Anda di halaman 1dari 12

STRATEGI REVITALISASI LOCAL WISDOM

(studi pola Puritanisasi, Modernisasi, dan Pribumisasi di Indonesia)

Makalah disusun Untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Filsafat Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. Junaidi Abdillah, MSI

Oleh :
ALI MAFTUKIN
2102048002

PROGRAM PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
ABSTRAK

Islam di Indonesia merupakan wajah islam yang cukup menarik untuk di kaji.
Selain jumlah penduduk muslimnya yang terbanyak di dunia, juga dikarenakan
karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat berbeda dengan masyarakat arab yang
menjadi basis dari agama islam mampu berkolaborasi dengan baik dan tetap
menunjukkan wajah islam yang ramah dan damai.

Tulisan ini menjadi suatu ikhtiar untuk memotret wajah Islam Indonesia dan pola
keberagamaannya, untuk menguak potret wajah Islam Indonesia dilakukan dengan
melihat pola puritanisasi, modernisasi dan pribumisasi di Indonesia.

Kata kunci: Islam, Pribumi, Puritan, Modernisasi

ABSTRACT

Islam in Indonesia is the face of Islam which is quite interesting to study. In


addition to the largest Muslim population in the world, the characteristics of the
Indonesian people are very different from the Arabs who are able to collaborate well and
still show a friendly and peaceful face of Islam.

This paper is an attempt to photograph the face of Indonesian Islam and its
religious patterns, to photograph the face of Indonesian Islam by looking at the patterns
of puritanization, modernization and indigenization in Indonesia.

Keywords: Islam, Indigenous, Puritan, Modernization


A. PENDAHULUAN

Local wisdom atau kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai yang dianggap
baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia
dengan lingkungannya.

Kearifan lokal, menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan


Abdullah,1 “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai
elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga
masyarakat”. Setidaknya ada enam signifikansi dan fungsi ke-arifan local yaitu
Pertama, sebagai pe-nanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat
(aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan. Ketiga kearifan
lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam.
Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima,
kemampuan local wisdom dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik
individu dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Ke-enam,
kearifan lokal dapat mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir
anasir yang merusaksolidaritas dan integrasi komunitas.

Di Indonesia, local wisdom telah berkembang sejak berabad-abad sebelum


masuknya agama islam. Sedangkan islam sendiri masuk ke Indonesia dengan
membawa ajaran dan tuntutan hidup yang mungkin saja sejalan dengan local wisdom
yang telah berkembang di Indonesia atau bahkan bertentangan dengan local wisdom
di Indonesia.

Islam adalah banyak hal. Sama seperti halnya tidak ada satu Amerika, Eropa
ataupun Barat, begitu pula tidak ada satu pun penjelasan pas yang melukiskan
berbagai kelompok maupun orang dengan nilai dan arti yang sama. Juga tidak ada
lokasi tunggal ataupun budaya seragam yang identik dengan Islam.2

Pernyataan Bruce B ini menunjukkan kepada kita semua tentang betapa


beragamnya model praktik ke-islama-an yang ada. Begitu pula ketika islam berada di

1
Irwan Abdullah, dkk (ed.)., Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 7.

2
Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, (Jakarta: Serambi, 2004),
hlm. 11.
Indonesia, islam berkembang dengan berbagai metode yang berbeda2. Hal ini
tentunya diakibatkan kesadaran masyarakat bahwa di Indonesia terdiri dari
berbagai macam ras, bahasa serta budayanya. Sehingga perlu adanya perhatian
khusus untuk bisa menjalankan keberagamaan yang ramah di antara masyarakat

B. PEMBAHASAN

1. Islam di Indonesia

Tercatanya Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak


tidak lepas dari peran para pedagang dari Gujarat dan Malabar di India Barat, juga
orang Arab, khususnya Hadramaut.

Pada umumnya, penduduk Indonesia berbondong-bondok masuk Islam


dengan cara yang damai. Islam yang datang tidak melenyapkan unsur lokal
melainkan mengakomodirnya dengan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Sikap para pendakwah Islam yang permisif dan akomodatif terhadap tradisi-
tradisi lokal inilah yang menjadikan Islam tumbuh subur di negeri ini.3

Indonesia telah mengenal lokal wisdom yang berbau hindu buda. Hal ini
selaras dengan para pendakwah asal Gujarat India yang secara budaya india juga
sedikit banyak terpengaruh oleh budaya Hindu buda yang berkembang di India.
Hal ini lah yang menyebabkan islam dari pedagang Gujarat bisa masuk dengan
damai dan sesuai dengan buaya yang teah berkembang di Indonensia saat itu.

Demikian pula dengan pendakwah yang berasal dari Hadramaut. Mereka


dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena ada kondisi serupa
yang juga di yakini yaitu kepercayan mistisme. Kondisi inilah yang menjadi
simbiosis mutualisme di antara pendakwah dan masyarakat Indonesia4

Seiring dengan berjalannya waktu, islam di Indonesia berkembang dengan


pesat dan mempunyai wajah ke-islam-an yang beragam. Setidak nya ada dua
wajah yang sangat menonjol di Indonesia, yaitu Islam Pribumi dan puritan.

1. Islam Pribumi

Penamaan Islam pribumi ini berawal dari gagasan Abdurrahman Wahid

3
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), j. 2, hlm. 306-307.
4
Bisri Affandi, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), hlm. 74.
yang dilontarkan pada tahun 80-an. Penamaan Islam Pribumi sejatinya ingin
menonjolkan ciri keislaman yang khas Indonesia. Islam Indonesia yang khas
dengan keramahan dan toleransinya tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kehadiran agama tersebut di Indonesia.5

Gagasan Wahid terinspirasi dari semangat yang diajarkan Walisongo


yang sangat toleran dan akomodatif terhadap budaya setempat selama proses
dakwahnya di tanah Jawa sekitar abad 15-16 M. Mereka telah mengadopsi
kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan
yang sudah pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang
dikembangkan dalam tradisi Islam. Tatkala nilai Islam dianggap sesuai dengan
adat setempat, maka tidak perlu lagi diubah sesuai dengan selera, adat, atau
ideologi Arab. Karena, jika hal itu dilakukan maka akan menimbulkan
kegoncangan budaya. Sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya
yang ada jauh lebih efektif daripada mengganti budaya itu sendiri.6

Kedatangan para pendakwah yang tergabung dalam Walisongo ke tanah


Jawa tidaklah untuk menaklukkan Jawa, namun untuk mengembangkan
masyarakat Jawa yang sudah beradab dengan mengakui hak-hak kultural
masyarakat setempat yang selama ini mereka jalankan dan kembangkan.
Strategi yang ditempuh oleh para Walisongo ini pada akhirnya terbukti efektif
dalam mengakrabkan Islam dengan lingkungan setempat. Islam tidak dijauhi,
melainkan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat karena tidak
berhadap-hadapan secara frontal dengan adat dan tradisi yang mereka anut.
Islam pun menjadi menyatu dengan kenusantaraan atau keindonesiaan.

Gagasan Wahid dapat disarikan dalam tiga pilar: Pertama, keyakinan


bahwa Islam harus secara aktif dan substansif ditafsirkan ulang atau
dirumuskan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern. Kedua,
keyakinan bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama
negara, dan ketiga, bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif,
demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang eksklusif. 7 Melalui
gagasannya ini, Wahid mendeskripsikan Islam sebagai ajaran yang normatif
5
Imdadun Rahmat, “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, edisi
no. 14 tahun 2003, hlm. 9.
6
Abdul Mun’im DZ, “Mempertahankan Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, edisi no.
14 tahun 2003, hlm. 4.
7
John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Murai Kencana,
2001), hlm. 264.
berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, tidak saling
mengalahkan, melainkan berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara agama dan budaya.

Hal ini dikarenakan,bagi Wahid Arabisasi atau proses mengidentifikasi


diri dengan budaya Timur Tengah sama artinya dengan melepaskan diri kita
dari akar budaya kita sendiri. 8 Sebaliknya, Wahid menganjurkan proses kreatif
yang menemukan kembali dan mengurai intisari agama dari totalitas Islam.
Intisari Islam harus berfungsi sebagai basis inspirasional, bukan basis legal.9

2. Islam Puritan

Puritan adalah kumpulan sejumlah kelompok keagamaan yang


memperjuangkan "kemurnian" doktrin dan tata cara peribadatan, begitu juga
kesalehan perseorangan dan jemaat. 10

Dalam sejarah Islam, gerakan puritan paling tidak muncul ketika


Khawarij muncul. Prinsipnya, setelah Nabi Muhammad wafat umat Islam
kembali tergantung pada kesukuan, bukan kepada agama. Purifikasi bertujuan
memurnikan ajaran agama dari noda-noda yang diakibatkan dari
ketergantungan kesukuan.

Islam Puritan menganggap bahwa bentuk keberagamaan Islam yang


paling benar dan ideal adalah dengan meniru para salafu ash-shalih, sedangkan
adat, tradisi, dan budaya lokal dinilai dapat menghilangkan otentisitas Islam.
Masuknya warna budaya lokal ini sering dipandang sebagai sesuatu yang bid’ah
dan khurafat. Hingga pada praktiknya di lapangan, islam puritan menganggap
ada banyak amalam umat muslim yang tidak benar. seperti selametan, ziarah
kubur dan sejenisnya meskipun sudah dikemas dengan nilai dan ritual islami di
dalamnya karena . mendekati kemusyrikan.

Semangat purifikasi tidak hanya berbentuk pergulatan ide dan gagasan,


tetapi telah berwujud gerakan. Menurut Idahram, gerakan ini makin semarak

8
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta:
Desantara, 2001), hlm. 111.
9
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta:
Desantara, 2001), hlm. 111.
10
https://id.wikipedia.org/wiki/Puritan
sejak awal tahun 1980-an, yang mana pada saat itu terjadi perkembangan
dakwah yang memberikan warna berbeda di Indonesia. Saat itu mulai
berdatangan elemen- elemen pergerakan dakwah Islam dari luar negeri ke
Indonesia hingga bermunculan beberapa gerakan seperti Ikhwanul Muslimin,
Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad dan sebagainya. 11

Islam puritan memposisikan Islam sebagai kerangka normatif ajaran


yang transenden, baku, tak berubah dan kekal. Bangunan hukum dan ajarannya
harus merujuk pada teks yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi
saw. yang diimplementasikan di Makkah dan Madinah sebagai basis geografis
lahirnya Islam, tanpa mengalami proses historisasi ajaran, karena sifat
transenden al-Qur’an dan Sunnah dipandang tidak bersentuhan sama sekali
dengan budaya manusia.

Islam sebagai suatu ideologi dimaknai sebagai realisasi pengislaman


seluruh sistem hidup, ekonomi, masyarakat, negara, lengkap dengan bentuk dan
simbolnya. Konsekuensinya, tindakan sosial politik Nabi dan para sahabat juga
dianggap sebagai contoh final yang harus ditiru oleh umat Islam kapanpun dan
dimanapun, tidak semata nilai-nilai atau pesan-pesan yang dikandungnya, tetapi
juga bentuk-bentuk dan simbol-simbolnya.12

Pandangan seperti ini jelas berbeda dari apa yang diyakini Islam
Pribumi yang menyebutkan bahwa Islam tidak lahir dari ruang dan lembaran
kosong. Menurutnya, Islam yang ideal sebagaimana yang dibayangkan kaum
Islam puritan itu sebenarnya tidak ada. Sejatinya yang ada hanyalah Islam yang
riil hidup di tengah masyarakat.

Di antara tokoh-tokoh yang sering dijadikan panutan bagi para puritan


Indonesia ini antara lain: Ibn Baz, Shalih Ibn Utsaimin, Ibn Fauzan, Muhammad
Nashiruddin al-Albani, ulama asal Albania yang tinggal di Yordania, Syaikh Rabi
al- Madkhali di Madinah, dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i di Yaman, Abdurrauf
Singkel dan Muhammad Yusuf al-Makassari pada abad ke-17.13

3. Modernisasi Islam di Indonesia

11
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm.
39.
12
Rahmat, Islam Pribumi..., hlm. 13-14.
13
Ibid., hlm. 57.
Adanya dikotomi antara islam pribumi dan islam puritan menimbulkan
kesan adanya pemisahan model keberagama-islaman di Indonesia. Tidak
sampai di sini saja, perkembangan zaman dan semakin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi juga mengharuskan umat muslim untuk berpacu
menghadapi tantangan zaman.

Dikenal dengan istilah Modernisasi islam merupakan sebuah


pergerakan yang mencoba mengkolaborasikan antara agama Islam dengan
nilai-nilai modern dari Barat seperti nasionalisme, demokrasi, hak-hak
sipil, rasionalitas, kesetaraan, dan perjuangan sosial.14

Modernisasi sering dikaitkan erat dengan dunia Barat karena secara


kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat, sehingga akan
menjadi masalah bagi bangsa-bangsa yang bukan Barat ketika ingin melakukan
usaha- usaha menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan
hadapkan secara dilematis antara usaha mempertahankan keaslian budaya
mereka dengan sistem modernisasi yang sepenuhnya dianggap telah menyatu
dengan budaya Barat. Masalah yang dihadapi semakin kompleks ketika
dihadapkan dengan asumsi sosial bahwa kemodernan merupakan hasil produk
Barat, maka bangsa- bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi
modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan budaya lokal mereka
dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena
westernisasi adalah pintu menuju modernisasi, seperti misalnya yang dilakukan
oleh Mustafa Kemal Atturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru berbeda
dengan kekuasaan Turki Usmani sebelumnya. 15

Begitu pula orang-orang islam yang cenderung kurang suka terhadap


produk dari barat. Kaum muslim beranggapan dengan mengikuti peradaban
barat akan menimbulkan mengenyampingkan agama. Modernisasi dibarat
memang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
namun konsep yang dibawa oleh barat tidak sepenuhnya dapat diterima oleh
kaum muslimin karena tidak sepenuhnya benar. Kaum muslimin lebih suka
menyebutnya prinsip-prinsip modern yang membawa pada pembaharuan islam
di banding menyebutnya dengan modern.

Dalam menaggapi hal ini, Cak Nur menolak anggapan diikutinya proses

14
Encyclopedia of Islam and the Muslim World, Thompson Gale (2004)
15
Kurnia Ilahi, Perkembangan Modern Dalam Islam (Pekanbaru : Yayasan Pusaka Riau, 2011), hlm.152
westernisasi dalam hal modernisasi. Cak Nur mengatakan:

“Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisai yang


ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian
yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak
westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah bahwa suatu
keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang
paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya”.16

Dalam memposisikan Islam dengan modernitas yang oleh kebanyakan


orang dinilai dikotomis, mestinya harus dilihat kembali Islam dalam semangatnya
yang lebih dalam lagi. Islam menurut Cak Nur sendiri adalah sebuah agama yang
mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru sangat
membuka peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini
masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodernan dengan tetap
mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang dianut. Menjadi
modern tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam
menjalankan ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern
dengan tetap setia kepada Islam.

Seorang muslim harus mulai membuka diri seluas-luasnya dalam


membangun pengertian dan pemahaman tentang Islam yang sebenarnya. Jika
umat Islam ingin segera bangkit, maju dan menjadi unggul, maka kegiatan ber-
iqra’ harus segera digalakkan, agar kemudian melahirkan kesadaran, inilah yang
selanjutnya menjadi kekuatan penggerak kebangkitan awal melakukan jihad atau
bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keberhasilan. Jika Islam yang luas makna
dan kandungannya ini tidak hanya dipahami sebatas agama formal dalam
pengertian sosiologis dan antropologis yang sempit berhasil ditangkap oleh
umatnya, maka kebangkitan Islam yang sebenarnya bisa terwujudkan.17

Hal positif dalam menanggapi modernisasi bagi masyarakat islam di


Indonesia adalah mampu berdampingan bersama mendukung perubahan
tentunya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan salah satu
produk dari modernisasi, menjadi hal yang bermanfaat dan bernilai positif
sepeti :

16
Nurcholish, Islam dan Kemodernan, hlm.18
17
Imam Suprayogo, Spirit Islam Menuju Perubahan dan Kemajuan (Malang : UIN- Maliki press, 2012),
hlm. 4
Pertama dengan adanya ilmu pengetahuan dalam modernisasi di
kehidupan masyarakat semakin mendukung perkembangan islam dengan
mampu mengaplikasikan ajaran islam dalam konsep ilmu umum.

Kedua dengan adanya teknologi dalam modernisasi masyarakat islam di


Indonesia bisa dengan mudah memperluas dakwahnya lewat media dan juga
memperluas jaringannya.

Sebagai umat muslim senantiasa berpegang teguh kepada Al Qur'an dan


Sunnah, sehingga dengan bersikap demikianlah kita tidak akan menjadi tersesat
dari jalan lurus yang Allah SWT telah bentangkan bagi orang -- orang beriman
dan meyakini kebenaran ajaran -- ajaran yang di bawa Nabi Muhammad SAW.
Untuk membawa umat muslim dari keselamatan dan kebahagiaan didunia dan
akhirat.

C. KESIMPULAN

Adanya pembedaan antara Islam pribumi dan Islam puritan seakan


menjadikan adanya dikotomi yang mengesankan pemisahan antara model-
model Islam tersebut. Islam seperti dikotak-kotakkan, bahkan sebagian
kalangan menilai, jika hal ini diteruskan dapat memburukkan citra Islam di
mata dunia, bahkan justru membahayakan eksistensi Islam itu sendiri yang
separatis dan mudah diprovokasi dan dihancurkan oleh kelompok lain.
Sementara kalangan lainnya menilai bahwa dengan hadirnya Islam pribumi
atau Islam Nusantara justru akan memperbaiki citra Islam di mata dunia. Islam
tidaklah rentan dengan kekerasan dan terorisme.

Sejatinya, tidak ada yang salah dengan Islam puritan atau Islam Arab
dalam mengekspresikan keberagamaan atau keislaman seseorang. Tetapi yang
menjadi masalah adalah menggunakan ekspresi kearaban sebagai ekspresi
tunggal dan dianggap paling absah dalam beragama, terlebih jika kemudian
budaya yang ada dianggap sebagai sesuatu yang sesat, musyrik dan bid’ah.
Seharusnya agama bisa hidup berdampingan dengan ekspresi budaya, bukan
saling menafikan satu sama lain.

Sementara di sisi lain, pribumisasi Islam pun bukan tanpa bahaya.


Akomodasi dan akulturasi suatu saat bisa menghasilkan suatu identitas yang
karakter Islaminya bisa terkikis atau bahkan bisa dianggap sama sekali tidak
Islami. Untuk menyelamatkan karakter Islamnya, lembaga-lembaga Islam
pribumi di luar sektor modern, seperti sistem pesantren tradisional, harus
diidentifikasi dan digunakan dalam membangkitkan kembali komunitas muslim
Indonesia.

Paradigma modernisme, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya


serta ekses-ekses yang ditimbulkannya, maka jika disoroti dari aspek pemikiran
keagamaan (theologis), akan memunculkan pandangan yang bisa jadi memiliki
persamaan-persamaan dari semangat yang dimunculkan oleh modernisme itu
dan dapat pula terjadi pertentangan. Oleh karena itu pandangan-pandangan
keagamaan tentang watak dari modernisme itu menjadi kebutuhan yang wajar
dan malah harus dilakukan. Dasar-dasar keagamaan pada gilirannya perlu
dielaborasi untuk memenuhi kebutuhan manusia pada zamannya tanpa harus
meninggalkan prinsip-prinsip esensial pada-pesan Wahyu itu.

Terlepas dari klasifikasi dikotomis di atas, pola keberagamaan


masyarakat Indonesia semakin lama semakin baik, dengan indikator semakin
banyaknya orang yang menunaikan shalat, dan yang lebih cermat menjalankan
ibadah-ibadah lainnya seperti zakat dan puasa Ramadhan, ibadah haji semakin
diminati, kian banyak para perempuan yang berbusana Islami, dan produk-
produk halal kian dipedulikan. Menjalankan praktik Islam secara lebih seksama
terlihat jelas khususnya di kalangan kaum terdidik, dan juga di pedesaan.18

18
Esposito, John L., Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan Media Utama. 2001, hlm. 308.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, dkk Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Affandi, Bisri, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1999)

Esposito, John L. dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta:
Murai Kencana, 2001)

Esposito, John L. Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001)

Gale, Thompson, Encyclopedia of Islam and the Muslim World, (2004)

https://id.wikipedia.org/wiki/Puritan

Idahram, Syaikh, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2012)

Kurnia Ilahi, Perkembangan Modern Dalam Islam (Pekanbaru : Yayasan Pusaka Riau,
2011)

Lawrence, Bruce B. Islam Tidak Tunggal: Melepaskan Islam dari Kekerasan, (Jakarta:
Serambi, 2004)

Mun’im DZ, Abdul, “Mempertahankan Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul


Afkar, edisi no. 14 tahun 2003
Nurcholish, Islam kemodernan dan keindonesiaan (Bandung: Mizan Media Utama, 2008)

Rahmat, Imdadun, “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia” dalam Jurnal
Tashwirul Afkar, edisi no. 14 tahun 2003

Suprayogo, Imam, Spirit Islam Menuju Perubahan dan Kemajuan (Malang : UIN- Maliki
press, 2012)

Wahid, Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta:


Desantara, 2001)

Anda mungkin juga menyukai