Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat


penting dan menjadi kebutuhan bagi kita semua. Akan tetapi tidak sedikit orang
yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya kita untuk
mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih
kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu kita juga akan menjadi
lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih,
diharapkan pada akhirnya kita juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi
masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kita bisa mencari
solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat dengan lebih baik.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang
pertama, yaitu ( al-Umur bi Maqasidiha). Kaidah ini membahas
tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan
niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya.
Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah al-umur bi maqashidiha dan
Kepentingannya?
2. Bagaimana Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat?
3. Apa Saja Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi
Maqashidiha dan Pelaksanaannya?

1
2

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui makna kaidah al-umur bi Maqashidiha dan Kepentingannya.
2. Mengetahui Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat.
3. Mengetahui Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi
Maqashidiha dan Pelaksanaannya.
BAB II

KAIDAH AL-UMUR BI MAQASHIDIHA

A. Makna Kaidah dan Kepentingannya

Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqad (1989: 47) menyatakan bahwa


lafadz merupakan bentuk jama dari kata merupakan lafadz umum yang
mencakup seluruh pekerjaan anggota badan dan ucapan, sebagaimana firman
Allah Swt:

Al-Quran surat al-Hud ayat 123.

Artinya: kepunyaan Allah segala apa yang gaib di langit dan di bumi, dan
kepada-Nyalah dikembalikan urusan semuanya. Maka sembahlah Dia, dan
berserah dirilah kepada-Nya, karena Tuhan sama sekali tidak lupa terhadap
apa-apa yang kamu kerjakan (Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991:
212).

Al-Quran surat Ali Imran ayat 154.


Artinya: Katakanlah olehmu hai Muhammad, bahwasanya urusan
semuanya adalah kepunyaan Allah (Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni,
1991: 64).

Kaidah al-umur bi Maqashidiha terdiri dari dua kata, yakni al-umur dan
al-maqashid. Lafadz al-umur diartikan sebagai tingkah laku atau perbuatan
seorang mukallaf yang berupa ucapan, perbuatan, itikad, dan meninggalkan
sesuatu. Lafadz al-maqashid merupakan bentuk jama dari bentuk mufrod
maqshud yakni bentuk mashdar dari lafad qashada, secara bahasa qashada berarti
menyengaja sesuatu yang berarti niat, adapun niat secara bahasa berarti qashdu.
Adapun secara istilah adalah yakni niatnya
seorang manusia dengan hatinya untuk melakukan suatu pekerjaan yang

3
4

dikehendakinya. Sebagian ulama Syafii mengartikannya dengan


yakni menyengaja sesuatu dengan dibarengi melakukan sesuatu tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaidah
adalah sesungguhnya amal seorang mukallaf itu tergantung pada
niatnya yang menunjukkan sah, fasid, pahala atau dosanya amal yang dilakukan
oleh si mukallaf tersebut.

B. Dalil, Syarat, dan Rukunnya


1. Dalil

Setiap kaidah yang diciptakan oleh para ulama, tentu memiliki dalil atau
dasar hukum yang menjadi landasan terbentuknya kaidah tersebut. Adapun kaidah
di dasarkan kepada al-quran dan hadits, sebagai berikut:

Al-Quran Surat Ali Imran ayat 145.

Artinya: sesuatu yang berjiwa/nyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin
Allah, pada waktu yang telah ditentukan; dan barangsiapa yang ingin pahala
dunia, Kami akan beri kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa yang
mengharapkann pahala akhirat, Kami akan beri kepadanya pahala akhirat itu;
dan Kami akan membalas mereka yang bersyukur (Moh Rifai dan Rosihin
Abdul Ghoni, 1991: 62).
Al-Quran Surat an-Nisa ayat 100.

Artinya: Barangsiapa yang hijrah di jalan Allah, ia kan mendapatkan


tempat di muka bumi ini untuk berlindung. Barangsiapa pergi meninggalkan
rumahnya untuk hijrah kepada Allah dan Rasul Nya, kemudian ia mati, maka
dia akan diberi ganjaran oleh Allah. Dan Allah Mahapengampun lagi
Mahakekal rahmat Nya (Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991: 86).
5

Ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sesungguhnya telah wajib
menerima pahala hijrah demi kehormatan niatnya. Ayat ini turun (Asbab al-
Nuzul) berkenaan dengan seorang laki-laki yang sudah tua dari suku Khuzaa.
Ketika kaum muslimin menerima perintah hijrah ke Madinah, laki-laki tersebut
dalam kondisi sakit. Kemudian ia meminta kepada keluarganya supaya
menandunya di atas pembaringan dan membawanya kepada Rosulullah Saw.
Kemudian keluarganya mengerjakannya, tetapi sebelum sampai kepada
Rasulullah Saw ia meninggal di daerah Tanim. Kemudian turunlah ayat ini yang
menjelaskan bahwa datangnya kematian sebelum menyelesaikan amal tidak akan
mengurangi pahala sedikitpun dalam pandangan Allah Swt (Abu Muhammad al-
Husain bin Masud al-Baghawi, juz II: 274)

Al-Quran Surat al-Ahzab ayat 5.

Artinya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)


nama bapak-bapak mereka. (panggilan) itulah yang lebih adil di sisi Allah. Maka
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (cukuplah panggilan itu)
saudara-saudaramu seagama dan anak-anak maulamu. Dan tidak ada dosa atas
kamu terhadap apa yang kamu telah (mengerjakannya dengan) salah, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang hatimu sengaja (mengerjakannya). Dan Allah itu
Mahapengampun lagi Mahapenyayang (Moh rifai dan Rosihin Abdul Ghoni:
376)
Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Umar bin Khattab:

:


:









6

(Malik Bin Anas: 983. Ahmad bin Hanbal: 168, 300. Muhammad bin
Ismail Abu Abdullah al-Bukhori: 1, 54, 2529, 3898, 6689, 6953. Muslim bin
Hujaj: 155. Ibnu Majjah: 4227. Abu Daud Sulaiman: 2201. Muhammad bin
Isa Turmudzi: 1647. Abu Bakar Ahmad al-Bazzar: 257. Abu Abdurrahman
an-Nasai: 75, 3437, 3794)
Artinya: Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia
mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya
atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang
ia inginkan itu.
Jamaluddin Abu al-Farj al-Jauzi, dalam kitab Kasyful al-Musyikil min
Hadits al-Shohihain (juz I, hadits no, 34: 84-87), menjelaskan hadits diatas
kedalam 4 bagian, yakni:

a. Diriwayatkan oleh Yahya bin Saiid berjumlah 250 laki-laki, Abi Saiid al-
Khudri, Nuh bin Habib al-Badzsyi, Abu Hurairoh, Ibn Abbas, Ibn Umar,
Muawiyah, namun tidak ada sanad yang shohih kecuali dari Umar.
b. Asbabul wurud hadits ini berkaitan dengan seorang laki-laki Makkah yang
berhijrah ke Madinah karena mengikuti seorang wanita yang ingin
dinikahinya.
c. Keutamaan dan kemuliaan hadits. Abdurrahman bin Mahdi berkata: penting
bagi seseorang yang ingin mengarang kitab, maka hendaklah ia memulainya
dengan hadits ini, oleh karena itu Imam Bukhori mendahului kitab shohih-
nya dengan hadits ini. Imam Syafii menyebutkan bahwa hadits ini masuk
kedalam 70 bab fiqh. Ahmad bin Hanbal berkata bahwa ushul Islam terdiri
,
dari 3 hadits, yakni "
" ,
. Abu Daud al-Sijistani berkata bahwa fiqh terdiri dari 5 hadits,
yakni " " , ,

. Abu Daud berkata, hadits
, ,
Rosulullah Saw yang ditulis sebanyak 500.000 hadits, menurutnya manusia
cukup berpegang teguh pada 4 hadits bagi agamanya, yakni "
" ,

7

" " , "


" , "
.
"
d. Tafsir hadits, lafadz merupakan lafadz yang menunjukkan bahwa niat
merupakan rukun suatu amal, dan telah malum bahwa Rosulallah Saw tidak
bermaksud menafikan amal yang bersifat batin sebab ia dapat diketahui tanpa
dengan niat, adapun maksudnya adalah niat merupakan penentu sah atau
tidaknya suatu perbuatan syariat. Lafadz berarti menyengaja
sesuatu, dan berubahnya suatu kehendak. Lafadz merupakan
taukid dari lafadz yang pertama

Muhammad bin Husain al-Ajari berkata, hadits ini berkaitan dengan hijrah
Rosullah dari Makkah ke Madinah yang diwajibkan bagi muslimin Makkah yang
hendak berhijrah, mereka mengajak keluarga berserta para karib kerabat untuk
berhijrah menuju ridho Allah. Namun, ada seorang laki-laki muhajirin yang tidak
berniat untuk mengharapkan ridho Allah dan Rosul, melainkan ia berniat untuk
menikahi wanita-wanita yang ikut berhijrah, laki-laki tersebut disebut dengan
Muhajir Umm Qoys (Ibn Bathol Abu al-Hasan, VII: 165).

Hadits diatas menjadi dasar hukum disyariatkannya niat dalam setiap


perbuatan mukallaf yang menentukan sah atau batalnya perbuatan tersebut.
Namun, kenapa para ulama menggunakan teks qaidah , padahal teks
hadits tersebut adalah , ada 2 alasan kenapa para ulama menggantikan
teks hadits tersebut, yaitu:

Pertama, lafadz dan menurut sebagian ulama merupakan


lafadz am (umum) yang mencakup ucapan dan perbuatan, namun ada pula
sebagai ulama lainnya yang menyatakan bahwa, lafadz merupakan lafadz
khas (khusus) yang menunjukkan pada perbuatan saja, tidak mencakup ucapan.
Sehingga para ulama menggantikannya dengan lafad yang di dalamnya tidak
hanya mencakup perbuatan saja, tetapi juga ucapan.

Kedua, para ulama memberikan beberapa persyaratan dalam niat, sehingga


niat merupakan lafadz yang lebih khusus daripada kata ( tujuan), oleh karena
8

itu para ulama mengganti lafadz kepada lafadz karena ia merupakan


lafadz yang lebih umum daripada lafadz niat.

Pada kalimat , terdapat lafadz mahdzuf (terbuang) yang tidak


akan sempurna tanpa lafadz tersebut, yakni lafadz yang menjadi mutaallaq dari
jar majrur huruf ba. Para ulama fiqh mentaqdirkan lafadz mahdzuf kedalam tiga
pendapat. (Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, VIII: 3860.
Taqiyyuddin Abu al-baqa Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz bin Al-Futuhi,
IV: 455).

1. Lafadz , asal kalimatnya adalah yang berarti sahnya


amal adalah tergantung pada niatnya, pendapat ini dipegang oleh ulama
jumhur.
2. Lafadz , asal kalimatnya adalah yang berarti sempurnanya
amal adalah dengan niat. Mereka berpendapat bahwa sebagian amal itu
terkadang mencakup niat didalamnya, seperti dalam hal memenuhi hak-hak
untuk membayar hutang dan sebagainya
3. Lafadz , asal kalimatnya adalah yang berarti
pertimbangan suatu amal adalah sesuai dengan niatnya, pendapat ini dipegang
oleh al-Qorofy.

Hadits dari Amr bin Auf.





:

" :


"
(Maktabah al-Syamilah, Ahmad binal-Husain bin Ali bin Musa al-
Khusronujirdi al-Khorosani Abu Bakar al-Baihaqi, I, 179: 67)

Hadits dari Anas.


9






))
(( : :

Hadits ini merupakan hadits dhoif, disebabkan adanya beberapa sanad


yang cacat, yakni Yusuf bin Athiyah, Ubaidillah bin Muhammad al-Halbi, dan
Abu Hanifah al-Wasithi. Hadits ini ditakhrij oleh al-Baihaqi bab Syubu al-Iman
(5/343), al-Qodhoi dalam kitab Musad al-Syihab (1/119), al-Askari bab al-
Amtsal kitab Kasyfu al-Khifa (2/430). Ibn Dahiyah berkata hadits ini tidak shohih,
al-Baihaqi berkata sanad hadits ini dhoif, dan Hafidz Ibn Hajar menyatakan hadits
ini dhoif dalam kitab musnad al-Syihab bab Syubu al-Iman (5/343), Fathu al-
Bari (4/219), Fawaidal-Majmuah (h 250),Aun al-Mabud (2/335). (Maktabah al-
Syamilah, Shodruddin al-Ashbahani, II, 665:743)
2. Syarat Niat

Jumhur ulama, menjadikan niat sebagai rukun yang menentukan sah atau
batalnya suatu ibadah. Namun, dalam pelaksanaan niat terdapat beberapa syarat
yang harus terpenuhi sehingga niat seorang mukallaf dianggap sah. Para ulama
berbeda-beda dalam menetapkan persyaratan dalam niat, Abu Muhammad Sholih
bin Muhammadbin Hasan Ali Umayyar al-Asmiri dalam kitabnya Majmuah al-
Fawaidh al-Bahiyah ala Mandzumah al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (juz I: 35),
menjelaskan bahwa suatu niat bisa sah jika memenuhi syarat berikut:

a. Islam, apabila orang kafir berniat untuk bertaqorrub dan ikhlas, maka niatnya
tidak sah.
b. Tamyiz, orang yang hilang akal dan anak kecil yang belum tamyiz. Madzhab
Hanbali membatasi tamyiz pada umur tujuh tahun berdasarkan hadits Nabi
Saw:

:




c. Mengetahui apa yang diniatkannya (manwiy). Bagi seseorang yang berniat,
maka dia disyaratkan mengetahui apa yang akan diniatinya, sehingga tidak sah
jika orang tersebut tidak mengetahui apa yang akan dia niatkan.
10

d. Tidak mengerjakan sesuatu yang menghalangi sahnya perbuatan tersebut.


Contohnya, jika seorang muslim berniat hendak melaksanakan sholat, namun
kemudian dia murtad sebelum melakukan apa yang diniatkannya tersebut,,
maka amal ataus sholatnya tersebut menjadi fasid.

Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah


wa al-Nadzhair (35-38) sependapat dengan Umayyar Samiri dalam persyaratan
niat seperti diatas. Muhammad Mustofa al-Zuhaily dalam kitabnya al-Qowaid al-
Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-Madzahib al-Arbaah (juz I: 64), mensyaratakan
niat dengan beberapa hal, yakni: tamyiz, mengetahui apa yang diniatkan, tidak
adanya sesuatu yang menghalangi, dan menambahkan niat untuk ibadah.

3. Rukun

Dalam pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada


manwi (objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati
adalah menghilangkan penghalang sholat seperti hadats. Lain lagi dengan sholat;
dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan
tertentu yang di mulai dengantakbir dan di akhiri dengan salam.

Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda
tergantung status shalat yang dikerjakan.

a. Apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus
terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Tayin dan niat fardlu
b. Apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan
sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul
fiil dan Tayin
c. Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah
Qashdul fiil. (http://fikihilmiah.blogspot.co.id/2012/01/bab-ii-pembahasan-
al-umuru-bi.html, diakses padajam 23.00 tanggal 01 Oktober 2017).

C. Sebab-Sebab disyariatkan Niat/ Maqashid

Menurut al-Suyuti, yang paling penting dari disyariatkannya niat adalah


untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan. Selain itu, juga untuk
mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah, seperti wudhu dan ghusl (mandi) dapat
11

diartikan sebagai membersihkan diri (tandzhif), mencari kesegaran (tabarrud),dan


ibadah. Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang
membatalkan puasa, dapat diartikan sebagai hammiyah (kesehatan badan),
berobat, dan karena tidak ada yang memerlukannya. Demikian pula, duduk
dimasjid dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan barang kepada orang lain
dapat berarti sebagai hibbah, menyambungkan tali sialaturaahmi, atau karena
maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub) seperti zakat, sodakoh, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat
bertujuan untuk makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini, niat
disyariatkan untuk membedakan antara yang taqarrub dan yang bukan.

Setiap ibadah, seperti wudhu, gushl (mandi), salat, dan saum (puasa)
kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nadzar, dan nadb (sunnah).
Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, adalah cara pelaksaaannya
sama. Karena inilah, niat disyariatkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan
ibadah.

Muhammad Hasan Abdul Ghofar dalam kitab al-Qowaidh al-Fiqhiyyah


bayna al-Aholih wa al-Taujih (juz II: 8) menjelaskan beberapa hal tentang
pentingnya niat, yakni:

1. Sebagai pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan. Praktik ibadah


sebagian besar merupakan kegiatan atau pekerjaan yang sudah menjadi adat
kebiasaan. Contohnya adalah mandi, mungkin saja seorang suami yang telah
menjima istrinya atau ihtilam kemudian ia mandi janabah, dan dimungkinkan
juga dikarenakan cuaca yang panas kemudian ia mandi untuk menyejukkan
badannya. Berdasarkan kedua kemungkinan tersebut, diketahui bahwa mandi
bisa menjadi suatu ibadah, atau juga bisa merupakan suatu adat kebiasaan,
sehingga untuk membedakan antara ibadah dan adat adalah dengan mengetahui
niat atau maksud orang tersebut melakukan mandi.
12

2. Pembeda antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain, yakni antara ibadah
fardhu, sunnah, nadzar, atau kafarat. Sebagai contoh, jika seseorang hendak
melaksanakan sholat dzuhur dengan niat sunnah maka yang mejadi hukum
adalah solat sunnah dzuhur,dan dia tidak dianggap melaksanakan sholat fardhu
dzuhur.
3. Merubah adat kebiasaan menjadi ibadah. Tidur merupakan bentuk kegiatan
adat kebiasaan yang mubah, namun jika tidurnya orang muslim diniatkan untuk
dapat bangun melaksanakan sholat malam, maka setiap detik, jam, dan nafas
yang keluar mendapatkan pahala. Hal ini sebagaimana qaidah yang
dikemukakan oleh Ibn Masud:

!
4. Membedakan antara mana ucapan dan dilalah ucapan. Contohnya seorang
suami berkata kepada istrinya, pergilah kamu ke keluargamu!, jika suami
berniat mentalak istrinya, maka terjadilah talak, namun jika tidak berniat, maka
tidak terjadi talak.
5. Bertaqarrub kepada Allah. Niat menjadi penentu antara suatu yang ihlas,dan
amal ria.

D. Pembagian Maqashid

Niat terbagi kedalam beberapa bagian,yakni:

1. Pembagian niat berdasarkan takid (penguat) atau tidaknya takid terbagi


kedalam dua macam, yaitu:
a. Niat muakkadah (penguatan). Jika seseorang bersumpah, berkata, demi
Allah aku tidak naik mobil hari ini. Apabila ia berniat yang dimaksud
dengan mobil adalah semua macam mobil, maka niatnya menjadi penguat
lafadz yang ia ucapkan, hal ini karena lafadz yang dia ucapkan merupakan
lafadz umum yang mencakup semua macam mobil dan niatnya mencakup
makna lafadz yang dia ucapkan tersebut. Hal ini berdampak pada masalah
13

kifarat, jika ternyata dia menaiki mobil tertentu, maka dia diwajibkan
kifarat.
b. Niat Mukhosis (pengkhususan). Jika orang yang bersumpah diatas berniat
mengkhususkan kendaraan yang dinaiki, seperti mobil angkot, maka
niatnya tersebut mengkhususkan lafadz yang dia ucapkan tersebut.
Sehingga jika dia naik mobil damri maka dia tidak wajib kifarat.
2. Pembagian niat ditinjau dari maksudnya suatu amal, ada dua macam,yaitu:
a. Niat sebagai penetapan hukum suatu perbuatan, artinya niat tersebut
menjadi suatu yang harus ada pada amal tersebut sehingga amal itu
dianggap sebagai ibadah, dan jika tanpa niat maka amalnya menjadi batal.
b. Niat sebagai fadhilah amal, artinya walaupun suatu pekerjaan tersebut
dilakukan tanpa ada niat, maka tidak mempengaruhi sah atau batalnya amal
tersebut. Contohnya adalah niat membersihkan najis pada pakaian.
3. Pembagian niat ditinjau dari wujudnya pekerjaan (hakikat) dan tidak adanya
pekerjaan (hukmiyat), yaitu:
a. Niat hakiki, yakni niat yang wujud perbuatannya benar-benar dilakukan
oleh seseorang, niat ini yang menjadi syarat awal suatu ibadah.
b. Niat hukmiyah, yakni suatu niat yang dihadirkan dan ditetapkan oleh
seseorang, namun perbuatannya tidak dilakukan. Seperti niat puasa ketika
ia akan tidur.
E. Kaidah-kaidah yang masuk dibawah Kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
aplikasinya
1. Kaidah-kaidah

Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan kaidah , yakni:

a.

Artinya: Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-


mata kata-kata dan ungkapannya.

Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini


untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya
14

adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah,
tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.

b.

Artinya: Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada
di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada
dalam hati).

Sebagai contoh, apabila hati niat wud, sedang yang diucapkan adalah
mendinginkan anggota badan, maka wudnya tetap sah.

c.

Artinya: Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat
dalam keseluruhan yang dikerjakan.

Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan
rukunnya.

d.

Artinya: Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah
haji dan 'umrah).

Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:

1) Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru


mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
2) Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib
membayar dam.
3) Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat
dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara
ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas.
15

Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing


harus dilakukan dengan niat tersendiri.

e.

Artinya: Setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari
yang asal karena semata-mata niat).

Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia
berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik.
Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan
minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya,
karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.

f.

Artinya: Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat
orang yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di
hadapan qadi.

Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi.
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naar, shalat,
sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang
mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu
maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat
fardhu atau shalat sunnah.

g.

Artinya: Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.

Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu


"wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya.
16

Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam
hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya
niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia
untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

h.

Artinya: Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'm, tidak menjadikan


'm lafaz yang kas.

Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang
bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tidak akan mau berbicara dengan
manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu.

Contoh: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal
serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari orang lain.
Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan
minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai
melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya
dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

i.

Artinya: pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan


kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan
membatalkan amal.

kaidah fikih yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal
yang menuntut kejelasan niat, kesalahan berimplikasi terhadap batal amal
tersebut.

j.
17

Artinya: Sesuatu amal yang niatnya harus dipastikan secara garis besar,
tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata
salah, maka membahayakan sahnya amal.

Contoh seorang yang berniat menjadi makmum dari imam bernama Bayu,
pada hal imamnya bernama Wisnu, maka solatnya menjadi batal, sebab yang
wajib baginya hanya tayin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi
tidak diwajibkan tayin secara terinci, yaitu menentu siapa nama imamnya. Jika
demikian, solatnya dianggap batal dan tidak sah.

k.

Artinya: Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk


dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci,
kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak
membahayakan (sahnya amal).

Melalui kaidah fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat
bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan
hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa
yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah
secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara
sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan
yang tidak mempunyai kaitannya dengan sholat.

Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya


shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya
dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan
itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan
sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya
dengan shalat

2. Aplikasi
18

Abdul Hamid Hakim dalam kitab al-Bayan (2008: 63) menyebutkan


bahwa kaidah ini berkaitan kedalam beberapa hukum, yakni bab ibadah,
Muamalah, Munakahat, dan Jinayat. Aplikasi kaidah ini dalam hal ibadah
diantaranya pada masalah wudhu dan mandi fardu atau sunnah, begitu juga dalam
hal macam-macam sholat, fardu ain, kifayah, rowatib, sunnah, qashr, jama,
menjadi imam, mamum. Puasa fardu, sunnah,itikaf, haji, dan umroh.

Muhammad Mustofa al-Zulaihi (juz I: 65-72) mengaplikasikan kaidah al-


umur bi Maqasidiha kedalam 26 contoh, diantaranya:

a. Tanggungan dan kepemilikan harta, kaidah ini berlaku pada beberapa


permasalahan seperti jual beli,perdagangan, akad damai, dan hibbah, apabila
seseorang yang hendak mentasharufkan hartanya, maka proses pentasarufan
tersebut sesuai dengan niat seseorang tersebut, apabila orang tersebut berniat
mentasarufkan hartanya untuk hibbah, maka hukum yang terjadi adalah hibbah,
bukan jual beli,wakaf atau hukum lain yang berlainan dengan niatnya.
b. Perwakilan, apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk membeli sesuatu,
maka si wakil tentu akan membeli sesuatu yang diperintahkan muwakil, namun
terdapat beberapa permasalah dalam hal ini: (a) jika membeli sesuatu tersebut
dengan niat bahwa barang tersebut diberikan kepada muwakil atau dengan
biaya dari muwakkil, maka sesuatu tersebut akan menjadi milik muwakkil, (b)
jika si wakil berniat membeli untuk dirinya sendiri atau dengan biaya sendiri,
maka seseuatu yang diberli tersebut menjadi milik si wakil. Namun, jika kedua
orang tersebut (wakil dan muwakkil) berdusta dalam niat, maka sesuatu yang
diberli tersebut akan menjadi milik orang yang memiliki ongkos/ biaya, karena
adanya biaya menunjukkan bahwa orang yang memiliki biaya tersebut berniat
untuk membeli sesuatu tersebut untuk dimilikinya.
c. Penjagaan, yakni dalam hal kepemilikan sesuatu yang mubah, salah satu syarat
untuk dapat memiliki sesuatu adalah dengan adanya niat. Apabila seseorang
menaruh wadah disuatu tempat untuk menampung air hujan, maka kepemilikan
air yang berada di wadah tersebut ada 2 kemungkinan, yakni: (a) apabila
sipemilik wadah tersebut dengan sengaja menempatkan wadah tersebut untuk
19

menampung air hujan, maka akan menjadi miliknya; (b) jika sipemilik wadah
tidak ada niat untuk menampung air hujan pada wadah yang ia tempatkan,
maka ia bukan pemilik air hujan yang terkumpulkan tersebut, dan jika ada
orang lain mengambil air yang tertampung diwadah, maka dia berhak untuk
memilikinya.
d. Tanggungan dan amanah, misalnya dalam hal luqotoh, apabila multaqith
berniat untuk menjaga barang luqotoh yang ia temukan, maka barang tersebut
menjadi amanah baginya, namun jika multaqith berniat untuk memiliki bagi
dirinya sendiri, maka hal tersebut termasuk kedalam ghosob.
e. Siksa, seperti qishos, pelaksanaan qishos bergantung pada maksud dan tujuan
si pelaku untuk membunuh.
f. suami berkata kepada istrinya, kamu bagiku seperti punggung ibuku. Apabila
berniat mendzihar istri, maka hal tersebut menjadi dzihar, namun, jika ia
berniat untuk memuliakan, maka ucapannya merupakan memuliakan, jika
berniat talaq, maka yang menjadi hukum ucapan tersebut menjadi talak bagi
suami terhadap istri.
g. Seseorang berkata, ambillah uang ini. Apabila ia berniat bertabarru (berbuat
baik), maka hal tersebut menjadi hibbah, namun, jika tidak ada niat tabarru
maka menjadi pinjaman yang harus dikembalikan.
BAB III

KESIMPULAN

A. Makna kaidahal-Umur bi Maqashidiha adalah bahwa sahnya segala perbuatan


tergantung pada niatnya, kepentinngannya niat sebagai penentu sah atau
batalnya suatu ibadah.
B. Dalil kaidah al-umur bi maqoshidiha adalah al-Quran Ali Imran ayat 145, an-
Nisa ayat 100, al-Ahzab ayat 5. Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Umar.
Syarat niat adalah Islam, berakal, mengetahui apa yang diniatkan (manwi), dan
dimaksudkan untuk ibadah. Adapun rukunnya adalah kondisional bergantung
pada apa yang diniatkannya, namun secara umum niat terdiri dari qashdu dan
fili. Niat terbagi kedalam beberapa hal, yakni: ditinjau dari muakkadah dan
mukhoshis, lilmaqoshid dan fadhilah, hakiki dan hukmiyah.
C. Kaidah al-Umur bi Maqoshidiha berlaku kedalam semua bidang fiqh, sehingga
dalam pelaksaannya terdapat beberapa kaidah-kaidah yang termasuk kedalam
kaidah al-umur bi maqoshidiha tersebut, adapun macam-macam kaidah dan
aplikasinya sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.

20
21

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Hakim, 2008, al-Bayan, Jakarta,Sadiyah Putra.


Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud. Maktabah al-Syamilah
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Maktabah al-Syamilah
Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqad, 1989, kitab Syarh al-Qowaidal-
Fiqhiyyah, Darul Qolam, Damaskus.
Ashbahani, Shodruddin, at-Thuyuriyat. Maktabah al-Syamilah.
Baghawi, Abu Muhammad al-Husain bin Masud, Tafsir al-Baghawi. Maktabah
al-Syamilah.
Baihaqi, al-Khorosani, al-Sunan al-Kubro lil al-Baihaqi. Maktabah al-Syamilah.
Bazzar, Abu Bakar Ahmad, Bahru al-Zukhor Musnad al-Bazzar: Maktabah al-
Syamilah.
Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al, Sohih Bukhori. Maktabah al-
Syamilah.
Hasan Abdul Ghofar, Muhammad, al-Qowaidh al-Fiqhiyyah bayna al-Aholih wa
al-Taujih. Maktabah al-Syamilah.
Ibn Bathol Abu al-Hasan, Syarh Shohih Bukhori. Maktabah al-Syamilah.
Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah. Maktabah al-Syamilah.
Jauzi, Jamaluddin Abu al-Farj, Kasuful al-Musyikil min Hadits al-Shohihain.
Maktabah al-Syamilah.
Malik Bin Anas, Muwatho. Maktabah al-Syamilah.
Mardawi, Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman, Tahbir Syarh al-Tahrir fi
Ushul Fiqh. Maktabah al-Syamilah.
Moh rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991, Al-Quran dan Terjemahnya,
Semarang
Muhammad Mustofa al-Zuhaily, al-Qowaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-
Madzahib al-Arbaah. Maktabah al-Syamilah.
Muslim bin Hujaj, Shohih Muslim. Maktabah al-Syamilah.
Nasai, Abu Abdurrahman, Sunan al-Sughro li an-Nasai. Maktabah al-Syamilah.
Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin, al-Asybah wa al-Nadzhair.
Maktabah al-Syamilah.
Taqiyyuddin Abu al-Baqa Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz bin Al-Futuhi.
Maktabah al-Syamilah.
Turmudzi, Muhammad bin Isa, Jamiul Kabir Sunan Turmudzi. Maktabah al-
Syamilah.
Umayyar al-Asmiri, Abu Muhammad Sholih bin Muhammad bin Hasan Ali,
Majmuah al-Fawaidh al-Bahiyah ala Mandzumah al-Qawaidh al-
Fiqhiyyah. Maktabah al-Syamilah.
Zuhaily, Muhammad Mustofa, al-Qowaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-
Madzahib al-Arbaah. Maktabah al-Syamilah.

Anda mungkin juga menyukai