfokuskan kajianya mengenai ini dengan
himbauan akal. Dari sini kita sudah bisa menemukan perbedaanya antara
David Hume dari filsafat Barat dan Ar-Razi dari filsafat Islam.
3. Jiwa.
Pada pembahasan jiwa kali ini mengenai pandangan filsafat islam tentang
jiwa, ada beberapa tokoh filosof yang kami sajikan salah satunya dari ikhwan
Ash-Shafa. Ikhwan Ash-Shafa juga mengatakan bahwa manusia itu terdiri
dari dua unsur, yang pertama adalah tubuh yang bersifat materi yang terdiri
dari air, tanah, api dan udara. Kemudian yang kedua adalah jiwa yang bersifat
immateri. Masuknya jiwa kedalam tubuh yaitu karena jiwa melakukan
kesalahan seperti Nabi Adam As dan Hawa. Karena kesalahan itu jiwa yang
tadinya dialam rohani turun kebumi dan merasuk ketubuh, yang tadinya
punya banyak pengetahuan karena masuk kedalam tubuh jiwa menjadi lupa,
jadi mengetahui apa-apa. yang ada hanyalah pengetahuan secara potensi.

9
Namun karena jiwa memiliki tubuh jadi ia bisa kembali mendapatkan dan
menerima pengetahuan secara actual.
4. Eskatologi.
Masalah kebangkitan adalah salah satu masalah filsafat dan juga teologi,
ini terkait dengan mungkin ataukah mustahil ada kehidupan setelah mati, atau
menghidupkan kembali apa-apa yang sudah mati. Demikian juga kaitanya
dengan masalah jiwa itu kekal atau tidak,dan terdiri dari apakah tubuh itu,
bisa juga apasih tubuh manusia itu, karena dari situ kita bisa melihat bahwa
jika manusia dibangkitkan kembali dari kematianya, maka yang bangkit itu
jiwa atau tubuh (raga) nya.

5. Kenabian.
Banyak pandangan mengenai teori kenabian menurut beberapa filosof,
beberapa teori ini beraneka ragamnya, dari mulai Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn
miskawih, sampai Nasiruddin At-Thusi. Kami mewakilkan teori kenabian
berdasarkan para filosof ini.

PENUTUP

10
A. KESIMPULAN

Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim
merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika,
moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam
dunia Islam atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran
Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian
filsafat— falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi,
ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti
"berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.
Filsafat sebagai suatu usaha untuk memahami makna dan nilai alam
semesta ini, memiliki suatu tujuan untuk mendapatkan pengertian dan
kebijaksanaan (understanding and wisdom). Sebagaimana halnya dengan ilmu
mempunyai tujuan deskripsi dan kontrol; seni punya tujuan kreativitas
(creativity), kesempurnaan (perfection), bentuk (form), keindahan (beauty),
komunikasi (communication) dan ekspresi (expression) Kalaulah ilmu dapat
memberikan manusia pengetahuan, maka filsafat dapat memberikan hikmah
sehingga memberikan kepuasan kepada manusia dengan pengetahuan yang
teratur rapi dan benar.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Islam

http://kurniawanikroma.blogspot.com/2016/09/tokoh-tokoh-filsafat.html

Titus, Harold H., Living Issues in Philosophy,Introductory Text Book, New York: 1959.

O.F.M , A. Epping, dkk, Filsafat ENSIE, Jakarta: Jemmars, 1983

Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA Pengantar Filsafat Islam hal 77.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah “Roh” hal 73-74.

12

Anda mungkin juga menyukai