Anda di halaman 1dari 2

BAB 8

Evaluasi dan Prediksi Zakat di Indonesia


Perkembangan mutakhir jagat perzakatan nasional Indonesia, perlu di kritisi demi mencapai
titik optimal pengelolaannya. Situasi dan kondisi dinamis kenegaraan dan praktik keislamana di
Indonesia, perlu ijtihad terbaik yang mengapresiasi perkembangan diranah publik (masyarakat sipil)
agara kemaslahatan pengelolaan zakat benar-benar optimal.
Zakat modern : Profesionalisme membangun kepercayaan
Secara empiris, pengelolaan zakat oleh pemerintah sangat tergantung aspek kepercayaan
publik. Disebagaian besar negara muslim kontemporer, birokrasi secara umum dipersepsikan korup
dan lemah, sehingga keperceyaan publik kepada pemerintah cenderung rendah. Hal ini melemahkan
upaya penghimpunan zakat oleh institusi pemerintah. Di sebagian besar negara muslim yang sekuler,
pembayaran zakat bersifat tidak wajib. Dinegara seperti ini dimana peran pemerintah dan pengelolaan
zakat tidak berjalan, masyarakat sipil kemudian mengambil alih tanggung jawab ini. Hal ini terjadi di
Indonesia. Bahkan ditangan masyarakat sipil inilah pengelolaan zakat ini mengalami kebangkitan. Di
era baru inilah kita melihat penghimpunan dana zakat meningkat pesat dengan diikuti oleh
pendayagunaan yang semakin efektif dan produktif. Zakat kemudian bertransformasi dari ranah amal
sosial individual ke ranah ekonomi pembangunan keummatan.
Menguji kinerja zakat
Sebuah riset yang dilakukan IMZ tahun 2010 bertajuk “Analisis dampak distribusi zakat
terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia”, terdapat beberapa fakta menarik yang perlu digali
bersama. Penelitian dilakukan terhadap penerima manfaat dari 8 OPZ di Indonesia yaitu BAZNAS,
BAZIS DKI Jakarta, Baitul Maal Muamalat, Dompet Dhuafa, Dompet Peduli Ummat-Darut Tauhid,
Pos Keadilan Peduli Ummat, Rumah Zakat, dan Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia.
Penelitian yang dilakukan pada periode April-Juli 2010di Jabodetabek ini membuktikan bahwa zakat
yang dikelola secara profesional, mandiri dan amanah, mampu meningkatkan pendapatan mustahik
sehingga sehingga berada diatas garis kemiskinan menurut standar pemerintah.
Insiden kemiskinan atau banyaknya jumlah keluarga miskin diukur denga menggunakan
Headcount Ratio Index (H). Indeks ini digunakan untuk melihat berapa jumlah keluarga miskin yang
hidup ddibawah garis kemiskinan. Apabila nilai dari index headcount ini berkurang, berarti
pendayagunaan zakat mampu mengurangi jumlah mustahik yang hidup dengan pendapatan dibawah
garis kemiskinan. Adapun standar garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
standar garis kemiskinan (GK) Provinsi DKI Jakarta yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Untuk tahun 2010, garis kemiskinan ini nilainya sebesar Rp 331.169/kapita/bulan. Angka ini
kemudian dikonversi kedalam standar garis kemiskinan rumah tangga menjadi Rp
1.556.494,30/rumah tangga/bulan.
Hal yang perlu menjadi evaluasi dalam program pendistribusian zakat adalah penentuan atau
penetapan kriteria sasaran mustahik. Dengan nilai index headcount sebesar 0.491 bermakna bahwa
dari seluruh mustahik yang diamati, hanya 49,1 persen yang dikatergorikan miskin berdasarkan
kriteria BPS, sedangkan 50,9 persen tidak dikatergorikan miskin menurut kriteria BPS. Kemudian
dari sisi tingkat kedalaman kemiskinan, sebelum terjadi pendistribusian zakat, jarak antara rata-rata
pendapatan rumah tangga miskin mustahik dengan garis kemiskinan adalah Rp 442,384.20. Dengan
adanya zakat, jarak ini dapat diperkecil menjadi Rp 422,076.30. Penurunan angka sebesar 4.69 persen
ini mengindikasikan bahwa program pendayagunaan zakat terbukti mampu mengurangi tingkat
kedalaman kemiskinan.
Wajah organisasi pengelola zakat di Indonesia
Pada kurun waktu Oktober-November 2011, IMZ telah melakukan survei mengenai kinerja
organisasi dan manjemen dari lembaga zakat di Indonesia. Tujuan survei mengetahui : eksistensi dari
OPZ-OPZ yang sudah berdiri di Indonesia, kekuatan penghimpun zakat masing-masing OPZ, dan
keefektifan program pendayagunaan masing-masing OPZ secara nasional. Landasan aktivitas survei
ini, UU No.14 Tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik yang menyatakan bahwa badan
publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yaitu sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN
dan atau APBD atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau selurah dananya bersumber
dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri.
Sementara lembaga zakat aadalah lembaga yang pendanaannya bersumber dari sumbangan
masyarakat, terlebih BAZ yang juga mendapatkan APBN/APBD, maka dapat disimpulkan bahwa
lembaga zakat adalah badan publik yang memiliki kewajiban menyajikan informasi publik secara
terbuka kepada masyarakat lain.
Prediksi Zakat di Indonesia
Sejatinya, perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia menunjukkan arah yang
menggembirakan walaupun masih mengalami polemik mengenai kerangka hukum pengelolaan zakat.
Perkembangan institusi dan pengeloaan zakat di tanah air memberikan beberapa catatan tersendiri.
Pertama, dari aspek hukum, DPR secara resmi mengesahkan RUU Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS)
menjadi UU No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (UU PZ). Kedua, dari aspek tata kelola
yang baik, pemisahan fungsi yang jelas antara regulator pengawas dan operator zakat, menjadi hal
yang penting untuk peningkatan kapasitas operator dan kepercayaan publik. UU menempatkan
Kemenag sebagai regulator dan pengawas, sedangkan BAZNAS sebagai operator.

Anda mungkin juga menyukai