Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KATEGORI ‘AL-‘ADAH AL-MUHAKKAMAH’

DI SUSUN

OLEH:

IRWANSYAH

MATA KULIAH : USHUL FIQH


DOSEN PENGAMPU : Dr. MURSYIDIN AR, MA.

PROGRAM
PASCASARJANA S-2
PRODI HUKUMKELUARGA ISLAM(HKI)
INSTITUT AGAMA ISLAMNEGERI LANGSA
(IAIN) 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian ‘AL-‘ADAH ALMUHAKKAMATUN........................................3
B. Dasar Hukum...................................................................................................5
C. Kekecualian Kaidah ………………………………………………………………………………………………. 7
D. Kaidah-Kaidah Cabang …………………………………………………………………………………………. 8
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP..............................................................................................................15
A. KESIMPULAN.............................................................................................15
B. Saran..............................................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum
kully(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih.
Qawa‟id fiqhiyahmempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah
seperti pembahasan dalammakalah ini yaitu al-adah almuhakkamah (adat
atau kebiasaan itu bisa menjadidasar dalam menetapkan suatu hukum)
yang diambil dari kebiasaan-kebiasaanbaik yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikandasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembangdi
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita
akanmengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi
titik temu darimasalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam
menerapkanhukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang
seringkali berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih
khususnya budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari
solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk
mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan
kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat
(kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat
atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.

1
Dalam makalah ini akan dikaji mengenai pengertian al-‘aadah,  dasar-
dasar hukum, cabang kaidah al-a’aadah muhkamah.

 Rumusan Masalah

 Pengertian Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah

 Dasar hukum Kaidah Al-‘adah Al-Muhakkamah

 Cabang-cabang kaidah Al-‘adah Al-Mukammah beserta


contohnya

 Perbedaan antara Al’adah dan Al’Urf

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Al-‘adah Muhakkamah
ٌ‫ْال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

“’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”

Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari
syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada
dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk
oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak
lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara
khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama
ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami
pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan
‘adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam
dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai
pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan
proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang
hukum-hukum syara’.[1]
Secara bahasa,al-‘adah diambil dari kata a-‘aud (‫ )العود‬atau al-mu’awadah
(‫ )المعاودة‬yang artinya berulang(‫[)التكرار‬2].
Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-‘adah dengan:

‫عبارة عما يستقر فى النفوس من األمور المتكررة المقبولة عند الطباع السليمة‬

3
“Sesuatu ungkapandari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
terulang-ulang yaang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Para ulama mengartikan al-‘adah dalam pengertian yang sama karena
substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya
al-‘urf didefinisikan dengan:

َ ِ‫صا َر ٰذل‬
‫ك ُمطَّ ِردًا َأوْ غَالِبًا‬ َ ‫ْالعُرْ فُ هُ َو َما تَ َعا َرفَ َعلَ ْي ِه النَّاسُ َوا ْعتَا َدهُ فِى َأ ْق َوالِ ِه ْم َوَأ ْف َعالِ ِه ْم َحتَّى‬

“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya


dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa
dan berlaku umum”
Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan
dengan: ‘Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum
(al-‘adah al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.

Dalam memutuskan suatu perkara setidaknya ada dua macam


pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama, pertimbangan keadaan
kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya, dimana dan kapan terjadinya,
bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa saja
pelakunya. Kedua, perimbangan hukum. Dalam perimbangan hukum
inilah terutama hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-
Qur’andan Al-Hadis, adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam
memutuskan perkara.

 Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan


dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan
hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.

4
[3] Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum
syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang  hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara
khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil
itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

B. Dasar Hukum Al-‘adah


Ketika hadis ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis
nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadis nabi yang
menguatkannya. Sedangkan kaidah tersebut setelah di kritisi dan diasah
oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi
kaidah yang mapan.

Di antara ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah sebagai berikut:

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َوَأ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِهلِين‬

Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan


yang ma’ruf serta berpaling dari orang-orang yang bodoh”(QS. Al-
A’raaf:199)
ِ ‫َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬

Artinya: “Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan


kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 228)
ِ ‫َاشرُوه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬ ِ ‫َوع‬

Artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang


ma’ruf (baik)” (an-Nisa:19)

5
ْ ُ‫ط َعا ُم َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ ِم ْن َأوْ َس ِط َما ت‬
‫ط ِع ُمونَ َأ ْهلِي ُك ْم َأوْ ِك ْس َوتُهُ ْم‬ ْ ‫فَ َكفَّا َرتُهُ ِإ‬

Artinya: “Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memeberi makan sepuluh


orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian” (QS. al-Maidah:89)
Kataawsath tidak di nash-kan ukurannya dengan ketentuan yang pasti,
maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau
pakaian yang dimakan atau dipakai oleh kkeluarga tersebut.

Adapun Hadist-hadis nabi diantaranya:

‫صاَل ةَ قَ ْد َر اَأْلي َِّام‬


َّ ‫ق َولَ ِك ْن َد ِعي ال‬
ٌ ْ‫صاَل ةَ فَقَا َل اَل ِإ َّن َذلِ ِك ِعر‬
َّ ‫ع ال‬ ْ ‫ت ِإنِّي ُأ ْستَ َحاضُ فَاَل َأ‬
ُ ‫طهُ ُر َأفََأ َد‬ ْ َ‫قَال‬
‫صلِّي‬ َ ‫ْض ْينَ فِ ْيهَا ثُ َّم ا ْغت َِسلِي َو‬
ِ ‫ت ت َِحي‬ِ ‫الَّتِ ْي ُك ْن‬

Artinya: “Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia


berkata: “Saya ini berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti
apakah saya harus meninggalkan shalat”? nabi menjawab:” Tidak, itu
adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat berdasarkan ukuran
hari-hari yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan
shaalatlah”. (HR.Al-Bukhari dari ‘Aisyah)
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan paawanita, baik itu menstruasi,
nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi
pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan
seterusnya menunjukkan bahwa ukuran-ukuran terteentu bagi wanita
mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.

C. Kekecualian dari kaidah

6
Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa al-‘adahyang 
dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al-‘adah al-shahihah,
bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak dapat
digunakan apabila:

1. al-‘adah bertentangandengan nash baik Al-Qur’an maupun Al-


Hadis, seperti: saum terus-terusanatau saum empat puluh hari
atau tujuh hari siang malam, kebiasaan judi, menyabung ayam,
kebiasaan menanam kepala hewan korban waktu mebuat
jembatan, kebiasaan memelihara babi atau mmperjual belikan
daging babi, dan lain sebagainnya.

2. al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau


menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak
mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti:
memboroskan harta,hura-hura dalam acara perayaan,
memaksakan dalam menjual (jual beli dedet-sunda), dan lain
sebagainnya.

3. al-‘adah berlaku pada umumnya dikaum muslimin, dalam arti


bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak di anggap
adat

D. Kaidah-Kaidah Cabang
Diantarakaidah-kaidah cabang dari kaidahal-‘adah muhkamah adalah
sebagai berikut:

1. ‫إستعمال الناس حجة يجب العمل به‬

7
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaaan
dimasyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah
menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.

 ‫إنما تعتبر العادة إذا اضطردت أو غلبت‬


Artinya: “Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan
pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali
terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya
merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus
dilakkandan bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabila
seseprang berlangganan majalah atau surat abar, maka majalah atau surat
kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapat
majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa
komplain(mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau
surat kabar tersebut.

   ‫العبرة للغالب الشائع ال للنادر‬


Artinya:  “Adat yang diakui adalah yang umunya terjadi yang dikenal
oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Ruayidi menggunakan ungkapan lain yaitu:

8
‫الحكم بالمعتاد ال بالنادر‬

Artinya: “Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang


jarang terjadi”
Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil
terpanjang, tetapi bula menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil
terpanjang tidak akan melebihi satu tahun. Demikian pula
menentukan menopause dengan 55 tahun.

 ‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َك ْال َم ْشرُوْ ِط شَرْ طًا‬


Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang
diisyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya : adat kebiasaaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat
seperti suatu syarat yang di buat, meskipun tidak secara tegas
dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun
rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang
bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisamenuntun bayaran.
Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat
yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedangdibangun. Lalu dia
bekerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang lainnya
meskipun dia tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu
atau tukang cat apabila dibayar, dia mendapatkan bayaran.

 ‫َّار َك ْال َم ْشرُوْ ِط بَ ْينَهُ ْم‬


ِ ‫ْال َم ْعرُوْ فُ بَ ْينَ التُّج‬
Artinya: “ Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku
sebagai syarat di antara mereka”
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang
muamalah saja, dan itu pun dikalangan pedagang.

9
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang,
seperti disyaratkan dalam transaksi.[4] Kaidah ini lebih mengkhususkan
adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan
disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah al-adah
muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu yang
sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi
(status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan
syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan
dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun aplikasi kaidah ini
tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama pedagang saja, akan
tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait dalam
bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Adapun contoh aplikasi
kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk
menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu
bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah
menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab
penjual.

 ِ ْ‫التَّ ْعيِيْنُ بِ ْالعُر‬


ِّ‫ف َكالتَّ ْعيِي ِْن بِالنَّص‬
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan
nash”

10
Maksudnya kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang
memenuhi syarat seperti telah dikemukakan pada bagian c. Adalah
mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan
nash.

Contohnya: apabila sseseorang menyewa rumah atau toko


tanpamenjelaskansiapa yangbertempat tinggal dirumah atau toko
tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa
mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izizn orang
yang menyewakan.

 ً‫ْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َك ْال ُم ْمتَن َِع َحقِ ْيقَة‬


Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkann adat kebiasaan
seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan’
Maksudnya kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan
adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam
kenyataannya. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada
pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjekaskan dari
mana asal harta tersebut. Sama halnya seseperti seseorang mengaku anak
si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai
bapaknya.

 ‫ك بِ َداَل لَ ِة ْال َعا َد ِة‬


ُ ‫ْال َحق ْيقَةُ تُ ْت َر‬
Artinya: “Arti hakiki ( yang  sebenarnya) ditinggalkan karena ada
petunjuk arti menurut adat”
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain
yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Contohnya; yang disebut jual beli

11
adalah penyerahan uang danpenerimaan barang olehsipembeli serta
sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan
tetapi, apabila sipembeli sudahmenyerahkan tanda jadi (uang
muka),maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi.
Maka si penjualtidak bisa lagi membatalkan jual belinnya meskipun
harga barang naik.

 ‫اإلذن العرفى كاإلذن اللفظى‬


Artinya: “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan
pemberian izin menurut ucapan”[5]
 Perbedaan antara  Al-’Adah dengan Al-’Urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas
yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa
membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki
wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah),
sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan
berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi
terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan
istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan
dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Sekalipun demikian, fuqaha
tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai
kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul
dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai
budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak
menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal
seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai

12
tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh
individu maupun kolektif.[6]
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan
istilah ‘adah dan ‘urf  itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:

1. ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan


pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang
obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.

2. ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan


pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada
pekerjaan.
Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan
yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan
berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat
disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika
ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat
hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan.
Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa
dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,
sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya,
adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih
menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah
sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati,
dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam
bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata
terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh

13
karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan
adat (kepantasan)[7].

BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan
dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf  adalah
Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek
yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada
aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat
pelakunya. Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun
kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas
tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan
al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan
al-’Urf  adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan

14
karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah
seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum
fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan
berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

B. Saran
Demikian makalah yang bisa kami uraikan, pasti banyak kekurangan dari
segi penulisan dan redaksi yamg dikutip. Kami berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan pembaca. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuhkan untuk memperbaiki kinerja kedepan. Karena
kesempurnaan hanya milik Allah sedangkan kekhilafan datangnya
darikami. Terimakasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arfan, Abbas. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam


Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah.2012.Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI.

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis).2007.Jakarta: Kencana.

Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah


Asasi).2002.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tamrin, Dahlan. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-


Khamsah). 2010. Malang: UIN Maliki Press.

[1] Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-


Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010). h. 203. 

16
[2] Prof.H. A. Djazuli. KAIDAH KAIDAH FIKIH: kaidah-kaidah hukum
islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis. (Jakarta: Prenada
Media, 2007).cet. I, hlm.79.

[3] Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya


dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI,2012). h. 204.

[4] Jaih, Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi),


(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). h. 157.

[5] Prof. H. A. Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum


Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis),
(Jakarta:Kencana,2007). h. 84-88.

[6] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-


Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002). h. 208.

[7] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-


Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002). h. 208.

17

Anda mungkin juga menyukai