DI SUSUN
OLEH:
IRWANSYAH
PROGRAM
PASCASARJANA S-2
PRODI HUKUMKELUARGA ISLAM(HKI)
INSTITUT AGAMA ISLAMNEGERI LANGSA
(IAIN) 2022/2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian ‘AL-‘ADAH ALMUHAKKAMATUN........................................3
B. Dasar Hukum...................................................................................................5
C. Kekecualian Kaidah ………………………………………………………………………………………………. 7
D. Kaidah-Kaidah Cabang …………………………………………………………………………………………. 8
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP..............................................................................................................15
A. KESIMPULAN.............................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum
kully(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih.
Qawa‟id fiqhiyahmempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah
seperti pembahasan dalammakalah ini yaitu al-adah almuhakkamah (adat
atau kebiasaan itu bisa menjadidasar dalam menetapkan suatu hukum)
yang diambil dari kebiasaan-kebiasaanbaik yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikandasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembangdi
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita
akanmengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi
titik temu darimasalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam
menerapkanhukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang
seringkali berubah-ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih
khususnya budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari
solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk
mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan
kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat
atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.
1
Dalam makalah ini akan dikaji mengenai pengertian al-‘aadah, dasar-
dasar hukum, cabang kaidah al-a’aadah muhkamah.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2
A. Pengertian Al-‘adah Muhakkamah
ٌْال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari
syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada
dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk
oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak
lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara
khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama
ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami
pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan
‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam
dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai
pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan
proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang
hukum-hukum syara’.[1]
Secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud ( )العودatau al-mu’awadah
( )المعاودةyang artinya berulang([)التكرار2].
Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:
عبارة عما يستقر فى النفوس من األمور المتكررة المقبولة عند الطباع السليمة
3
“Sesuatu ungkapandari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
terulang-ulang yaang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Para ulama mengartikan al-‘adah dalam pengertian yang sama karena
substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya
al-‘urf didefinisikan dengan:
َ ِصا َر ٰذل
ك ُمطَّ ِردًا َأوْ غَالِبًا َ ْالعُرْ فُ هُ َو َما تَ َعا َرفَ َعلَ ْي ِه النَّاسُ َوا ْعتَا َدهُ فِى َأ ْق َوالِ ِه ْم َوَأ ْف َعالِ ِه ْم َحتَّى
4
[3] Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum
syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara
khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil
itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
5
ْ ُط َعا ُم َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ ِم ْن َأوْ َس ِط َما ت
ط ِع ُمونَ َأ ْهلِي ُك ْم َأوْ ِك ْس َوتُهُ ْم ْ فَ َكفَّا َرتُهُ ِإ
6
Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa al-‘adahyang
dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al-‘adah al-shahihah,
bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak dapat
digunakan apabila:
D. Kaidah-Kaidah Cabang
Diantarakaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah adalah
sebagai berikut:
7
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.
8
الحكم بالمعتاد ال بالنادر
9
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang,
seperti disyaratkan dalam transaksi.[4] Kaidah ini lebih mengkhususkan
adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan
disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah
muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang
sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi
(status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan
syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan
dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini
tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan
tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam
bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi
kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu
bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah
menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab
penjual.
10
Maksudnya kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang
memenuhi syarat seperti telah dikemukakan pada bagian c. Adalah
mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan
nash.
11
adalah penyerahan uang danpenerimaan barang olehsipembeli serta
sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan
tetapi, apabila sipembeli sudahmenyerahkan tanda jadi (uang
muka),maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi.
Maka si penjualtidak bisa lagi membatalkan jual belinnya meskipun
harga barang naik.
12
tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh
individu maupun kolektif.[6]
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan
istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
13
karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan
adat (kepantasan)[7].
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan
dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah
Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek
yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada
aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat
pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas
tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan
al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan
al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan
14
karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah
seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum
fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan
berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
B. Saran
Demikian makalah yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan dari
segi penulisan dan redaksi yamg dikutip. Kami berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan pembaca. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kinerja kedepan. Karena
kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan datangnya
darikami. Terimakasih.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
[2] Prof.H. A. Djazuli. KAIDAH KAIDAH FIKIH: kaidah-kaidah hukum
islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis. (Jakarta: Prenada
Media, 2007).cet. I, hlm.79.
17