Anda di halaman 1dari 15

URF SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

URF SEBAGAI SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

A. Pengertian Urf
Secara etimologi Kata Urf berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim
Zaidan,istilahn urf berarti:

Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan
Istilah Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adah(adad
istiadat).
Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefenisikan
dengan:

sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tampa adanya hubungan rasional
Defenisi ini menujukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulan-ulang
menurut hukun akal, tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu
mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan
seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau permasalahan
yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik
dan yang buruk.
Adapun urf menurut ulama ushul fiqih adalah:

Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan
Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa (guru besar Fiqih
Islam Unifersitas Amman ,Jordania) mengatakan bahwa urf merupakan baigian dari adat,
karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan
orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan
alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan
pengalaman.
B. Menjelaskan Dasar Hukum
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang
dikenal banyak menggunakan Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyah dan
kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafiiyah.
Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat
perbedaan pendapat diantara mazhab-mazhab tersebut, sehingga Urf dimasukkan kedalam
kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.

Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan , antara lain :
Surat al-araf ayat 199:
{ uqy9$# D&ur $9$$/ r&ur `t=gpg:$#

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf (al-urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf 199)
Kata al-Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh
Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif
ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang
diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum,
bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
C. Macam-macam Urf
Para ulama ushul fiqih membagi urf kepada tiga macam yaitu:
1. Dari segi objeknya, urf dibagi kepada, al-urf al-lafzi ( kebiasaan yang menyangkut
ungkapan),dan al-urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. al-urf al-lafzi ( )adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. al-urf al-amali ( )adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau muamalah keperdaan. Yang dimaksut perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat
dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu muinggu, kebiasaan masyarakat tertentu
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam
memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarat dalam melakukan
akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli
bahwa barang-barang yang dibeli itu di antarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila
barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari dan peralatan rumah tangga lainya.
2. Dari segi cakupannya, urf terbagi dua yaitu al-urf al-am (kebiasaan yan bersifat umum)
dan al-urf al-khash ( kebiasaan yang bersifat khusus).
1. al-urf al-am ( )adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan
untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serap, termasuk dalam jual
harga, tampa akad sendiri dan biaya tambahan.
2. al-urf al-khash ( ) adalah kebiasaan ang berlaku didaerah dan di masyarakat tertentu.
Misalnya, dikalangan para pedangang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
dikembalikan barang tersebut, atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu
3. Dari segi keabshannyadari pandangan syara, urf terbagi dua yaitu al-urf al-shahih(kebisaan
yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak)
a. al-urf al-shahih ( ) adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash ( ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka,
dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya: dalam masa pertunangan pihak
laki-laki memberi hadia kepada pihak wanita dan hadia ini tidak di anggap sebagai mas kawin.
b. al-urf al-fasid ( ) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syaradan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara. Contohnya adalah dalam penyuapan. Untuk
memenangkan perkaranya, seseorang mnyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk
kelancaran urusan yang dilakukan seeorang ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang
menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-urf al-fasid.
D. Mendeskripsikan Kedudukan Atau Kehujjahannya
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau
dalil dalam Islam adalah urf yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Adapun
kehujjahan urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a. Firman Allah dalam surat Al-Araf (7): 199
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
maruf. Maruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
1. Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Masud berkata:

Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang
dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.
Ungkapan Abdullah bin Masud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik
yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam,
merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut
untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan urf antara
lain sebagai berikut :

Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.

Yang berlaku berdasarkan urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.



Semua ketentuan syara yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya dan tidak
juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada urf.
Oleh ulama Hanafiyyah, urf itu didahulukan atas qiys khaf (qiys yang tidak
ditemukannya illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam artiurf itu
men-takhshs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikanurf yang hidup di
kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.Ulama Syfi`iyyah banyak
menggunakan urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun
dalam penggunaan bahasa. Berikut ini beberapa contoh penerapan urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak
akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar
sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan urf, kata daging ( )tidak diartikan dengan kata
ikan ().
Adapun contoh lainnya dalam penggunaan urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan
baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dimaafkan, atau tentang ukuran timbangan
yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang lainnya
berkenaan masalah urf.
E. Syarat-Syarat Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum Syara apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1. Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum
dan khusus.
2. Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3. Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti
apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang
kirim barang, sementara urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim,
maka dalam kasus seperti urf tidak berlaku.
4. Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut
tidak bisa diterapkan. Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara karena
kehujjahan urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi.
F. Menguraikan Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang Urf
Ada beberapa kaidah Fikhiyyah yang menurut kami berhubungan dengan urf. di
antaranya adalah:
1. Adat itu adalah hukum ()
2. Apa yang ditetapkan oleh syara secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga
tidak ada dalam bahasa maka ia dikembalikan kepada urf
( ) .
Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
(199 )
Suruhlah orang mengerjakan yang maruf serta berpalinglah dari orang bodoh.
3. Tidak dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat (
)
4. Yang baik itu jadi urf seperti yang disyaratkan jadi syarat ()
5. Yang ditetapkan melalui urf seperti yang ditetapkan melalui nash
()
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan
Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui urf itu sendiri
G. Mengapresiasi Implikasi Perubahanurf
Hukum-hukum yang berdasarkan urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan urf
pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Oleh para fuqaha mengatakan mengenai
perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi
disebabkan perbedaan urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
Sebagai contoh di dalam mazhab Syafii dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam
Syafii. Hal ini disebabkan perbedaan urf di lingkungan tempat tinggal Imam SyafiI sendiri.
Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :


b.


Suatu hukum brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu,
dan lingkungan.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku
serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman.
Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum
yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qathi yang telah ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat,
puasa, zakat, pengharaman riba, dan sebagainya.
Hukum yang dapat berubah karena urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu
Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali
pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian
baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi
tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak
dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan
pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya
mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.
A. Pengertian Urf
Arti Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telahdikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya.[1] Menurut kebanyakan
ulamaUrf dinamakan juga Adat, sebab perkara yang telah dikenal itu
berulang kali dilakukan manusia. Para ulama ushul Fiqih membedakan
antara Adat dengan Urf dalam kedudukannya sebagai dalil untuk
menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan:

Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional


Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat
yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.
Dengan demikian Urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana berlaku dalam
kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman. Yang
dibahas ulama Ushul Fiqih dalam kaitannya dengan dalil dalam menetapkan
hukum syara adalah Urf, bukan Adat.
B. Macam-Macam Urf
Urf itu dapat dilihat dari obyeknya, dari cakupannya, dan dari keabsahannya.
1. Dari sisi obyeknya, Urf dapat dibagi pada dua macam yaitu:
Al-Urf al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz atau ungkapan tertentu.
Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan arti lain, maka itu bukanlah 'urf.

Al-Urf al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.


2. Dari sisi cakupannya, Urf terbagi kepada dua bagian, yaitu:
Al-Urf al-Aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh
daerah.

Urf al-Khash, yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
3. Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara. dapat dibagi pada dua bagian yaitu:
Al-Urf al-Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan
dalil syara, tiada menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, juga tidak membatalkan
yang wajib.

Al-Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan ketentuan
syariat, karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.

C. Syarat-syarat Urf

Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, dan hakim dalam
memutuskan perkara, disyaratkan sebagai berikut :
a) Urf tidak bertentangan dengan nash yang qathi. Oleh karena itu tidak dibenarkan sesuatu yang telah
menjadi biasa yang bertentangan dengan nash yang qathi.

b) Urf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku.

c) Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian. Oleh karena itu,
orang yang berwakaf harus dibawakan kepada urf pada waktu mewakafkan, meskipun bertentangan
dengan urf yang datang kemudian.

d) Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut dalam Alquran atau hadits.

e) Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannyanash syariah dan tidak mengakibatkan


kemadaratan juga kesempitan[2]
D. Kehujahan Urf
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang kehujahan 'urf.
a) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa 'urf adalah hujah untuk menetapkan hukum.
Mereka beralasan firman Allah:

) :)

Jadilah engkau pemaaa dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada
orang-orang yang bodoh. (QS. Al-Araf: 199)

( ) :
Apa yang di pandang orang-orang muslim baik, maka disisi Allah pun baik

b) Golongan Syafiiyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah atau dalil

hukum syari. Mereka beralasan, ketika ayat ayat Alquran turun, banyak sekali ayat yang
mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. [3]


()

Apabila kita perhatikan penggunaan 'Urf ini, bukanlah dalil yang berdiri
sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-mashlahah al-mursalah, bedanya
kemaslahatan dalam urf ini telah berlaku sejak lama sampai sekarang,
sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah kemashlahatan itu bisa terjadi
pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang
belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqih yang di tulis oleh Prof. Dr. Rahmat SyafiI MA,
disana tertulis bahwa,
Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara tersendiri. Pada
umumnya Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta
menunjang pembentukan hukumdan penafsiran beberapa nash.

D. Qaidah Fiqhiyah dari Urf


Para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan
dengan urf, di antaranya:

Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum

Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat

Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat

Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang ditetapkan dengan nash.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rachmat SyafeI, Prof, Dr. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia,
Cetakan IV, 2010
2. Muhammad Abu Zahrah, Prof. Terjemah Ushul Fiqih, Jakatra, Pustaka Jaya,
2009
3. Abdullah, PDF. Ushul Fiqih, 2010.
Rabu, 5 Februari 2014 10:46:16 WIB
PEDOMAN PENGGUNAAN 'URF DALAM MENETAPKAN HUKUM SYAR'I

Oleh
Ustadz Anas Burhanudin MA

DEFINISI ADAT DAN URF


Adat menurut arti bahasa adalah cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan.[1]
Sedangkan adat istiadat adalah: tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke
generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. [2] Kata
ini berasal dari kata
dalam bahasa Arab dengan arti yang sama.[3]

Adapun menurut istilah agama, para Ulama berbeda ungkapan dalam mendefinisikan adapt. Diantara
definisi yang mereka sebutkan adalah, "Perkara yang terulang-ulang dan dapat diterima oleh akal dan
fitrah yang sehat" [4] Jadi, menurut istilah agama, tidak semua perkara yang terulang-ulang disebut
adat, tapi harus bisa diterima fitrah dan akal sehat.

Adat mencakup kebiasaan individu dan kebiasaan orang banyak. Kebiasaan orang banyak dikenal juga
dengan istilah 'urf ()(. Jadi, istilah adat lebih umum dari 'urf; karena istilah 'urf hanya dipakai untuk
menunjukkan kebiasaan banyak orang banyak saja, dan tidak mencakup kebiasaan individu.[5]
Demikianlah perbedaan antara adat dan 'urf, namun keduanya sama-sama dipakai dan diperhitungkan
dalam menetapkan hukum syar'i. [6]

ADAT DAN URF DIPERHITUNGKAN DALAM AGAMA ISLAM


Agama Islam memperhitungkan adat dan menjadikannya hukum yang berlaku pada perkara-perkara
yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah.[7] Banyak ayat dan hadits yang menunjukkan hal ini, di
antaranya:

1. Firman Allh Azza wa Jalla dalam dua ayat berikut :

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. [al-
Baqarah/2:228]

Dan bergaullah dengan mereka secara ma'ruf. [an-Nis'/4:19]

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kalimat "bil ma'ruf" dalam dua ayat di atas dengan kalimat "sesuai
adat dan kebiasaan yang berlaku di tempat dan masa suami dan isteri berada. Suami memperlakukan
isteri dengan baik, sesuai dengan adat yang dikenal dan berlaku di masyarakat, demikian sebaliknya
perlakuan isteri kepada suami.[8]

2. Firman Allh Azza wa Jalla dalam Surat al-Midah/5 ayat ke-89 :


















Allh tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat
(denda melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak.

Dalam ayat di atas, Allh Azza wa Jalla mensyaratkan bahwa makanan dan pakaian yang diberikan
hendaknya yang sedang-sedang saja dan biasa diberikan kepada keluarga sendiri. Hal ini dikembalikan
kepada kebiasaan yang umum berlaku, karena manusia tidak sama dalam hal ini. Mereka berbeda-
beda sesuai kondisi dan kemampuan mereka.[9]

3. Hadits riwayat al-Bukhari (no. 5364) :












:





(((


)) : (( .

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Hindun binti Utbah berkata, "Wahai Raslullh, sungguh Abu
Sufyn orang yang pelit dan tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang
aku ambil tanpa sepengetahuannya." Maka Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Ambillah secukupnya untuk dirimu dan anakmu dengan ma'ruf."

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjadikan adat dan kebiasaan yang berlaku
sebatas standar batasan nafkah yang berhak diperoleh isteri. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak
menentukan nominalnya. Ini menunjukkan bahwa 'urf bisa diperhitungkan dalam hal-hal yang
batasannya tidak ditentukan syariah. [10]

4. Hadits riwayat Abu Dwud (no. 3569) :

Bahwasanya unta al-Bara' bin 'Azib Radhiyallahu anhu masuk kebun seseorang dan merusaknya. Lalu
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan hukuman bahwa pemilik kebun wajib menjaga
kebunnya di siang hari, dan apa yang dirusak unta di malam hari menjadi tanggungan pemilik unta.
[Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albni t dalam Shahh Sunan Ibnu Mjah no. 2332]

Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam melandaskan hukum Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ini
pada kebiasaan yang umum berlaku bahwa pemilik ternak melepaskan ternak mereka di siang hari
dan tidak melepasnya di waktu malam. Sedangkan pemilik kebun biasanya berada di kebun pada
siang hari saja. Maka barangsiapa menyelisihi kebiasaan ini, berarti ia teleh teledor dalam menjaga
hak miliknya, sehingga laksana orang yang menyimpan hartanya di tengah jalan, maka orang yang
mencurinya tidak dikenai potong tangan. Ini menunjukkan bahwa 'urf diperhitungkan dalam penetapan
hukum ini. [11]

5. Hadits riwayat Ahmad (no. 26716), Abu Dwud (nomor 274 ):










)) :







((





Dari Ummu Salamah isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa seorang wanita mengeluarkan
darah (istihdhah) pada zaman Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam, maka Ummu Salamah
memintakan fatwa untuknya, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab: "Hendaklah ia melihat
jumlah malam dan hari haid dia setiap bulannya sebelum mengalami sakit yang sekarang ini, maka
hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari itu, dan jika sudah selesai, hendaklah dia mandi
kemudian membalutnya dengan kain lalu shalat." [Hadits ini dihukumi shahih oleh al-Albni dalam
Misykat al-Mashbh no. 559]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merujuk kepada jumlah hari haid yang biasa
dialami wanita tersebut sebelum mengalami istihdhah. Ini menunjukkan bahwa adatlah yang dipakai
untuk menetapkan hukum di atas.

Dari keterangan ayat-ayat dan hadits-hadits ini dapat disimpulkan bahwa adat dan 'urf dijadikan
hukum dalam hal-hal yang tidak ada ketentuannya dalam syariah Islam. Empat poin pertama
menunjukkan bahwa adat orang banyak ('urf) diperhitungkan, dan poin terakhir menunjukkan bahwa
adat individu juga dipakai dalam menetapkan hukum syar'i. Karenanya, para Ulama menyebutkan
sebuah kaidah fikih yang agung :

adat itu dijadikan hakim.

Maksudnya, (adapt) dalam pandangan syariah memiliki kekuatan dan menjadi rujukan dalam
menentukan hukum syar'i.[12]

TIDAK SEMUA ADAT (URF) MENJADI RUJUKAN


Di depan telah dijelaskan bahwa agama Islam memperhitungkan 'urf dan menjadikannya hukum yang
berlaku pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan oleh syariah secara detail.[13] Namun
perlu diketahui bahwa tidak semua adat dan 'urf menjadi rujukan. Ada syarat-syarat yang harus ada
pada suatu adat agar bisa menjadi muhakkam, di antaranya :

1. Harus muththarid atau ghalib. Muththarid artinya adat dan 'urf harus konstan, tidak berubah-ubah,
dan menyebar di masyarakat. Adapun ghalib berarti bahwa 'urf itu lebih sering dipakai daripada
ditinggalkan. Adapun jika suatu 'urf tidak terkenal dan tersebar, atau berubah-ubah, atau lebih sering
ditinggalkan, maka ia tidak bisa dijadikan landasan penetapan suatu hukum.

2. 'Urf itu sudah ada dan masih berlaku saat hukum ditetapkan. Jadi jika 'urf belum berlaku saat
penetapan hukum, atau sudah tidak berlaku lagi, maka 'urf itu tidak bisa diperhitungkan dalam
penetapan suatu hukum.

3. Tidak ada persetujuan yang diucapkan atau tertulis yang menyelisihi adapt, jika ada, maka
persetujuan itu yang dipakai. Misalnya, jika kebiasaan pada suatu masyarakat adalah membebankan
biaya pengangkutan barang dagangan kepada pembeli, kemudian suatu ketika pembeli menetapkan
syarat bahwa biaya pengangkutan barang ditanggung penjual lalu penjual setuju. Dalam kasus ini,
adat masyarakat di atas tidak dipakai, dan yang dipakai adalah persetujuan ini.

4. 'Urf tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar'i. Jika dalil menetapkan suatu hukum syar'i, kemudian
adat 'urf yang berlaku di masyarakat menyelisihi hukum tersebut, maka 'urf tersebut tidak dianggap
dan menjadi tidak bernilai. Syarat yang terakhir ini adalah yang terpenting dan disepakati oleh para
Ulama. Dan kesalahan banyak orang pada pemberlakuan suatu adat biasanya terjadi pada syarat ini.

KEBIASAAN YANG TIDAK SEJALAN DENGAN SYARIAT DILARANG


Agama Islam adalah agama yang sempurna. Konsekuensinya, agama ini tidak peru lagi ditambah-
tambah. Tidak ada satu kebaikanpun, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya.
Dan tidak ada satu keburukanpun, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengingatkan umat
beliau untuk waspada terhadapnya.

Sayangnya, seiring dengan perkembangan Islam ada sebagian umat Islam yang lalai akan hakikat ini.
Sebagian kaum Muslimin menciptakan tata cara ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam . Banyak juga yang menciptakan upacara-upacara atau peringatan-
peringatan yang tidak pernah ada pada masa generasi awal umat Islam. Mereka berdalih bahwa hal ini
sudah menjadi adat dan tradisi sudah turun temurun, dan Islam menghormati adat bahkan
memperhitungkannya dalam menetapkan hukum. Merekapun menyebutkan kaidah fikih (

) .
Benarkah dalih mereka ini?

Kalau melihat keterangan para Ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab
mu'malah (yang mengatur hubungan sesama manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak
diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari
haid yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya
yang tidak ada contohnya. Lihatlah pada dalil-dalil pemakaian 'urf di atas! Pemakaiannya tidaklah
seperti yang mereka praktekkan.
Dan sudah diketahui secara umum bahwa hukum asal dalam ibadah adalah semua ibadah tidak boleh
dilakukan, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya. Maka adalah sebuah kesalahan jika ada
orang yang melakukan ibadah yang tidak ada dalil, kemudian saat diingatkan dia mengatakan "Tidak
ada dalil khusus yang melarang hal ini". Dalih seperti ini seharusnya diucapkan dalam bab mu'malah,
yang hukum asalnya adalah boleh, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Dalam bab ibadah,
orang yang memunculkan tata cara ibadah atau hari raya barulah yang harus mendatangkan dalil.
[15]

Di samping itu, adat yang demikian tidak memenuhi syarat untuk dijadikan landasan penetapan
hkkum karena menyelisihi dalil yang melarang adanya cara perkara-perkara baru dalam agama seperti
sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :

Barang siapa mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka
amalan tersebut tertolak. [HR. al-Bukhari, no. 2550 dan Muslim no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu
anhuma]

Dan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:

Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan tersebut
tidak diterima.

Demikian pula sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang lain dari al-'Irbdh bin
Sariyah Radhiyallahu anhu :

Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bidah,
dan setiap bidah adalah sesat.[HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan Ibnu Mjah no. 46,
dihukumi shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahhah 6/238]

PENUTUP
Dengan demikian jelaslah bahwa adat dan 'urf diperhitungkan dalam syariat Islam dan dijadikan hakim
dalam perkara yang tidak diatur ketentuannya oleh agama. Namun tidak semua 'urf diakui, tapi harus
memenuhi beberapa syarat. Syarat terpenting adalah tidak boleh menyelisihi dalil-dalil syar'i. Jelas
pula kesalahan orang yang berlindung dibalik perisai adat untuk melegalkan bid'ah dalam beragama.
Semoga Allh membimbing umat Islam kepada pemurnian sunnah, karena itulah jalan kebangkitan
mereka. Wallahu Ta'ala A'lam.

Referensi:
- al-Mantsr fil Qaw'id, Badruddin az-Zarkasyi, Kemenag Kuwait.
- al-Mu'jamul Wasth, al-Maktabah al-Islamiyyah.
- al-Qaw'id al-Fiqhiyyah, Dr. Abdurrahman al-Abdullathif.
- al-Wajz fi Idhh Qaw'idil Fiqh al-Kulliyyah, Dr. Muhammad Shidqi al-Borno, Muassasah ar-Risalah.
- Fathul Bri, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Darussalam.
- Fathul Qadr, asy-Syaukani, Darul Hadits.
- Mu'jam Maqayisil al-Lughah, Darul Jil.
- Syarh Manzhmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idihi, Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi.
- http://kamusbahasaindonesia.org/

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196]
_______
Footnote
[1]. http://kamusbahasaindonesia.org/adat#ixzz1aqLypiQa
[2]. http://kamusbahasaindonesia.org/adat%20istiadat#ixzz1aqLZUb8O
[3]. Mu'jam Maqayisil al-Lughah 4/182 , al-Mu'jamul Wasth hlm. 635
[4]. al-Qaw'id al-Fiqhiyyah 2/4.
[5]. al-Wajz, hlm. 276
[6]. al-Qaw'id al-Fiqhiyyah 2/6.
[7]. al-Mantsr fil Qawa'id hlm. 356.
[8]. Fathul Qadr 1/351.
[9]. Tafsir Ibnu Katsir 3/173.
[10]. Fathul Bri 9/630.
[11]. Ma'lim as-Sunan 2/241.
[12]. al-Wajz, hlm. 276.
[13]. al-Mantsr fil Qawa'id hlm. 356.
[14]. Lihat: al-Qawa'id al-Fiqhiyyah 2/13-19.
[15]. Syarh Manzhmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idih, hlm. 80

Anda mungkin juga menyukai