Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH KESATUAN ILMU DI UIN WALISONGO SEMARANG

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu

Dosen Pengampu : Ahmad Muthohar, M.Ag

Oleh Kelompok 8 PAI 1D


Nilam Khoirotus Sa’adah (2203016126)
Choiri Kafa (2203016129)
Eka Rifna Fauziah (2203016146)
M. Anggana Galih Pratama (2203016156)

PROGRAM STUDI PENDIDKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2022
SEJARAH KESATUAN ILMU DI UIN WALISONGO

A. Pendahuluan

Dalam sejarah, ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban


manusia. Semakin banyaknya bidang ilmu pengetahuan membuat para ilmuwan
mengklasifikannya, tetapi tidak bermaksud mendikotomikannya. Tapi filsafat Barat datang
menyela. Informasi yang prosedur mendapatkannya tidak logis bukanlah ilmu pengetahuan.
Siapa pun harus berpikir dengan cara menyangsikan objek luar. Yang tidak dapat disangsikan
untuk kemudian dipikirkan, bukanlah pengetahuan. Berpikir harus dimulai dari objek atau
induktif. Pengetahuan manusia hendaknya tidak melampaui, sekali lagi tidak melampaui, fakta
objektif, karena peran subjek tidak lebih dari sekedar instrumen untuk menyalin fakta objektif
tersebut.

Dikotomi selain menyebabkan ilmu-ilmu keislaman menjadi bulan-bulanan karena tidak


berkontribusi apapun bagi problem kemanusian dan peradaban, sesungguhnya membuat sains
modern lepas kontrol. Memang ia memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia (di dunia),
tetapi alam semesta menjadi dianggap bebas dari campur tangan Tuhan, agama menjadi
ditinggalkan karena tidak menjanjikan kesejahteraan, wahyu menjadi tidak penting karena tidak
dapat dibuktikan secara indrawi, dan keselamatan manusia menjadi terancam seperti oleh
penjajahan, perang, bom hidrogen, polusi, global warmig, kloning, eutanasia, dan hilangnya
nilai-nilai positif warisan leluhur.

Melihat kenyataan tersebut, beberapa intelektual muslim komtemporer melakukan kritik


secara tajam terhadap sistim epistemologi umat Islam. Sebagian intelektual muslim
kontemporer memberikan respon epistemologi terhadap tantangan modernitas dengan
melakukan usaha humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Nama intelektual muslim kategori ini antara
lain Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Mohammed Arkoun. Sebagian yang lain memberikan
respon dengan melakukan sebuah gerakan yang dikenal “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Intelektual muslim ini adalah Seyyed Hossein Nasr, Mohammad Naquib alAttas, dan Ismail
Raji al-Faruqi. Dua yang disebut pertama lebih dikenal sebagai tokoh yang secara fiolofis telah
menunjukkan kelemahan-kelemahan ilmu pengetahuan modern, dan mengemukakan
kemungkinan ilmu pengetahuan yang Islami diwujudkan sebagai alternatif, serta sekaligus
memberiakn landasan filosofisnya. Sementara al-Faruqi dikenal secara luas sebagai tokoh yang

1
melontarkan gagasan tentang islamisasi ilmu, melainkan juga tawaran metodologis dan
program tindakannya untuk mewujudkannya.

Perkembangan Islamisasi Ilmu yang dipopulerkan al-Faruqi masih menjadi agenda besar
umat Islam. Ide ini pula yang kemudian dibawa pada ranah pendidikan sebagai lembaga yang
memang penting ada untuk merealisasikannya. Semangat gerakan Islamisasi Ilmu masih terus
bergulir hingga sekarang ini. Meskipun belakangan upaya integrasi ilmu lebih gencar dipakai
sebagai representasi dari islamisasi ilmu tersebut. Di Indonesia, upaya integrasi ilmu sendiri
menjadi semakin keras dilakukan di ranah perguruan tinggi. Konversi IAIN menjadi UIN
dilakukan sebagai salah satu percepatan mencapai integrasi ilmu sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini akan menguraikan secara sederhana bagaimana historisitas gagasan besar gerakan
Islamization of Knowlegde (IoK), dan dilanjutkan dengan menilik upaya realisasi gagasan
tersebut dalam ranah pendidikan tinggi Islam di Indonesia, khususnya di UIN Walisongo
Semarang.

Ketika ingin membuka prodi ilmu-ilmu warisan modern yang membuat kesengsaraan itu,
UIN mulai cemas. Akankah sarjana yang dicetak ikut memberi andil negatif bagi kelangsungan
agama, manusia, juga peradabannya. Karena itu, ia harus berpikir keras membangun
pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang kelak diajarkannya. Tentu ilmu-ilmu modern itu
harus disuling, selain harus terus merevisi bacaannya terhadap ilmu-ilmu keislaman agar tetap
ikut mengendorkan saraf rasionalitas dan ketegangan dalam berbagai peradaban. Jatuhlah
pilihan pada pikiran bahwa ilmu-ilmu yang terdikotomi itu harus disatukan kembali, dalam arti
bahwa ilmu-ilmu harus tetap diyakini bersumber dari Tuhan yang satu dan karena dari Yang
Satu itu, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan kehendak Yang Satu. Persoalan
pembidangan, metodologi, dan pendekatan beraneka ragam tidak jadi soal.

Pernyataan selanjutnya, mampukah UIN berbuat itu? Sebenarnya telah muncul banyak
pemikir muslim yang mulai kritis terhadap Barat. Di antara mereka, ada yang menyerukan
islamisasi atau spiritualisasi ilmu pengetahuan Barat. Ada pula yang menghendaki pembacaan
ulang ilmu-ilmu keislaman agar tidak lapuk termakan waktu, agar tidak mengawang-ngawang,
agar tidak selalu bergantung pada premis mayor terus-menerus, dan agar semakin
menjadikannya bermakna serta mengejar ketertinggalannya. Karena itu, disadari bahwa UIN
Walisongo harus mempunyai filsafat keilmuan, epistemologi, atau paradigma tersendiri dalam
mengelola bidang garapnya. Tercetuslah sebuah nalar keilmuan yang kemudian terkenal dengan
istilah unity of sciences.

2
B. Permasalahan

1. Bagaimana Latar Belakang Unity of Science di UIN Walisongo?

2. Bagaimana Proses Unity of Science di UIN Walisongo Semarang?

3. Bagaimana Pola Pemantapan Unity of Science di UIN Walisongo Semarang?

C. Pembahasan

1. Latar Belakang Unity of Science di UIN Walisongo Semarang

Integrasi Ilmu di Indonesia dilakukan dengan mengambil bentuk strategi transformasi dan
konversi IAIN/STAIN menuju UIN. Ide konversi ini sesungguhnya telah dibahas sejak tahun
1970-an. Kemudian baru pada era reformasi pada tahun 1998 terbuka kran merealisasikan
konversi tersebut setelah Menteri Pendidikan A. Malik Fadjar (kabinet era Megawati)
memperkenalkan paradigma baru (greater autonomy, greater accountability, and greater quality
assurance) dalam sistem pendidikan perguruan tinggi. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada
tanggal 20 Mei 2002, IAIN Jakarta mengawali berubah menjadi UIN.1 Selanjutnya disusul
STAIN Malik Ibrahim (21 Juli 2004), IAIN Riau, IAIN Makasar, IAIN Bandung, IAIN
Pelembang, IAIN Surabaya, dan terakhir IAIN Semarang dan IAIN Aceh.

IAIN Walisongo Semarang berubah menjadi UIN secara resmi pada tanggal 6 April 2015.
Perubahan ini merupakan wujud integrasi ilmu ataupun pembauran antara ilmu agama dan ilmu
umum menjadi satu kesatuan yang utuh. Transformasi dari IAIN menjadi UIN sesungguhnya
mempunyai beberapa konsekuensi: pertama, secara akademis, IAIN hanya mengembangkan
ilmu-ilmu dalam rumpun islamic studies atau ilmu Islam atau ilmu tradisonal (seperti teologi,
hukum Islam, tafsir dan lain-lain), sementara UIN mengembangkan skala studi yang lebih luas
termasuk ilmu-ilmu non islamic studies atau ilmu-ilmu modern. Kedua, mahasiswa IAIN lebih
besar berasal dari madrasah, pondok pesantren, dan masyarakat pedesaan, sementara UIN
dengan fakultas barunya, menerima mahasiswa yang lebih variatif dari latar belakang yang
lebih heterogen.

1
Ilyas Supena, Pergeseran Paradigma, t.tp, tp, t.th, hlm. 245.

3
Sekarang bahkan semakin dirasakan bahwa mahasiswa yang diterima di UIN, karena
berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, sesungguhnya mempunyai pengetahuan
keislamaan yang sangat variatif, dan yang paling mengkhawatirkan adalah mereka sama sekali
tidak mengenal ilmu-ilmu keislaman. Agaknya ini karena dikotomi ilmu yang telah lama dan
masih dipelihara hingga sekarang. Karena itu, disadari bahwa UIN Walisongo harus
mempunyai filsafat keilmuan, epistemologi, atau paradigma tersendiri dalam mengelola bidang
garapnya. Tercetuslah sebuah nalar keilmuan yang kemudian terkenal dengan istilah Unity of
Science.

Unity of Science atau wahdatul ulum adalah sebuah pandangan yang menjelaskan bahwa
semua ilmu yang ada di muka bumi merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Hal itu juga berarti bahwa semua ilmu yang ada adalah sebuah pengembangan dan berasal dari
hal yang sama. Memahami tentang Unity of Scicence juga meliputi tentang sebuah hal bahwa
setiap ilmu yang ada tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Ada keterkaitan ilmu satu dengan
ilmu lainnya. Dalam artian lain bahwa setiap ilmu bersifat multidimensional, dimana dalam
penulisan dan kajian sebuah cabang ilmu membutuhkan keterlibatan dan bantuan dari ilmu
lainnya.

Sedangkan ditinjau dari pandangan Islam, paradigma wahdah al-ulum (Unity Of Science)
menegaskan bahwa semua ilmu pada dasarnnya adalah satu kesatuan yang berasal dan
bermuara pada Allah melalui wahyu-Nya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu, sudah seharusnya semua ilmu saling berdialog dan bermuara pada satu tujuan yaitu
mengantarkan pengkajinya semakin mengenal dan dekat kepada Allah SWT.

Paradigma UoS telah dipraktikkan para ilmuwan muslim klasik seperti Ibn Sina, al-Kindi,
dan al-Farabi.2 Mereka mempelajari semua ilmu dan kemudian mendialogkannya hingga saling
memperkaya. Mendialogkan semua ilmu membuat seorang ilmuwan semakin kaya wawasan.
Itulah mengapa para ilmuwan muslim klasik itu sesungguhnya seorang ulama yang dokter,
ulama yang filosof, dan ulama yang ahli matematika. Dengan kata lain, paradigma unity of
science akan melahirkan seorang ilmuwan yang ensiklopedis, yang menguasai banyak ilmu,
memandang semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan holistic, dan mendialogkan semua ilmu
itu menjadi senyawa yang kaya. Unity of science tidak menghasilkan ilmuwan yang

2
Shahid Rahman (Eds.), The Unity of Science in the Arabic Tradition: Science, Logic, Epistemology, and
Their Interactions, New York: Springer, 2004, sebagaimana dikutip Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu
Pengetahuan, Semarang: CV. Karya Jaya Abadi, 2015, hlm. 188.

4
memasukkan semua ilmu dalam otaknya bagai kliping koran yang tak saling menyapa, tapi
mampu mengolahnya menjadi uraian yang padu dan dalam tentang suatu fenomena ilmiah.

2. Proses Unity of Science di UIN Walisongo Semarang

Dengan statusya sekarang berupa Universitas Islam, kini program studi di UIN Walisongo
Semarang tidak hanya berupa progam studi keagamaan, melainkan juga disusupi oleh prodi-
prodi umum. Program studi atau bahkan fakultas baru yang bersifat umum, hadir bukan untuk
berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian ataupun kesatuan keilmuan di UIN Walisongo
Semarang. Mereka yang datang ke UIN Walisongo untuk mengkaji ilmu sains ataupun ilmu
politik juga akan mendapat kajian keagamaan, baik ilmu agama secara umum ataupun merujuk
terhadap jurusan terkait. Seperti itulah sistem UOS di UIN Walisongo Semarang berlaku.

Unity of science yang dikembangkan UIN Walisongo adalah penyatuan antara semua
cabang ilmu dengan memberikan landasan wahyu sebagai latar atau pengikat penyatuan. Awal
mulanya ilustrasi gambaran paradigma unity of sciences UIN Walisongo digambarkan pada
diagram berikut ini:3

Ilmu Agama
dan
Humaniora

Ilmu Profesi
Ilmu Sosial
dan Terapan

WAHYU
Ilmu
Matematika Ilmu
dan Sains Kealaman
Komputer

Gambar di atas meniscayakan kesatuan ilmu dalam arti semua ilmu pastilah bersumber dari
wahyu baik langsung maupun tidak langsung dan pasti pula berada dalam wilayah alam yang
kesemuanya bersumber dari Allah.

3
Muhyar Fanani, “Paradigma Unity of Sciences dalam Visi dan Misi IAIN Walisongo”, Makalah disampaikan
dalam Workshop Pokja Manajemen di Hotel Novotel, 30 Oktober 2013.

5
1. Ilmu agama dan humaniora (religion and humanity sciences), yaitu ilmu-ilmu yang muncul
saat manusia belajar tentang agama dan diri sendiri, seperti ilmu-ilmu keislaman seni,
sejarah, bahasa, dan filsafat.
2. Ilmu-ilmu sosial (social sciences), yaitu sains sosial yang muncul saat manusia belajar
interaksi antar sesamanya, seperti sosiologi, ekonomi, geografi, politik, dan psikologi.
3. Ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), yaitu saat manusia belajar fenomena alam, seperti
kimia, fisika, antariksa, dan geologi.
4. Ilmu matematika dan sains komputer (mathematics and computing sciences), yaitu ilmu
yang muncul saat manusia mengkuantisasi gejala sosial dan alam, seperti komputer, logika,
matematika, dan statistik.
5. Ilmu-ilmu profesi dan terapan (professions and applied sciences) yaitu ilmu-ilmu yang
muncul saat manusia menggunakan kombinasi dua atau lebih keilmuan di atas untuk
memecahkan problem yang dihadapinya, seperti pertanian, arsitektur, bisnis, hukum,
manajemen, dan pendidikan.

Untuk mempermudah pemahaman, UIN Walisongo menyimbolkan paradigma wahdatul


ulum itu dengan sebuah intan berlian yang sangat indah dan bernilai tinggi, memancarkan sinar,
memiliki sumbu dan sisi yang saling berhubungan satu sama lain. Sumbu paling tengah
menggambarkan Allah sebagai sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan
ayat-ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah sebagai lahan eksplorasi pengetahuan yang saling
melengkapi dan tidak mungkin saling bertentangan. paradigma wahdatuh al-ulum (unity of
sciences) di UIN Walisongo Semarang digambarkan sebagaimana berikut :4

4
Hendri Hermawan A, Fenomena Integrasi Ilmu di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Negeri: Analisis Terhadap Konsep Unity of Sciences di UIN Walisongo
Semarang, HIKMATUNA Journal for Integrative Islamic Studies, Vol. 4, No. 1, 2018

6
Ilustrasi gambar di atas menyatakan bahwa alumni UIN Walisongo dibekali ilmu-ilmu yang
menjadi fokus kajian mahasiswa yang kesemuanya disinari dan dibimbing oleh wahyu Allah.
Ilmu-ilmu yang dipelajari harus memenuhi 3 syarat: (1). Ilmu itu mengantarkan pengkajinya
semakin mengenal Tuhannya. (2). Ilmu itu bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia
dan alam. (3). Ilmu itu mampu mendorong berkembangnya ilmu-ilmu baru yang berbasis pada
kearifan lokal (local wisdom).

Demikian UoS (Unity of Science) yang dibangun UIN Walisongo. Berdasarkan rancangan
strategi yang dikembangkan diharapkan cita-cita sebagaimana visinya bisa dicapai pada tahun
2038. Sebagai sebuah universitas, UIN Walisongo bersama UIN lainnya memiliki posisi yang
strategis bagi pengembangan gagasan IoK (Islamization of Knowledge) di Indonesia. Menurut
Muhyar Fanani idealnya dosen UIN Walisongo mampu membuat kurikulum sesuai profil
lulusan UIN Walisongo, yaitu menjadi insan kamil (manusia sempurna), dimana insan kamil
mempunyai lima ciri yang disebut “Panca Kamil”, yakni, berbudi pekerti luhur, berwawasan
kesatuan ilmu pengetahuan, berprestasi dalam akademik, berkarir secara profesional dan
berkhidmah kepada masyarakat.5 Universitas memiliki tanggung jawab untuk menyediakan
sumber daya manusia dan sarana lainnya untuk mewujudkannya. Bukan sebatas itu saja,
menurut alFaruqi rekomendasi untuk melakukan IoK antara, adanya himpunan ilmuwan yang
konsen terhadap IoK, didukung adanya jalinan kerjasama dalam berbagai program penguatan
kapasitas sumber daya manusia melalui berbagai pelatihan, seminar, dan penelitian. Selain itu,
hal penting lainnya yang disiapkan adalah bahan telaah dan piranti penelitian, serta karya-karya

5
Tim Humas, “Menuju Unity of Sciences, UIN Walisongo Susun TOT”, Artikel, dikutip dari
http://walisongo.ac.id/?p=news&id=menuju_unity_of_sciences,_uin_walisongo_susun_tot , diakses pada tanggal 6
November 2022

7
kreatif.6 Berbagai rekomendasi inilah yang menurut hemat penulis harus segera dilakukan UIN
Walisongo untuk melengkapi tiga strategi yang ada. Hal ini penting artinya bagi percepatan
cita-cita yang diharapkan dan mensejajarkan diri dengan UIN lainnya yang lebih dulu telah
berproses.

3. Pola Pemantapan Unity of Science di UIN Walisongo Semarang

Dalam penerapan paradigma UOS (Unity of Science) di UIN Waliosngo Semarang,


tentunya kita akan bertanya bagaimana langkah dalam pemantapan pola-pola
pengimplementasiannya. Maka dari itu, diperlukan strategi dan prinsip-prinsip dalam
pemantapan UOS di UIN Walisongo.
Prinsip yang dapat diterapkan guna mengembangkan paradigma Unity of Science di UIN
Walisongo sebagai berikut:
1) Integrasi
Berarti, mempersatukan dua hal atau lebih menjadi satu.
2) Kolaborasi
Berarti, melakukan kerjasama untuk mencapai satu tujuan
3) Dialektika
Berarti, meniscayakan dialog yang intens antara ilmu yang berakar pada wahyu, ilmu
pengetahuan modern, dan kearifan lokal.
4) Prospektif
Berarti, meyakini bahwa unity of science akan menghasilkan ilmu baru.
5) Pluralistik
Berarti, meyakini adanya pluralitas realitas dan metode dalam semua aktivitas keilmuan.
Paradigma unity of sciences ini mengandung gagasan untuk mendialogkan antara ilmu
rasional dan ilmu religius dalam sebuah sistem yang padu dan harmonis.7

Dalam upaya mengimplementasikan unity of science, UIN Walisono menerapkan 3 model


strategi. Tiga Strategi pengembangan tersebut adalah :

1) Humanisasi, yaitu merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman agar semakin menyentuh dan


memberi solusi bagi persoalan nyata kehidupan manusia Indonesia. Strategi humanisasi

6
Ismail Raji’ al-Faruqi, “Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial” dalam Abubaker A. Bagader (ed), Islamisasi Ilmu-
Ilmu Sosial, Yogyakarta: PLP2M, 1985, hlm. 19-22
7
https://pbasb1.blogspot.com/2020/10/unity-of-sciences-di-uin-walisongo.html, diakses pada 6/11/22 (14:37)

8
ilmu-ilmu keislaman mencakup segala upaya untuk memadukan nilai universal Islam
dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia.
2) Spiritualisasi, yaitu memberikan pijakan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan etika terhadap
ilmu-ilmu sekuler untuk memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada
peningkatan kualitas/ keberlangsungan hidup manusia dan alam serta bukan
penistaan/perusakan keduanya. Strategi spiritualisasi ilmu-ilmu modern meliputi segala
upaya membangun ilmu pengetahuan baru yang didasarkan pada kesadaran kesatuan ilmu
yang kesemuanya bersumber dari ayat-ayat Allah baik yang diperoleh melalui para nabi,
eksplorasi akal, maupun ekplorasi alam.
3) Revitalisasi local wisdom (keaarifan lokal), adalah penguatan kembali ajaran-ajaran luhur
bangsa. Strategi revitalisasi local wisdom terdiri dari semua usaha untuk tetap setia pada
ajaran luhur budaya lokal dan pengembangannya guna penguatan karakter bangsa. Jika
UIN Yogyakarta dalam humanisasi ilmu-ilmu keislaman lebih maju, dan UIN Malang lebih
maju dalam spiritualisasi sainstek, maka UIN Walisongo menjalankan keduanya itu,
ditambah revitalisasi local wisdom, dimana local wisdom merupakan ciri khas Islam
Nusantara sebagaimana ketika para walisongo berdakwah.

D. Kesimpulan

1. Latar belakang penerapan UOS (Unity of Science) di UIN Walisongo tidak lain adalah
sebagai akibat dari ter-konversinya IAIN menjadi UIN pada 6 April 2015, yang tentunya
berdampak pada proses akademik yang ada, seperti:

a. Yang pada awalnya IAIN hanya terfokus pada ilmu-ilmu agama saja, sekarang
berkembang pada studi-studi science.

b. Penerimaan mahasiswa dengan latar belakang yang sangat variatif

Berangkat dari hal tersebut, disadari bahwa UIN Walisongo harus mempunyai filsafat
keilmuan, atau paradigma tersendiri dalam mengelola bidang garapnya. Tercetuslah sebuah
nalar keilmuan yang kemudian terkenal dengan istilah Unity of Science.

2. Dalam prosesnya mewujudkan paradigma UOS (Unity of Science), UIN Walisongo


mengikat semua ilmu yang ada di dalamnya dengan landasan wahyu sebagai latar atau
pengikat penyatuan. Program studi bahkan fakultas di UIN Walisongo tidak berdiri sendiri,
melainkan sebagai bagian ataupun kesatuan keilmuan di UIN Walisongo Semarang.

9
Mereka yang datang ke UIN Walisongo untuk mengkaji ilmu sains ataupun ilmu politik
juga akan mendapat kajian keagamaan, baik ilmu agama secara umum ataupun merujuk
terhadap jurusan terkait.
3. Dalam proses pemantapan pelaksanaan UOS (Unity of Science) di UIN Walisongo, perlu
diterapkan dengan prinsip-prinsip Integrasi, Kolaborasi, Dialektika, Prospektif, Pluralistik.
Implementasinya dalam pengembangannya menerapkan 3 strategi yaitu Humanisasi,
Sprirtualisasi, dan Revitalisasi Local Wisdom (penguatan kearifan lokal).

10
DAFTAR PUSTAKA

(2022, November 6). Retrieved from http://walisongo.ac.id/?


p=news&id=menuju_unity_of_sciences,_uin_walisongo_susun_tot
(2022, November 6). Retrieved from https://pbasb1.blogspot.com/2020/10/unity-of-sciences-di-
uin-walisongo.html
al-Faruqi, I. r. (1985). Mengislamkan Ilmu-Ilmu Sosial . Yogyakarta: PLP2M.
Fanani, M. (2013). Paradigma Unity of Science dalam visi dan misi iain walisongo . t.tp: tp.
Hermawan, H. (2018). Fenomena Integrasi Ilmu di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri:
Analisis Terhadap Konsep Unity of Science di UIN Walisongo Semarang .
HIKMATUNA Journal For Integrative Studies , 1-16.
Rahman, S. (2004). The Unity of Science in The Arabic Tradition: Science, Logic,
Epistymology, and Their Interactions, . New York : Springer .
Supena, I. (t.th). Pergeseran paradigma . t.tp: tp.

11

Anda mungkin juga menyukai