Anda di halaman 1dari 9

BAB II

ISI

A. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari  bahasa Arab yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat
Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh
sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa
tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya. Tindakan memberi
fatwa disebut futya atau ifta,suatu istilah yang merujuk pada profesi  pemberi nasihat. Orang
yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut
mustafti.
Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain
dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang
difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
peristiwa itu. Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang
bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara
lain adalah:
1) Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
2) Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah
dan  bohong.
3) Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar
tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
4) Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran

B. Pengertian Mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan
yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang

1
sebenarnya. Orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai
kemampuan untuk menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam.sebagai orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam kedudukannya sebagai
orang yang member jawaban atas pertanyaan orang awam,ia di sebut mufti.
Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah dalam
firmannya :
Bertanyalah kepada para ahlinya jika kamu tidak mengetahuinya.
(al-Anbiya’:7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada orang yang sudah terkenal
keahliannya dan keadilannya. Jika orang yang dimintai fatwanya belum dikenal
keahliaannya, cukuplah kirannya menurut penilaian kemasyhurannya oleh orang banyak.
Kewajiban seorang mufti (yang dimintai fatwa) ia memberikan fatwa , bila dimintainya ia
tidak diperkenankan menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak memberikan
fatwa dibenci oleh Rasullullah saw. Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang artinya ;
“Barang siapa ditanyai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia bakal dikendalikan
pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka”.(HR.Abu daud dan at-turmudzi).
Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan
taqririyah
2) Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya
3) Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
4) Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab
5) Mengetahui nasakh, mansukh dan hukum-hukumnya
6) Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu
7) Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya
8) Mengetahui ijtihad
9) Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil
10) Mengetahui cara mentarjih
11) Harus orang yang dipercaya dan jujur dan
12) Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an
dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia),
sabar tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.
2
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan
syarat_syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang muft, sebagaimana
dikutip oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:

1) Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, bukan
untuk sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan,
kekuasaan dan sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT
akan memberinya  petunjuk dalam melaksanakan tugasnya.
2) Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak
cepat marah dan tidak suka menyombongkan diri.
3) Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan
hidupnya kepada orang lain. Dengan hidup berkecukupan itu ia dapat memperdalam
ilmunya, dapat mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-
Nya, sukar dipengaruhi  pendapatnya oleh orang lain.
4) Hendaklah seorang Mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan
hukumnya harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan
perubahan- perubahan dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan
kegoncangan dalam
5) Masyarakat, sekaligus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan
Rasul- Nya.

C. Kedudukan Fatwa dalam Hukum islam di Indonesia


Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan
jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang
kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para
mufti atau para mujtahid. Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum
ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali
dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab
fatwa seperti:
az-Zakhirat al-Burhaniyah,
kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan
fatwa pertama. Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk
al-Mi'yar al-Magrib
3
yang  berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga
memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan
Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada  juga
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama. Berkaitan dengan kedudukan
fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak
mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada
peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-
dalil yang jelas dan benar.

D. Pengertian Yurisprudensi
Dalam bidang ilmu hukum tata negara, secara umum, Jimly Asshiddiqie merumuskan ada
tujuh macam sumber hukum tata negara yaitu:
(a) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis;
(b) Undang-undang dasar, baik pembukaannya maupun pasal-pasalnya;
(c) Peraturan perundang-undangan tertulis;
(d) Yurisprudensi peradilan;
(e) Konvensi ketatanegaraan atau constitusional conventions;
(f) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi ius commisionis opinio doctorum;
(g) Hukum internasional yang telah diratifikasi atau telah berlaku sebagai hukum kebiasaan
internasional.
Sumber hukum merujuk kepada pengertian tempat dari asal muasal suatu nilai atau norma
tertentu berasal, sedangkan dasar hukum ataupun landasan hukum, merupakan norma hukum
yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah,
atau dapat dibenarkan secara hukum. Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam dua
pengertian dalam arti formal atau formele zin (sources of law in its formal sense) atau in
materiele zin (source of law in material sense). Sumber hukum dalam arti formal dapat
didefinisikan sebagai tempat formal dalam bentuk tertulis dari mana suatu kaidah hukum
diambil, sedangkan sumber hukum dalam arti materil adalah tempat dari mana norma itu
berasal, baik dari arti tertulis maupun tidak tertulis.

4
Sedangkan menurut J.A. Prontier, pertama-tama adalah penting adalah untuk mengetahui
sumber-sumber hukum apa yang digunakan hakim. Dalam doktrin, sebagai sumber hukum
formal dan mandiri hanya diakui: traktat dan undang-undang (sumber-sumber dari hukum
tertulis), dan yurisprudensi dan kebiasaan (sebagai sumber-sumber dari hukum tidak tertulis).
Di dalam praktik hukum juga digunakan pengertian hukum yang “lebih luas”. Yang juga
dipandang sebagai sumber hukum: asas-asas hukum (rechtsbeginselen), tuntutan kehati-
hatian kemasyarakatan (eisen van maatschappelijke zorgvuldigheid), moral dan kesopanan
(fatsoen), kewajaran atau kemasuk-akalan (redelijkheid) dan kelayakan (billijkheid, fairness),
dan itikad baik (goede trouw).
Menurut Surojo Wignjodipuro, Apeldoorn tidak membenarkan menyebut yurisprudensi
sebagai sumber hukum. Biasanya Arrest-Arrest Hoge Raad itu dijadikan pedoman oleh
hakim-hakim bawahan sebab ini adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kasasi.
Lama kelamaan Arrest Hoge Raad tersebut merupakan hukum objektif. Jadi terang disini
berdasarkan kebiasaan dianggap sebagai keyakinan hukum umum. Jadi jelas bukan
merupakan sumber hukum tersendiri11. Berbeda dengan itu, Bellefroid tidak dapat
membenarkan pendapat Apeldoorn. Bellefroid mengatakan bukan kebiasaan sebab tidak
timbul karena kebiasaan tetapi didesak atau terdesak (takut di kasasi) dari atas. Seorang
hakim tidak terikat oleh keputusan hakim lain. Apabila terjadi bahwa keputusan suatu hakim
senantiasa dijadikan pedoman keputusan hakim-hakim lain terhadap peristiwa hukum tertentu
yang sama, maka lahir hukum yang berlaku umum yang disebut Hukum Yurisprudensi. Made
Darma Weda menyatakan dalam common law system, yurisprudensi tidak dikenal, dengan
dasar bahwa seluruh ius non scripta (hukum tidak tertulis) terjalin melalui putusan
pengadilan, yakni melalui judge-made law. Secara harafiah memang yurisprudensi tidak
dikenal dalam tradisi common law, namun secara esensial, apa yang dimaksud dengan
yurisprudensi dalam tradisi civil law memiliki identifikasi kesamaan maksud dengan doktrin
stare decisis dalam tradisi common law. Sebagai suatu pedoman istilah yurisprudensi di
Indonesia harus dibedakan dengan istilah Jurisprudence dalam bahasa Inggris yang berarti
ilmu hukum. Istilah yurisprudensi dalam pengertian hukum di Indonesia dapat disamakan
dengan jurisprudentie di Belanda atau istilah serupa dalam bahasa Perancis yaitu
jurisprudence15. Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi
sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
tahun 1991/1992, telah dikumpulkan beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:
1) Yurisprudensi yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto);
5
2) Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh
pengadilan (Kamus Pockema Andrea);
3) Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan MA dan
keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi
keputusan dalam soal yang sama (Kamus Pockema Andrea)16;
4) Yurisprudensi diartikan sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan
dipertahankan oleh Peradilan (Kamus Koenen endepols);
5) Yurisprudensi diartikan sebagai pengumpulan yang sistematis dari putusan
MA dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-
hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa (Kamus Van
Dale); f. Pendapat R. Subekti, Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim
atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh MA sebagai pengadilan
kasasi, atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap (constant)17.
Mahadi menguraikan arti yurisprudensi bukan keputusan-keputusan hakim, bukan pula
sebagai “rentetan-rentetan” keputusan, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-
keputusan hakim. Mahadi menyatakan umumnya yusrisprudensi dimaksudkan sebagai
rentetan keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang serupa.
Lebih lanjut ia menyamakan yurisprudensi dengan istilah “ijma” dalam hukum Islam.
Sebagaimana dikemukakan Juynboll (1930), “ijma” yaitu “de overeenstemmende meening
van alle in zaker tijdperk levende moslimssche geleerden”, yang artinya pendapat yang
bersamaan di antara para ahli yang ada pada suatu masa. Surojo Wignjodipuro yang
menyatakan jika putusan hakim terhadap persoalan hukum tertentu menjadi dasar keputusan
hakim-hakim lain, sehingga keputusan ini menjelma menjadi putusan hakim yang tetap
terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu dimaksud, maka hukum yang termuat di dalam
keputusan semacam itu dinamakan hukum yurisprudensi.

E. kedudukan Yurisprudensi dalam hukum di Indonesia

Yurisprudensi sekalipun memiliki fungsi yang penting namun tidak memiliki kedudukan
hukum yang jelas di Indonesia, baik dalam tataran teori dan praktik. Bismar Siregar
mengemukakan meskipun secara historis Indonesia mempunyai kedekatan keluarga dengan
sistem hukum civil law melalui jaman penjajahan Belanda, namun belum ada pengertian baku
mengenai apakah yang dimaksud dengan yurisprudensi itu. Menurut Jimly Asshiddiqie
kendati kedudukan yurisprudensi adalah sedemikian penting namun peranan yurisprudensi

6
belum mendapat perhatian yang cukup, baik dalam pengajaran hukum maupun dalam praktik
hukum, karena disebabkan beberapa faktor yakni:
Pertama, sistem pengajaran hukum kurang sekali menggunakan putusan hakim atau
yurisprudensi sebagai bahan bahasan, yang disebabkan:
1) pengajaran hukum lebih menekankan penguasaan pengertian umum hukum, bersifat
abstrak dalam bentuk generalisasi teoritik belaka;
2) sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama hukum yang berlaku, dan
kurang memperhatikan pengertian atau tafsiran baru atas ketentuan peraturan
perundang-undangan melalui yurisprudensi;
3) publikasi yurisprudensi sangat terbatas sehingga tidak mudah untuk didapat dan
dipelajari/dibahas;
4) kebijakan penelitian hukum yang memberi ke lapangan fasilitas untuk penelitian
putusan hakim atau yurisprudensi.

Sebagai suatu wujud penemuan hukum, dasar yang biasa dijadikan rujukan bagi
lahirnya yurisprudensi adalah Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Maksud
yang terkandung dari pasal itu adalah agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Ketentuan ini berkaitan dengan asas iura curia novit. Edward
Simarmata menguraikan adanya beberapa fungsi yurisprudensi, yaitu: (a) menciptakan
standar hukum (to settle law standard); (b) menciptakan kesatuan landasan hukum yang sama
(unified legal framework) dan kesatuan persepsi hukum yang sama (unified legal opinion);
(d) menciptakan kepastian hukum; (e) mencegah terjadinya disparitas putusan pengadilan.
Senada dengan pendapat M. Yahya Harahap tersebut di atas, Jazim Hamidi dan Winahyu
Erwiningsih menyatakan secara lebih spesifik bahwa yurisprudensi selain sebagai sumber
hukum, dalam dunia peradilan mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: (1) Menegakkan
adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang sama atau serupa, dimana
undang-undang tidak mengatur hal itu; (2) Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat
dengan adanya standar hukum yang sama; (3) Menciptakan adanya kesamaan hukum serta
sifat dapat diperkirakan (predictable) pemecahan hukumnya; (4) Mencegah kemungkinan
terjadinya disparitas perbedaan dalam berbagai putusan hakim pada kasus yang sama,
sehingga kalaulah terjadi perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lain dalam

7
kasus yang sama, maka jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai
variabel secara kasuistik. (5) Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa yurisprudensi
adalah manifestasi penemuan hukum27.

BAB III

PENUTUP

Fatwa berasal dari  bahasa Arab yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat
Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh
sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa
tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya. Tindakan memberi
fatwa disebut futya atau ifta,suatu istilah yang merujuk pada profesi  pemberi nasihat. Orang
yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut
mustafti.
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan
yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang
sebenarnya. Orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai
kemampuan untuk menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam.sebagai orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam kedudukannya sebagai
orang yang member jawaban atas pertanyaan orang awam,ia di sebut mufti.
stilah yurisprudensi dalam pengertian hukum di Indonesia dapat disamakan dengan
jurisprudentie di Belanda atau istilah serupa dalam bahasa Perancis yaitu jurisprudence
. Mahadi menyatakan umumnya yusrisprudensi dimaksudkan sebagai rentetan
keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang serupa. Lebih lanjut
ia menyamakan yurisprudensi dengan istilah “ijma” dalam hukum Islam.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah, Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006.


Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html
Mubarak   , Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005 Taufik
Hidayat,Racmat dkk., Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000.
https://www.academia.edu/37716398/MAKALAH_FATWA
https://media.neliti.com/media/publications/277129-none-20dbdb16.pdf

Anda mungkin juga menyukai