Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Syari’ah


Maqashid Syari’ah ialah tujuan al-syari’ (Allah Swt. Dan Rasulullah
Saw) dalam menetapkan hukum islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri
dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Sebagai alasan logis bagi
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.
Abu Ishaq al-Syaitibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum
disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu
menurut asl-Syaitibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan
dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.
B. Tingkatan Kemaslahatan.
Berdasarkan pendapat para ulama ushul fiqih di atas, maka dapat
dipahami, bahwa tujuan syariat adalah untuk kemaslahatan kehidupan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut al-Syatibi ada lima tujuan pokok Syariat Islam, yaitu dalam
rangka melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima pokok
tersebut dinamakan dengan kuliyah al-khams atau al-Qawaid al-kulliyyat.
Untuk kepentingan menentapakan hukum, kelima tujuan pokok
tersebut dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan Dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada
atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori
ini, yaitu memelihara agama (hifzul-din) memelihara jiwa(hifzul-
Nafsh), memelihara akal (hifzul-akl), memelihara kehormatan dan
keturunan (hifzul-Nashl), serta memelihara harta (hifzul-Mal).
Untuk memelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan.
Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan
pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima
pokok di atas. Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad:
‫هوهقاَ تننلو هنوم هحاتىَّ هل تهنكهن فنوتنهةة هو يهنكووهن اْلاد وينن ن ا‬
ْ‫ان فهإ ن نن اْ ونتهههووا‬
{ ١٩٣ :٢/ ‫ظاَ لننمويهن }اْلبقر ة‬ ‫فههل نعودهواْهن إنال هعهلىَّ اْل ا‬
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (QS. Al-
Baqarah:193).
Dari ayat ini dapat diketahui tujuan disyariatkan perang adalah
untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan
mengajak umat manusia untuk menyembah Allah.
b. Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder,
bilamana kebutuhan ini tidak terwujudkan tidak sampai
mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
Syariat islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum
rukhsah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf,
adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap
kebutuhan ini.
Dalam persoalan ibadah, islam mensyariatkan beberapa
hukum rukshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat
kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya,
islam membolehkan tidak berpuasa jika dalam perjalanan jauh
dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya
dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-Qasar shalat
adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Dalam persoalan mu’amalat disyariatkan banyak macam
kontrak (akad), serta macam-macam jual beli,sewa menyewa,
syirkah(kerjasama) dan mudharabah(berniaga dengan modal orang
lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum rukshah
dalam mu’amalat.
Dalam persoalan ‘uqubat(sanksi hukum), islam
mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan yang
tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas
seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan
jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan
keringanan dalam Syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-
petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, ayat 6 Surat Al-Maidah :

‫هماَ يننرندان لنيهوجهعهل هعلهوينكوم نمون هحهر ج‬...


...‫ج‬
{٦ : ٥/‫}اْلماَئدة‬
Dan Dia (Allah) tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (QS. Al-Maidah/5:6)
C. Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkatan kebutuhan yang apabila
tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima
pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakkan
al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata,
dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma
dan akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadah,mu’amalat,
dan ‘uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan
dengan kebutuhan tahsniyat. Dalam persoalan ibadah, kata Abd.
Wahhab Khallaf, umpamanya islam mensyariatkan bersuci baik
dari najis atau hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan
lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke masjid,
menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam persoalan mu’amalat islam melarang boros, kikir,
menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat
islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan
kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit di
dalam peperangan).
Pada hakikatnya

Anda mungkin juga menyukai