PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah,
yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya
yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun
mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada
dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan
manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara
kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-
nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2)
pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak
dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal
yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang
“mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan
pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan diantaranya adalah istishhab, ‘urf,
sadduz zariah, qaul shahabi dan syar’u man qablana yang akan dibahas dan diuraikan secara
singkat dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian istishhab dan macam-macam istishhab itu ?
2. Apa definisi ‘urf dalam kajian ushul fiqh, pembagian ‘urf dalam kajian ushul fiqh,
dan syarat-syarat ‘urf yang dijadikan sebagai sumber hukum ?
3. Apa definisi sadduz zariah, jenis-jenis sadduz zariah serta kehujjahannya ?
4. Apa definisi dari qaul shahabi dan bisakah qaul shahabi dijadikan sumber hukum ?
5. Apa definisi istihsan,dan apa saja macam-macam istihsan ?
BAB II
Pembahasan
Dalil-dalil Yang Menjadi Perdebatan Para Ulama
Al-‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan
dengan al-ma‘ruf (وف ُ )ا َ ْل َم ْع ُرdengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat
kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab
; َعادَةakar katanya: ‘ada, ya‘udu (ُ يَعُ ْود-َ ) َعادmengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak
melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
3. Macam-macam ‘Urf
A. Dari segi objeknya
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas
dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal
kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi
penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging
sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam
berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh
penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan
rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
B. Dari segi cakupannya
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a. Al-‘urf al-‘am
Adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep
termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah duapuluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khash
Adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya
dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat
dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
C. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah).
Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan
yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-
laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.
D. Kedudukan ‘urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang sah, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan
dengan syari'at. Baik yang menyangkut dengan ‘urf umum dan ‘urf khusus, maupun yang
berkaitan dengan ‘urf lafazh dan ‘urf amal, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum syara’.
Maslahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditetapkan secara pasti oleh syari’
untuk mewujudkanya dan tidak ada syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikanya atau
mengabaikanya.
2. Macam-macam Maslahah
3. Contoh
Maslahah yang karna maslahah itu, sahabat menyariatkan pengadaan penjara, atau
mencetak mata uang, atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan
warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak penghasilanya.
Maslahah mursalah sebagai dalil syarak yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu
hukum dengan alasan :
Imam maliki, adalah ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah dengan
alasan bahwa Allah mengutus Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia, sebagaimana firman
allah surat Al-anbiyya-107.
Imam ahmad, maslahah mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak
ada nash dan ijma’ .
Imam syafi’i, menolak maslahah mursalah untuk dijadikan sumber hukum, dengan
alasan maslahah mursalah disamakan dengan Istihsan.
6. Syarat-syarat berhujjah dengan maslahah mursalah
~ Maslahah tersebut adalah maslahah haqiqi (sejati) bukan sekedar dugaan. Maksudnya,
membina hukum berdasarkan kemaslahatan itu harus membawa manfaat dan menolak
kemudharatan.
~ Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan
oleh nas ataupun ijmak.
Istihsan
A. Pengertian Istihsan
Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :
Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan
segi analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’.
Demikian pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri
mujtahid terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (
umum) tersebut, dan mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum
yang lain, maka hal teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.1
B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa
minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman
burung gagakatau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk
diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu
dengan meng-qiyaskan kepada dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa
jenis burung yang buas, meskipun dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya. Karena ia minum dengan
1
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
2
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
menggunakan paruhnya sedangkan paruh adalah tulang yang suci. Adapun
binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air
liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.3
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu
mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan
haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena
adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.
2. Istihsan Istishna’i
1) Istihsan bi an-Nashsh
3
Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
4
Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp, 2014), an-
Nisa’, (12).
5
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
2) Istihsan Bi al-Ijma’
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang
zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat
mengalahkan dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan
perpindahan suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat
3) Istihsan bi al-Urf
4) Istihsan bi ad-Dharurah
6
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
7
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
8
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
hukum sahnya wasiat yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang
berada dibawah pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena
berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta
orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan
kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang
tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya
yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi
mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah setelah ia wafat; tentu hal itu
tidak menganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu,
ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang dibawah pengampunan
dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.9
9
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
Sadd adz-Dari’ah
A. Pengertian Dzari’ah
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju
sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang
oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim Aj0Jauziyah yang menyatakan bahwa
dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Dengan demikian lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
B. Sadd adz-Dari’ah
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad adz-dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir
dengan sutau kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul
(genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya, sehingga ia terhindar dari
kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa)
dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan
tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka
hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib,
sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Syatibi, ada tiga kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu
dialarang, yakni :
C. Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama ushul fiqih membagi dzari’ah berdasarkan dua segi, yakni dilihat dari segi
kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan.
a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti (qath’i). Misalnya,
menngali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik
rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan
tersebut dengan disengaja. Perbuatan seperti ini dilarang, karena perbuatan itu dilakukan
dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti baiy al-ajal (jual beli dengan harga yang
lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya : jika Ahmad membeli kendaraan
dari kendaraan dari Ali secara kredit seharga 20 juta. Kemudian Ahmad menjual kembali
endaraan tersebut kepada Ali seharga 10 juta secara tunai, sehingga seakan-akan Ahmad
menjual barang fiktif, sementara Ali tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil
tersebut, meskipun mobilnya telah jadi miliknya kembali. Jual beli ini cenderung pada riba.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang
atau diperbolehkan. Meurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan
karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-
mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk
dzari’ah tersebut dibolehkan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh
praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian dzari’ah seperti itu
tidak diperbolehkan. Adapun alasan yang dikemukakan keduanya, yakni :
1) Dalam baiy al-ajal perlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa kepada
perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas prduga yang berat
(galabah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan
praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu
perbuatan yang diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang
suatu perbuatan, berdasarkan kaidah :
3) Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya
dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang
diriwayatkan Bukhari-Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita
yang bukan mukhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau
mahramnya.
Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga
semata-ata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa
kepada kemafsadatan. Sehingga menurut mereka pengharaman baiy al-ajal memiliki dasar
yang kuat dalam syari’at islam.
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain :
a. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras
yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai
jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti
seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa
kembali kepada suami pertamanya (nikah at-tahlil).
a) Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang
syara’.
b) Perbuatan yang pada dasarnya di bolehkan atau dianjurkan, tetapi ditujukan untuk
melakukan suatu kemafsadatan, seperti nikah tahlil diatas. Pekerjaan seperti inipun dilarang
oleh syara’.
c) Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan
kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki
persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki
Allah SWT.
d) Suatu pekerjaaan yang pada dasarnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk
kemafsadatan, seperti melihat wajah wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim
kemashlahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.
) ١٠۸ : ( األنعام. . . وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
كيف يلعن الرجل والديه؟, يا رسول هللا: قيل.إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه
) (رواه البخارى ومسلم وابو داود. ويسب أمه فيسب أمه, يسب ابا الرجل فيسب اباه: قال
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya,
Lalu Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci
maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam
masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I
menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit
dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur.
Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum
Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan syafi’iyah menerima sad al-
dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-
sekurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul :
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan
akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun
maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari
perilaku maka berlaku kaidah :
Artinya :
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang
ada, maka berlaku kaidah :
Artinya :
“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh
dan bentuk formal (ucapan).” (Al-Qarafi, ll : 32)
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah
niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila
tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada
perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah
Allah saja. Apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan
dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’,
maka perbuatanyya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya. (Al-Jauziyyah,
lll : 114, 119, dan IV : 400)
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum. (Ibnu Hazm, IV : 745- 757)
Ibnu Qayyim Aj- Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu
adakalanya dilarang yang disebut sad adz-dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan
diwajibkan ya ng disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk
melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Artinya :
“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun
wajib”.
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu
pun haram, sesuai dengan kaidah:
Artinya :
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun
haram.”
Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim
atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut
jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut
pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka
tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima sebagai fath ad-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian
Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai
kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum. (Aj-Juhaili: 874).
Qaul Shahabi
1.Pengertian
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah “perkataan”. Sedangkan kata “sahahabi” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi
yang di maksud dengan “Qaulush shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat
nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-
quran dan sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam
setelah urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.
Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya
tidak mencapai derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya,
tidak semua ulama sepakat menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum. Selanjutnya
qaul shahabi secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari
Rasulullah SAW juga. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak
ada nash yang sharih dari Rasulullah SAW
tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan
pendapatnya. Selain itu, qaulush shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum
yang lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para
shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita
untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW
melarang kita untuk begitu dan begitu.
A. Pengertian As-Sunnah
Secara etimologi kata “Sunnah” ( ) سنةberasal dari kata سنyang berarti cara yang bisa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik maupun yang buruk. Pengertian Sunnah dalam
arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر
من عمل بها إلى يوم القيامة
Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang
mengerjakannya, dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta
siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat.
Didalam al-Qur’an terdapat 16 tempat kata “Sunnah”, yang tersebar pada beberapa
surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Misalnya firman Allah
dalam surat al-‘imran (3): 137:)
......ض
ِ األر
ْ ِيروا ِفي ْ َقَ ْد َخل
ُ ت ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم
ُ سن ٌَن فَس
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi.
(kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang
Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.
Adapun Sunnah menurut istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat
Nabi”.
Sedangkan Sunnah menurut isilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu
perbuatan yang dituntut melakukakannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti”, dngan
perngertian diberi pahala bagi orang yang melakukannya dan tidak berdosa bagi orang yang
tidak melakukannya.
Dalam memberikan pengertian pada “Sunnah” di kalangan ulama ushul dan ulama
fiqh terdapat perbedaan pendapat. Di karenakan perbedaan sudut pandang dalam
peninjauannya diantara mereka terhadap Sunnah. Ulama ushul fiqh menempatkan Sunnah
sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Sedangkan ulama fiqh menempatkan
Sunnah sebagai salah satu dari hukum taklifi atau hukum syara’ yang lima, yang berlaku
terhadap satu perbuatan.
Adapun Sunnah menurut ahli hadits adalah: “apa-apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan atau sifatnya, dan akhlaqnya
baik itu sebelum maupun sesudah Nabi diangkat menjadi Rasul”.
Jadi, dari urain tersebut dapat diambil kesimpulan, Sunnah adalah “apa-apa yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan
atau sifat, atau bentuk prilaku atau akhlaqnya, baik itu sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi asul”.
Dari segi etimologi dikalangan ulama ada yang membedakan antara Sunnah dan
Hadits, kata “Hadits” lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangakan
“Sunnah” lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi. Namun diantara
ulama sepakat mengatakan kata Sunnah atau Hadits hanya merujuk dan berlaku kepada Nabi
saja. Karena Nabi sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara
dari kesalahan).
B. Macam-Macam Sunnah
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-
Qur’an adalah masih dalam bentuk garis besar secara amaliyah, belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari Sunnah. Adapun fungsi utama sunnah adalah untuk menjelaskan al-
Qur’an. Sebagaimana penjelasan Allah dalam surat al-nahl (16): (64):
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Jadi, bila al-Qur’an sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah
sebagai bayani (penjalas). Dalam kedudukanya sebagai bayani maka hubungannya dengan
al-Qur’an fungsi sunnah adalah;
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an, atau disebut
dengan fungsi ta’kid dan taqrir. Misalnya: firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
بني اإلسال م على خمس شهادة أن الإله إال هللا وآن محمدا رسول هللا وإقام اللصالة
وإيتاء الزكاة
Islam itudidirikan dengan limaapondsi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad Adalah rasulullah,dan mendirikan shalat menunaikan zakat.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an, dalam hal:
Salatlah kamu seagai mana kamu melihat saya melakukan salat (H.R. al-bukhori dan
muslim.
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.
Ayat tersebut dirinci oleh hadits Nabi dari ‘Abdullah ibnu ‘Amru menurut riwayat
muslim:
وقت الظهر إذا زالت الشممس وكان ظل الرجل كطوله ولم يحضرالعصرووقت العصر
مالم تصفرالشمس ووقت صالة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صالة العشاء إلى نصف الليل األوسط
ووقت صالة الصبح من طلوع الفجرمالم تطلع الشمس
Waktu zduhur adalah apabila matahari telah condong dan bangying-bayang orang yang
sama dengan panjangnya, sementara waktu asar belum tiba, waktu asar adalah selama
matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat
isya’ adalah sampai pertengahan malam , dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya
fajar selama matahari belum terbit.
Ayat tersebut menjelaskan tentang hak waris anak laki-laki dan anak perempuan, ayat
tersebut dibatasi atau dikhususkan terhadap anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya,
sebagaimana hadits dari Amru ibn Syu’eb menurut riwayat al-Nasai’ dan al-daruqutni:
ليس للقاتل من الميراث شئ
Tiada harta warisan untuk si pembunuh
“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau”.
Ayat tersebut diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan hadits dari Abu Hurairah,
riwayat muttafaq ‘alaih, yaitu:
Kemudian Nabi menjelaskan haramnya binatang buas dan burung buas dalam Hadits Abu
Hurairah menurut riwayat Muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)”
2. Ayat al-Qur’an yang menyuruh umat beriman kepada Rasul. Firmn Allah dalam surat al-
A’raf (7): 158:
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)….”
3. Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53):
3-4:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut bahwa Sunnah itu adalah wahyu yang
diwahyukan. Bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka Sunnah pun juga
mempuyai kekuatan hukum yang dipatuhi.
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu:
1. Dari segi kebenaran materinya (wurud-nya)
Kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaanya yang terdiri dari tiga tingkat,
yaitu: mutawatir, masyhur, ahad.
2. Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, Sunnah ada dua:
1. Penunjukan yang pasti atau qath’i yaitu Sunnah yang memberi penjelasan terhadap hukum
dalam al-Qur’an secara tegas, jelas dan terinci sehinga tidak mungkin dipahami dengan
maksud lain dan tidak ada alternative pemahaman lain. Contohnya penjelasan Nabi tentang
zakat perak, sebagaimana hadits dari Ali bin Abi Thalib riwayat Abu Daud:
إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليه الحول ففيها خمسة دراهيم
Bila engakau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun, maka diwajibkan
zakatnya lima dirham.
2. Penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu Sunnah atau hadits yang memberikan penjelasan
terhadap hukum dalam al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan dalam memahaminya. Karena menimbulkan perbedaan pendapat.
Contohnya : Sabda Nabi yang menjelaskan kebaikan orang bersedekah