PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah al-umur bi maqashidiha dan
Kepentingannya?
2. Bagaimana Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat?
3. Apa Saja Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi
Maqashidiha dan Pelaksanaannya?
1
2
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui makna kaidah al-umur bi Maqashidiha dan Kepentingannya.
2. Mengetahui Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat.
3. Mengetahui Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi
Maqashidiha dan Pelaksanaannya.
BAB II
Artinya: kepunyaan Allah segala apa yang gaib di langit dan di bumi, dan
kepada-Nyalah dikembalikan urusan semuanya. Maka sembahlah Dia, dan
berserah dirilah kepada-Nya, karena Tuhan sama sekali tidak lupa terhadap
apa-apa yang kamu kerjakan (Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991:
212).
Artinya: Katakanlah olehmu hai Muhammad, bahwasanya urusan
semuanya adalah kepunyaan Allah (Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni,
1991: 64).
Kaidah al-umur bi Maqashidiha terdiri dari dua kata, yakni al-umur dan
al-maqashid. Lafadz al-umur diartikan sebagai tingkah laku atau perbuatan
seorang mukallaf yang berupa ucapan, perbuatan, itikad, dan meninggalkan
sesuatu. Lafadz al-maqashid merupakan bentuk jama dari bentuk mufrod
maqshud yakni bentuk mashdar dari lafad qashada, secara bahasa qashada berarti
menyengaja sesuatu yang berarti niat, adapun niat secara bahasa berarti qashdu.
Adapun secara istilah adalah yakni niatnya
seorang manusia dengan hatinya untuk melakukan suatu pekerjaan yang
3
4
Setiap kaidah yang diciptakan oleh para ulama, tentu memiliki dalil atau
dasar hukum yang menjadi landasan terbentuknya kaidah tersebut. Adapun kaidah
di dasarkan kepada al-quran dan hadits, sebagai berikut:
Artinya: sesuatu yang berjiwa/nyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin
Allah, pada waktu yang telah ditentukan; dan barangsiapa yang ingin pahala
dunia, Kami akan beri kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa yang
mengharapkann pahala akhirat, Kami akan beri kepadanya pahala akhirat itu;
dan Kami akan membalas mereka yang bersyukur (Moh Rifai dan Rosihin
Abdul Ghoni, 1991: 62).
Al-Quran Surat an-Nisa ayat 100.
Ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sesungguhnya telah wajib
menerima pahala hijrah demi kehormatan niatnya. Ayat ini turun (Asbab al-
Nuzul) berkenaan dengan seorang laki-laki yang sudah tua dari suku Khuzaa.
Ketika kaum muslimin menerima perintah hijrah ke Madinah, laki-laki tersebut
dalam kondisi sakit. Kemudian ia meminta kepada keluarganya supaya
menandunya di atas pembaringan dan membawanya kepada Rosulullah Saw.
Kemudian keluarganya mengerjakannya, tetapi sebelum sampai kepada
Rasulullah Saw ia meninggal di daerah Tanim. Kemudian turunlah ayat ini yang
menjelaskan bahwa datangnya kematian sebelum menyelesaikan amal tidak akan
mengurangi pahala sedikitpun dalam pandangan Allah Swt (Abu Muhammad al-
Husain bin Masud al-Baghawi, juz II: 274)
:
:
6
(Malik Bin Anas: 983. Ahmad bin Hanbal: 168, 300. Muhammad bin
Ismail Abu Abdullah al-Bukhori: 1, 54, 2529, 3898, 6689, 6953. Muslim bin
Hujaj: 155. Ibnu Majjah: 4227. Abu Daud Sulaiman: 2201. Muhammad bin
Isa Turmudzi: 1647. Abu Bakar Ahmad al-Bazzar: 257. Abu Abdurrahman
an-Nasai: 75, 3437, 3794)
Artinya: Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia
mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya
atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang
ia inginkan itu.
Jamaluddin Abu al-Farj al-Jauzi, dalam kitab Kasyful al-Musyikil min
Hadits al-Shohihain (juz I, hadits no, 34: 84-87), menjelaskan hadits diatas
kedalam 4 bagian, yakni:
a. Diriwayatkan oleh Yahya bin Saiid berjumlah 250 laki-laki, Abi Saiid al-
Khudri, Nuh bin Habib al-Badzsyi, Abu Hurairoh, Ibn Abbas, Ibn Umar,
Muawiyah, namun tidak ada sanad yang shohih kecuali dari Umar.
b. Asbabul wurud hadits ini berkaitan dengan seorang laki-laki Makkah yang
berhijrah ke Madinah karena mengikuti seorang wanita yang ingin
dinikahinya.
c. Keutamaan dan kemuliaan hadits. Abdurrahman bin Mahdi berkata: penting
bagi seseorang yang ingin mengarang kitab, maka hendaklah ia memulainya
dengan hadits ini, oleh karena itu Imam Bukhori mendahului kitab shohih-
nya dengan hadits ini. Imam Syafii menyebutkan bahwa hadits ini masuk
kedalam 70 bab fiqh. Ahmad bin Hanbal berkata bahwa ushul Islam terdiri
,
dari 3 hadits, yakni "
" ,
. Abu Daud al-Sijistani berkata bahwa fiqh terdiri dari 5 hadits,
yakni " " , ,
. Abu Daud berkata, hadits
, ,
Rosulullah Saw yang ditulis sebanyak 500.000 hadits, menurutnya manusia
cukup berpegang teguh pada 4 hadits bagi agamanya, yakni "
" ,
7
Muhammad bin Husain al-Ajari berkata, hadits ini berkaitan dengan hijrah
Rosullah dari Makkah ke Madinah yang diwajibkan bagi muslimin Makkah yang
hendak berhijrah, mereka mengajak keluarga berserta para karib kerabat untuk
berhijrah menuju ridho Allah. Namun, ada seorang laki-laki muhajirin yang tidak
berniat untuk mengharapkan ridho Allah dan Rosul, melainkan ia berniat untuk
menikahi wanita-wanita yang ikut berhijrah, laki-laki tersebut disebut dengan
Muhajir Umm Qoys (Ibn Bathol Abu al-Hasan, VII: 165).
:
" :
"
(Maktabah al-Syamilah, Ahmad binal-Husain bin Ali bin Musa al-
Khusronujirdi al-Khorosani Abu Bakar al-Baihaqi, I, 179: 67)
))
(( : :
Jumhur ulama, menjadikan niat sebagai rukun yang menentukan sah atau
batalnya suatu ibadah. Namun, dalam pelaksanaan niat terdapat beberapa syarat
yang harus terpenuhi sehingga niat seorang mukallaf dianggap sah. Para ulama
berbeda-beda dalam menetapkan persyaratan dalam niat, Abu Muhammad Sholih
bin Muhammadbin Hasan Ali Umayyar al-Asmiri dalam kitabnya Majmuah al-
Fawaidh al-Bahiyah ala Mandzumah al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (juz I: 35),
menjelaskan bahwa suatu niat bisa sah jika memenuhi syarat berikut:
a. Islam, apabila orang kafir berniat untuk bertaqorrub dan ikhlas, maka niatnya
tidak sah.
b. Tamyiz, orang yang hilang akal dan anak kecil yang belum tamyiz. Madzhab
Hanbali membatasi tamyiz pada umur tujuh tahun berdasarkan hadits Nabi
Saw:
:
c. Mengetahui apa yang diniatkannya (manwiy). Bagi seseorang yang berniat,
maka dia disyaratkan mengetahui apa yang akan diniatinya, sehingga tidak sah
jika orang tersebut tidak mengetahui apa yang akan dia niatkan.
10
3. Rukun
Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda
tergantung status shalat yang dikerjakan.
a. Apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus
terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Tayin dan niat fardlu
b. Apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan
sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul
fiil dan Tayin
c. Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah
Qashdul fiil. (http://fikihilmiah.blogspot.co.id/2012/01/bab-ii-pembahasan-
al-umuru-bi.html, diakses padajam 23.00 tanggal 01 Oktober 2017).
Setiap ibadah, seperti wudhu, gushl (mandi), salat, dan saum (puasa)
kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nadzar, dan nadb (sunnah).
Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, adalah cara pelaksaaannya
sama. Karena inilah, niat disyariatkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan
ibadah.
2. Pembeda antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain, yakni antara ibadah
fardhu, sunnah, nadzar, atau kafarat. Sebagai contoh, jika seseorang hendak
melaksanakan sholat dzuhur dengan niat sunnah maka yang mejadi hukum
adalah solat sunnah dzuhur,dan dia tidak dianggap melaksanakan sholat fardhu
dzuhur.
3. Merubah adat kebiasaan menjadi ibadah. Tidur merupakan bentuk kegiatan
adat kebiasaan yang mubah, namun jika tidurnya orang muslim diniatkan untuk
dapat bangun melaksanakan sholat malam, maka setiap detik, jam, dan nafas
yang keluar mendapatkan pahala. Hal ini sebagaimana qaidah yang
dikemukakan oleh Ibn Masud:
!
4. Membedakan antara mana ucapan dan dilalah ucapan. Contohnya seorang
suami berkata kepada istrinya, pergilah kamu ke keluargamu!, jika suami
berniat mentalak istrinya, maka terjadilah talak, namun jika tidak berniat, maka
tidak terjadi talak.
5. Bertaqarrub kepada Allah. Niat menjadi penentu antara suatu yang ihlas,dan
amal ria.
D. Pembagian Maqashid
kifarat, jika ternyata dia menaiki mobil tertentu, maka dia diwajibkan
kifarat.
b. Niat Mukhosis (pengkhususan). Jika orang yang bersumpah diatas berniat
mengkhususkan kendaraan yang dinaiki, seperti mobil angkot, maka
niatnya tersebut mengkhususkan lafadz yang dia ucapkan tersebut.
Sehingga jika dia naik mobil damri maka dia tidak wajib kifarat.
2. Pembagian niat ditinjau dari maksudnya suatu amal, ada dua macam,yaitu:
a. Niat sebagai penetapan hukum suatu perbuatan, artinya niat tersebut
menjadi suatu yang harus ada pada amal tersebut sehingga amal itu
dianggap sebagai ibadah, dan jika tanpa niat maka amalnya menjadi batal.
b. Niat sebagai fadhilah amal, artinya walaupun suatu pekerjaan tersebut
dilakukan tanpa ada niat, maka tidak mempengaruhi sah atau batalnya amal
tersebut. Contohnya adalah niat membersihkan najis pada pakaian.
3. Pembagian niat ditinjau dari wujudnya pekerjaan (hakikat) dan tidak adanya
pekerjaan (hukmiyat), yaitu:
a. Niat hakiki, yakni niat yang wujud perbuatannya benar-benar dilakukan
oleh seseorang, niat ini yang menjadi syarat awal suatu ibadah.
b. Niat hukmiyah, yakni suatu niat yang dihadirkan dan ditetapkan oleh
seseorang, namun perbuatannya tidak dilakukan. Seperti niat puasa ketika
ia akan tidur.
E. Kaidah-kaidah yang masuk dibawah Kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
aplikasinya
1. Kaidah-kaidah
a.
adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah,
tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
b.
Artinya: Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada
di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada
dalam hati).
Sebagai contoh, apabila hati niat wud, sedang yang diucapkan adalah
mendinginkan anggota badan, maka wudnya tetap sah.
c.
Artinya: Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat
dalam keseluruhan yang dikerjakan.
Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan
rukunnya.
d.
Artinya: Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah
haji dan 'umrah).
e.
Artinya: Setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari
yang asal karena semata-mata niat).
Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia
berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik.
Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan
minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya,
karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.
f.
Artinya: Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat
orang yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di
hadapan qadi.
Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi.
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naar, shalat,
sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang
mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu
maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat
fardhu atau shalat sunnah.
g.
Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam
hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya
niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia
untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
h.
Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang
bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tidak akan mau berbicara dengan
manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu.
Contoh: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal
serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari orang lain.
Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan
minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai
melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya
dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
i.
kaidah fikih yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal
yang menuntut kejelasan niat, kesalahan berimplikasi terhadap batal amal
tersebut.
j.
17
Artinya: Sesuatu amal yang niatnya harus dipastikan secara garis besar,
tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata
salah, maka membahayakan sahnya amal.
Contoh seorang yang berniat menjadi makmum dari imam bernama Bayu,
pada hal imamnya bernama Wisnu, maka solatnya menjadi batal, sebab yang
wajib baginya hanya tayin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi
tidak diwajibkan tayin secara terinci, yaitu menentu siapa nama imamnya. Jika
demikian, solatnya dianggap batal dan tidak sah.
k.
Melalui kaidah fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat
bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan
hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa
yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah
secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara
sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan
yang tidak mempunyai kaitannya dengan sholat.
2. Aplikasi
18
menampung air hujan, maka akan menjadi miliknya; (b) jika sipemilik wadah
tidak ada niat untuk menampung air hujan pada wadah yang ia tempatkan,
maka ia bukan pemilik air hujan yang terkumpulkan tersebut, dan jika ada
orang lain mengambil air yang tertampung diwadah, maka dia berhak untuk
memilikinya.
d. Tanggungan dan amanah, misalnya dalam hal luqotoh, apabila multaqith
berniat untuk menjaga barang luqotoh yang ia temukan, maka barang tersebut
menjadi amanah baginya, namun jika multaqith berniat untuk memiliki bagi
dirinya sendiri, maka hal tersebut termasuk kedalam ghosob.
e. Siksa, seperti qishos, pelaksanaan qishos bergantung pada maksud dan tujuan
si pelaku untuk membunuh.
f. suami berkata kepada istrinya, kamu bagiku seperti punggung ibuku. Apabila
berniat mendzihar istri, maka hal tersebut menjadi dzihar, namun, jika ia
berniat untuk memuliakan, maka ucapannya merupakan memuliakan, jika
berniat talaq, maka yang menjadi hukum ucapan tersebut menjadi talak bagi
suami terhadap istri.
g. Seseorang berkata, ambillah uang ini. Apabila ia berniat bertabarru (berbuat
baik), maka hal tersebut menjadi hibbah, namun, jika tidak ada niat tabarru
maka menjadi pinjaman yang harus dikembalikan.
BAB III
KESIMPULAN
20
21
DAFTAR PUSTAKA