Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH FIQH (QAWA’ID AL-KULLIYAH) DAN MAQASID AS-SYARIAH

Dosen Pengampu :

Dr. Bastiar,S.HI, MA

DI SUSUN OLEH :
Fiqri Ibnu Ahmadi 202112007

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE

2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah S.W.T. atas segala rahmat nya baik itu nikmat
berupa kesehatan , waras fikiran ,dan yang telah menciptaka manusia dengan sebaik-baik nya
sehinga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.

Salawat beserta salam mari sama-sama kita hantur kan kepada baginda besar nabi
Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan
seperti yang kita rasakan pada saat ini.

Tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh kawan-kawan yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari sepenuh nya bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna karna keterbatasan kami dalam pengalaman dan pengetahuan. Dan
kami berharap makalah yang berjudul : “ KAIDAH-KAIDAH FIQH (QAWA’ID AL-
KULLIYAH) DAN MAQASID AS-SYARIAH ” dapat bermanfaat bagi kita semua selaku kita
tinggal di negara hukum yang berprioritas islam ini.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

BAB II.............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN..............................................................................................................................3

A. PENGERTIAN QAWA’ID AL-KULLIYAH........................................................................3

B. HUKUM QAWA’ID AL-KULLIYAH...................................................................................4

C. PROSES DAN KEGUNAAN KAIDAH FIQIH.....................................................................6

D. PENGERTIAN DAN KANDUNGAN MAQASHID AL-SYARI'AH..................................6

E. CARA MENGETAHUI MAQASHID AL-SYARI'AH..........................................................7

F. KONSEP MAQASID ASY SYARIAH DALAM EKONOMI ISLAM.................................8

G. URGENSI MAQASHID AL-SYARI'AH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.........9

BAB III..........................................................................................................................................11

PENUTUP.....................................................................................................................................11

Kesimpulan................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat
general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut
dengan kaidah tadi. Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim
(w. 970 H) dalam kitab al- asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu
adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah adalah Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan maqashid al-syari'ah merupakan
salah satu konsep kunci dalam kajian hukum Islam. Karena pentingnya maqashid al-syari'ah,
para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah dapat dipahami oleh para mujtihad yang
melakukan ijtihad. Inti dari teori Makassid al-Syariah adalah mengakui yang baik sambil
menghindari yang buruk, atau memanfaatkan dan menolak kerugian.

Perhatikan bahwa Allah SWT sebagai Syari (orang yang memberlakukan Syariah) tidak
membuat undang-undang dan peraturan seperti itu saja. Namun, undang-undang dan peraturan
dibuat dengan tujuan dan tujuan tertentu dalam pikiran. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang dikutip
oleh Khairul Umam (2001:127), menyatakan bahwa tujuan syariat adalah kemaslahatan hamba
di dunia dan akhirat. Syariah adalah semua keadilan, semua rahmat, semua kebijaksanaan. Hal-
hal yang menyimpang dari keadilan, rahmat, keuntungan, dan hikmah sudah pasti bukan
ketentuan syariat.

Di sisi lain, perubahan sosial yang dihadapi umat Islam modern telah menimbulkan banyak
persoalan serius terkait hukum Islam. Di sisi lain, metode yang dikembangkan oleh para
reformator untuk mengatasi masalah ini tampaknya tidak memadai. Penelitian tentang
pembaruan hukum di dunia Islam menunjukkan bahwa cara-cara yang biasa dikembangkan oleh
para pembaharu Islam untuk menangani masalah hukum masih didasarkan pada pendekatan yang
terfragmentasi dengan menggunakan prinsip-prinsip Takayur dan Tarfiq (Anderson, 1976: 42).

1
Oleh karena itu, kini menjadi sangat mendesak bagi para pembaharu Islam untuk
merumuskan metodologi sistematis yang berakar kuat dalam Islam untuk menciptakan dan
secara konsisten mengembangkan hukum yang komprehensif (Esposito, 1982:101).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Qawa’id Al-Kulliyah?
2. Apa Sumber Hukum Qawa’id Al-Kulliyah?
3. Apa Saja Kegunaan Kaidah Fiqih Qawa’id Al-Kulliyah?
4. Bagaimana Cara Mengetahui Maqashid Al-Syari'ah?
5. Bagaimana Urgensi Maqashid Al-Syari'ah?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelas kan Pengertian Qawa’id Al-Kulliyah
2. Menjelas kan Hukum Qawa’id Al-Kulliyah
3. Menjelas kan Kegunaan Kaidah Fiqih Qawa’id Al-Kulliyah
4. Menjelas kan Cara Mengetahui Maqashid Al-Syari'ah
5. Menjelas kan Urgensi Maqashid Al-Syari'ah

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawa’id Al-Kulliyah
Al- Qawa’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna
asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata
qawa’idal-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’idal-din, artinya dasar-dasar agama,
qawa’idal-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-
Baqarah ayat 127 dan surat An-Nahl ayat 26 berikut ini:

ۗ ‫ت َواِ ْسمٰ ِع ْي ۗ ُل َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّا‬


ِ ‫َواِ ْذ يَرْ فَ ُع اِب ْٰر ٖه ُم ْالقَ َوا ِع َد ِم َن ْالبَ ْي‬
‫ت ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِ ْي ُم‬
َ ‫ك اَ ْن‬
َ َّ‫اِن‬
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar- dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan
kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".

‫ َّر‬u‫ ِد فَ َخ‬u‫انَهُ ْم ِّم َن ْالقَ َوا ِع‬uuَ‫قَ ْد َم َك َر الَّ ِذي َْن ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم فَاَتَى هّٰللا ُ بُ ْني‬
ُ ‫ف ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َواَ ٰتىهُ ُم ْال َع َذابُ ِم ْن َحي‬
‫ْث اَل يَ ْش ُعر ُْو َن‬ ُ ‫َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ْق‬
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka Telah mengadakan makar,
Maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak
mereka sadari”.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi,
tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam

3
ilmu nahwu/grammer bahasa arab, seperti maful itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada
unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup
seluruh bagian-bagiannya.
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad
asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah: "Kaum yang
bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan- satuan hukum juz’i yang banyak". Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : "Hukum yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya".
Kaidah-kaidah fiqh dapat dikatagorikan menjadi dua jenis. Pertama, kaidah yang benar-
benar asli dari segi kediriannya (al-ashl fi dzatihi) dan bukan cabang dari sebuah kaidah fiqh
yang lain. Kedua, kaidah yang merupakan subdividen (cabang) dari yang lain. Jenis pertama
disebut sebagai kaidah-kaidah fiqh induk, sedangkan jenis yang kedua disebut sebagai kaidah-
kaidah makro (al-qawa’id al- fiqhiyyah al-kulliyyah), sebab ia masuk di bawah klasifikasi
kaidah-kaidah fiqh induk dan ia menghasilkan cabang-cabang masalah fiqh yang sangat banyak
dan tidak terhitung jumlahnya dari segi cakupan objek pembahasannya.
Qawa’id Al-Kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-
madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu.
Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman / Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan
menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa ’ bi adh-Dharar al-Akhaf
Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan.

B. Hukum Qawa’id Al-Kulliyah


Secara lebih rinci hukum kulli ini bisa diklasifikasikan menjadi dua:
1) Qa’idah Kulliyah
Qa'idah Kulliyyah (kaidah global) adalah hukum syara', yang kepadanya berlaku batasan-
batasan hukum syara' sebagai khithab Allah. Hanya disebut demikian, karena disandarkan
kepada lafadz-Nya, yang berbentuk kulli, dan bukan kepada khithab-Nya. Namun demikian,
masing-masing dihasilkan melalui dalil-dalil syara'.
Artinya: “Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu
tadi hukumnya menjadi wajib”.
Adalah hukum kulli atau qa'idah kulliyah, yang digali dari dalalah al-iltizam (indikasi
kausalitas) seruan pembuat syariat yang manthuq (makna tersurat)-nya menunjukkan adanya

4
kewajiban. Artinya, jika ada seruan pembuat syariat menunjukkan wajibnya urusan tertentu,
maka seruan yang sama juga dengan dalalah al-iltizam (indikasi kausalitas) sebenarnya telah
menunjukkan bahwa kewajiban tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib.
Contoh lain kaidah kulli yang digali dari firman Allah.
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan (QS. Al- An'am: 108).
1) Ta’rif Syar’i Kulli
Ta'rif syar'i juga merupakan hukum syara', karena digali dari khithab pembuat syariat. Ia
juga merupakan makna (madlul) dari seruan pembuat syariat. Ia berbeda dengan kaidah, karena
ta'rif merupakan deskripsi realitas hukum. Meskipun masing-masing disebut hukum kulli, karena
lafadz yang menjadi sandarannya berbentuk kulli. Dalam hal ini, ta'rif syar'i bisa diklasifikasikan
menjadi:
a. Deskripsi hukum itu sendiri, yaitu definisi syara' yang mendeskripsikan hukum itu
sendiri. Misalnya definisi Ijarah (kontrak jasa), yaitu akad terhadap jasa tertentu dengan
sebuah kompensasi. Definisi ini menjelaskan hukum ijarah sebagai hukum syara' taklifi
yang mubah, karena itu dikatakan bahwa definisi tersebut menjelaskan hukum itu
sendiri. Ini digali dari nash al-Qur'an:
Artinya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (QS.
At-Thalaq: 6).
b. Deskripsi perkara yang dituntut oleh hukum, dimana perkara tersebut menjadi sandaran
terealisasikannya hukum, atau sandaran kesempurnaannya. Misalnya, definisi mengenai

5
'Azimah dan Rukhshah.
Sebab utama para ulama membukukan kaidah-kaidah kulliyah, karena para muhaqqiqin
telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap kaidah itu,
menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah. Kaidah-kaidah tersebut diterima oleh
segala pihak, diiktibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah.

C. Proses Dan Kegunaan Kaidah Fiqih


Proses pembentukan kaidah fiqih ini terjadi antara lain didorong oleh karena adanya
kebutuhan memahami materi ketentuan hukum (Fiqih) yang begitu banyak. Dengan adanya
kaidah fiqih ini diharapkan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat, dapat memperoleh
jawaban secara cepat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang ada dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, serta dengan metodologi (ushul fiqih) yang akurat.
Secara skematis, berikut digambarkan urutan proses pembentukan kaidah fiqih.

Secara ringkas kegunaan kaidah-kaidah fiqih antara lain adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui asas-asas umum fiqih
2. Untuk lebih mudah menetapkan masalah-masalah yang dihadapi
3. Untuk lebih arif dalam menetapkan fiqih sesuai dengan waktu, tempat, keadaan dan adat
kebiasaan yang berbeda
4. Untuk memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat dikalangan ulama
5. Mengetahui rahasia dan semangat hukum Islam tersimpul dalam kaidah

D. Pengertian Dan Kandungan Maqashid Al-Syari'ah


Makassid Al Syariah terdiri dari dua kata, Makassid dan Syariah. Kata maqashid
merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syariah

6
berarti hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk membimbing manusia agar bahagia di dunia
dan akhirat. Makassid al-Syariah dengan demikian menandakan kandungan nilai, yang menjadi
objek hukumnya. Jadi, Makassid al-Syariah merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan
ketentuan hukum (Asahri Jaya, 1996:5).

Menurut Satria Efendi (1998:14) Maqashid al-Syari'ah mengandung pengertian umum dan
pengertian khusus. Pengertian umum mengacu pada apa yang dimaksud dengan teks hukum atau
hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pemahaman linguistiknya atau tujuan yang terkandung
di dalamnya. Pengertian yang umum adalah sama dengan istilah maqashid al-syari' (kehendak
Tuhan untuk tidak menghormati nash hukum, atau niat Nabi untuk mengeluarkan hadits yang
sah). Sedangkan pengertian khusus adalah isi atau tujuan yang dicapai oleh rumusan undang-
undang.

Sangat penting untuk mempelajari teori Makassid al-Syariah dalam hukum Islam. Urgensi
didasarkan pada pertimbangan berikut: Pertama, hukum Islam adalah hukum yang diturunkan
dari wahyu ilahi dan ditujukan untuk umat manusia. Oleh karena itu, ia selalu menghadapi
perubahan dalam masyarakat. Hukum Islam dalam posisi ini, yang sumber utamanya (Al-Qur'an
dan As-Sunnah) yang diturunkan dalam beberapa abad terakhir, mampu beradaptasi dengan
perubahan sosial. Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat diberikan setelah mempelajari
berbagai unsur hukum Islam. Salah satu elemen terpenting adalah teori Makassid al Syariah.
Kedua, dari perspektif sejarah, teori ini sebenarnya telah dicatat oleh Nabi SAW, para
sahabatnya, dan para mujtahid generasi selanjutnya. Ketiga, ilmu Makasyid al-Syariah
merupakan kunci keberhasilan Mujtahid dalam Ijtihad, karena dapat menjawab pertanyaan
apapun dalam Muammara di antara sesama manusia untuk kepentingan hukum.Pakar Abdul
Wahab Khalaf (1968:198) mengatakan bahwa Syariat nash hanya dapat dipahami dengan baik
oleh mereka yang mengetahui maqashid al-syariah (objek hukum). Pendapat ini sejalan dengan
pendapat ahli hukum lainnya, Wahbah al-Zuhaili (1986:1017). Ia menyatakan bahwa ilmu
maqashid al-syari'ah merupakan hal yang dharuri (mendesak) bagi mujtahid ketika ia membaca,
memahami dan memahami teks. Hukum istinbath, dan agar orang lain mengetahui rahasia
syariat.

7
E. Cara Mengetahui Maqashid Al-Syari'ah
Menurut al-Shatibi, setidaknya ada tiga jalan yang ditempuh ulama untuk menemukan
hikmah dan tujuan dalam penegakan hukum.

1. Seorang ulama yang menyatakan bahwa maqashid al-syari`ah bersifat abstrak dan hanya dapat
diketahui dengan petunjuk Ilahi dalam bentuk lafal zahir. Instruksi tidak memerlukan
pengawasan yang mungkin benar-benar bertentangan dengan kehendak bahasa. Metode ini
diadopsi oleh para ulama Zahiriya.

2. Ulama yang kurang menekankan pengucapan Zahir mencoba mencari Makshid al-Syariah.
Mereka dibagi menjadi dua kelompok.

a. Sekelompok ulama yang berpendapat bahwa Maqashid al-Syariah bukanlah bentuk lafal Zahir
dan tidak dipahami dari lafal Zahir. Tapi maqashid al-syari'ah adalah hal lain di balik
menunjukkan pengucapan zahir, yang termasuk dalam semua aspek syari'at. Kelompok ini
disebut kelompok batiniyah.

b. Sekelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah harus dikaitkan dengan
istilah fonetik. Artinya, Anda tidak perlu menyertakan nilai mutlak dalam pengucapan Zahir
Anda. Jika ada perbedaan antara pengucapan dan penalaran Zahir, maka penalarannya, baik
berdasarkan pemeliharaan kemanfaatan atau tidak, diutamakan dan diutamakan. Kelompok ini
disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-Qiyas.

3. Ulama yang memadukan kedua pendekatan (pelafalan dan makna/pertimbangan irat Zahir)
sedemikian rupa sehingga tidak merusak makna dan makna lafal/isi irat Zahir sehingga syariat
tetap mengalir selaras dan tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok Rasikhin (Asafri
Jaya, 1996:89-91).

Untuk memahami maqashid alsyari'ah ini, al-Syathibi tampaknya termasuk dalam kelompok
ketiga (rasikhin), kata Asafri. Hal ini terlihat dari tiga metode yang dianjurkan oleh al-Shatibi
(exc.: 104) untuk memahami Makassid al-Shariah.

1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan.

2. Melakukan penelaahan illat perintah dan larangan.

8
3. Analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam pensyari'atan suatu hukum.

F. Konsep Maqasid Asy Syariah Dalam Ekonomi Islam


Istilah Makassid pertama kali digunakan oleh Turmuzi al-Hakim, seorang ulama yang
hidup melalui tulisan-tulisannya pada abad ke-3 M, dan kemudian diadopsi oleh Imam al-Kalafi.
Ide-ide Makassar berikutnya telah berkembang secara signifikan dengan memasukkan hanya
beberapa nama berpengaruh seperti Al Juweini, Al Ghazali, Al Shatibi dan Tahir bin Ashur. Ide
Makassar modern dikembangkan oleh Jassel Aouda yang dikenal dengan Pendekatan Sistem
Enam Sifat. sifat kognitif, sifat holistik, sifat keterbukaan, sifat hierarkis yang saling
berhubungan, sifat multidimensi, dan sifat intensional.

Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah Dharuriyat.
Artinya menopang kehidupan manusia dan memiliki lima hal: agama, jiwa, keturunan, harta, dan
al-Aql. Haji kedua adalah kebutuhan non-esensial, dan ketika terpenuhi tidak mengancam lima
kebutuhan dasar manusia, tetapi menciptakan kesulitan bagi Muqarraf. Tiga Tashnyat adalah
kebutuhan yang mendukung, dalam ketaatan, peningkatan martabat manusia di hadapan
masyarakat dan Tuhan.

Tiga gradasi tersebut oleh Al syatibi digunakan untuk meneropong konsep kepemilikan
harta lewat Maqasid Syariah, menurutnya kepemilikan harta tidak boleh beredar hanya pada
kalangan aghniya’, agar tidak terjadi dominasi kepemilikan dan terwujudnya keadilan sosial dan
ekonomi diantara umat. Dalam bidang kebutuhan konsumsi, produksi dan distribusi, Al Syatibi
berkesimpulan bahwa pemenuhan kebutuhan menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi
personal dari doktrin agama untuk memenuhinya, baik yang bersifat primer (dharuriyat),
sekunder (hajjiyat), maupun tersier (tahsiniyat).

G. Urgensi Maqashid Al-Syari'ah Dalam Perspektif Hukum Islam


Keurgensian maqashid ash-Syariah adalah menegakkan keadilan berdasarkan kehendak
pencipta manusia untuk mencapai ketertiban, ketentraman dan kebaikan manusia. Manusia yang
taat hukum berarti mencintai keadilan, sehingga terwujud kesejahteraan hidup manusia, baik
material maupun spiritual, pribadi dan sosial. Manfaat yang dimaksud, dirumuskan oleh Abu
Ishak ash-Syatibiy dan disepakati oleh para ahli hukum Islam lainnya yang dikutip oleh Hamka
Ishak, adalah untuk memelihara agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-`aql) nasab
(hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mal). Lima kelebihan yang cocok untuk tujuan pendidikan,

9
karena dengan agama, siswa dapat memiliki iman yang kuat; menjaga kesucian jiwa; memelihara
akal sehat agar mampu berpikir positif dan selalu memikirkan Tuhan dan alam ciptaan-Nya;
membesarkan anak kandung dengan memilih calon pasangan sesuai dengan peraturan agama;
memperoleh harta benda dengan cara yang baik dan halal untuk digunakan guna keperluan
penghidupan bagi diri sendiri, keluarga dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan.

Tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: 1) Aspek pembuat hukum Islam
adalah Allah swt dan Nabi Muhammad saw, 2) Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana
hukum Islam itu. Hal ini bila diuraikan sbg berikut :

1) Pembuat hukum Islam (Allah swt dan Nabi Muhammad SAW). Tujuan hukum Islam adalah
untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier (istilah
fiqh disebut daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat). Selain itu hukum Islam adalah untuk ditaati
dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

2) Pelaku hukum (manusia). Tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan manusia
yang bahagia. Caranya adalah mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi
kehidupan, sehingga tercapai keridhaan Allah dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akherat.

Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier adalah kebutuhan
hidup manusia dalam melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah di bumi. Kebutuhan primer
(daruriyyat) adalah kebutuhan yang utama yang harus dilindungi atau dipelihara seperti agama,
jiwa, akal, harta, dan keturunan oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar
terwujud. Kebutuhan sekunder (hajiyyat) adalah kebutuhan yang diperlukan oleh manusia untuk
mencapai kebutuhan primer seperti pelaksanaan hak asasi manusia. Kebutuhan tersier
(tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup manusia yang menunjang kebutuhan primer dan sekunder.

10
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa maqashid al-syari`ah merupakan aspek
penting dalam perkembangan hukum Islam. Sekaligus merupakan respon bahwa hukum Islam
dapat dan cenderung beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Penyesuaian yang dilakukan selalu berpijak pada landasan yang kokoh dan kokoh serta tetap
dalam kerangka syariat universal. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam relevan di setiap waktu
dan tempat.

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah adalah sesuatu yang bersifat
general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut
dengan kaidah tadi. Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim
(w. 970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu
adalah sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan
kaidah adalah Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.

Dari segi terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy- syafi’i dalam
buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah: "Kaum yang bersifat universal
(kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak". Sedangkan mayoritas Ulama
Ushul mendefinisikan kaidah dengan : "Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagiannya".

Qawa’id Al-Kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab
madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul azis Dahlan…[et al.], ibid. 13 Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh, Makasar: Yayasan al-
Ahkam, 1998, hlm.55

Afzalurrahman. 1996. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumi.
Antonio, M. S. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Pers

Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.

Azzam, A. A. M., 2009. Qawa’idFiqhiyyah, Jakarta: Sinar Grafika Offset


Djamil, Fathurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep. Jakarta. Sinar
Grafika.
Djazuli, 2007. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana

Hamka Haq, Aspek-Aspek Teologis dalam Konsep Maslahah menurut al-Syatibi, Jakarta:
Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1989.

Huzaimah Tahido, Qawaidul Fiqhiyyah dalam Ekonomi/Keuangan Islam, Makalah Seminar


Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAMRI, tgl 11-12 Juli
2006, Jakarta.

Jasser Auda. Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah. (Yogyakarta: Mizan, 2008),
32

Karim, A. A. 2004. Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan. Jakarta: Grafindo.

http://gudangmakalahmu.blogspot.com/2012/12/makalah-qawaid-al-kulliyah.html
http://arjonsonabd.blogspot.Com/2009/08/qawaidfiqhiyyahdanqawaidushuliyyah.h tml
robidarmawan.blogpot.com/2010/10-makalah-kaidah-fiqih.html
ahmadhani032.blogspot.com/2013/05/kaidah-kulliyah-fiqiyah.html
www.makalahkuliah.com/2012/06/hukum-kulli.html
edyanto56.blogspot.com/2012/07/kaidah-kaidah-fiqh-pokok.html?m=1

12

Anda mungkin juga menyukai