Anda di halaman 1dari 12

IJTIHAD

(USHUL FIQH)

Di susun oleh:

Fiqri Ibnu Ahmadi

Muhammad Baginda Kamal

Dosen pengampu:

Faisal Anwar M.A

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang ”IJTIHAD” ini. Makalah ini
merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan
salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga,
para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan
dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan,
dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah
di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita
semua, khususnya bagi penulis sendiri.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................I

DAFTAR ISI....................................................................................................................II

A. PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.Latar Belakang...........................................................................................................1
2. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
3. Tujuan penulisan.......................................................................................................1

B. PEMBAHASAN.............................................................................................................
1. Pengertian Ijtihad........................................................................................................
2. Urgensi dan kedudukan Ijtihad...................................................................................
3. Syarat-syarat Mujtahid................................................................................................
4. Masalah-Masalah yang diIjtihadkan...........................................................................
5. Penyebab terjadinya perbedaan hasil Ijtihad...............................................................

C. PENUTUP.......................................................................................................................
A.Kesimpulan.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
A.PENDAHULUAN

. 1. Latar Belakang
Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah
suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum.
Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan
Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur umat
Islam dalam keseluruhan aspek kehidupan, baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik,
pendidikan, ekonomidan hukum.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga
yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu
hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian,
tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

2. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian tentang Ijtihad
2. Bagaimana urgensi dan kedudukan ijtihad
3. Menjelaskan syarat-syarat mujtahid
4. Masalah-masalahyang diijtihadkan
5. Sebab-sebab yang menimbulkanperbedaan hasil ijtihad

3. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad
2. Agar kita mengetahui Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
3. Untuk mengetahui Syarat-syarat Mujtahid
4. Untuk memahami Masalah-masalahyang diIjtihadkan
5. Agar mengetahui Sebab-sebab yang menimbulkanperbedaan hasil ijtihad

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti mengerahkan
segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-
sungguh dalm mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum (yang sulit), dan dalam
prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan. Oleh karena itu, tidak disebut
ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad
berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaiman dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42.
Semuanyan mengandung arti “Badzlu Al-Wus’I Wa Al-Thoqoti” (pengarahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-lebih
dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segal kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.1[1][1]
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-undang ataupun dengan
mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash.2[2][2]
Kemudian di kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian usaha
yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-
hukum syariat. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan-perbuatan istimbath hukum

1
1[1] Nadith Syarif al-Umari, al-Ijtihad fi al-islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, ( Beiru: Muassasah Risalah,
1981) hal. 18
2[2][2]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999,
hlm. 200

3
syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, h.
529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah 591) mendefinisikan
ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dengan sungguh-sungguh
didalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-hukum syari’ah. Adapula yang
mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam al-mustashfa (II/4 pendapat
itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umu daripada qiyas, sebab
kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan
semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa
dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad.3[3][3]
Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan
dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar,
dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:

‫ِاْسِتْفَر اُغ اْلَفِقْيِه اْلُوْسَع ِلَتْح ِصْيِل َظٍّن ِبُح ْك ٍم َشْر ِع ٍّي‬

. “Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk
mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”4[4][4]
Abdul Wahab Khalaf menerangkan bahwa ijtihad meliputi pengarahan segenap
kesanggupanuntuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada nasnya, disebabkan dengan (al-
ijtihad bi al-ra’yi).
B. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang
hukum syari’ah , asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid.
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat
Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Para ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi 3 bagian yaitu:

3[3][3]
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad),
Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986, hlm. 111-112
4[4][4]
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 15

4
1. Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa h]ukum mengenai suatu peristiwa
yang terjadi, dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukunya.
Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui humnya.
2. Wajib kifayah, bagi orany yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan
lenyap peristiwa itu, sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya. Maka
apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka semua, tetapi
bila ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad
atas diri mereka.
3. Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum
atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya ijtihad,
karna dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan mengkoreksi kekeliruan dan
kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan upaya pembeharuan
hukum islam. Sebagaimana ungkapan Abu Bakar al-Baqilani bahwa setiap periode
memiliki ciri tersendiri sehingga menentukan peubahan hukum. Sedankan Ibnu Hajib
mengatakan bahwa ijtihad harus merujuk pada aspek-aspek pembeharuan terhadap
masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama’ terdahulu, sedangkan masalah yang
sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu dipembaharui. Sabda Nabi
SAW :”Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap penghujung periode
(seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”.5[6][6]
Meskipun demikia, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi ijtihad
yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang
lama, bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status ijtihad yang
lama, hal itu seiring dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi al-ijtihadi”
(ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri
yaitu:
1. Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-
Qur’an dan Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai
dan semangat islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah
diijtihad oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks
zaman dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga Jumhur Ulama’menunjukkan
ijtihad menjadi hujah dalam menetapkan hukum berdasarkan Firman Allah surat an-

5[6][6]
R. Nadiyah Syrif Al-Umari, Opict., hal. 199-200

6
Nisa’:59 “jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tesebut
kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Tentang kedudukan Ijtihad terdapat dua golongan, yaitu:
1. Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alasan karena
dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diIjtihadkan.
2. Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hal ijtihad yang cocok
jangkauanya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka
dikategorikan salah

C. Syarat-syarat mujtahid
Orang-orang yang melakukan ijtihad, dinamakan mujtahid, dan harus memenuhi
beberapa syarat. Muhammad Musa mengelompokkan syarat-syarat mujtahid menjadi
empat kelompok yaitu:
1. Syarat-syarat umum, diantaranya:
a. Baliqh
b. Berakal
c. Sehat jasmani dan rohani
d. Kuat daya nalarnya
e. Bener-bener beriman
2. Syarat-syarat pokok, diantaranya:
a. Memahami tentang Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar
hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui Al-Qur’an secara
mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti Al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti
syariat Islam secara utuh.
7
Mengerti Al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat
bagaimana Al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum.
b. Mengerti tentang sunah
As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi
SAW.
c. Mengetahui ilmu Diroyah Hadist
Ilmu Diroyah menurut Al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan
Hadist yang shahih dari yang rusak dan Hadist yang bisa diterima dari Hadist yang
ditolak.
· Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh
Mengetahui Hadist yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu Hadist yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti Hadist yang membolehkan nikah
mut’ah di mana Hadist tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh Hadist-Hadist lain.
d. Mengetahui maksud-maksud hukum
Seorang mujtahid harus mengerti tentang maksud dan tujuan syariat, yang mana
harus bersendikan pada kemaslahatan umat. Dalam arti lain, melindungi dan
memelihara kepentingan manusia. menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash
tersebut.6[7][7]
3. Syarat-syarat penting, diantaranya:
a. Menguasai bahasa Arab
Sebagaimana kita ketahui kedua dasar hukum islam menggunakan bahasa Arab.
Maka dari itu, seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, dari segala aspeknya seperti nahwu,
sarf, balaghah, dan segala seluk beluknya. Karna kekuran]gan pemahaman bahasa arab
tersebut akan berdampak kurang tajamnya analisa mereka terhadap nash-nash Al-
Qur’an dan Hhadis.
b. Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui Al-
Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui
secara sosial-psikologis.
c. Mengetahui Ushul Fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh Mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu
suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan
cara untuk mengambil istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan
hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk
memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.
d. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang Mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat,
problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal hubungan
masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling
mempengaruhi antara masyarakat tersebut.7[8][8]
4. Syrat-syrat pelengkap , diantaranya:
a. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadist
Syarat ini sama dengan seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai Asbab Al-
Nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus Hadist tersebut ada.

b. Mengetahui hal-hal yang di Ijma’-kan dan yang di-Ikhtilaf-kan


Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati
oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan
hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa
yang berseberangan dengan nash tersebut.8[9][9]
c. Bersifat adil dan taqwa
6[7][ ]
7 Endang Saifuddin Anshari, piagam jakarta 22 juni 1945, (bandung: Pustaka, 1983), hal.60

7[8][8]
Badri Yatim, Opcit., hal. 267-268

9
8[9][ ]
9 Endang Saifuddin Anshari, piagam jakarta 22 juni 1945, (bandung: Pustaka, 1983), hal.60
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh Mujtahid
benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam
istimbat hukumnya.
D. Masalah-masalah yang diijtihadkan
Dalam pandangan para ulama’ salaf wilayah ijtihad terbatas pada masalah-
masalah fiqhiyah, akan tetapi pada akhirnya, wilayah tersebut berkembang pada
berbagai aspek keislaman yang meliputi: Aqidah, Filsafat, Tasawuf dan Fiqh.
Sebagaimana diungkapkan oleh imam Syafi’i: “bila ada hadis shahih maka buanglah
pendapatku yang mengikat dan benarkanlah Hadis itu”. Imam Ahmad berkata:
“Menurutku, perkara yang paling baik bagi Asy-Syafi’i adalah jikaia mendengarkan
Hadis belum diterima kemudian ia merujuk Hadis itu dan menyebarkan
pendapatnya.”9[10][10]

Kaitannya dengan wilayah ijtihad, tidak semua masalah hukum bisa menjadi
obyek ijtihad. Hal-ha yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:
a. Masalah qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan
dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun aqli. Hukum qoth’iyah sudah
pasti keberlakuanyasepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dam
modifikasi serta tidak ada peluang mengistibathkan hukum bagi para mujtahid. Contoh:
kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji, untuk masalah tersebut Al-Qur’an telah
mengaturnya dengan dalil yang sharih (tegas). Demikian juga ijtihad akan gugur dengan
sendirinya apabila hasil ijtihadnya berlawanan dengan nash. 10[11][11]
b. Masalah-masalah yang telah diijma’kan oleh ulama’ mujtahidin dari suatu
masa, demikianpula lapangan hukum yang bersifat ta’abbudi ( ghairu ma’qulil makna)
dimana kualitas ‘illat hukumnya tidak dapat dicerna dan diketahui oleh akal mujtahid.
Adapun masalah-masalah yang dapat diijtihadkan antara lain: masalah dzanniyah,
yaitu masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil nashnya, sehingga
memungkinkan adanya wilayah ijtihad dan perbedaan pendapat.
Masalah dzanniyah terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Hasil analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah
keimanan sesorang. Seperti apakah Allah itu wajib berkehendak baik itu lebih baik?
Sebagian ahli ilmu kalam (teolog) mewajibkannya, karna dengan demikian Allah itu
Maha Suci, sedangkan yang lainnya tidak mewajibkannya, karna hal tu membatasi
kekuasaan Allah

9[10][
10] Nadiyah Syarif al-Umari., hal. 57-58

10
10[11][
11Khallaf, Opcit., hal. 9
2. Aspek amaliayah yang dzanni, ya]itu masalah yang belum ditentukan kabar
dan kriterianya dalam nash. Contoh: batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan
mahram, sebagian berpendapat sekali susuan, dan yang 3 kali bahkan yang 10 kali
susuan dan lain-lain. 11[12][12]
Pembagian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada
masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil dzanni, kemudian dikenal dengan istilah
masalah fiqih dan masalah hukumnya sama sekali tidak disinggung oleh Al-Qur’an,
Sunnah maupun Ijma’. Hal ini merupakan masalah baru dan hukum baru. Dengan
demikian apabila ijtihad ini bertentangan dengan nash maka ijtihad itu batal, karena
tidak ada ijtihad terhadap nash.

E. Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad


Beberapa hal yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, sebab pertama yaitu
berbeda dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari
sosio-kultural dan geografis mujtahid .adapun sebab pertama itu adalah:
1. Karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah
baik dalam Al-Quran maupun Hadist. Misalkan saja, dalam Al-Qur’an terdapat kata
quru,. Sebagian ulama’ ada yang mengartikan haidh dan sebagian yang lain ada yang
mengartikan suci.
2. Berbeda tanggapan terhadap Hadist. Hal ini terjadi karena mereka berbeda
pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya
matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga,
ada beberapa ulama’ yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebut
dimasukkan ke dalam hadits shohih, hasan, maupun dho’if. Konsekuensinya,
kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
3. Berbeda tanggapan tentang ta’arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih
(menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang
pentakwilan, dan lain sebagainya.
4. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid
mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab
terjadinya perbedaan hasil ijtihad.
Dari beberapa sebab perbadaan diatas pada perinsipnya disebabkan karena
berbeda dalam memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan
sosio-kultural dan geografisnya..

11[12][
12] Muhammad al-Madni, Marwatin al-Ijtihad Filsafah al-Syari’a al-Islamiyah, (Bairut: Maktabah Islam, tt.)
hal. 10-13

11
C. PENUTUP
A. Kesmpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan
manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi
terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Syarat-syarat menjadi mujtahid itu ada tiga syarat, yakni yang bersifat umum, utama,
maupun pendukung. Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum berijtihad,
yakni wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah, dan haram. Eksistensi mujtahid sepanjang masa dari
masa Rasulullah saw sampai sekarang tidak bisa diragukan lagi. Stratifikasi mujtahid yakni:
Mujtahid muthlaq atau mustaqil, Mujtahid muntasib, Mujtahid madzab dan Mujtahid murajjih.
. Sejak dulu hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus
yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur’an dan as-sunnah. Ada beberapa
tingkatan dalam mujtahid antara lain: Mujtahid fi al-syar’I, Mujtahid fi al-mazhab, Mujtahid fi
al-masa’il , dan Mujtahid muqoyyad. Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah
(h. 594) membagi macam ijtihad kepada tiga macam.
13
Daftar pustaka
Syafe’i Drs Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Muniron, Ni’am. 2010. studi islam. STAIN Jember Press.
Yusuf Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: Pustaka Setia..

Anda mungkin juga menyukai