Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FIQIH

‘Urf

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Alhamdi huda nasrul
Ghaftiabel akbar devito
Muhammad alfatih
Muhammad rizaldi
Ziflan rizky mahesa

Guru Pembimbing:

XII MIA 1

MAN 2 KOTA PAYAKUMBUH


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa
di abaikan oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan
mengenai nash-nash syari’at Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak
memiliki nash.
Dalam ilmu ushul fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan,
diantaranya adalah ‘urf yang akan saya coba diskusikan yang mana budaya
atau ‘urf sebagai salah satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari
ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai salah satu pijakan hukum,
bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata
masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak semudah yang kita diskusikan,
karena tidak semua ulama’ setuju tentang urf ini, akan tetapi tidak sedikit
juga yang menjadikannya sebagai pijakan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penngertian ‘urf ?
2. Apa saja macam-macam ‘urf ?
3. Bagaimana Kehujjahan ‘urf ?
4. Apa saja kaidah-kaidah ‘urf ?
5. Apa saja syarat-syarat ‘urf ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-
ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala
sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu
Abidin,Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam
kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat
tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti
Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah
kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam
pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis
‘urf. Tetapitidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok
tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat
tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada
adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf
menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat itu sesuatu yang harus
dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya
dengan ijma’. Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaaan
yang di antaranya adalah sebagai berikut:

2
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diterima semua pihak.
Sedangkan ‘urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah
dilakukan dan dikenal oleh sebagian orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang
tertentu, yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak
diperhitungkan kepakatan ataupun penolakannya. Sedangkan ‘urf
atau adat yang mengakui adalah seluruh lapisan manusia baik
mujtahid atau bukan.
3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya
orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’
tidak akan mengalami perubahan.1
B. Macam-Macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan).
a. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya,
ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seorang mendatangi
penjual daging, saya beli daging satu kilogram pedagang itu
langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada
daging sapi.
b. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang
dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan

3
orang lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam
satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan
khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakaian tertentudalamacara khusus..

2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan


yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat
khusus).
a. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil,seperti kunci,tang, dongkrak,
dan ban serep termasuk dalamharga jual, tanpa akad sendiri,dan
biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa
berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua
puluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila
terdapat cacat tertentu padabarang yang dibeli dapat dikembalikan,
sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat
dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan
masagaransi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku d kalangan pengacara hukum bahwa jasa
pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus di bayar duluoleh
kliennya. Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai
perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu
al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
nash (ayat atau hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka,

4
dan tidak pula membawa madarat bagi mereka. Misalnya, dalam
masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini di anggapsebagaimas kawin.
b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-
dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,sepertipeminjam uang
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta
rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%.

C. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah
dengan ‘urf danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:
1. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah
bin Mas’ud :
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat
kaum muslimin dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.
2. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika
iamengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil
memberi nafkah:
(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu
menurut ‘urf).
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam
penetapan hukum.
3. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan
bahwa dengan melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau
terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan
kesusahan merupakan tujuan syara’.2

5
Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf
antara lain:
1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah
merupakan kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam
pernikahan dan susunan keluarga dalam pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun
perbuatan, ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.

Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama
dikalangan ulama madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.

Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah


satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada
‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan
juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam arti umum, dalam arti ‘urf itu
men-takhsis umum nash.

Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan


ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya
dari hadist ahad.

Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak


menemukan ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa.3

D. Kaidah-kaidah ‘urf
1. Adat itu dapat dijadikan hukum.
2. Tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan
tempat.
3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.
4. Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui
nash (nash atau hadist)

6
E. Syarat-Syarat ‘Urf

Para ulama yang menggunakan ‘urf itu dalam memahami dan


meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk ‘urf
tersebut,yaitu:

1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal
sehat.Syarat ini merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang shahih,
sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang
kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup
bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai
baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima
oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
2. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang
yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian
besar kalangannya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan :
Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku
secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.
Umpamanya : kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu
tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka
suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas
tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan
tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.
Tetapi bila ditempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama

7
berlaku (ini yang dimaksud dengan : kacau), maka dalam transaksi
arus disebutkan mata uangnya.
3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini
berarti ‘urf itu harus ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu
datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada
kaidah yang mengatakan:
‘urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)
hanyalah datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang
kemudian.
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh : Orang yang
melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan
apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang
berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian ‘adat
ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang terbiasa mencicil
mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya suatu
perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut.
Suami berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (sesuai adat lama
ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan
kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan
‘adat yang berlaku pada saat berlangsungnya akad nikah dan tidak
menurut ‘adat yang muncul kemudian.
4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan
‘adat shahih; karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada
atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk
‘adat dan fasid yang telah disepakati ‘ulama untuk menolaknya.4

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian ‘urf
Segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik
berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
2. Macam-macam ‘urf
a. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan
yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan
yang berbentuk perbuatan
b. Dari segi cakupannya, urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am
(kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan
yang besifat khusus).
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua
yaitu al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan
al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
3. Kehujjahan ‘urf
Ulama ushul sepakat bahwah ‘urf yang shahih dapat dijadikan sarana
sebagai menetapkan hukum syara’, sedabgkan ‘urf fasidtidak dapat
dijadikan hujjah
4. Syarat-syarat ‘urf
a. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal
sehat.

9
b. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-
orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan
sebagian besar kalangannya.
c. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah
ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian.
d. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada
atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.Djalil. 2007.

Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2010.

Syarifudin, Amin. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.

Suwarjin.Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras. 2012.

Umam, Khaerul. Ushul Fiqh-1. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.

10

Anda mungkin juga menyukai