Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ONTOLOGI HUKUM ISLAM”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu
Ali Yasmanto,M.H.I

Disusun Oleh:
Nama : Ganes Biger Berlian M (102200083)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Ontologi Hukum Islam” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Bapak Ali Yasmanto,M.H.I pada mata kuliah Filsafat Hukum
Islam.Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
“Ontologi Hukum Islam” bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Yasmanto,M.H.I.
selaku dosen mata kuliah Filsafat Hukum Islam yang telah meberikan tugas
penulisan makalah ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
bidang yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya dalam mencari sumber informasi dan referensi sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo,8 September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi Hukum Islam
2. Macam-macam Sumber Hukum Islam
a) Al-Qur’an
b) As-Sunnah
c) Ijtihad
d) Ijma’
e) Qiyas
3. Obyek Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Ruang Lingkup Hukum Islam

BAB III PENUTUP


KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran
tentang sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang
suatu konsep dan tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi
merupakan kajian filsafat untuk mencari hakekat kebenaran sesuatu.
Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pemahaman secara ontologis berarti membahas kebenaran suatu fakta
secara mendalam.
Ontologis hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau
bagian-bagian yang dikenal dengan kajian pembidangan hukum Islam dan
kajian geografis hukum Islam. Hukum Islam adalah sistem hukum yang
mempunyai beberapa istilah yang mesti dijelaskan yaitu fikih, syariat, dan
hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ontologi Hukum Islam?
2. Apa macam sumber hukum Islam ?
3. Bagaimana Obyek Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Ruang Lingkup
Hukum Islam ?

C. Tujuan Masalah
4. Untuk mengetahui pengertian Ontologi Hukum Islam.
5. Untuk mengetahui macam-macam sumber hukum Islam.
6. Untuk mengetahui Obyek Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Ruang
Lingkup Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Ontologi Hukum Islam
Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran tentang
sesuatu realita yang ada. Ontologi memberikan penjelasan tentang suatu konsep dan
tentang sesuatu yang ada. Secara sederhana ontologi merupakan kajian filsafat
untuk mencari hakekat kebenaran sesuatu. Ontologi membahas realitas atau suatu
entitas dengan apa adanya. Pemahaman secara ontologis berarti membahas
kebenaran suatu fakta secara mendalam.
Ontologis hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau
bagian-bagian yang dikenal dengan kajian pembidangan hukum Islam dan kajian
geografis hukum Islam. Hukum Islam adalah sistem hukum yang mempunyai
beberapa istilah yang mesti dijelaskan yaitu fikih, syariat, dan hukum Islam.1
1.2 Macam-Macam sumber hukum Islam
A. Al-Qur’an
Secara etimologi, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan”
atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca.
Sedangkan secara terminologi al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir melalui malaikat
Jibril dari mulai surat Al-Fatihah diakhiri surat An-Nas dan membacanya
merupakan ibadah. Muhammad Ali ash-Shabuni mendefi nisikan Al-Qur’an
sebagai berikut:
Al-Qur’an adalah fi rman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan
Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak
dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi
Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya
tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk al-Qur’an.

1
Muhammad Hefni, Trend Ontologis dan epistimologis kajian Hukum Islam, Jurnal al-Ahkam, Vo l
. 8 No .1 De s emb e r 2 01 3, (Pamekasan: Pascasarjana STAIN Pamekasan), 339
Al-Qur’an merupakan sumber filsafat hukum Islam yang abadi dan asli, dan
merupakan sumber serta rujukan yang pertama bagi syari’at Islam, karena di
dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
B. As-Sunnah
As-Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti yang sama,
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa
ucapan, perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan sangat tipis sekali,
as-Sunnah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
saja, sedang Al-Hadits disandarkan bukan saja kepada Nabi Muhammad SAW.
akan tetapi kepada para sahabat Nabi. As-Sunnah merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al-Qur’an, dasar pokok as-Sunnah sebagai sumber hukum.
C. Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad berarti dalam Bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd
yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akththaqat (kesanggupan
dan kemampuan). Ijtihad berarti juga “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata
“ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Adapun
pengertian ijtihad secara terminologi dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Abu Zahrah, ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih
akan upaya kemampuannya dalam upaya menginstibathkan hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya. Bila
penelusuran itu tanpa diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu
ijtihad.
b. Yusuf Qardhawi, Ijtihad adalah merupakan semua kemampuan dalam
segala perbuatan, guna mendapatkan hukum syara’ dan dalil terperenci
dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan).
c. Al-Ghozali, Ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh Mujtahid dalam
mencari pengetahuan tentang hukum syara’.
D. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd,
sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).Ahmad Hanafi
berpendapat, Ijma’ ialah kebulatan pendapat Fuqoha Mujtahidin pada suatu masa
atas sesuatu hukum sesudah masa Rasulallah SAW.Dan merupakan salah satu dalil
syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil
nash (al-Qur’an dan Hadits).
E. Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti ukuran, atau diartikan mengetahui ukuran
sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Seperti
ungkapan “saya mengukur penjangnya kertas itu dengan penggaris”. Adapun secara
terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul
mengenai qiyas, yaitu sebagai berikut:
1. Muhammad Abdul Gani menyebutkan; Qiyas ialah, menghubungkan
sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan
suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena diantara keduanya
terdapat pertautan (persoalan) ’’illat hukum.
2. Sadr al-Syari’ah, dari golongan ahli ushul Mazhab Hanafi menyebutkn;
Qiyas yaitu memberlakukan hukum ashl kepada hukum furu’ disebabkan
kesatuan ‘‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
3. Muhammad Hudlari Beik mengemukakan: Qiiyas ialah memberlakukan
ketentuan hukum yang ada pada pokok (ashl) kepada cabang (persoalan
yang tidak disebutkan ) karena adanya pertautan “illat keduannya.
4. Mayoritas ulama’ Syafi ’iyah mendefinisikan qiyas dengan; Qiyas ialah,
membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum
bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik
hukum maupun sifat.
5. Abdul Wahab Khalaf menyebutkankan bahwa; Qiyas menurut ulama’
ushul ialah; Qiyas adalah, menyamakan hukum atas kejadian-kejadian baru
yang belum ada nash hukumnya dengan kejadian-kejadian yang telah ada
nash hukumnya, dalam hal berlakunya hukum nash karena adanya ‘illah
hukum yang sama di antara kedua kejadian itu.
1.3. Ruang Lingkup Hukum Islam Dan Obyek Kajian Filsafat Hukum Islam
Pembahasan filsafat Hukum Islam tidak terlepas dari persoalan ontologi
atau hakikat hukum Islam epistemologi hukum Islam yakni berupa sumber dan cara
memperoleh sumber hukum Islam, dan aksiologi yakni nilai, tujuan, dan penerapan
hukum Islam. Kesemuanya itu hal-hal penting sebagai obyek kajian filsafat Hukum
Islam. Secara tegas Roscou Pound, menerangkan bahwa pembahasan filsafat
hukum adalah tujuan hukum, penerapan hukum, dan pertanggungjawaban hukum.
Sehingga dengan pembahasan hukum Islam dimaksud, pandangan hukum Islam
bersifat teleologi, yakni terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat,
dijamin dapat diwujudkan. Inilah yang membedakan antara hukum Islam dan
hukum manusia yang hanya menghendaki kedamaian di dunia saja.
Para ahli ushul telah mewujudkan falsafah tasyrik sebagai sumber sumber hukum.
Para ahli fikih telah berusaha menyingkap falsafah hukum dari materi-materi
hukum itu sendiri. Oleh karenanya falsafah hukum Islam dibagai menjadi dua
bagian:
1. Filsafat Tasyri’: filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya
dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan penetapan
tujuan hukum Islam. Dapat dibagai menjadi:
a. Daim ahkam (dasar-dasar hukum Islam),
b. Mabadi ahkam (kebenaran inheren)
c. Ushul ahkam (pokok-pokok hukum Islam),
d. Maqasid Ahkam (Tujuan-tujuan hukum Islam)
e. Qawaid ahkam (kaidah-kaidah hukum Islam)
2. Filsafat Syari’ah: filsafat yg diungkapkan dari materimateri hukum Islam, dari
ibadah, muamalah, jinayah, ‘uqubat dan sebagainya. Filsafat ini bertugas
membahas hakikat dan rahasia hukum Islam.
1. Asrar al-Ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)
2. Khasa’is al-Ahkam (ciri-ciri khas hukum Islam)
3. Mahasin Ahkam (keutamaan-keutamaan hukum Islam)
4. Tawabi’ ahkam (karakteristik hukum Islam)
Sebagian ahli ushul, manganggap semua falsafah ini sebagai dasar-dasar
pembinaan hukum. Olehnya itu mereka menggunakan istilah tasyri’.
Secara ontologi, hukum Islam (dalam makna fikih) dikenal dengan kajian
pembidangan hukum Islam dan kajian geografis hukum Islam. Kajian pembidangan
hukum Islam adalah hukum amaliyah yang mempunyai dua ruang lingkup besar
pembahasan, meliputi:
1) bidang ibadah, adalah tata cara manusia melakukan kewajiban sebagai
hamba dan berhubungan dengan Tuhan-Nya, seperti tentang sholat,
zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan ibadah haji. Apabila dihubungkan
dengan hukum taklifi (ahkamul khamsah) maka hukum asal ibadah
adalah haram, Artinya di bidang ibadah ini tidak berlaku modernisasi
dalam prosesnya secara hukum kecuali alat-alat yang digunakan dalam
pelaksanaannya.
2) Mu’amalah, yakni berhubungan dengan ketetapan Tuhan yang lansung
berhubungan dengan kehidupan sosial manusia. Terbatas pada apa-apa
yang pokok saja. Begitupun dengan penjelasan Nabi SAW yang juga
tidak rinci. Sehingga terbuka sebagai lapangan untuk berijtihad.
Sehingga apabila dihubungkan dengan hukum taklifi (ahkamul
khamsah) maka hukum asal mu‟amalah adalah kebolehan Artinya
semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah, boleh saja
dilakukan asala saja tidak ada larangan untuk melakukan perbuatan itu.
Seperti akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat (pidana), dll.
Hukum muamalah ini pun juga sudah bercabang-cabang sesuai dengan hal-
hal yang berhubungan dengan mu‟amalah manusia, sebagaimana terkandung
dalam al-Qur‟an:
1) Hukum keluarga (hukum perkawinan dan waris) : 70 ayat
2) Hukum perdata (hukum perikatan) : 70 ayat
3) Hukum ekonomi dan keuangan : 10 ayat
4) Hukum pidana : 30 ayat
5) Hukum tata negara : 10 ayat
6) Hukum internasional : 25 ayat
7) Hukum acara dan peradilan : 13 ayat
Hukum Islam tidak sama dengan hukum Barat yang membagi hukum
kepada hukum privat dan hukum publik. Dalam hukum Islam yang perdata
sesungguhnya terdapat pula segi hukum publik begitu pula sebaliknya. Itulah
sebabnya hukum Islam itu tidak dibedakan kedua bidang hukum publik dan perdata.
Misalnya, munakahat, waris, jinayat dll.
Apabila ingin dipisah juga seperti sistematika hukum Barat, maka susunan
hukum mu‟amalah secara luas dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum perdata Islam adalah:
a) Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, peerceraian dan serta sebab akibatnya.
b) Wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dan pembagian warisan.
Hukum kewarisan Islam ini juga dikenal dengan fara‟id.
c) Muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan
dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual
beli, sewamenyewa. Pinjam meminjam. Perserikatan dan
sebagainya.

2) Hukum publik (Islam) adalah:


d) Jinayat yang memuat aturanaturan mengenai perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukuman, baik berupa jarimah hudud,
maupun jarimah ta‟zir.
e) al- Ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik
pemerintahan pusat maupundaerah, pajak dan sebagainya,
f) Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama dan negara lain,
g) Mukhasamat, mengatur soal peradilan , kehakiman, dan hukum
acara.
Muhammad Abu az-Zarqa’ menyebutkan cakupan (ruang lingkup) hukum
Islam meliputi hukum akidah, hukum ibadah, hukum keluarga, hukum mu’amalah,
hukum jinayah, hukum tata negara, hukum antar negara dan hukum adab sopan
santun.
Pembidangan hukum Islam sebagaimana pembagian ayat-ayat alQur‟an
tersebut adalah sama dengan pembidangan (objek kajian) atau ruang lingkup
hukum Islam yang dibuat oleh Muhammad Akram Laldin dengan membagi atas
dua kategori besar yakni fikih ibadah dan fikih mu’amalah atau fikih al-‘adah.
1. Fikih ibadah merangkum pengaturan rukun dan syarat dalam pelaksanaan ibadah
baik sholat, puasa, zakat dan haji.
2. Fikih Mu‟amalah atau fikih al-‘adah mengatur relasi manusia dengan manusia
sebagai makhluk sosial maupun makhluk Allah sebagai khalifah di muka bumi.
Lapangan fikih mu‟amalah ini berkembang pesat karena merupakan penefsiran
kontekstual terhadap masalahmasalah duniawi. Fikih Mu‟amalah ini meliputi:
a. Al-ahwal al-Syakhshiyyah (hukum keluarga), yaitu bidang hukum yang
membahas masalah keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, perceraian dan
hadhanah.
b. Al-ahkam al-muamalah (hukum dagang), maksudnya muamalah dalam arti
sempit yaitu hukum yang terkait dengan transaksi keuangan (hukum
dagang) antara seorang dengan orang lain, baik perseorangan maupun badan
hukum.
c. Fiqh al-iqtisad (hukum keuangan negara), yaitu bidang hukum yang
mempelajari sumber keuangan negara, pengelolaan keuangan negara,
kebijakan ekonomi makro termasuk pengaturan mengenai lembaga
keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi.
d. Al-ahkam al-qada‟wa turuq al-ithbat (hukum administrasi dan acara di
pengadilan), yaitu bidang hukum yang mempelajari tentang prosedur
beracara di pengadilan.
e. Al-ahkam al-dhimmi wa al-musta‟min (hukum mengenai hak orang bukan
Islam dalam Negara Islam)
f. Al-ahkam al-siyasah (hukum pemerintahan), yaitu bidang hukum yang
membahas bagaimana sistem pemerintahan Islam bisa terbentuk seperti
pembentukan konstitusi negara, tata cara pemilihan pemimpin negara, dll.
g. Al-ahkam al-jinayah (hukum pidana), yaitu bidang hukum yang membahas
tentang tindak pidana (jarimah) beserta hukumannya.
Tujuh objek kajian hukum Islam dalam bidang mu‟amalah di atas
menunjukkan bahwa wacana hukum Islam sangat berkembang dalam seluruh aspek
kehidupan. Ketujuh objek kajian atau ruang lingkup hukum Islam tersebut dapat
dirangkum dalam lima kategori besar yang sering kita kenal di Indonesia yaitu fikih
munakahat (perkawinan), fikih mu’amalah (ekonomi dan perdagangan), fikih
jinayah (pidana), fikih siyasah (pemerintahan), dan fikih siyar (hukum
internasional). Fikih aliqtisad (hukum keuangan negara), Al-ahkam al-dhimmi wa
al-musta‟min (hukum mengenai hak orang bukan Islam dalam Negara Islam), dan
alAhkam al-qada‟ wa turuq al-ithbat (hukum acara) dapat dimasukkan ke
pembahasan fikih siyasah.
Ulama kontemporer menambah objek kajian hukum Islam dengan fiqh
jender, fiqh al-thib (kesehatan), fiqh al-faniyah,(kesenian), fiqh ekologi
(lingkungan), dan fiqh al-ijtimâ’iyah (sosial). Di samping pembagian sesuai dengan
pembidangan tersebut.
Kajian hukum Islam dari segi geografis, yaitu hukum Islam mengenai
kajian global, kawasan, dan lokal. Dalam kajian global seperti mengkaji hukum
Islam di belahan dunia Islam dan kajian kawasan seperti mengkaji Islam di kawasan
dunia Islam, seperti Asia Tenggara. Timur Tengah, dan sebagainya. Sedangkan
dalam kajian lokal, seperti mengkaji hukum Islam di komunitas, suku bangsa, atau
dalam geografi adaptasi ekologi tertentu.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Ontologi adalah satu cabang filsafat yang mengungkap kebenaran
tentang sesuatu realita yang ada. Hukum Islam adalah sistem hukum
yang mempunyai beberapa istilah yang mesti dijelaskan yaitu fikih,
syariat, dan hukum Islam. Ontologis hukum Islam di sini adalah objek
kajian hukum Islam atau bagian-bagian yang dikenal dengan kajian
pembidangan hukum Islam dan kajian geografis hukum Islam.
2. Macam-macam Sumber Hukum ada 5,yaitu : Al-Qur’an,As-
Sunnah,Ijtihad,Ijma’,Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hefni, Trend Ontologis dan epistimologis kajian Hukum Islam,


2013,(Pamekasan: Pascasarjana STAIN Pamekasan).

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah hukum Islam,Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1996

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam.

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi,

Indah Purbasari, Hukum Islam sebagai Hukum Positif di Indonesia, (Malang: Setara Press,
2017).

Abdullah Siddik al-Haji, Inti Dasar Hukum Dagang Islam, Jakarta: Balai Pustaka, 1993

Muhammad Hefni, Trend Ontologis dan epistimologis.

Anda mungkin juga menyukai