PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari qawaid fiqhiyyah?
2. Apa perbedaan dari dlawabith fiqhiyyah, nadhariyah fiqhiyyah, serta kaidah
usuliyyah?
3. Bagaimanakah sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah?
4. Apa sajakah buku-buku sumber kaidah fiqhiyyah dari empat madzhab?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian qawaid fiqhiyyah.
2. Untuk mengetahui perbedaan dlawabith fiqih, nadhariyah fiqih, serta kaidah
usuliyyah
3. Untuk mengetahui sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah
4. Untuk mengetahui buku-buku sumber kaidah fiqhiyyah dari empat madzhab.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Imam Tajuddin al-Subki mendefinisikan kaidah dengan:
jَّات َكثِ ْي َرةٌ يُ ْفهَ ُم أَحْ َكا ُمهَا ِم ْنهَا ُ ِاَألَ ْمرُال ُكلِّ ُّي الَّ ِذي يَ ْنطَب
ٌ ق َعلَ ْي ِه ج ُْزئِي
“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim dalam kitab al-
asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
األَحْ َكام َعلَ ْيهَاjْرفَةُ القَ َوا ِع ِدالَّتِى تُ َر ُّد إِلَ ْيهَا َوفَ َّرعُوا
ِ َمع
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair,
mendefinisikan kaidah dengan:
ُ ُِح ْك ٌم ُكلِّ ٌّي يَ ْنطَب
ق َعلَى ج ُْزئِيَّاتِ ِه
“Hukum kulli (menyeluruh/general) yang meliputi bagian-bagiannya.
Dari definisi-definisi tersebut kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-
bagiannya. Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, pertama
kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah-kaidah fiqih (metodologi hukum islam),
hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-
kaidah fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al- ahkam, yaitu penerapan hukum atas
kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.1
1
H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta, PRENADAMEDIA GROUP,2006, hal 2-4.
3
lakukan dengan sengaja, harus dianggap suatu kesalahan oleh hakim bukan suatu
kesengajaan.2
Pada dasarnya qaidah semakna dengan dlawabith (bentuk jama’a nya dhawabith),
namun pada prakteknya para ulama membedakan antara qawaid fiqhiyyah dan
dlawabith fiqhiyyah. Qawaid fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah
dalam bab-bab fiqih yang berbeda-beda, seperti qaidah yang mencakup bab
ibadah, jinayat, jihad, sumpah.
Sementara dhawabith fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam
satu bab fiqih. Contoh: Seorang wanita tidak boleh melakukan puasa Sunnah
kecuali seizing suaminya atau suaminya dalam perjalanan.
As-sayuthi berkata: “karena sesungguhnya qaidah menghimpun cabang-cabang
daro berbagai bab yang berbeda-beda, sedangkan dlawabith menghimpun cabang-
cabang dari satu bab saja.
2. Nadhariyah Fiqhiyyah
النظريةberasal dari kata النظرsecara bahasa/ etimologi mengangan-angan sesuatu
dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan النظريadalah hasil dari apa
yang di angan-angankan tersebut,seperti halnya mengangan-angankan akal yang
mengatakan bahwa alam adalah sesuatu yang baru. Akan tetapi sebagian ulama
fuqaha kontemporer mengatakan, bahwa Nadhariyah ‘amah muradif satu arti
dengan qawaid fiqhiyyah, yang termasuk dalam golongan ini adalah Syekh
Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang dijelaskan dalam “ushul fiqih”. Atau
nadhariyah fiqhiyyah juga bisa didefinisikan dengan “maudhu-maudhu fiqih atau
maudhu yang memuat masalah-masalah fiqhiyyah atau qadhiyah fiqhiyyah”.
Hakikatnya adalah “rukun, syarat dan hukum yang menghubungkan fiqih, yang
menghimpun satu maudhu yang bisa di gunakan sebagai hukum untuk suatu unsur
yang ada. Seperti, nadhariyah milkiyah, aqad, itsbat dan yang lainnya. Sebagai
bentuk aplikasi dari contoh nadhariyah itsbat (penetapan) dalam an fiqih al-jinai’
al islami (pidana islam) yang terdiri dari beberapa unsur yaitu, hakikat itsbat,
syahadah, syarat-syarat saksi mekanisme saksi, pembelaan, tanggung jawab saksi,
ikrar (pengakuan), qarinah (bukti), khibrah (keahlian), yamin (sumpah), qasamah
dan juga li’an.
Perbedaan yang mendasar antara keduanya (qaidah fiqhiyyah dan nadhariyah
fiqhiyyah adalah:
2
Nasher Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz, Qawaid Fiqiyah, Jakarta, Amzah, 2009, hal 2-3.
4
1) Qaidah fiqhiyyah
Mengandung hukum fiqih yang di dalamnya, seperti qaidah “" اليقين اليزال باشاك
qaidah ini mengandung hukum fiqih di setiap masalah yang berkaitan dengan
masalah “yakin” dan “ragu” dan ini berbeda dengan nadhariyah fiqhiyyah,
yaitu tidak mengandung/memuat hukum fiqih di dalamnya seperti, nadhariyah
milik,fasakh, buthlan.
2) Qaidah fiqhiyyah tidak mengandung rukun dan syarat, berbeda dengan
nadhariyah fiqhiyyah yang pasti lekat dengan rukun dan syarat.
3. Kaidah Usuliyah
Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih menyatakan
bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqih
adalah al-Qurafi, yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul
dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqih dan kaidah-kaidah
kuliyah fiqhiyyah “
Ali Ahmad al-Nadwi merincci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah
fiqih.
1) Kaidah-kaidah ushuli adalah timbangan dan patokan untuk melakukan
istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqih digali hukum-hukum dan
dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, dan
kata-kata larangan menunjukkan haram.
2) Kaidah ushuli fiqih meliputi semua bagian, sedangkan kaidah fiqih hanya
bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.
3) Kaidah ushuli adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis,
sedangkan kaidah fiqih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa kembali
kepada satu hukum yang sama. Kaidah-kaidah fiqih pun bisa menjadi cara
untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Selain itu kaidah-kaidah ushul
fiqih juga menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menentukan hukum
terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
4) Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fiqih muncul
setelah furu’.
5) Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari
dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqih menjelaskan masalah fiqih yang
terhimpun di dalam kaidah tadi.
5
C. Sejarah Munculnya Kaidah Fiqhiyyah
1. Masa Pembentukan
a. Masa Rasulullah
Dalam masa ini disimpulkan bahwa benih-benih qawaid al fiqhiyyah
telah ada sejak zaman Rasulullah. Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para
sahabat tidak menamakannya hal tersebut adalah kaidah, namun dari
pelafadzannya ditemukan oleh ulama bahwa rasulpun mengeluarkan kaidah
bahkan dari matan hadist yang beliau ucapkan.
Imam-imam mujtahid kemudian melakukan pengembangan terhadap
nushus yang bermakna kully atau general. Secara tidak langsung banyak hal
yang diucapkan oleh rasulullah yang memiliki esensi qawaid fiqhiyyah,
diantaranya adalah:
ض َما ِن َّ اَ ْل َخ َرا ُج بِال.
Hak yang menerima hasil karena harus menanggung kerugian
ِ إِنَّ َما األَ ع َما ُل بِانِّيَّا.
ت
Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya
ِ ض َر َر َواَل
ض َرا َر َ اَل.
Tidak ada mudharat(bahya) dan tidak membahayakan
َماأَ ْس َك َر َكثِي ُرهُ فَقَلِيلُهُ َح َرا ٌم.
Apa-apa yang memabukan dalam kadar yang banyak, maka dalam kadar
sedikitpun ikut haram
Hadist-hadist tersebut dijadikan para ulama sebagai sumber kaidah dalam
qawaid fiqhiyyah yaitu berlafadz ringkas namun bermakna luas.
b. Masa Sahabat
Para sahabat mempunyai konstribusi nyata dalam pembentukan
qawaidh al fiqhiyyah. Sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah
fiqhiyyah dalam beragumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat
mengkategorikan sejumlah riwayat para sahabat untuk menjadi landasan
sumber kaidah.
Di antara yang sangat terkenal ada di dalam kitab al madkhol fi tasyri’ al
islamy yaitu perkataan Umar bin Khattab r.a
مقاطعالحقوق عند الشروط
Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syaratnya.
Kemudian perkataan Ibnu Abbas r.a yang di kategorikan sebagai kaidah
fiqih dalam bab kaffarah dan piihan dalam konsekuensi hukum:
و كل شيء فإن لم تجدوا فهو األول فاألول،كل شيء في اقرآن أوأو فهو مخير
6
Segala seuatu dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau” maka
itu adalah berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam Al-Qur’an yang
berkalimat “jika tidak menemukannya” maka itu yang utama dan paling
utama untuk dikerjakan.
c. Masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabi’ut tabi’in juga telah
mengeluarkan sejumlah qawaid al fiqhiyyah, di antaranya adalah dari
perkataan Imam Syafi’I:
عليهjمن شرط على نفسه طائعا ً غيرمكرفهو
Dari ulama di era yang sama, Khair bin Na’im juga berkata:
من أقر عندنا بشئ ألزمناه إياه
Barang siapa yang menyetujui suatu hal dari kita, maka hal tersebut wajib
pula berlaku padanya.
Imam Muhammad Ibnu Hasan al-Syaibani, murid daripada Imam Abu
Hanifah r.a juga mengemukakan sebuah pendapat yaitu:
Apabila seorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam
hatinya, apakah ia sudah berhadast hingga menjadikannya batal atau belum,
dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya, lebih baik ia mengulangi
wudhunya.
Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan salat beserta keraguannya itu,
menurut Hanafiyah boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia
yakin bahwa ia telah hadast(batal).
Pernyataan Imam al-Syaibani tersebut tertuang dalam kaidah :
َْاليَقِينُ اَل يَ ِزا ُل بِاال َّشك
Keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan.3
7
kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al Karkhi dengan menghimpunkan
sejumlah 39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abdllah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al-
Hanafi, telah menyusun Kitab Ta’sisun al-Nazar pada kurun kelima hijriyah.
Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan
terperinci berkenaan qawaid tersebut. Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-
Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi dengan kitab yang terkenal hingga
saat ini yaitu ta’sisu nadhir. Pada kurun ketujuh hijriyah, penulisan ilmu ini telah
dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki dan Izz al-Din Abd
al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al
Syafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
4
H. Faturrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH, Banjarmasin, Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat(LPKU), 2015, hal 29-39.
8
D. Buku-buku Sumber Kaidah Fiqhiyyah empat madzhab
1. Kitab-kitab kaidah fiqih mazhab hanafi
a. Ushul al-karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal dengan Abu Hasan al-karkhi
yang di dalamnya memuat 37 kaidah fiqih.
b. Ta’sis al-nazhar, karangan Abu Zaid Al-Dabusi (w-970 H). Di dalam kitab
tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqih.
c. Al—Asybah wa-al Nazhair, karangan Ibnu Nuzaim (w 970 H) nama
lengkapnya Zai n al-Din bin Ibrahim bin Muhammad, terkenal dengan nama
Ibnu Nuzaim al-Hanafi al-Mishri, terdapat 25 kaidah.
d. Majami’ al-haqaq , karangan Abi Said al-khadimi seorang fakih mazhab
Hanafi yang memuat 154 kaidah. Kaidah-kaidah fikihnya disusun berdasarkan
abjad huruf Hijaiyah.
e. Majalah al-Ahkam al-adliyah , yang disusun oleh ulama-ulama terkemuka
Turki Usmani, yang diketahui oleh Ahmad Udat Basya, seorang ulama ahli
hukum islam terkenal yang pada waktu itu menjabat sebagai mentri
kehakiman kekhalifahan Turki Usmani. Di dalam nya terdapat 99 kaidah di
bidang fiqh muamalah dengan 1851 pasal.
10
a. Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Taimiyah (661-728 H).
Nama lengkapnya adalam Imam Taqiyuddin Abu Abas Ahmad bin Abd. Al-
Halim bin Abd al-Salam Bin Abdullah Bin Taimiyyah. Dalam pembahasannya,
Ibnu Taimiyyah menyebut qawaid dan dhawabith. Demikian pula di dalam
kitab fikihnya, al-Fatawa.
b. Al- Qawaid al-Fiqiyyah, karngan Ibnu Qadhi al-Jabal (W.771 H), nama
lengkapnya Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah.
c. Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawwaid, karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin
Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab. Dalam kitab ini ada 160 buah.
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis para peminat
kaidah fiqih, seperti al-Qawaid al-Fiqiyyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi, Syarh al-
Fiqiyyah Oleh Syekh Muhammad Zarqa al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqhiyyah
Oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi. Dalam bahasa Indonesia antara
lain kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A.Rahman, kaidah Fikih oleh Jaih
Mubarok, dan lain-lain.5
5
H. A. Djazuli, hal 19-22.
11
BAB III
PENUTUP
Dari penulisan makalah di atas, kami sebagai penulis menyimpulkan sebagai berikut :
12