Anda di halaman 1dari 32

BAB I.

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah,
yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya
yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun
mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada
dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan
manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara
kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-
nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2)
pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal
yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang
“mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan diantaranya adalah istishhab, ‘urf,
sadduz zariah, qaul shahabi dan syar’u man qablana yang akan dibahas dan diuraikan secara
singkat dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian istishhab dan macam-macam istishhab itu ?
2. Apa definisi ‘urf dalam kajian ushul fiqh, pembagian ‘urf dalam kajian ushul fiqh,
dan syarat-syarat ‘urf yang dijadikan sebagai sumber hukum ?
3. Apa definisi sadduz zariah, jenis-jenis sadduz zariah serta kehujjahannya ?
4. Apa definisi dari qaul shahabi dan bisakah qaul shahabi dijadikan sumber hukum ?
5. Apa definisi istihsan,dan apa saja macam-macam istihsan ?
BAB II
Pembahasan
Dalil-dalil Yang Menjadi Perdebatan Para Ulama

Al-‘Urf
1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan
dengan al-ma‘ruf (‫وف‬ ُ ‫ )ا َ ْل َم ْع ُر‬dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat
kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab
‫ ; َعادَة‬akar katanya: ‘ada, ya‘udu (ُ ‫يَعُ ْود‬-َ‫ ) َعاد‬mengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak
melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

2. Landasan hukum ‘Urf


‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi),
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."  QS. Al-A’raf: 199
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-
ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati.
Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan
kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi
kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang
diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan
perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan
Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi
secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat
kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah).
Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan
ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan
landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

3. Macam-macam ‘Urf
A. Dari segi objeknya
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal
kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi
penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging
sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam
berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh
penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan
rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
B. Dari segi cakupannya
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a. Al-‘urf al-‘am
Adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep
termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah duapuluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khash
Adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya
dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat
dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
C. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah).
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan
yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-
laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.

b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak).


Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-'urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan
yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang
halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh
juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila
jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%.
Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10%
tidaklah memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut
mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran
barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.dan praktik seperti ini
adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan
Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti
ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
Para Ulama sepakat, bahwa al-urf al-fasid ini tidak dapat menjadi landasan hukum, dan
kebiasaan tersebut batal demi hukum.

D. Kedudukan ‘urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan
dengan syari'at. Baik yang menyangkut dengan ‘urf umum dan ‘urf khusus, maupun yang
berkaitan dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara’.
Maslahah Mursalah
1. Pengertian

Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditetapkan secara pasti oleh syari’
untuk mewujudkanya dan tidak ada syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikanya atau
mengabaikanya.

2. Macam-macam Maslahah

Mashlahah al-mu’tabaroh yaitu kemaslahatan yang di dukung syara’ karena adanya


beberapa dalil yang mengacu pada masalah tersebut. Contohnya dalam penggunaan alat yang
akan di gunakan untuk mengqisos, menjaga harta dan nyawa. Mashlahah al-mulghah yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syara’ karena bertentangan dengan syara’. Contohnya
kemaslahatan harta riba untuk menambah kekayaan, kemaslahatan meminum khimar untuk
menghilangkan setres.

3. Contoh

Maslahah yang karna maslahah itu, sahabat menyariatkan pengadaan penjara, atau
mencetak mata uang, atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan
warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilanya.

4. Kedudukan dan kehujjahan maslahah mursalah (jumhur ulama)

Maslahah mursalah sebagai dalil syarak yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu
hukum dengan alasan :

1. kemaslahatas manusia itu selalu baru dan berkembang mengikuti perkembangan


kebutuhan manusia.

2. menurut penelitian bahwa hukum-hukum,putusanputusan,dan peraturan-peraturan yang


dikeluarkan para sahabat, tabi’in,dan para mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
bersama.

5. Pendapat para ulama tentang maslahah mursalah

Imam maliki, adalah ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah dengan
alasan bahwa Allah mengutus Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia, sebagaimana firman
allah surat Al-anbiyya-107.

Imam ahmad, maslahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak
ada nash dan ijma’ .

Imam syafi’i, menolak maslahah mursalah untuk dijadikan sumber hukum, dengan
alasan maslahah mursalah disamakan dengan Istihsan.
6. Syarat-syarat berhujjah dengan maslahah mursalah

~ Maslahah tersebut adalah maslahah haqiqi (sejati) bukan sekedar dugaan. Maksudnya,
membina hukum berdasarkan kemaslahatan itu harus membawa manfaat dan menolak
kemudharatan.

~ Kemaslahatan itu hendaklah kemaslahatan yang umum, bukan perorangan.

~ Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan
oleh nas ataupun ijmak.
Istihsan

A. Pengertian Istihsan

Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu,


sedangkan menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang
mujtahid dari tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi
(samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana
terdapat dalil yang mementingkan perpindahan.

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :

Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hukum


tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan
segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’.
Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri
mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (
umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum
yang lain, maka hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1

B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan


hukum yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena adanya alasan yang
kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud
disini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut
dengan istihsan qiyasi2. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman
kita kepada pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.

Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman
burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk
diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu
dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa
jenis burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan

1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
2
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun
binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air
liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.3

Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan
haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena
adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.

2. Istihsan Istishna’i

Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan


hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu
yang bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang kedua ini disebut dengan
istihsan istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi beberapa
macam yaitu sebagai berikut :

1) Istihsan bi an-Nashsh

Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang


umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh
yang mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.

Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah


berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut
ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap
kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan
umum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam
surah an-Nisa’ (4) : 12 :

Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar


utangnya….4

Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya


puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketenutan
umum, makan dan minum membatalkan puasa, nyatanya ketentuan umum
tersebut dikecualikan berdasarkan hadits 5:

Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa


yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang
memberi makan dan minum kepadanya”.

3
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
4
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp, 2014), an-
Nisa’, (12).
5
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
2) Istihsan Bi al-Ijma’

Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil


qiyas karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari
tuntunan qiyas6. Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istishna’ (
perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran
(obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.

Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang
zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat
mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan
perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat

3) Istihsan bi al-Urf

Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah yang


umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah, menurut ketentuan
umum mentapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul
rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab,
transaksi upah-mengupah harus berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang
dibayar. Akan tetapi melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan
kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan
terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.7

4) Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh adanya


keadaan yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang
mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti contoh menghukumkan sucinya
air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya.
Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya
dengan mengurasnya. Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus
mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis.
Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika
bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut, sehingga air akan tetap
najis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan
istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah dikuras.8

5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah

Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan


hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan
ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslhatan. Misalnya, menetapkan

6
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
7
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
8
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
hukum sahnya wasiat yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang
berada dibawah pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena
berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta
orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan
kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang
tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya
yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi
mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu
tidak menganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu,
ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah pengampunan
dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.9

9
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
Sadd adz-Dari’ah

A. Pengertian Dzari’ah

Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju
sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang
oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim Aj0Jauziyah yang menyatakan bahwa
dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Dengan demikian lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).

B. Sadd adz-Dari’ah

Imam Syatibi mendefinisika dzari’ah dengan : ‘Melaksanakan suatu pekerjaan yang


semula mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kerusakan (kemafsadatan)’.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad adz-dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir
dengan sutau kerusakan.

Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul
(genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya, sehingga ia terhindar dari
kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa)
dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan
tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka
hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib,
sedangkan hibbah adalah sunnah.

Menurut Imam Syatibi, ada tiga kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu
dialarang, yakni :

1) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.

2) Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.

3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengadung lebih banyak unsur kemafsadatan.

C. Macam-Macam Dzari’ah

Para ulama ushul fiqih membagi dzari’ah berdasarkan dua segi, yakni dilihat dari segi
kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan.

1. Dzari’ah dari Segi Kualitas kemafsadatan

a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti (qath’i). Misalnya,
menngali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik
rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan
tersebut dengan disengaja. Perbuatan seperti ini dilarang, karena perbuatan itu dilakukan
dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.

b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya


menggali sumur di tempat yang biasanya tidak member mudharat atau menjual makanan
yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan bagi orang yang memkannya. Perbuatan
seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah
apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada emafsadatan. Sedangkan dalam
kasus ini jarang sekali.

c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti


menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk perang atau paling
tidak untuk membunuh. Selain itu, menjual anggur kepada produsen minuman keras, sangat
mungkin anggur tersebut akan diproses menjadi minuman keras. Perbuatan seperti ini
dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada
kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan larangan terhadap
perbuatan itu.

d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti baiy al-ajal (jual beli dengan harga yang
lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya : jika Ahmad membeli kendaraan
dari kendaraan dari Ali secara kredit seharga 20 juta. Kemudian Ahmad menjual kembali
endaraan tersebut kepada Ali seharga 10 juta secara tunai, sehingga seakan-akan Ahmad
menjual barang fiktif, sementara Ali tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil
tersebut, meskipun mobilnya telah jadi miliknya kembali. Jual beli ini cenderung pada riba.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang
atau diperbolehkan. Meurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan
karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-
mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk
dzari’ah tersebut dibolehkan.

Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh
praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian dzari’ah seperti itu
tidak diperbolehkan. Adapun alasan yang dikemukakan keduanya, yakni :

1) Dalam baiy al-ajal perlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa kepada
perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas prduga yang berat
(galabah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan
praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu
perbuatan yang diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang
suatu perbuatan, berdasarkan kaidah :

.‫دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

“menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan dari pada mengambil


kemaslahatan”.
2) Dalam kasus baiy al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli
karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dan
kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa kepada kemafsadatan.

3) Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya
dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang
diriwayatkan Bukhari-Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita
yang bukan mukhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau
mahramnya.

Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga
semata-ata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa
kepada kemafsadatan. Sehingga menurut mereka pengharaman baiy al-ajal memiliki dasar
yang kuat dalam syari’at islam.

2. Dzari’ah dari Segi Jenis Kemafsadatan yang Ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain :

a. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras
yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.

b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai
jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti
seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa
kembali kepada suami pertamanya (nikah at-tahlil).

Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah kedua bagian di atas terbagi dalam :

1) Kemashlahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya.

2) Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat dari pada kemanfaatannya.

Kedua pembagian inipun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk :

a) Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang
syara’.

b) Perbuatan yang pada dasarnya di bolehkan atau dianjurkan, tetapi ditujukan untuk
melakukan suatu kemafsadatan, seperti nikah tahlil diatas. Pekerjaan seperti inipun dilarang
oleh syara’.

c) Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan
kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki
persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki
Allah SWT.
d) Suatu pekerjaaan yang pada dasarnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk
kemafsadatan, seperti melihat wajah wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim
kemashlahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.

D. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah

Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan


sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima
kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.

Alasan mereka antara lain :

1. Firman Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108

) ١٠۸ : ‫ ( األنعام‬. . . ‫وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم‬

“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.

2. Hadits Nabi SAW, antara lain :

‫ كيف يلعن الرجل والديه؟‬,‫ يا رسول هللا‬: ‫ قيل‬.‫إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه‬

)‫ (رواه البخارى ومسلم وابو داود‬.‫ ويسب أمه فيسب أمه‬,‫ يسب ابا الرجل فيسب اباه‬: ‫قال‬

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya,
Lalu Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci
maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”

Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam
masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I
menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit
dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur.
Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.

Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum
Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan syafi’iyah menerima sad al-
dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-
sekurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.

Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul :

a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang


menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar
perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertamarang karena. Perbuatan ini dilarang
karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya ( akibat ), mislnya seorang muslim mencaci maki sesembahan
orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan
seperti itu dilarang.

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan
akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun
maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari
perilaku maka berlaku kaidah :

‫المعتبر في اوامر هللا المعني والمعتبر في امورالعباداالسم و اللفظ‬

Artinya :

“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”

Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang
ada, maka berlaku kaidah :

‫العبرت في العقود بالمقا صد والماني ال بااللفاط والمباني‬

Artinya :

“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh
dan bentuk formal (ucapan).” (Al-Qarafi, ll : 32)

Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah
niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila
tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada
perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah
Allah saja. Apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan
dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,
maka perbuatanyya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya. (Al-Jauziyyah,
lll : 114, 119, dan IV : 400)

Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum. (Ibnu Hazm, IV : 745- 757)

5. Fath Adz- Dzari’iah

Ibnu Qayyim Aj- Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu
adakalanya dilarang yang disebut sad adz-dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan
diwajibkan ya ng disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk
melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.

Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa


perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai
muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan
yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam melaksanakan kewajiban tersebut
hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah :

‫ما ال يتم الوجب اال به فهو واجب‬

Artinya :

“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun
wajib”.

Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu
pun haram, sesuai dengan kaidah:

‫ما دل عال حرام فهو حرام‬

Artinya :

“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun
haram.”

Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim
atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut
jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut
pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka
tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima sebagai fath ad-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian
Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai
kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum. (Aj-Juhaili: 874).
Qaul Shahabi

1.Pengertian
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah “perkataan”. Sedangkan kata “sahahabi” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi
yang di maksud dengan “Qaulush shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat
nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-
quran dan sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam
setelah urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.
Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya
tidak mencapai derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya,
tidak semua ulama sepakat menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum. Selanjutnya
qaul shahabi secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari
Rasulullah SAW juga. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak
ada nash yang sharih dari Rasulullah SAW
tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan
pendapatnya. Selain itu, qaulush shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum
yang lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para
shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita
untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW
melarang kita untuk begitu dan begitu.

2. Macam-Macam Qaul Shahabi


Menurut pandangan abi Zahrah, fatwa shahabat bisa terdiri dari beberapa macam:
a. Apa yang disampaikan shahabat itu berupa berita yang didengarnya dari rasulullah,
tetapi ia tidak mengatakan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi SAW.
b. Apa yang diberitakan para shahabat itu suatu yang didengarnya dari orang yang pernah
mendengarnya dari nabi SAW, tapi orang tersebut tidak menjelaskan yang didengarnya itu
berasal dari nabi.
c. Sesuatu yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-
ayat al-quran sedangkan shahabat lain tidak memahaminya.
d. Sesuatu yang disampaikan para shahabat itu telah disepakati lingkungannya. Namun,
menyampaikannya hanya shahabat sendiri.
e. Apa yang disampaikan shahabat itu merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil
karena kamapuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafazh.

3. Kedudukan Qaul Shahabi


Mengenai pendapat shahabat terhadap orang-orang sesudah shahabat dapat
diperincikan sebagai berikut :
a. Pendapat shahabat dalam hal yang tidak ditanggapi oleh akal fikiran. Pendapat
semacam ini menjadi hujjah terhadap kaum muslimin, karena yang dikatakannya tidak boleh
tidak berasal dari nabi.
b. Pendapat shahabat yang tidak disalahi oleh shahabat lain. Pendapat semacam ini
menjadi hujjah bagi kaum muslimin, karena pendapat tersebut merupakan ijma’ shahabat.
c. Pendapat shahabat itu hasil ijtihadnya sendiri, sedangkan diantara shahabat ada yang
tidak sepakat dengan pendapat itu. Pendapat shahabat seperti inilah yang diperselisihkan
kehujjahannya dikalangan ulama.

4. Kehujjahan Qaul Shahabi


a. Fatwa shahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya, sehingga tidak dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa syara’ maupun berupa
ketetapan hukum.
b. Fatwa shahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan
ijma’ shahabat. Fatwa seperti ini merupakan hujjah dan mengikuti bagi generasi sesudahnya.
c. Fatwa shahabat secara individu tidak mengikat shahabat lain. Oleh sebab itu, tidak
jarang para mujtahid dikalangan shahabat berbeda pendapat dalam suatu mujadalah.
d. Fatwa shahabat secara individu yang berasal dari hasil ijtihadnya dan tidak terdapat
kesepakatan shahabat tentangnaya.
Kalangan hanafiyah, Imam malik, Qaul qadim syafi’I dan pendapat terkuat dari imam
ahmad bin hanbal menyatakan bahwa pendapat yang dilakukan melalui ijtihad dapat
dijadikan hujjah. Dan apbila terjadi perbedaan dengan qiyas, maka pendapat shahabat yang
didahulukan.
Menurut kalangan mu’tazilah, syi’ah, salah satu pendapat imam ahmad bin hanbal
berpendapat bahwa fatwa shahabat tidak mengikat generasi sesudah mereka. Ada alasan yang
dikemukakan oleh ulama ini diantaranya firman allah SWT, dalam surah Al-hasyar ayat 592
yang artinya “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. Mereka yang berpegang pada pendapat ini beralasan bahwa
shahabat bukanlah termasuk orang yang dijamin ma’sum (terbebas dari dosa dan kesalahan),
sama halnya dengan para mujtahid lainnya.
Imam syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil
yang pasti yaitu al-quran dan sunnah.
Beberapa contoh fatwa shahabat
1. Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2
(dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari dua
tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari.
3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya.
Dalil-Dalil Yang Menjadi Kesepakatan Para Ulama
Al-Qur’an
A. Pengertian Al Qur’an
Al Quran secara bahasa adalah bacaan (‫)القرأة‬. Sedangkan secara istilah ulama banyak
berpendapat adalah :
a. Ulama’ tafsir berpendapat
‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ا َ ْلقُ ْرأ ً ُن ُه َو َكالَ ُم هللاُ ْال ُمن ََّز ُل‬
َ ‫علَى نَبِيِ ِه ُم َح َّم ٍد‬
.‫ا َ ْل َمتْلُوا َ ْل ُمت ََواتِ ُر‬
“Al Qur’an adalah kalamullah Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang
dibaca, secara turun temurun”.
b. Ulama’ ushul dan fiqih berpendapat
‫ان‬
ِ ‫س‬ َ ‫ف بِ ِالل‬ ِ ‫ص ُح ْو‬ ْ ‫ب فِى ْال َم‬ ُ ‫علَى ُم َح َّمد ٍْال َم ْكت ُ ْو‬ َ ‫َكالَ ُم هللاِ ْال ُمن ََّز ُل‬
‫اس ْال ُمتَعَبَّدُ بِتِالَ َوتِه‬
ِ َّ‫ْالعَ َربِي ِ ْال َم ْنقُ ْو ُل اِلَ ْينَا بِالت َّ َوات ُ ِر ْال َم ْبد ُْو ُء بِ ْالفَاتِ َح ِة ْال َم ْخت ُ ْو ُم بِالن‬
“Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf, yang
berbahasa Arab, yang telah dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, yang dimulai dengan Surat Al Fatihah, disudahi dengan Surat An Nas, yang
dengan membacanya sebagai ibadat”.
B. Autentisitas Al-Qur’an
Allah SWT menegaskan bahwa Dia sendiri yang menurunkan al-Qur’an itu dan Dia
juga senantiasa memeliharanya, sebagaimana ditegaskan dengan firman-Nya:
ُ ِ‫اِنَّا نَحْ ُن ن ََّز ْلنَا الذَّ ْك َر َواِنَّالهُ لَ َحاف‬
)9 ‫ (الحجر‬. َ‫ظ ْون‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an itu dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”.
Dengan ayat tersebut nampak bahwa Allah SWT memberikan kemampuan kepada
beberapa umatnya untuk menyimpan didada-dada mereka, artinya mereka memiliki
kemampuan untuk menghafalkannya, sehingga karenanya sulit al-Qur’an dipalsukan atau
dirubah oleh tangan-tangan orang yang zalim yang tidak bertanggungjawab.[4]
‫) َب ْل ُه َو ايت َب ِينتٌ فِى‬48( َ‫َاب ْال ُمب ِْطلُ ْون‬ ُّ ‫ب َّوالَت َ ُخ‬
َ ‫طهُ بِ َي ِم ْينِكَ اِذًالَّ ْرت‬ ٍ ‫َو َما ُك ْنتَ تَتْلُ ْو ِام ْن قَ ْب ِل ِه ِم ْن ِكت َا‬
َّ َّ‫ َو َمايَجْ َحدُ ِبا َ َيا ِتنَا اِال‬.‫واال ِع ْل َم‬
)49( َ‫الظ ِل ِميْن‬ ْ ُ ‫صد ُْو ِرالَّ ِذيْنَ ا ُ ْوت‬
ُ
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu
tidak (pernah) menulis sesuatu Kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu).*Sesungguhnya
al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak
ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim”.
Allah SWT menegaskan bahwa al-Qur’an itu suatu Kitab yang tidak perlu diragukan
lagi, al-Qur’an sendiri menantang bagi mereka yang ragu pada al-Qur’an untuk membuat satu
surat saja yang serupa dengan al-Qur’an, ternyata tantangan tersebut belum pernah dapat
diwujudkan oleh manusia. Tantangan itu termaktup antara lain:
‫ش َهدَا َء ُك ْم ِم ْن د ُْو ِن هللاِ ا ِْن‬ ُ ‫ َوا ْد‬. ‫س ْو َرةٍ ِم ْن ِمثْ ِل ِه‬
ُ ‫ع ْوا‬ ُ ِ‫ع ْب ِدنَا فَأْت ُ ْوا ب‬
َ ‫علَى‬ َ ‫ب ِم َّما ن ََّز ْلنَا‬ ٍ ‫َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم فِى َر ْي‬
‫ (البقرة‬. َ‫َّت ِل ْل َكافِ ِريْن‬ َ ‫اس َو ْال ِح َج‬
ْ ‫ ا ُ ِعد‬,ُ‫ارة‬ ُ َّ‫ار الَّتِ ْي َوقُ ْودُهَا الن‬ َ َّ‫ فَا ِْن لَّ ْم ت َ ْفعَلُ ْوا َولَ ْن ت َ ْفعَلُ ْوا فَاتَّقُواالن‬. َ‫صا ِدقِيْن‬
َ ‫ُك ْنت ُ ْم‬
)24-23
Dan seandainya kamu masih dalam keraguan terhadap apa yang Aku turunkan kepada
hamba-Ku (al-Qur’an) maka buatlah satu surat saja yang serupa dengannya dan minta
bantuanlah kamu pada teman-temanmu bila kamu memang orang yang benar, tetapi
manakala kamu tidak bisa dan tidak akan bisa, maka takutlah kamu pada api neraka yang
bahan bakarnya terdiri dari manusia (durhaka) dan batu-batuan, ia (neraka) itu disediakan
bagi orang yang ingkar.
Kemudian pada surat Yunus ayat 38:
َ َ ‫ع ْوا َم ِن ا ْست‬
َ ‫ط ْعت ُ ْم ِم ْن د ُْو ِن هللاِ ا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬
)38 ‫ (يونس‬. َ‫صا ِدقِيْن‬ ُ ِ‫ قُ ْل فَأْت ُ ْوا ب‬,ُ‫ا َ ْم يَقُ ْولُ ْونَ ا ْفت ََرىه‬
ُ ‫س ْو َرةٍ ِمثْ ِله َوا ْد‬
Atau (patutlah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah (Kalau
benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan
panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika
kamu orang-orang yang benar.
Misalnya lagi tantangan-Nya pada surat al-Isra’ ayat 88:
َ ‫ض‬
.‫ظ ِهي ًْرا‬ ُ ‫االقُ ْران الَ يَأْت ُ ْوا ِب َمثْ ِله َولَ ْو َكانَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم ِلبَ ْع‬ ْ َ‫علَى ا َ ْن يَّأْت ُ ْوا بِ َمثْ ِل هذ‬
َ ‫س َو ْال ِج ُّن‬ ِْ ‫ت‬
ُ ‫اال ْن‬ ِ ‫قُ ْل لَّئِ ِن اجْ ت َ َم َع‬
)88 ‫(االسراء‬
Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-
Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, meskipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
Tantangan al-Qur’an tersebut walaupun ada yang mencobanya ternyata tidak berhasil,
kalaupun secara syair mungkin menyerupai tetapi secara isi amat jauh jauh dengan al-Qur’an,
misalnya karya Musailamah al-Kadzab sebagai berikut:
1. ‫ في الليالي الغوادر‬-‫ فصل لرب ويادر‬-‫انا اعطيناك الكوثر‬
2. ‫ ما الفيل – وماادراك ماالفيل – الفيل حيوان له ذنب وثيل – وحرطوم طويل – ان ذلك من خلق هللا‬-‫الفيل‬
.‫لقليل‬
C. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada
umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususnya umat Mukminin yang
percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat atau
keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemudaratan atau
kecelakaan yang akan menimpanya.
Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat
manusia, terlihat dalam beberapa bentuk ungkapan yang diantaranya adalah:
1. Sebagai hudan )‫ (هُدى‬atau petunjuk bagi kehidupan umat. Fungsi hudan ini banyak sekali
terdapat dalam Al-qur’an, lebih dari 79 ayat, umpamanya pada surat al-baqarah (2):2:
)‫ذلك الكتاب الريب فيه هدى للمتقين(البقره‬
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.
2. Sebagai rahmat (‫(رحْ َم ْة‬
َ atau keberuntungan yang diberikan oleh Allah dalam bentuk kasih
sayangnya. Al-qur’an sebagai rahmat untuk umat ini, tidak kurang dari 15 kali disebutkan
dalam Al-Qur’an umpamanya pada surat Luqman (31):2-3:
‫ذلك آيات الكتاب الحكيم هدى ورحمة للمحسنين‬
Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan.
3. Sebagai furqan )‫ان‬ْ َ‫ )فُ ْرق‬yaitu pembeda antara yang baik dengan yang buruk; yang halal
dengan yang haram; yang salah dan yang benar; yang indah dan yang jelek; yang dapat
dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan. Fungsi Al-Qur’an sebagai alat pemisah ini
terdapat dalam 7 ayat Al-Qur’an. Umpamanya pada surat Al-Baqarah (2): 185:
.‫شهررمضان الذي انزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان‬
Bulan Ramadhan,bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagi
petunjuk bagi manusia dan penjelasan –penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara haq dan yang bathil).
4. Sebagai mau’idzah (‫ظ ْة‬
َ ‫ ( َم ْو ِع‬atau pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing ummat
dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Fungsi mau’izhah ini
terdapat setidaknya dalam 5 ayat Al-Qur’an. Umpamanya pada surat Al-‘A’raf (7): 145:
‫وكتبنا له في االلواح من كل شيئ موعظة‬
Dan telah kami tuliskan untuk Musa pada loh-loh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran
dan penjelasan bagi segala sesuatu.
5. Sebagai Busyra )‫ (بُ ْش َرى‬yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah
dan sesama manusia. Fungsi Busyra itu terdapat dalam sekitar 8 ayat Al-Qur’an, seperti pada
surat al-Naml (27): 1-2:
.‫تلك آيات القرآن وكتاب مبين هدى وبشرى للمؤمنين‬.‫طس‬
Ta-sin. (surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an, dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan,
untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.
6. Sebagai Tibyan )‫ان‬ْ َ‫ (تِ ْبي‬atau mubin )‫ين‬
ْ ِ‫ ( ُمب‬yang berarti penjelasan atau yang menjelaskan
terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah. Contohnya fungsinya sebagai tibyan adalah
dalam surat an-Nahl (16): 89:
.‫ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيئ‬
Dan kami turunkan kepadamu Al-kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.
Sedangkan contohnya sebagai mubin terdapat dalam surat an-Naml (27): 1-2 di atas.
7. Sebagai mushaddiq )‫ِق‬ْ ‫صد‬
َ ‫ ) ُم‬atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya, dalam hal
ini adalah: Taurat, Zabur, dan Injil. Ini berarti bahwa Al-Qur’an memberikan pengakuan
terhadap kebenaran Taurat, Zabur, dan Injil berasal dari Allah (sebelum adanya perubahan
terhadap isi kitab suci itu). Al-Qur’an sebagai mushaddiq terdapat sekitar 10 ayat,
umpamanya pada surat Ali ‘Imran (3): 3:
.‫نزل عليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه‬
Dia menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab
yang telah diturunkan sebelumnya..
ْ ُ‫ )ن‬atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh
8. Sebagai nur )‫ور‬
jalan menuju keselamatan. Umpamanya pada surat al-Maidah (5): 46:
.‫فيه هدى ونور ومصدقا لما بين يديه‬
Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang
sebelumnya...
ْ ‫ص‬
9. Sebagai tafsil )‫يل‬ ِ ‫ ) تَ ْف‬yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan
sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Umpamanya dalam surat Yusuf (12): 111:
.‫ولكن تصديق الذي بين يديه وتفصيل كل شيئ‬
AL-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu...
10. Sebagai Syifau al-shudur )‫ُور‬ ُّ ‫ ( ِشفَا ُءاَل‬atau obat bagi rohani yang sakit. Al-Qur’an untuk
ْ ‫صد‬
pengobat rohani yang sakit ini adalah dengan petunjuk yang terdapat di dalamnya; terdapat
dalam 3 ayat Al-Qur’an, umpamanya dalam surat al-Isra 917): 82:
.‫وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين‬
Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman.
11. Sebagai hakim )‫(ح ِكي ْم‬
َ yaitu sumber kebijaksanaan sebagimana tersebut dalam surat luqman
(31):2:
.‫تلك آياتاالكتاب الحكيم‬
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmah.
D. Mukjizat Al-Quran
Kata mukjizat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kejadian ajaib
yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Kata Mukjizat terambil dari bahasa
Arab yaitu َ‫ اَ ْع َجز‬yang artinya melumpuhkan; membuat tak berdaya.
Mukjizat secara istilah adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu. Mu’jizat adalah
sesuatu yang menulayai pengadatan (luar biasa) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Rasul
sebagai alat untuk memperkuat risalahnya.
kemukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk melemahkan manusia atau
menyadarkan mereka atas kelemahannya untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi
tujuan yang sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan Rasul yang
membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu yang dibawa oleh mereka hanya
sekedar menyampaikan risalah Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan.
Unsur-unsur mukjizat yaitu:
a. Hal yang luar biasa.
Allah SWT memberikan sebuah mukjizat kepada nabi-Nya yang sesuai milliu
umatnya yang sangat luar biasa yang tidak dapat untuk dilakukan oleh orang lain.
b. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku nabi.
Utusan Allah atau Nabi memaparkan kepada umatnya, untuk mengimani ajaran beliau
yang telah ia terima dari Allah. Nabi tersebut diberi oleh Allah sebuah kemukjizatan.
c. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.
Jika suatu kaum tidak mau beriman kepada Nabi yang telah diutus oleh Allah yang
telah diberi kemukjizatan, maka Allah SWT menantang suatu kaum untuk bisa melakukan
hal tersebut.
d. Tantangan itu tidak mampu atau gagal.
Apakah suatu kaum dapat melakukan hal yang serupa dengan Utusan Allah yang telah
diberikan kemukjizatan, kaum tersebut boleh meminta bantuan kepada temannya, jin bahkan
setan. Hal tersebut tidak akan mampu untuk melakukannya.
Aspek kemukjizatan Al Qur’an diantaranya yaitu:
1. Bahwa lafadz dan susunannya tidak bisa ditandingi serta gaya bahasanya Al Qur’an tidak
mengikuti dari orang arab, tetapi dari Allah SWT dan orang tidak mampu membuat sepadan
dengan Al Qur’an.
2. Bisa memprediksi tentang kejadian alam baik waktu yang terdekat maupun waktu terjauh.
3. Bahwa Kitab Al Qur’an bisa membuka tabir dan tidak bertentangan dengan ilmu alam yang
ada.
4. Al Qur’an terdiri dari bagian-bagian dan menerangkan tentang keyakinan,kejadian.
E. Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Ibarat Al Qur’an dalam menetapkan hukum ada dua komponen yaitu:
1. Perintah, adalah keharusan seseorang untuk menjalankannya tidak boleh untuk
ditinggalkannya, tercuplik dalam kaidah ushul fiqih yaitu . ْ‫جوب‬ ُ ‫ص ُل فِى ْاالَ ْم ِر ِل ْل ُو‬
ْ َ‫( ا َ ْال‬asalnya
perintah menunjukan sebuah kewajiban).
Seperti contoh )43 ‫االز َكاة َ (البقرة‬ َّ ‫صالَة َ َواَت َُو‬
َّ ‫ َواَقِ ْي ُمواال‬artinya dan dirikanlah sholat dan
tunaikanlah zakat.
2. Larangan, yaitu keharusan seseorang untuk meninggalkannya, kecuali ada dalil yang
membolehkan hal tersebut untuk dilakukan. Tercuplik dalam kaidah ushul fiqih yaitu: ‫ص ْل‬ ْ َ‫ا َ ْال‬
َ ‫علَى‬
‫غي ِْر ِه‬ َ ‫( فِى النَّ ْهي ِ ِللتَّحْ ِري ْم اِالَّ بِذَ ِل ْي ٍل يَدُ ُّل‬asalnya larangan menunjukkan sebuah keharaman,
kecuali ada dalil yang menunjukkan hal tersebut untuk dilakukan).
Seperti contoh)151 ‫ق (االنعام‬ ِ ‫س الت َّ ْي َح َّر َم هللاُ اِالَّ بِ ْال َح‬َ ‫ َوالَ ت َ ْقلُواالن ْف‬dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar.
F. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan
Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3):7, yaitu: secara muhkam dan mutasyabih.
.‫هو الذي انزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن ام الكتاب واخر متشابهات‬
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat”.
 Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga
menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa
kemungkinan pemahaman.
 Ayat mutasyabih adalah kebalikan dari yang muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan
maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh dua hal:
 Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama. Umpamanya
kata quru’ (‫ )قروء‬dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2):228 yang berarti suci atau
haid. Kata ‘uqdat al-nikah (‫ )عقدة النكاح‬dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2): 237
mengandung arti wali atau isteri. Kata-kata ‫ لمستم‬dalam firman Allah pada surat an-Nisa
(4):43 dapat berarti “bersentuh kulit” dan dapat pula berarti “bersetubuh”.
 Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan.
Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT, padahal
Allah SWT tidak sama dengan makhluk-Nya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau
“muka” untuk Allah (al-Rahman (55):27) dan penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah
(Yunus (10):3).
Ulama yang menolak bentuk ungkapan yang mengandung arti penyamaan Tuhan
dengan manusia, berusaha menta’wilkan atau mengalihkan arti lahir dari ayat mutasyabihat
tersebut kepada arti lain, seperti kata “Wajah Allah” diartikan “Dzat Allah” dan “Allah
bersemayam” diartikan “Allah berkuasa”. Sedangkan ulama yang tidak mau menggunakan
ta’wil, tetap mengartikan ayat mutasyabihat itu menurut apa adanya.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-
Qur’an, yaitu:
a. Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam
al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa
adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang
kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa (4):11 dan 12. Tentang sanksi terhadap
kejahatan zina dalam surat an-Nur (24):4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di
atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan
pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamat.
b. Secara Kulli (global). Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis
besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling
berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu
adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada
yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain.
Disamping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan
kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
c. Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan
di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan
pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat
memberikan beberapa maksud. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2):233:
.‫وعلى المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف‬
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf”.
Ayat tersebut mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan
pakaian bagi isterinya. Tetapi dibalik pengertian itu, mujtahid menangkap isyarat adanya
kemaungkinan maksud lain yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni bahwa “nasab
seorang anak dihubungkan kepada ayahnya.
G. Hukum Yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Hukum yang dikandungdalam Al-Qur’an itu ada (3) macam:
1. Hukum aqidah, yakni hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang wajib diyakini oleh
seorang mukallaf.
2. Hukum akhlak, yakni hukum yang berhubungan dengan kewajiban sorang mukallaf untuk
melakukan hal-hal yang utama dan meninggalkan hal-hal yang hina.
3. Hukum perbuatan, yakni hukum yang bertalian dengan ucapan, perbuatan, akad, atau
pengelolaan yang timbul dari seorang mukallaf. Hukum yang ke-3 ini disebut fikih Al-
Qur’an sebagai sasaran pembahasan ilmu ushul fiqh.
H. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqih
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah allah SWT
ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Qur’an. Dengan
demikian., ditetapkan bahwa Al-Qur’an itu sumber hukum utama bagi hukum Islam,
sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an sebgai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum,
maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang
harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya
dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain dari luar al-
Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum
Islam, berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan
menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an , maka harus sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an dan tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat
Al-Qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30
kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang
difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.
AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER DAN DALIL

A. Pengertian As-Sunnah
Secara etimologi kata “Sunnah” ( ‫ ) سنة‬berasal dari kata ‫ سن‬yang berarti cara yang bisa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam
arti ini terlihat dalam sabda Nabi :

‫من سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر‬
‫من عمل بها إلى يوم القيامة‬

Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta
siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.

Didalam al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa
surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman Allah
dalam surat al-‘imran (3): 137:)

......‫ض‬
ِ ‫األر‬
ْ ‫ِيروا ِفي‬ ْ َ‫قَ ْد َخل‬
ُ ‫ت ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم‬
ُ ‫سن ٌَن فَس‬

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi.

kemudian dalam surat al-Isra’ (17): 77:

(kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang
Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.
Adapun Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat
Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu
perbuatan yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan
perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang
tidak melakukannya.
Dalam memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama
fiqh terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam
peninjauannya diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan Sunnah
sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan
Sunnah sebagai salah satu dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang berlaku
terhadap satu perbuatan.
Adapun Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya
baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.
Jadi, dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan
atau sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi asul”.
Dari segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan
Hadits, kata “Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan
“Sunnah” lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun diantara
ulama sepakat mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan berlaku kepada Nabi
saja. Karena Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara
dari kesalahan).

B. Macam-Macam Sunnah

Menurut ulama ushul Sunnah ada tiga macam :


1. Sunnah qauliyah ( ‫) السنة القولية‬
yaitu ucapan Nabi muhammad SAW yang didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada
orang lain. Misalnya: sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar dari Nabi bersabda: “Siapa
yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu
ketika ia telah ingat.”
Menurut lahirnya, al-Qur’an dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul dari lisan Nabi,
namun para sahabat yang mendengarnya dari Nabi dapat memisah- misahkan mana yang
wahyu dan mana yang hanya ucapan biasa dari Nabi. Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan
beberapa cara, antara lain:
a. Bila yang lahir dari lisan Nabi itu adalah wahyu al-Qur’an selalu mendapat perhatian khusus
dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta
mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Bila yang muncul dari lisan Nabi itu
Sunnah qauliyah tidak ada perhatian khusus yang diminta Nabi, dan Nabi melarang untuk
menuliskannya karena kawatir akan bercampur dengan wahyu al-Qur’an.
b. Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk mutawatir , baik dalam bentuk hafalan maupun
tulisan, sedangkan Sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c. Penukilan al-Qur’an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti yang sesuai dengan teks
aslinya yang didengar dari Nabi. Sedangkan Sunnah sering dinukilkan secara ma’nawi.
d. apa yang diucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Qur’an mempunyai daya pesona atau
mu’jizat bagi pendengarnya.

2. Sunnah fi’liyah ( ‫) السنة الفعلية‬,


yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh
sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapan. Misalnya sahabt berkata,
“Saya melihat Nabi Muhammad SAW melakukan shalat sunat dua raka’at setelah shalat zuhur.
Dalam Sunnah qauliyah para ulama memilah perbuatan Nabi menjadi tiga bentuk;
a. Perbuatan dan tingkah laku Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang manusia biasa atau
berupa adat kebiasaan yang berlaku ditempat beliau separti cara makan, minum, berdiri, cara
berpakain dan memelihara jenggot.
b. Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan itu khusus
berlaku bagi Nabi. Misalnya: wajibnya shalat dhuha, salat witir, shalat tahajud bagi Nabi,
semua itu tidak wajib bagi umatnya.
c. Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti
shalat, puasa, cara nabi jual bali dan lain sebagainya yang berhubungan dengan agama.

3. Sunnah taqririyah ( ‫) السنة التقريرية‬,


yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu
disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya
seorng sahabat memakan daging dhab didepan Nabi.
Keadaan diamnya Nabi dapat dibedakan dalam dua bentuk:
1. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi, sahabat terus
melakukan perbuatan tesbut tapi nabi diam saja.
2. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumya dan tidak diketahui pula haramnya.
Diamnya nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibadah.[3]

C. Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-
Qur’an adalah masih dalam bentuk garis besar secara amaliyah, belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari Sunnah. Adapun fungsi utama sunnah adalah untuk menjelaskan al-
Qur’an. Sebagaimana penjelasan Allah dalam surat al-nahl (16): (64):
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Jadi, bila al-Qur’an sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah
sebagai bayani (penjalas). Dalam kedudukanya sebagai bayani maka hubungannya dengan
al-Qur’an fungsi sunnah adalah;
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an, atau disebut
dengan fungsi ta’kid dan taqrir. Misalnya: firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.

Ayat tersebut dikuatkan oleh sabda Nabi:

‫بني اإلسال م على خمس شهادة أن الإله إال هللا وآن محمدا رسول هللا وإقام اللصالة‬
‫وإيتاء الزكاة‬

Islam itudidirikan dengan limaapondsi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad Adalah rasulullah,dan mendirikan shalat menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, dalam hal:

a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an


Contoh dalam menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an, misalnya kata “shalat” yang masih
samar atau ijmal artinya, karena bisa saja kata “shalat” itu secara umum berarti do’a
sebagaimana yang biasa difahami. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang
terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Setelah itu Nabi bersabda;
‫صلوا كما رايتموني اصلي‬

Salatlah kamu seagai mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R. al-bukhori dan
muslim.

b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secaragaris besar


Contoh Sunnah yang merinci ayat-ayat al-Qur’an yang masih secara garis besar dan umum,
misalnya tentang masalah waktu shalat. Firman allah dalam surat al-nisa’ (4): 103:

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.

Ayat tersebut dirinci oleh hadits Nabi dari ‘Abdullah ibnu ‘Amru menurut riwayat
muslim:
‫وقت الظهر إذا زالت الشممس وكان ظل الرجل كطوله ولم يحضرالعصرووقت العصر‬
‫مالم تصفرالشمس ووقت صالة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صالة العشاء إلى نصف الليل األوسط‬
‫ووقت صالة الصبح من طلوع الفجرمالم تطلع الشمس‬

Waktu zduhur adalah apabila matahari telah condong dan bangying-bayang orang yang
sama dengan panjangnya, sementara waktu asar belum tiba, waktu asar adalah selama
matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat
isya’ adalah sampai pertengahan malam , dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya
fajar selama matahari belum terbit.

c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum


Contoh Sunnah yang membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum,
firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4): 11:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :


bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Ayat tersebut menjelaskan tentang hak waris anak laki-laki dan anak perempuan, ayat
tersebut dibatasi atau dikhususkan terhadap anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya,
sebagaimana hadits dari Amru ibn Syu’eb menurut riwayat al-Nasai’ dan al-daruqutni:
‫ليس للقاتل من الميراث شئ‬
Tiada harta warisan untuk si pembunuh

d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.


Contoh Sunnah memperluas apa yang dimaksud oleh al-Qur’an, firman Allah yang melarang
seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara, dalam surat al-Nisa’ (4): 23:

“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau”.

Ayat tersebut diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah,
riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:

‫اليجمع بين المرأة وععمتها والبين المرأة وخالتها‬


Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara
perempuan dengan saudara ibunya.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tiak terdapat pada al_Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya’. Misalnya: Allah SWT telah
mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5): 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.”

Kemudian Nabi menjelaskan haramnya binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu
Hurairah menurut riwayat Muslim.

‫كل ذي ناب من السباع فأكله حرام‬


Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan.[4]

D. Kedudukan as-Sunnah sebagai sumber Hukum


Kedudukan Sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum
al-Qur’an dan sudah tidak dapat diragukan lagi. Namun dalam kedudukan Sunnah sebagai
dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat
islam. Dan jumhur ulama mengemukakan alasanya dengan beberapa dalil, diantaranya:
1. Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh umat islam untuk mentaati Rasul. Firman Allah
dalam surat al-Nisa’ (4): 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)”

2. Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam surat al-
A’raf (7): 158:
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….”

3. Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53):
3-4:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Dari penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang
diwahyukan. Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun juga
mempuyai kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1. Dari segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, ahad.
2. Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
1. Penunjukan yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap hukum
dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami dengan
maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya penjelasan Nabi tentang
zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib riwayat Abu Daud:

‫إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم‬
Bila engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka diwajibkan
zakatnya lima dirham.

2. Penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan penjelasan
terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan perbedaan pendapat.
Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang bersedekah

…..‫اليد العليا خير من اليد السفلى‬


Tangan diatas (yang memberi) lebih baik dari pada tangan dibawah (yang meminta).
Hadits tersebut mengandung maksud tidak pasti. Karena menurut arti sebenarnya
yaitu tangan diatas lebih baik dari pada tangan dibawah, dan dapat pula bkan arti yang
sebenarnya, yaitu orang yang memberi lebih baik dari pada orang yang meminta.

Anda mungkin juga menyukai