Anda di halaman 1dari 14

ADAT (DIPERTIMBANGKAN DI DALAM)

MENETAPKAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

1. Salsyahbila (1810104056)
2. Siti Fatimatus Zahro (1810104059)
3. Aydul Fitra (1820104090)
4. Muhammad Arif (1820104126)
5. Juniar (18 )

Dosen Pengampu

MUHAMMAD HARUN, M. Ag

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2019/2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat
muslim karena yang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara keseluruhan, ilmu
tersebut tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, mereka perlu sebuah pengantar dari
ilmu tersebut sangat penting karena dapat mengarahkan pemahaman menuju Ilmu
Fiqh yang susungguhnya.
Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan harus
berkembang. Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah menunjukkan
dinamika. Kadang-kadang ia berubah sangat pesat. Adakalanya pula terlihat lambat.
Bahkan, tidak jarang tampak statis. Padahal, tuntutan atas perkembangannya
merupakan konsekuensi logis dari beban dan tuntutan perubahan masyarakat dan
umat Islam sendiri.
Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan sosial
masyarakat yaitu kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Adat Kebiasaan?


2. Apa saja hadis dan ayat Al-Quran yang membahas kaidah ini?
3. Apa saja kekecualian dari kaidah ini?
4. Apa Syarat-syarat ‘Urf untuk dapat dijadikan landasan hukum?
5. Apa saja ruang lingkup dari kaidah Adat Istiadat ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian dari Adat Kebiasaan.


2. Mengetahui hadis dan ayat Al-quran yang ada di kaidah ini.
3. Mengetahui apa saja kekecualian dari kaidah ini.
4. Mengetahui Syarat-syarat ‘Urf.
5. Mengetahui ruang lingkup pada kaidah ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah Tentang Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum

‫العادة محكمة‬

“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

Sebelum Nabi Muhammad SAW. diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di


masyarakat baik di dunia Arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat
kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh
masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan
dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika Islam datang
membawa ajaran yang mengandung nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai
insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Di
antaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun aspek filosofisnya
berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada
dalam ajaran Islam. Di sinilah kemudia ulama membagi adat kebiasaan yang ada di
masyarakat menjadi al-‘adah al-shahihah (adat yang sahih, benar, baik) dan ada pula
‘adah al-fasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).

Abu Ishak al-Syathibi (w.790 H) menyatakan bahwa dilihat dari sisi


bentuknya dalam realitas, adat dapat dibagi dua:

1. al-adah al-ammah (adat kebiasaan yang umum), yaitu adat kebiasaan


manusia yang tidak berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan
keadaan seperti kebiasaan makan, minum, khawatir, kegembiraan, tidur,
bangun, dan lain-lain.
2. adat kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan
keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah, dan lain-lain.Secara
bahasa, al-‘adah diambil dari kata al-‘aud ( ‫ )العو د‬atau al-mu’awadah (‫المعا‬
‫ )و د ة‬yang artinya berulang ( ‫)ا لتالر ا ر‬.

Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-adah dengan:

‫عبارة عما يستفر في النقوس من األمور المتكررة القبولة عند الطباع السليمة‬

“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang
yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”

Para ulama mengartikan al-‘adah dalam pengertian yang sama, karena


substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-‘urf
didefinisikan dengan :

‫العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده في أقوالهم وأفعالهم حتى صار ذالك مطردا أو غالبا‬

“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam
ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menajdi biasa dan berlaku umum”

Dari definisi diatas, ada dua hal yang penting yaitu:

1. Di dalam al-adah ada unsur berulang-ulang dilakukan dalam al-‘urf ada


unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-‘urf ada
hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak
hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk
dilakukan dan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam Al-Quran.Tampaknya lebih
tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan : “Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah
al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada 2 macam yang harus di
pertimbangkan: Pertama, Pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri,
seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya, bagaimana proses
kejadiannya, mengapa terjadi dan siapa pelakunya.Pertimbangan hukum.
2. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama untuk hukum-hukum yang
tidak tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadis, adat kebiasaan
harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.

Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah
(adat istiadat). Misalnya, ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat
dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan
gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan
ijab dan Kabul(qabul). Contoh ‘Urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di suatu
masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan.
Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan
hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran
dan Sunnah.

Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi,
ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang menguatkannya. Sehingga
kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang menjadi kaidah
yang mapan. Diantara ayat-ayat Al-Quran tersebut adalah sebagai berikut :

‫خد العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين‬

“jadilah engkau pemaaf dan surulah orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf:199)

...‫ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف‬

“Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 228)
‫وعاشروهن بالمعروف‬

“Dan pergaulilah mereka (isri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik).” (QS. an-
Nisaa’:19)

‫فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم‬

“Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian.” (QS.
al-Maa’idah:89)

Kata awsath tidak di nash kan ukurannya dengan ketentuan yang pasti, maka
ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang
dimakan atau dipakai oleh keluarga tersebut.

‫وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف‬

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf.” (QS. al-Baqarah:233)

Rasyid Ridha menjelaskan kata-kata makruf menyatakan bahwa makruf


adalah cukup dan layak untuk wanita yang berlaku di kaumnya dan kelompoknya.
Sedangkan dalam menjelaskan surah al-Baqarah 233, ia menyatakan bahwa al-ma’ruf
adalah dikenal manusia dalam pergaulannya dalam keluargannya dan yang biasa
berlaku dalam adat mereka.Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkan makruf dalam surah
al-baqarah ayat 233 di atas dengan adat kebiasaan wanit-wanita yang berlaku di
negeri mereka. Adapun Hadis-hadis Nabi di antaranya:

‫الوزن وزن أهل مكة والمكيال مكيال أهل مد ينة‬

“Ukuran berat (timbangan)yang dipakai adalah ukuran berat ahli Mekkah, sedangkan
ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli Madinah.” (HR. Abu Dawud)
Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli Mekkah,
karena kebiasaan penduduk Mekkah adalah pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas
(isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk Madinah, Karena
kebanyakan mereka bergerak dibidang pertanian. Maksudnya, apabila terjadi
persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman Nabi.

Syarat-syarat ‘Urf Untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum Abdul-Karim


Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan
hukum, yaitu;

1) ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tindak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri
bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak
pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan
jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
2) Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas negeri itu.
3) ‘Ufr itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan pada kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil
kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu hanyalah
orang mempuyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah,
maka ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertiannya
yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang menjadikan
populer kemudian ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya ijazah.
4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan
kehendakan ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang bertekad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang
dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya, adat yang berlaku di satu
masyarakat, isrtri belum boleh dibawa oleh suaminya pindah dari rumah
orangtuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah
pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya
pindah tanpa ada persyaratan terlebih dahulu melunasi maharnya. Dalam
masalah ini, yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang
berlaku.

Kekecualian dari Kaidah

Seperti telah dijelaskan dimuka bahwa al-‘adah yang bisa dipertimbangkan


dalam penetapan hukum adalah al-‘adah al-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah.
Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila:

1. Al-‘adah bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun Al-Hadis,


seperti: saum terus-terusan atau saum empat puluh hari atau tujuh hari
siang malam; kebiasaan judi; menyabung ayam; kebiasaan menanam
kepala hewan korban waktu membuat jembatan; kebiasaan memelihara
babi atau memperjual belikan daging babi; dan lain sebagainya.
2. Al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan
kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau
kesukaran, seperti: memboroskan harta;hura-hura dalam acara
perayaan;memaksakan dalam menjual (jual beli dedet-Sunda): dan lain
sebagainya.
3. Al-‘adah berlaku pada umunya di kaum muslimin, dalam arti bukan hanya
yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh
beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.

Sering terjadi benturan antara tata nilai Islam dan tata nilai masyarakat
dalam pelaksanaanya.Misalnya masyarakat Indonesia menganut tata nilai
kekeluargaan, Islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam
masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan, dan kematian sudah
menjadi adat kebiasaan merayakannya atau memperingatinnya. Apabila dalam acara
pernikahan, misalnya ada nyanyian, hal itu memang wajar karena dalam suasana
kegembiraan. Apabila kesenian zaman nabi dengan rebana, sekarang boleh dengan
Cianjuran atau degung di masyarakat Sunda asal pakaianya menutup aurat dan tidak
pornoaksi.

Kaidah-Kaidah Cabang

Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al’adah muhakamah adalah


sebagai berikut :

1.
‫إستعمال الناس حجة يجب العمل بها‬
“ Apa yang biasa di perbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di
masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.
2.

‫إنما تعتير العادة إذ اضطردت أو غلبت‬

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat


yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan
pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi
dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua
syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan bersifat
umum (keberlakuannya). Contoh: apabila seseorang berlangganan
majalah, maka majalah itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan
itu tidak mendapatka majalah maka ia bisa komplain( mengadukannya)
dan menuntut nya kepada agen majalah tersebut.
3.
‫المعروف عرفا الشروط شرطا‬
“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan
suatu syarat”
Maksudnya, adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan.
Contohnya: apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim
piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong
royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya
apabila sudah dikenal sebagi tukang kayu atau tukang cat yang bisa di
upah, datang ke suatu rumah yang sedang di bangun, lalu dia bekerja
disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang lainnya meskipun ia
tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat
apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
4.
‫المعروف بين التجار المشروط بينهم‬
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya di bidang
muamalah saja, dan itu pun dikalangan pedagang (akan dijelaskan lebih
jauh di dhabith muamalah).
5.
‫الغيث بالغرف كالغين بالص‬
“Ketentuan berdasarkan ‘Urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Maksud kaidah ini adalah ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi
syarat seperti telah dikemukakan . adalah mengikat dan sama
kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarka nash.
Contohnya: Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa
menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut,
maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah
bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang
menyewakan.
6.
‫المع عادة كالمنع حقيقة‬
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”
Maksudnya apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu
miliknya. Tapi ia tidak bisa menjelaskan dari mana harta tersebut.
7.
‫الحقيقة ترك بداللة العادة‬
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti
menurut adat”
Maksudnya arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang
ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Contohnya: yang disebut jual beli adalah
penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus
penyerahan barang dan penerimaan uang oleh sang penjual. Tapi apabila
pembeli telah memberikan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat
kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi
membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kaidah fikih berdasarkan ruang
lingkup dan cakupannya bisa dibagi sebagai berikut:

1. Kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan


dengan meminjam istilah Izzuddin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-
Mashalih wa Daf’u al-Mafasid”.
2. Kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima seperti telah
dijelaskan diatas dan cabang-cabangnya. (al-Qawa’id al Asasiyah).
3. Kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada dbawah
kaidah-kaidah asasi yang lima diatas, atau dengan meminjam istilah
Izzuddin ibnu Abd al-Salam, (al-Qawa’id al-‘Ammah).
4. Kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku dalam
bidang-bidang hukum tertentu, seperti dalam ibadah mahdhah,
muamalah, munakahat, peradilan, dan jinayah, dengan meminjam
istilah al-Subki, “al-Qawaid al-Khashshah”.
5. Kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut pada nomor 4
yaitu bagian dari ibadah, seperti tentang shalat saja, bagian dari
jinayah seperti tentang sanksinya, atau bisa disebut dengan “al-
Qawa’id al-Tafshiliyah”.
PENUTUP

A. Kesimpulan

al-adah al-ammah (adat kebiasaan yang umum), yaitu adat kebiasaan


manusia yang tidak berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan keadaan
seperti kebiasaan makan, minum, khawatir, kegembiraan, tidur, bangun, dan
lain-Blain. adat kebiasaan yang berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan
keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli. 2019. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Prenadamedia Group.

Satria Effendi. 2019. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.

Romli. 2017. Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Depok: Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai