Anda di halaman 1dari 9

RESUME PENDIDIKAN AGAMA

Konsep Ijtihad dalam Islam

Dosen Pengampu :
Muhammad Arman Al Jufri, S.Ag., M.Ag

Di Susun Oleh:
Kelompok 10
1 Heni Widia Astuti

2 Isnaini Faijah Masrurah

3 Lukman Hakim

4 Nindi Khoirunisa

5 Rahma Deani NPM 2357201022

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang diberikan-Nya
sehingga tugas resume yang berjudul “Konsep Ijtihad dalam Islam” dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Resume ini kami buat sebagai salah satu kewajiban untuk memenuhi tugas.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyumbangkan ide dan pikiran demi terwujudnya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan resume masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu Kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan resume ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Purbolinggo,

Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an dan hadis merupakan teks agama yang tidak dapat berbicara sendiri dan
merepresentasikan maknanya. Olehnya itu al-Qur’an dijelaskan dalam hadis yang merupakan
penafsiran para ahli tafsir, yang temasuk di dalamnya terdapat banyak perbedaan pandangan.1
Kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama,
sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan
dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya
menyangkut soal keduniaan semata. SedangkanJoseph Schacht mengartikan hukum Islam
sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur umat Islam dalam keseluruhan aspek
kehidupan, baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik, pendidikan, ekonomi dan
hukum.
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada
juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan
suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun
demikian,tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist

1
Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul asy-Syariah, terj. Luthfi Thomafi, Nalar Kritis Syari’ah (Cet. I;
Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 43.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al-masyoqot”
(kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan) atas dasar pada
firman Allah Swt dalam QS. Yunus:9: Artinya: ….”dan (mencela) orang yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.”

Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad :2

‫بذل الوجتهد وسعه في طلب العلن بأحكامالشرعية‬

“Usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum


hukum syari`at”.

Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun terminologi.
Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda Pengertian secara Etimologi kata "ijtihad"
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata "jahada". Kata dasar ini memiliki arti usaha
atau upaya sungguh-sungguh. Secara terminologi, ijtihad merujuk pada suatu bentuk
penelitian dan analisis hukum Islam yang dilakukan oleh seorang ahli hukum Islam atau
mujtahid. Merujuk pada suatu usaha atau upaya sungguh-sungguh dalam merumuskan
hukum Islam atau menarik kesimpulan hukum dari prinsip-prinsip Islam. Konsep ini
memiliki peran penting dalam tradisi hukum Islam karena memungkinkan adanya
penyesuaian interpretasi hukum Islam terhadap situasi-situasi baru dan perubahan zaman
yang tidak tercakup secara langsung oleh teks suci Al-Quran dan Hadis.

Ijtihad dapat didefinisikan sebagai usaha atau kerja keras seorang mujtahid (ahli hukum
Islam yang berkualifikasi) untuk memahami dan menyusun hukum-hukum Islam dalam
konteks zaman dan tempat tertentu.

2.2 Dasar Penetapan Ijtihad.

Ijtihad didasarkan pada prinsip-prinsip dasar dalam Islam, termasuk:

1) Al-Quran dan Hadis: Ijtihad harus selaras dengan nash-nash (teks) Al-Quran
dan Hadis, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
2) Qiyas (analogi): Ijtihad dapat melibatkan penggunaan qiyas, yaitu membuat
analogi dengan hukum yang sudah ada untuk kasus baru yang belum diatur
dalam teks suci.

2
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mustasfa (Bayrut: Dar al Ihya Turas Arabi, 1993), h.350
3) Ijma (kesepakatan umat): Kesepakatan umat Islam juga dapat menjadi dasar
ijtihad, karena mencerminkan pandangan kolektif umat Islam.

Landasan diperbolehkan ijtihad adalah dalil dari Al-Qur‟an dan hadis, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya yaitu :

1. Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa‟ ayat 5 yang berbunyi yaitu:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan orang-
orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnah Rasul)”

2. Sunnah Nabi. Di antaranya yaitu hadist Mu‟az ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. Yang
artinya: “Dari Mu‟az ibn Jabal ra bahwa

Nabi saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: Bagaimana kamu jika
dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: Saya berhukum dengan kitab Allah. Nabi
berkata: Jika tidak terdapat dalam kitab Allah? ia berkata: Saya berhukum dengan
sunnah Rasulullahs. Nabi berkata: Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw? ia
berkata: Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad). Maka Rasul Saw
memukul ke dada Mu‟az dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan
utusannya (Mu‟az) dengan apa yang diridhai Rasulullah saw.”3

Hadis ini menunjukkan bahkan, berijtihad berlaku apabila sebuah persoalan tidak
didapatkan sumbernya dari Al-Qur‟an atau hadis.

3. Dalil Aqli, merujuk pada bukti atau argumen yang didasarkan pada akal pikiran atau
nalar logis. Dalam konteks agama, terutama dalam Islam, dalil aqli adalah argumen yang
dibangun dengan menggunakan akal untuk mendukung suatu keyakinan atau ajaran. Para
ahli hukum Islam menegaskan “an nushus mutanahiyah wa al waqa’i ghair
mutanahiyah” (Teks hukum terbatas adanya, sementara kasus-kasus hukum
berkembang tidak terbatas).

Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh, bahwa hukum
ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

1) Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu
akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa
yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.

3
Abu Dawud Sulaiman Muhammad bin Asy‟as al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Indonesia:
Maktabah Dahlān, t.t), h. 308.
2) Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain.
Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut,
maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid
melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
3) Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.4

2.2 Jenis-jenis Ijtihad:

1) Ijtihad Jumhur (Mayoritas): Melibatkan interpretasi mayoritas ulama dan ahli hukum
Islam.
2) Ijtihad Masyhur (Terkenal): Mengacu pada ijtihad yang dikenal luas dan diakui oleh
komunitas.
3) Ijtihad Muqayyad (Terbatas): Ijtihad terbatas pada konteks tertentu atau
permasalahan khusus.

Dilihat dari jenisnya, menurut al-Dualibi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad
dibedakan menjadi tiga jenis 5:

1) Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari'ah dari teks


teks syar'i yang ada.
2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu menetapkan (wadlan) hukum-hukum syari'ah untuk
situasi/peristiwa yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dengan
menggunakan qiyas berdasarkan apa yang terdapat dalam teks-teks hukum syar'i.
3) Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu menetapkan hukum-hukum syar'i untuk
situasi/peristiwa yang terjadi yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah,
menggunakan ar-ra'yu yang didasarkan pada istislah. Istislah bertujuan untuk
memelihara kepentingan hidup manusia dengan menarik manfaat dan menolak
madharat dalam kehidupan

2.3 Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid

Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh karena itu
para ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang
yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-syarat yang menyangkut pribadi maupun
syarat-syarat keilmuan yang harus dimilikinya.6

4
Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), hlm. 368
5
Agus Miswanto, S.Ag., MA, Ushul Fiqih Metode Ijtihad Hukum Islam Jilid 2(Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2018), hal. 19
6
Dr. Isnawati Rais, Pemikiran Fiqh Abdul Hamid Hakim, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan haji Departemen Agama RI, 2005), hlm. 108-109
a. Kualifikasi Ilmiah: Seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
hukum Islam dan prinsip-prinsipnya.
b. Keteladanan Etika: Etika dan moralitas tinggi merupakan syarat penting dalam
menjalankan ijtihad.
c. Kesesuaian dengan Nalar dan Kepentingan Umat: Ijtihad harus sesuai dengan akal sehat
dan memperhatikan kepentingan umat.

Menurut Abdul hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus memenuhi empat syarat
ijtihad, yaitu:7

1) Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.


2) Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu menafsir
kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.
3) Menguasai ilmu ushul fiqh
4) Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.
Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka sesorang tidak dapat dikategorikan
sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad.

Contoh Ijtihad
Masalah Hukum Potong Tangan Sanksi atau tindakan pidana yang dikenakan atas
tindak pencurian menurut hukum Islam ialah hukuman hadd, yaitu pemotongan tangan.
Pendapat semacam ini didasarkan pada ayat al-Quran Surat al-Maidah: 38 yang
menyatakan bahwa “Pencuri laki–laki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong
tangan mereka.Selain Al-Quran, justifikasi hukuman tersebut juga didasarkan pada dalil
Sunnah qauli (ucapan) dan fi'li (tindakan) yang pernah dilakukan oleh Nabi. Namun, pada
suatu masa kelaparan, Umar Ibn Khattab pernah mencabut hukuman itu. Beberapa orang
berpendapat bahwa tindakan Umar dilakukan karena pencurian dilakukan oleh orang-
orang yang membutuhkan makanan untuk hidup. Oleh karena itu, ketika menentukan
sanksi hukum, Umar selalu mempertimbangkan alasan-alasan di baliknya, terutama
dalam keadaan darurat atau demi kepentingan dan kesejahteraan jiwa seseorang. Ijma para
ulama fikih juga mengikuti dasar pemikiran tersebut 8

2.4 Kontribusi ijtihad terhadap pembaharuan dalam Islam dapat dijelaskan sebagai
berikut:

a. Adaptasi terhadap Perubahan Zaman:


Ijtihad memungkinkan umat Islam untuk mengadaptasi ajaran agama mereka
dengan lebih baik terhadap perubahan zaman. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, muncul tantangan dan situasi baru yang mungkin tidak diatur
secara langsung dalam teks suci. Ijtihad memungkinkan umat Islam untuk menjawab

7
Hakim, Abdul Hamid , al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm. 168- 171.
8
M. Zaidi Abdad, Ijtihad Umar bin Khattab: Telaah Sosio-Historis Atas Pemikiran Hukum Islam
tantangan ini dengan merumuskan hukum-hukum yang relevan dan sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam.

b. Pembaruan Hukum Islam:


Ijtihad memungkinkan pembaruan hukum Islam agar tetap sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Proses ini melibatkan penemuan hukum baru atau penyesuaian
hukum yang sudah ada untuk memenuhi tuntutan zaman. Oleh karena itu, ijtihad
menjadikan hukum Islam lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan lingkungan
sosial.

c. Menanggapi Tantangan Moral dan Etika:


Dengan ijtihad, umat Islam dapat menanggapi tantangan moral dan etika yang
muncul seiring waktu. Para mujtahid dapat menggunakan akal dan nalar untuk
menentukan sikap Islam terhadap isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan etika,
moralitas, dan hak asasi manusia.

d. Pembaharuan Pemikiran Keagamaan:


Ijtihad juga memungkinkan terjadinya pembaharuan dalam pemikiran keagamaan.
Para ulama yang melakukan ijtihad dapat memberikan interpretasi baru terhadap teks suci
atau memberikan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap ajaran Islam, memastikan
bahwa ajaran tersebut relevan dan dapat dimengerti oleh umat Islam pada masa kini.

e. Mengatasi Tantangan Sosial dan Budaya:


Ijtihad membantu umat Islam menghadapi tantangan sosial dan budaya yang
berkembang. Dengan mempertimbangkan konteks sosial, ijtihad dapat memberikan
panduan Islam dalam menghadapi isu-isu seperti perkembangan teknologi, perubahan
sosial, dan globalisasi.

Dengan kata lain, konsep ijtihad memberikan landasan bagi terciptanya dinamika
dalam pemikiran dan praktik keagamaan, memungkinkan Islam untuk tetap relevan dan
memberikan pedoman hidup dalam berbagai situasi yang berkembang.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Muhammad Said Al-Asymawi, Ushul asy-Syariah, terj. Luthfi Thomafi, Nalar Kritis Syari’ah
(Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 43.

[2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Mustasfa (Bayrut: Dar al Ihya Turas Arabi, 1993), h.350

[3]Abu Dawud Sulaiman Muhammad bin Asy‟as al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz II,
(Indonesia: Maktabah Dahlān, t.t), h. 308.

[4] Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), hlm. 368

[5]Agus Miswanto, S.Ag., MA, Ushul Fiqih Metode Ijtihad Hukum Islam Jilid 2(Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2018), hal. 19

[6] Dr. Isnawati Rais, Pemikiran Fiqh Abdul Hamid Hakim, (Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan haji Departemen Agama RI, 2005), hlm. 108-109

[7] Hakim, Abdul Hamid , al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm. 168-171.

[8] M. Zaidi Abdad, Ijtihad Umar bin Khattab: Telaah Sosio-Historis Atas Pemikiran Hukum Islam

Karimuddin, M. Z. (2019). Kedudukan Mazhab, Taklid Dan Ijtihad Dalam Islam. Al-Qadha:
Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan, 6(1), 55-65.

Anda mungkin juga menyukai