Anda di halaman 1dari 19

Makalah

Qawaidul Khamsah (kaidah asasiyyah)

Disusun oleh :

Naufal Ali Ghani

(220202110187)

Dosen : M. Anas Khalis, M.Hi

Mata kuliah : Fiqih Ibadah

FAKULTAS SYARIAH

HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................i
Abstrak................................................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..................................................................................................................................2
A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah..........................................................................................2
a. Definisi kaidah..................................................................................................................2
b. Definisi fiqih......................................................................................................................3
c. Definisi qawaidul fiqhiyyah..................................................................................................3
B. Pembagian Qawaidul Fiqhiyyah.........................................................................................4
C. Tujuan Dan Urgensi Qawaidul Fiqhiyyah.......................................................................5
D. Kitab-Kitab Sumber Kaidah Fiqih....................................................................................5
E. Qawaidul Khamsah...............................................................................................................6
1. Kaidah pertama................................................................................................................7
2. Kaidah kedua....................................................................................................................8
3. Kaidah ketiga....................................................................................................................9
4. Kaidah keempat.............................................................................................................11
5. Kaidah kelima................................................................................................................13
BAB III..............................................................................................................................................15
Kesimpulan...................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................16

i
Abstrak
Qawaidul fiqhiyyah (legal maxim) diperlukan sebagai salah satu istinbath hukum untuk mencari
jawaban hukum tersebut. Qawaidul fiqhiyyah adalah kaidah fiqih yang dihasilkan dari analisis
induktif (istiqra’) dengan memperhatikan faktor kesamaan (al-asybah) dari berbagai macam kasus
fiqih yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah umum yang dijadikan dasar (guidance) untuk
menentukan hukum bagi persoalan yang belum diketahui hukumnya. Qawaidul fiqhiyyah
merupakan suatu kebutuhan bagi para peminat fiqih untuk memahami hukum fiqih dimana berbagai
hukum cabang yang banyak tersusun menjadi satu kaidah.

Kata kunci : qawaidul fiqhiyyah, qawaidul khamsah, kaidah asasiyyah

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas syariah. Banyak dari kita yang belum mengerti sama sekali
apa itu Qawaidul fiqhiyyah. Maka dari itu saya selaku penulis ingin menjelaskan tentang
kaidah-kaidah fiqih, mulai dari pengertian, pembagian, tujuan, urgensi serta buku-buku
sumber qawaidul fiqhiyyahiyyah empat mazhab. Dan juga saya akan menjelaskan apa itu
qawaidul khamsah.

Qawaidul fiqhiyyah (legal maxim) diperlukan sebagai salah satu istinbath hukum
untuk mencari jawaban hukum tersebut. Qaidah fiqhiyyah adalah kaidah fiqih yang
dihasilkan dari analisis induktif (istiqra’) dengan memperhatikan faktor kesamaan (al-
asybah) dari berbagai macam kasus fiqih yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah
umum yang dijadikan dasar (guidance) untuk menentukan hukum bagi persoalan yang
belum diketahui hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Qawaidul fiqhiyyah?
2. Apa tujuan mengetahui Qawaidul fiqhiyyah?
3. Ada berapa pembagian Qawaidul fiqhiyyah?
4. Apa saja buku-buku sumber kaidah fiqih dalam 4 mazhab?
5. Apa itu Qawaidul khamsah?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Qawaidul fiqhiyyah
2. Mengetahui pembagian Qawaidul fiqhiyyah
3. Mengetahui tujuan mempelajari Qawaidul fiqhiyyah
4. Mengetahui buku-buku sumber kaidah fiqih dalam 4 mazhab
5. Memahami Qawaidul khamsah

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
a. Definisi kaidah
Menurut bahasa arti kaidah sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Zamaksyari
dalam Tafsir al-Kasysyaf berarti asas dan asal kepada apa yang diatasnya. 1 Menurut al-
Raghib al-Asfahaniy dalam al-mufradat fi Gharib al-Qur’an kaidah berarti asas yang
merupakan asas sesuatu dan asalnya. Hal itu merupakan sesuatu yang bersifat hissi atau
yang dapat dilihat oleh pancaindra, Seperti: asas rumah (‫ ) قواع==د ال==بيت‬dan tidak dapat
dilihat, seperti: asas agama ( ‫) قواع=د ال=دين‬.2 Sebagaimana firman Allah di dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 127: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi
Baitullah bersama Ismail” (QS. al-Baqarah: 127).

Sedangkan menurut istilah, kaidah memiliki beberapa pengertian, diantaranya :

Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-ashbah wa al-nadza’ir mendefinisikan kaidah


dengan :

‫حكم كل ّي ينطبق على جزئياته‬

Hukum kulli (menyeluruh) yang meliputi bagian bagiannya.”3

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah dengan :

‫قضية كليّة منطبقة على جميع جزئيّاته‬

Ketetapan yang kulli (menyeluruh) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”4

Imam Tajuddin al-Subki mendefinisikan kaidah dengan :

‫األمر الكل ّي الذي ىنطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم احكمها منها‬

“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali,
yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”5

1
Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, cet.5, (Damsyiq: Darul Qalam,1998), hlm. 33.
2
Ibrahim Muhammad Mahmud al-Haririy, al-Madkhal Ila al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyah, cet.1, (Amman: Darul
Ammar, 1998), hlm. 7-8.
3
Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, cet.1, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1979),
hlm. 5.
4
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Darul Kutub Ilmiyah, 1983), hlm. 171. 6
5
Tajuddin al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair, Juz 1, (Beirut: Darul Kutub Islamiyah), 11.
2
3

Dari definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi
bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya).

b. Definisi fiqih
Fiqih menurut bahasa (etimologi) ialah faham, sedangkan menurut istilah
(terminologi), Imam Abu Hanifah mendefinisikannya sebagai berikut :

‫معرفة النفس ما لها و ما عليها‬

“pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”

Selain itu Wahbah az-Zuhaili juga mengutip ulama kalangan Syafi‘iyyah yang
mendefinisikan al-fiqh sebagai berikut:

‫العلم باألحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية‬

“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang
digali dari dalil yang terperinci.”

c. Definisi qawaidul fiqhiyyah


Menurut bahasa, qawaidul fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan dengan
masalah hukum. Sedangkan menurut istilah, ‘Abd al-Karīm Zaydān mengutip definisi
Ibn Nujaym berikut untuk menjelaskan hakikat qawaidul fiqhiyyah:6

.‫ لتعرف أحكامها منه‬،‫ حكم كلي ينطبق على جميع جزئيته أو اكثرها‬: ‫و في اصطالح الفقهاء‬
“Dalam terminologi fuqaha, qawaidul fiqhiyyahiyyah adalah ketentuan umum yang
mencakup seluruh atau kebanyakan partikular di bawahnya sehingga hukum diketahui
darinya.”
Sebab, meski bersifat umum, obyek kajian qawaidul fiqhiyyah adalah perbuatan
manusia yang menjadi subyek hukum (mukallaf). Contoh, kaidah “tidak ada pahala
kecuali dengan niat” adalah ketentuan hukum atas perbuatan manusia bahwa ia tidak
memperoleh pahala kecuali jika ia meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal ini berbeda dengan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh yang diketahui
berdasarkan kaidah-kaidah ushul, sebab objek materialnya adalah dalil syar’i dengan
segala kondisinya dan hukum beserta berbagai kondisinya.

B. Pembagian Qawaidul Fiqhiyyah


a. Segi fungsi

6
Zaydān, ‘Abd al-Karīm. Al-Wajīz fī Syarh al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 2001), hlm. 7.
4

Dari segi fungsi, qawaidul fiqhiyyah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sentral dan marginal. Qawaidul fiqhiyyah yang berperan sentral, karena kaidah
tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-
Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya
:

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai
syarat”

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang


cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan
furu’ 

b. Segi mustasnayat (pengecualian)

Dari sumber pengecualian, qawaidul fiqhiyyah dapat dibedakan menjadi dua,


yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Qawaidul fiqhiyyah yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad
SAW. Umpamanya adalah :

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”

Qawaidul fiqhiyyah lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian


kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

c. Segi kualitas
Dari segi kualitas, qawaidul fiqhiyyah dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu :· 
1. Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh qawaidul fiqhiyyah pada
dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
5

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan qawaidul


fiqhiyyah adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan
sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

2. Kaidah asasi
Adalah qawaidul fiqhiyyah yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh
aliran hukum islam. Qawaidul fiqhiyyah tersebut adalah :

”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan” 

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan

hukum”

3. Qawaidul fiqhiyyah yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Qawaidul fiqhiyyah yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”
majallah al -Ahkamal-Adliyyat ”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah
fuqaha utsmaniah.

C. Tujuan Dan Urgensi Qawaidul Fiqhiyyah


Qawaidul fiqhiyyah dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

a. Dari sudut pandang sumber, kaidah adalah cara bagi peminat fiqh untuk memahami
dan menguasai Maqasid as-Syari'at, karena ulama dapat menemukan isu-isu inti
dalam suatu subjek dengan mendalami banyak nash.
b. Dari segi istinbath al-ahkam, qawaidul fiqhiyyah mencakup berbagai persoalan yang
telah dan belum muncul. Dengan demikian, kaidah fikih dapat dijadikan sebagai alat
untuk memecahkan masalah tanpa adanya regulasi atau kepastian hukum.

D. Kitab-Kitab Sumber Kaidah Fiqih


a. Kitab-Kitab Qawaidul fiqhiyyah Mazhab Hanafi
1. Ushul al-Karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal dengan Abu Hasan al-Karkhi yang di
dalamnya memuat 37 kaidah fikih
2. Ta’sis al-Nazhar, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H). Di dalam kitab tersebut
dicantumkan 86 kaidah fikih.
6

3. Al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Ibnu Nuzaim (w. 970 H). Nama lengkapnya Zain
al-Din bin Ibrahim bin Muhammad, terkenal dengan nama Ibnu Nuzaim alHanafi al
Mishri, terdapat 25 kaidah.
b. Kitab-Kitab Qawaidul fiqhiyyah Mazhab Maliki
1. Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam Malik, karangan Ibnu Haris al-Husyni
(w.361 H)
2. Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w. 684 H), nama lengkapnya, Abu Abbas Ahmad bin
Idris bin Abdurahman Syihabuddin al-Qurafi.
3. Al-Qawaid, karangan al-Maqarri (w. 758 H) nama lengkapnya Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad, kitab ini memuat kurang lebih 100 kaidah.
c. Kitab-Kitab Qawaidul fiqhiyyah Mazhab Syafi’i
1. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, karangan Izzuddin bin Abd al-Salam (577-
660 H) yang digelari dengan Sulthan al-‘Ularna.
2. Al-Asybah wa al-Nazhair (w. 716 H), karangan Ibnu alWakil al-Syafi’i, nama
lengkapnya Abdullah bin al Murahili.
3. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, karangan Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761
H), sering pula disebut Shalahuddin.
d. Kitab-kitab Qawaidul fiqhiyyah Mazhab Hanbali
1. Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyyah, karangan ibnu Taimiyah (661-728 H). Nama
lengkapnya adalah Imam Taqiyyuddin Abu Abbas Ahmad bin Abd alHalim bin Abd
al-Salam bin Abdullah bin Taimiyah.
2. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H), nama lengkapnya
Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah).
3. Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawa’id, karangan Ibnu Rajab al-Rahman bin Syihab
bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab.

E. Qawaidul Khamsah
Qawaidul khamsah adalah lima kaidah yang sangat masyhur di kalangan ulama
mazhab syafi’i khususnya, dan ulama mazhab yang lain pada umumnya, meskipun
urutannya tidak selalu sama. Dalam makalah ini, kelima kaidah tersebut akan dijelaskan
dengan urutan sebagai berikut:

1. Setiap perkara tergantung pada niatnya.

‫األمور بمقاصدها‬

2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.


7

‫اليقين ال يزال بالشك‬

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

‫المشقة تجلب التيسير‬

4. Kemudharatan (harus) dihilangkan.

‫الضرر يزال‬

5. Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum.

‫العادة محكمة‬

1. Kaidah pertama
‫األمور بمقاصدها‬

“Setiap perkara tergantung dengan niatnya”

Kaidah ini memiliki makna bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
baik itu berupa perkataan maupun tingkah laku, semuanya tergantung dari niat/maksud
orang yang melakukan perkara tersebut. Karena niat itu penting untuk melihat kualitas atau
makna perbuatan seseorang. Apakah dia melakukan sesuatu tersebut untuk beribadah
kepada Allah atau hanya karena suatu kebiasaan saja. Dengan kata lain niat atau maksud
dari hati sesorang pada saat melakukan sesuatu tersebut menjadi tolak ukur dari amal yang
ia lakukan.

Misalnya, ada orang yang makan hanya untuk mengisi perutnya sehingga ia merasa
kenyang, maka ia tidak akan memperoleh pahala, Namun apabila ia meniatkan makan agar
kuat beribadah kepada Allah, maka ia akan mendapatkan pahala dari makan nya tersebut.

Dasar Hukum Kaidah

Dasar hukum pengambilan kaidah ini, antara lain:

a. Al-Qur’an

‫و ما امروا اال ليعبدوا هللا مخلصين له الدين‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).

b. Hadits

‫إنما األعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوى‬


8

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya
mendapatkan apa yang dia niatkan.

2. Kaidah kedua
‫اليقين ال يزال بالشك‬

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”

Kaidah ini memiliki makna bahwa semua hukum yang sudah berlandaskan pada
suatu keyakinan, itu tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul
kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan,
tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.7

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya
suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan hati itu
sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat
(asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan
keraguraguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan
kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda
tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu hal yang sudah diyakini.8

Misalnya, apabila seseorang lupa bilangan rakaat nya pada saat shalat, maka ia
harus memilih yang mana yang paling ia yakini, dan membuang apa yang meragukannya

Dasar hukum kaidah

Berikut merupakan dalil-dalil atau nas-nas syar’i yang berkaitan dengan kaidah ini di
antaranya ialah :

a. Al-Qur’an

‫و ما يتبع اكثرهم إال الظن إن الظن ال ىغني نم الحق شيئا‬

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36).

b. Hadits

‫دع ما يريبك الى ما ال يريبك‬

7
Dr. H. Mif Rohim, MA, Buku ajar qawaid fiqhiyyah (inspirasi dan dasar penetapan hukum), cet.1, (Jombang: LPPM
UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), hlm. 62
8
H. Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2010), hlm. 76 .
9

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.”


(HR. al-Nasa’i)

Pengertian yakin disini ialah :

‫هو ما كان ثابتا بالنظر او الدليل‬

“Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindra atau dengan adanya dalil.”9

Sedangkan yang di maksud dengan assyak adalah:

ِ ‫ب َو ْال َخطَا ِء ُدوْ نَ تَرْ ِجي‬


‫ْح اَ َح ِد ِه َما َعلَى ااْل َ َخ ِر‬ ِ ‫ص َوا‬ َ ‫اوى‬
َ ‫ط َرفَ ِى ال‬ ِ ْ‫ه َُو َما َكانَ ُمتَ َر ِّددًا بَ ْينَ الثُّبُو‬
ِ ‫ت َو َع َد ِم ِه َم َع تَ َس‬
Yang artinya: “suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang
kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan
salah satunya”10
3. Kaidah ketiga
‫المشقة تجلب التيسير‬

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”

secara etimologis al-Masyaqqah adalah at-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan,


kesulitan atau kesukaran sebagaimana pada surah an-Nahl, Ayat 7.

‫ق األنفُس‬
ِّ ‫و تح ِم ُل اَثقالَكم إلى بَلَد لم تكونوا بالِ ِغيه إال ب ِش‬

“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai
kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.” (QS. An-
Nahl: 7).

Sedangkan at-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits


nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan :

‫ِإ َّن ال ِّدينَ يُس ٌر‬

Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.11

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.


Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan

9
Ahmad Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana. 2006), Hal. 44
10
Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
11
M. Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, cet.1, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm.
129.
10

dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariah meringankankannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.

Dalam ilmu Fiqh, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada
tujuh macam, yaitu:

1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qashar salat, buka puasa, tidak salat
jum’at pada saat bepergian dengan syarat-syarat tertentu.
2. Keadaan sakit (al-maradh). Misalnya, boleh tayammum ketika tidak bisa menggunakan
air, boleh shalat fardhu sambil duduk, boleh tidak puasa bulan ramadhan dengan syarat
wajib menggantinya setelah sehat, dan lain-lain.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad
yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (suka rela).
4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, tetapi
bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk islam karena ketidaktahuan
nya, memakan/meminum sesuatu yang haram. Dalam contoh ini ada kaidah lain bahwa
ketidak tahuan tentang hukum tidak bias diterima di negeri Muslim, dalam arti
kemungkinan untuk tahu telah ada.
‫اليقبل فى دار اإلسالم العذر بجهل االحكام‬
“Tidak terima di negeri Muslim alasan tidak tahu tentang hukum Islam”12
6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum
ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati,
sekadar yang di butuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai
sarung untuk shalat
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang
dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan palaku ini disebut
unsur pema’af, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.13

Dasar hukum kaidah

Al-Qur’an

‫و ما جعل عليكم في الدين من حرج‬

12
Dr. H. Mif Rohim, MA, Buku ajar qawaid fiqhiyyah (inspirasi dan dasar penetapan hukum), cet.1, (Jombang: LPPM
UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), hlm.83
13
Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 56.
11

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(QS. Al-Hajj:
78).

Al-Hadits

‫ ما لم يكن إث ًما‬,‫ما ُخي َِّر رسول هللا صلى هللا عليه و سلم بَينَ اَم َري ِن إال اَخَ َذ اَي َس َرهما‬

“Rasululloh tidak pernah diminta untuk memilih di antara dua perkara yang salah satunya
lebih mudah daripada yang lain, melainkan beliau akan memilih yang termudah di antara
keduanya selama tidak berdosa.” (HR. Muslim).

4. Kaidah keempat
‫الضرر يزال‬
“Kemudharatan (harus) dihilangkan”

Kaidah ini memiliki makna bahwa kemudharatan yang terjadi harus dihilangkan.
Kaidah tersebut juga berarti bahwa segala sesuatu yang mendatangkan bahaya hendaknya
dihilangkan.14 Izzuddin Ibn Abd al-Salam mengatakan bahwa tujuan syariah itu adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Dengan kata lain, kaidah tersebut di
atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak
yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudharatan atau setidaknya
meringankannya. Kaidah tersebut di atas sering diungkapkan dengan hadits nabi yang
diriwayatkan dari berbagai jalur sanad:

َ‫ضرار‬
ِ ‫ض َر َر و ال‬
َ ‫ال‬

“Tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan”

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar, yaitu :
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu
ada mudarat”.Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  bagimu tidak ada manfaatnya dan
bagi orang lain memudaratkan.
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “membuat kemudaratan” dan al-dhirar
diartikan membawa kemudaratan di luar ketentuan syari’ah.

Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali,
maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.15

14
Ibrahim Muhammad Mahmud al-Hariri, al-Madkhal Ila al-Qawa’id Fiqhiyyah al-Kulliyyah, hlm. 92
15
Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-
dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, (diakses, 28/02, 2017, 10.05 Wib)
12

Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya
adalah:
1. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya
yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan.
2. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat.
3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari
dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
4. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Contoh mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu  antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan
orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk
menghilangkan kemudaratan.16

Dasar hukum kaidah

Al-Qur’an

‫غيرباغ و ال عا ٍد فال اث َم علي ِه‬


ٍ ‫ف َمن اضطُ َّر‬

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. .”(QS.
Al-Baqarah: 173).

Al-Hadits

‫من ضر أضره هللا و من شق شق هللا عليه‬

“Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang memudaratkan maka
Allah akan memudaratkannya dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah akan
menyusahkannya.”(HR. Imam Malik).

16
Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007), h. 68
13

5. Kaidah kelima
‫العادة محكمة‬

“Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum”

Kaidah ini memiliki arti bahwa di suatu keadaan, adat dapat dijadikan pijakan untuk
menentukan hukum ketika tidak ditemukan dalil syari’. Namun, tidak semua adat bisa
dijadikan pijakan hukum. Dan pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari
realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka
memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah
dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang
selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran
nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau kebiasaan),
budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya
menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan
proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum
syara’.17

Secara bahasa, al-‘adah diambil dari kata al-‘awud ( ‫ ) العود‬atau al-mu'awadah ( ‫المعودة‬
) yang artinya berulang ( ‫) التكرار‬. Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa
dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru
dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzaim
adalah :18

‫عبارة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررة المقبولة عند الطباع السليمة‬

“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang
yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.

Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam


menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus
persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.19

Kesimpulannya bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat
dijadikan sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh
17
Dahlan, Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki Press,2010). h. 203.
18
Ibnu Nuzaim, al-Asybah wa al-Nazhair, Juz I, (Damaskus: Darul Fikr, 1983), hlm. 101.
19
Abbas, Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah,
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012),
hlm. 204.
14

seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash
yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu
terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu
adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat (tidak bertentangan dengan syari'at, tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan, telah berlaku pada
umumnya orang muslim, tidak berlaku dalam ibadah mahdah, dan ‘Urf tersebut sudah
memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.

Contoh hal yang termasuk dalam Al-Adah al-Muhakkamah dalam kehidupan sehari-


hari adalah sahnya konsep tansaksi yang tanpa jual beli dan diganti dengan hal yang serupa
jual beli seperti pada pencatatan utang transaksi bank syariah.

Dasar hukum kaidah

Al-Qur’an

‫خذ العفو و امر بالعرف و أعرض عن المشركين‬

“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf: 199).

Al-Hadits

‫الوزن وزن اهل مكة و المكيال مكيال اهل مدينة‬

“Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Mekkah, sedangkan
ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli Madinah.”(HR. Abu Dawud)
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa, qawaidul fiqhiyyah ialah dasar-dasar yang berkaitan dengan
masalah hukum. Sedangkan menurut istilah :
‫ لتعرف أحكامها منه‬،‫حكم كلي ينطبق على جميع جزئيته أو اكثرها‬.

“ ketentuan umum yang mencakup seluruh atau kebanyakan partikular di bawahnya


sehingga hukum diketahui darinya.”
Pembagian qawaidul fiqhiyyah terbagi menjadi menurut beberapa segi, yaitu : segi
kualitas, segi fungsi. Dan segi mustasnayat
Tujuan mempelajari qawaidul fiqhiyyah ialah untuk memahami dan menguasai
Maqasid as-Syari'at dan dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan masalah tanpa
adanya regulasi atau kepastian hukum.
Qawaidul khamsah adalah lima kaidah yang sangat masyhur, yang tingkat
kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam di kalangan ulama mazhab syafi’i
khususnya, dan ulama mazhab yang lain pada umumnya, meskipun urutannya tidak selalu
sama. Lima kaidah tersebut adalah :
1. Setiap perkara tergantung pada niatnya.

‫األمور بمقاصدها‬

2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan.

‫اليقين ال يزال بالشك‬

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

‫المشقة تجلب التيسير‬

4. Kemudharatan (harus) dihilangkan.

‫الضرر يزال‬

5. Adat (dipertimbangkan di dalam) menetapkan hukum.

‫العادة محكمة‬

15
16

DAFTAR PUSTAKA

abbas, A. (2012). Kaidah-qawaidul fiqhiyyah Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam
dan Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.

al-Haririy, I. M. (1998). al-Madkhal Ila al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyah,. Amman: Darul


Ammar.

al-Karim, '. (2001). Al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah. Beirut:
Mu'assasah al-Risalah.

Al-Suyuthi. (1979). al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'i. Beirut: Darul
Kutub Ilmiyah.

Djazuli, A. (2006). Kaidah-kaidah fiqih. Jakarta: Kencana.

Dr. H. Mif Rahim, M. (2019). Buku ajar qawaid fiqhiyyah (inspirasi dan dasar penetapan hukum).
jombang: LPPM UNHASY Tebuireng Jombang.

Nuzhaim, I. (1983). al-Asybah wa al-Nazhair. Damaskus: Darul Fikr.

Thamrin, H. D. (2010). Kaidah-kaidah hukum islam . Malang: UIN-MALIKI PRESS.

16

Anda mungkin juga menyukai