Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Qawaid al-fiqhiyyah mempunyai posisi penting dalam metode istinbath
ahkam, yang merupakan satu disiplin ilmu untuk memformulasikan dalil-dalil yang
bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah hukum yang tidak
disebut dalam nushus.
Dalam hal ini dikategorikan sebagai bagian dari pendukung dalil syar’I, juga
menjadi komponen penting dalam perumusan penemuan hukum. Terlebih sejumlah
ulama menegaskan bahwa tolak ukur derajat keilmuan seorang yang faqih salah
satunya adalah penguasaan terhadap ilmu qawaid ini. Imam al-Qarrafi bahkan
meletakkan ini sebagai dasar syariat ke dua setelah ilmu ushul fiqih.
Dari sini kita akan mengkaji secara detail tentang pengertian qawaid
fiqhiyyah, serta perbedaan (dlawabith fiqih, nadhariyah fiqih, serta kaidah usuliyyah),
perlu diketahui juga sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah, kemudian buku-buku
sumber kaidah fiqhiyyah berdasarkan empat madzhab.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari qawaid fiqhiyyah?
2. Apa perbedaan dari dlawabith fiqhiyyah, nadhariyah fiqhiyyah, serta kaidah
usuliyyah?
3. Bagaimanakah sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah?
4. Apa sajakah buku-buku sumber kaidah fiqhiyyah dari empat madzhab?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian qawaid fiqhiyyah.
2. Untuk mengetahui perbedaan dlawabith fiqih, nadhariyah fiqih, serta kaidah
usuliyyah
3. Untuk mengetahui sejarah munculnya kaidah fiqhiyyah
4. Untuk mengetahui buku-buku sumber kaidah fiqhiyyah dari empat madzhab.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi al-Qawaid Fiqhiyyah ( Kaidah Fiqhiyyah ).


Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologis dan terminologis,(lughotan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah
bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang
abstrak, seperti kata-kata qawaid al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawaid al-din,
artinya dasar-dasar agama, qawaid al-‘ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini
digunakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26:

ِ ‫واع َد ِمنَ ْلبَ ْي‬


‫ت َوإِ ْس َما ِع ْي ُل‬ ِ َ‫َوإِ ْذ يَرْ فَ ُع إِ ْب َرا ِهي ُم ْالق‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail”
(QS. Al-Baqarah: 127).
‫فَأَتَى هَّللا ُ بُ ْنيَا نَهُ ْم ِمنَ ْالقَ َوا ِع ِد‬
“Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya” (QS. An-Nahl:
26).
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi,
tempat yang di atasnya berdiri bangunan. Dengan demikian maka al-Qawaid al-
Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas
yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:

‫اح ٍد يَجْ َم ُعهَا‬


ِ ‫س َو‬ ِ ‫َمجْ ُموْ َعةُ األَحْ َك ِام ال ُمتَ َشبِهَا‬
ٍ ‫ت الَّتِي تَرْ ِج ُع إِلَى قِيَا‬
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogy yang
mengumpulkannya
Sedangkan al-jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan:

‫ تِهَا‬j‫ضيَةٌ ُكلِّيَّةٌ ُم ْنتَبِقَةٌ َعلَى َج ِم ِع ج ُْزئِيَّا‬


ِ َ‫ق‬
“Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-
bagiannya.

2
Imam Tajuddin al-Subki mendefinisikan kaidah dengan:

j‫َّات َكثِ ْي َرةٌ يُ ْفهَ ُم أَحْ َكا ُمهَا ِم ْنهَا‬ ُ ِ‫اَألَ ْمرُال ُكلِّ ُّي الَّ ِذي يَ ْنطَب‬
ٌ ‫ق َعلَ ْي ِه ج ُْزئِي‬
“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim dalam kitab al-
asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:

‫ األَحْ َكام َعلَ ْيهَا‬j‫ْرفَةُ القَ َوا ِع ِدالَّتِى تُ َر ُّد إِلَ ْيهَا َوفَ َّرعُوا‬
ِ ‫َمع‬
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair,
mendefinisikan kaidah dengan:
ُ ِ‫ُح ْك ٌم ُكلِّ ٌّي يَ ْنطَب‬
‫ق َعلَى ج ُْزئِيَّاتِ ِه‬
“Hukum kulli (menyeluruh/general) yang meliputi bagian-bagiannya.
Dari definisi-definisi tersebut kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-
bagiannya. Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, pertama
kaidah-kaidah ushul fiqih maupun kaidah-kaidah fiqih (metodologi hukum islam),
hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-
kaidah fiqih sering digunakan di dalam tathbiq al- ahkam, yaitu penerapan hukum atas
kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.1

B. Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah Dengan Dlawabith Fiqhiyyah, Nadhariyah


fiqhiyyah, Kaidah Usuliyah
1. Dlawabith Fiqhiyyah
Dlawabith memiliki ruang lingkup dan cakupan lebih sempit dari pada kaidah
fiqhiyyah, dlawabith ini ruang lingkupnya hanya berlaku di bidang fiqih jinayah
dan hanya berlaku pada anak-anak yang belum dewasa, maksudnya apabila anak
yang belum dewasa melakukan kejahatan dengan sengaja, maka hukumannya
tidak sama dengan hukuman yang diancam kepada orang dewasa, kalau diberikan
hukuman maka hukumannya hanya bersifat pendidikan. Sebab kejahatan yang dia

1
H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta, PRENADAMEDIA GROUP,2006, hal 2-4.

3
lakukan dengan sengaja, harus dianggap suatu kesalahan oleh hakim bukan suatu
kesengajaan.2
Pada dasarnya qaidah semakna dengan dlawabith (bentuk jama’a nya dhawabith),
namun pada prakteknya para ulama membedakan antara qawaid fiqhiyyah dan
dlawabith fiqhiyyah. Qawaid fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah
dalam bab-bab fiqih yang berbeda-beda, seperti qaidah yang mencakup bab
ibadah, jinayat, jihad, sumpah.
Sementara dhawabith fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam
satu bab fiqih. Contoh: Seorang wanita tidak boleh melakukan puasa Sunnah
kecuali seizing suaminya atau suaminya dalam perjalanan.
As-sayuthi berkata: “karena sesungguhnya qaidah menghimpun cabang-cabang
daro berbagai bab yang berbeda-beda, sedangkan dlawabith menghimpun cabang-
cabang dari satu bab saja.
2. Nadhariyah Fiqhiyyah
‫ النظرية‬berasal dari kata‫ النظر‬secara bahasa/ etimologi mengangan-angan sesuatu
dengan mata (ta’mulus syai’ bi al ain), sedangkan ‫ النظري‬adalah hasil dari apa
yang di angan-angankan tersebut,seperti halnya mengangan-angankan akal yang
mengatakan bahwa alam adalah sesuatu yang baru. Akan tetapi sebagian ulama
fuqaha kontemporer mengatakan, bahwa Nadhariyah ‘amah muradif satu arti
dengan qawaid fiqhiyyah, yang termasuk dalam golongan ini adalah Syekh
Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang dijelaskan dalam “ushul fiqih”. Atau
nadhariyah fiqhiyyah juga bisa didefinisikan dengan “maudhu-maudhu fiqih atau
maudhu yang memuat masalah-masalah fiqhiyyah atau qadhiyah fiqhiyyah”.
Hakikatnya adalah “rukun, syarat dan hukum yang menghubungkan fiqih, yang
menghimpun satu maudhu yang bisa di gunakan sebagai hukum untuk suatu unsur
yang ada. Seperti, nadhariyah milkiyah, aqad, itsbat dan yang lainnya. Sebagai
bentuk aplikasi dari contoh nadhariyah itsbat (penetapan) dalam an fiqih al-jinai’
al islami (pidana islam) yang terdiri dari beberapa unsur yaitu, hakikat itsbat,
syahadah, syarat-syarat saksi mekanisme saksi, pembelaan, tanggung jawab saksi,
ikrar (pengakuan), qarinah (bukti), khibrah (keahlian), yamin (sumpah), qasamah
dan juga li’an.
Perbedaan yang mendasar antara keduanya (qaidah fiqhiyyah dan nadhariyah
fiqhiyyah adalah:
2
Nasher Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz, Qawaid Fiqiyah, Jakarta, Amzah, 2009, hal 2-3.

4
1) Qaidah fiqhiyyah
Mengandung hukum fiqih yang di dalamnya, seperti qaidah “" ‫اليقين اليزال باشاك‬
qaidah ini mengandung hukum fiqih di setiap masalah yang berkaitan dengan
masalah “yakin” dan “ragu” dan ini berbeda dengan nadhariyah fiqhiyyah,
yaitu tidak mengandung/memuat hukum fiqih di dalamnya seperti, nadhariyah
milik,fasakh, buthlan.
2) Qaidah fiqhiyyah tidak mengandung rukun dan syarat, berbeda dengan
nadhariyah fiqhiyyah yang pasti lekat dengan rukun dan syarat.
3. Kaidah Usuliyah
Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih menyatakan
bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyah dan kaidah fiqih
adalah al-Qurafi, yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul
dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqih dan kaidah-kaidah
kuliyah fiqhiyyah “
Ali Ahmad al-Nadwi merincci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah
fiqih.
1) Kaidah-kaidah ushuli adalah timbangan dan patokan untuk melakukan
istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqih digali hukum-hukum dan
dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, dan
kata-kata larangan menunjukkan haram.
2) Kaidah ushuli fiqih meliputi semua bagian, sedangkan kaidah fiqih hanya
bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.
3) Kaidah ushuli adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis,
sedangkan kaidah fiqih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa kembali
kepada satu hukum yang sama. Kaidah-kaidah fiqih pun bisa menjadi cara
untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Selain itu kaidah-kaidah ushul
fiqih juga menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menentukan hukum
terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
4) Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fiqih muncul
setelah furu’.
5) Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari
dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqih menjelaskan masalah fiqih yang
terhimpun di dalam kaidah tadi.
5
C. Sejarah Munculnya Kaidah Fiqhiyyah
1. Masa Pembentukan
a. Masa Rasulullah
Dalam masa ini disimpulkan bahwa benih-benih qawaid al fiqhiyyah
telah ada sejak zaman Rasulullah. Sekalipun dalam era ini Rasulullah dan para
sahabat tidak menamakannya hal tersebut adalah kaidah, namun dari
pelafadzannya ditemukan oleh ulama bahwa rasulpun mengeluarkan kaidah
bahkan dari matan hadist yang beliau ucapkan.
Imam-imam mujtahid kemudian melakukan pengembangan terhadap
nushus yang bermakna kully atau general. Secara tidak langsung banyak hal
yang diucapkan oleh rasulullah yang memiliki esensi qawaid fiqhiyyah,
diantaranya adalah:
‫ض َما ِن‬ َّ ‫اَ ْل َخ َرا ُج بِال‬.
Hak yang menerima hasil karena harus menanggung kerugian
ِ ‫إِنَّ َما األَ ع َما ُل بِانِّيَّا‬.
‫ت‬
Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya
ِ ‫ض َر َر َواَل‬
‫ض َرا َر‬ َ ‫اَل‬.
Tidak ada mudharat(bahya) dan tidak membahayakan
‫ َماأَ ْس َك َر َكثِي ُرهُ فَقَلِيلُهُ َح َرا ٌم‬.
Apa-apa yang memabukan dalam kadar yang banyak, maka dalam kadar
sedikitpun ikut haram
Hadist-hadist tersebut dijadikan para ulama sebagai sumber kaidah dalam
qawaid fiqhiyyah yaitu berlafadz ringkas namun bermakna luas.

b. Masa Sahabat
Para sahabat mempunyai konstribusi nyata dalam pembentukan
qawaidh al fiqhiyyah. Sekalipun mereka tidak menamakanya sebagai kaidah
fiqhiyyah dalam beragumen, namun ulama dengan ijma’nya sepakat
mengkategorikan sejumlah riwayat para sahabat untuk menjadi landasan
sumber kaidah.
Di antara yang sangat terkenal ada di dalam kitab al madkhol fi tasyri’ al
islamy yaitu perkataan Umar bin Khattab r.a
‫مقاطعالحقوق عند الشروط‬
Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syaratnya.
Kemudian perkataan Ibnu Abbas r.a yang di kategorikan sebagai kaidah
fiqih dalam bab kaffarah dan piihan dalam konsekuensi hukum:
‫ و كل شيء فإن لم تجدوا فهو األول فاألول‬،‫كل شيء في اقرآن أوأو فهو مخير‬

6
Segala seuatu dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau” maka
itu adalah berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam Al-Qur’an yang
berkalimat “jika tidak menemukannya” maka itu yang utama dan paling
utama untuk dikerjakan.
c. Masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabi’ut tabi’in juga telah
mengeluarkan sejumlah qawaid al fiqhiyyah, di antaranya adalah dari
perkataan Imam Syafi’I:
‫ عليه‬j‫من شرط على نفسه طائعا ً غيرمكرفهو‬
Dari ulama di era yang sama, Khair bin Na’im juga berkata:
‫من أقر عندنا بشئ ألزمناه إياه‬
Barang siapa yang menyetujui suatu hal dari kita, maka hal tersebut wajib
pula berlaku padanya.
Imam Muhammad Ibnu Hasan al-Syaibani, murid daripada Imam Abu
Hanifah r.a juga mengemukakan sebuah pendapat yaitu:
Apabila seorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam
hatinya, apakah ia sudah berhadast hingga menjadikannya batal atau belum,
dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya, lebih baik ia mengulangi
wudhunya.
Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan salat beserta keraguannya itu,
menurut Hanafiyah boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia
yakin bahwa ia telah hadast(batal).
Pernyataan Imam al-Syaibani tersebut tertuang dalam kaidah :
َ‫ْاليَقِينُ اَل يَ ِزا ُل بِاال َّشك‬
Keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan.3

2. Masa perkembangan dan pembukuan


Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan
memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu
Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fuqaha yang hidup pada abad
ketiga dan keempat hijriyah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid
fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. Usaha ini
3
Firman Arifandi, LL.B, LL.M., Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum, Jakarta Selatan, Rumah Fiqih
Publishing, 2018, hal 14-18

7
kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al Karkhi dengan menghimpunkan
sejumlah 39 qaidah. Kemudian Abu Zayd Abdllah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al-
Hanafi, telah menyusun Kitab Ta’sisun al-Nazar pada kurun kelima hijriyah.
Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan
terperinci berkenaan qawaid tersebut. Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-
Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi dengan kitab yang terkenal hingga
saat ini yaitu ta’sisu nadhir. Pada kurun ketujuh hijriyah, penulisan ilmu ini telah
dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki dan Izz al-Din Abd
al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al
Syafi’iyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.

3. Masa Kematangan dan Penyempurnaan


Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al Ahkam al-Adhiyyah, dalam
versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: ‫ال يجوز الحد أن يتصرف فى ملك الغير‬
‫( بالإذنه‬sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas
milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam versi Abu Yusuf larangan
mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah
juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan
yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi
manusia.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab-kitab qawaid
fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fuqaha
yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-
Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam
kitabnya yang berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.
Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fuqaha yang bernama
Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154 H) telah menyusun sebuah kitab usul al-
fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah
telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau
susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah
disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.4

4
H. Faturrahman Azhari, QAWAID FIQHIYYAH MUAMALAH, Banjarmasin, Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat(LPKU), 2015, hal 29-39.

8
D. Buku-buku Sumber Kaidah Fiqhiyyah empat madzhab
1. Kitab-kitab kaidah fiqih mazhab hanafi
a. Ushul al-karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal dengan Abu Hasan al-karkhi
yang di dalamnya memuat 37 kaidah fiqih.
b. Ta’sis al-nazhar, karangan Abu Zaid Al-Dabusi (w-970 H). Di dalam kitab
tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqih.
c. Al—Asybah wa-al Nazhair, karangan Ibnu Nuzaim (w 970 H) nama
lengkapnya Zai n al-Din bin Ibrahim bin Muhammad, terkenal dengan nama
Ibnu Nuzaim al-Hanafi al-Mishri, terdapat 25 kaidah.
d. Majami’ al-haqaq , karangan Abi Said al-khadimi seorang fakih mazhab
Hanafi yang memuat 154 kaidah. Kaidah-kaidah fikihnya disusun berdasarkan
abjad huruf Hijaiyah.
e. Majalah al-Ahkam al-adliyah , yang disusun oleh ulama-ulama terkemuka
Turki Usmani, yang diketahui oleh Ahmad Udat Basya, seorang ulama ahli
hukum islam terkenal yang pada waktu itu menjabat sebagai mentri
kehakiman kekhalifahan Turki Usmani. Di dalam nya terdapat 99 kaidah di
bidang fiqh muamalah dengan 1851 pasal.

2. Kitab-kitab kaidah fikih mazhab maliki


a. Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ‘ ala Mazhab al-Imam Malik, karangan Ibnu Haris
al-Husyni (w. 361 H) meskipun dalam kitab ini lebih banyak dhabith daripada
kaidah fiqih.
b. Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w. 684 H) nama lengkapnya Abu Abbas Ahmad
bin Idris bin Abdurrahman Syihabuddin al-Qurafi. Dalam kitab ini tercantum
tidak kurang dari 548 kaidah, meskipun al-Qurafi mencampurkan antara
kaidah, dhabith, bahkan bahasan fiqih, misalnya perbedaan antara khiyar
majelis dan khiyar syarat disebut kaidah.
c. Al-Qawaid, karangan al-Maqari (w.758 H) nama lengkapnya Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad , kitab ini memuat kurang lebih 100 kaidah.
d. Idhah al-Masalik ila Qawaid al-Imam Malik, karangan al-Winsyarisi (w.914
H) nama lengkapnya Ahmad bin Yahya bin Muhammad, kitab tersebut
mengandung 118 kaidah.

3. Kitab-kitab kaidah fiqih Mazhab al-Syafi’i


9
a. Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, karangan Izzudin bin Abd al-Salam
(3577-660 H) yang digelari dengan sulthan al-Ulama. Kitab ini
mengembalikan seluruh kaidah kepada jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid
(meraih maslahat dan menolak mafsadah). Hukum mubah, sunnah dan wajib
adalah maslahat sedangkan makruh dan haram hukumnya mufsadah.
b. Al-Asybah wa al-Nazhair (w.716 H) karangan Ibnu al-Wakil, nama
lengkapnya Abdullah Bin al-Murahili.
c. AL-Majnu al –Mudzhab Fi Qauca al- Mahzab,karangan Abu Sa’id al-Ala’i
(W. 761 H ) ,sering pula disebut Shalahuddin.
d. AL –Asybah wa al –Nazhair,karangan Taj al –Din Ibnu al –subki (W. 771 H
),Nama lengkapnya Abd al –Wahab bin Ali bin Tanam al –subki. Yang
menarik dari kitab al –subki ini antara lain; Kaidah disusun dengan menyebut
Kaidah-Kaidah pokok (Kaidah asasi), kemudian disusul dengan Kaidah fikih
yang penting dan disebutnya dengan al –qawa’id al –aminah,karena tidak
hanya berlaku pada Bab-Bab tertentu.kemudian disusul dengan al –dhabith al
–Fiqhiyah yang disebutnya dengan al –qawa’id al –khashshah ,kemudian
membahas sebagian masalah-masalah fikih yang diucapkan oleh Kaidah-
Kaidah tadi.
e. Al –mansur fi tarbib al –Qawa’id al –fiqhiyah atau al –Qawa’id fi al
furu,karangan al –Zarkasyi (W.749 H).Nama lengkapnya adalah Muhamad
bin Bahadur bin Abdullah Badrudin al –Mishri al –Zarkasyi.kitab ini
menghimpun sekitar 100 Kaidah,yang dirinci dengan dhabith-nya Kitab ini
kemudian diberi syarah (komentar) oleh sirajuddin Al –Ibadi [947 H].
f. Al-Asybah wa al-Nazhair,karangan Imam al-sayuthi (W.991 H).Nama
lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Abi Bakar bin Muhamad,yang diberi
gelar Jalaluddin dan terkenal dengan nama al-sayuthiyal al-Syafi’i.Dimulai
dengan menjelaskan lima Kaidah pokok,Kemudian dijelaskan Kaidah-Kaidah
fikih yang masih diikhtilafkan ulama yang terdiri dari 20 Kaidah.
g. Al-Istighna fi al-farqi wa al-Isstitna,karangan Badrudin al-Bakri.Dalam kitab
tersebut dijelaskan tentang Kaidah dan dhabith-nya serta kekesualiannya,yaitu
masalah fikih yang tidak termasuk di dalam Kaidah atau dhabith tersebut.

4. Kitab-Kitab Kaidah Fiqih Mazhab Hambali

10
a. Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Taimiyah (661-728 H).
Nama lengkapnya adalam Imam Taqiyuddin Abu Abas Ahmad bin Abd. Al-
Halim bin Abd al-Salam Bin Abdullah Bin Taimiyyah. Dalam pembahasannya,
Ibnu Taimiyyah menyebut qawaid dan dhawabith. Demikian pula di dalam
kitab fikihnya, al-Fatawa.
b. Al- Qawaid al-Fiqiyyah, karngan Ibnu Qadhi al-Jabal (W.771 H), nama
lengkapnya Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah.
c. Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawwaid, karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin
Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab. Dalam kitab ini ada 160 buah.

Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis para peminat
kaidah fiqih, seperti al-Qawaid al-Fiqiyyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi, Syarh al-
Fiqiyyah Oleh Syekh Muhammad Zarqa al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqhiyyah
Oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi. Dalam bahasa Indonesia antara
lain kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A.Rahman, kaidah Fikih oleh Jaih
Mubarok, dan lain-lain.5

5
H. A. Djazuli, hal 19-22.

11
BAB III
PENUTUP

Dari penulisan makalah di atas, kami sebagai penulis menyimpulkan sebagai berikut :

12

Anda mungkin juga menyukai