Disusun Oleh:
GANJARAN GUSTI AGUNG ( 22503012 )
A. Latar Belakang
Maqasid al-Qur’an adalah istilah yang digunakan ulama untuk menggali maksud-
maksud Allah SWT menurunkan al-Qur’an kepada seluruh manusia, kajian Maqosid al-
Qur’an belum menjadi disiplin ilmu tersendiri di kalangan para ulama klasik maupun
kontemporer. Walau demikian istilah Maqasid al-Qur’an bisa kita temui di dalam karya-
karya karangan ulama. Di antara ulama klasik misalnya, Abu Hamid al-Ghazali dalam
karyanya Jawahir al-Qur’an. Menurut beliau, bahwa puncak tujuan Allah menurunkan Al-
Qur’an adalah menyeru hamba menuju Allah SWT yang maha esa. Inti dari Maqosid al-
Qur’an adalah segala perintah Allah yang mengusahakan segala kemaslahatan manusia dan
sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemaslahatan, serta larangan yang mengusahakan
mencegah segala kerusakan-kerusakan serta sebab-sebabnya. Al-Razi mengatakan,
Maqasid al-Qur’an (tujuan-tujuan pokok al-Qur’an) adalah tauhid (mengesakan Allah)
Ahkam al-Syari’iyah (hukum-hukum syariah), Ahwal Ma’ad (keadaan hari akhir).1
Menurut Rasyid Ridha mengatakan: Maqasid al-Qur’an adalah memperbaiki
individu manusia, komunitas, kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan
merealisasikan kesatuan persaudaraan di antara manusia, mengembangkan potensi akal
mereka, dan membersihkan jiwa mereka. Memahami Maqasid al-Qur’an sangat penting
dalam tujuan kajian tafsir. Pada mulanya penafsiran al-Qur’an benar-benar otentik, murni
dan sesuai dengan tujuan al-Qur’an tidak ada penyelewengan dan penyimpangan karena
yang menafsirkan adalah Rasulullah dan para sahabat. Namun dalam perkembangannya
setelah melewati berbagai fase. Penafsiran dan pemahaman terhadap ayat mulai
ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, baik kepentingan ideologi, politik dan pula
disisipi oleh kisah-kisah isra’iliyyat, sehingga mengalami penyelewengan dan distori
makna al-Qur’an. Di sinilah penafsiran mulai kehilangan ruhnya, tafsir tidak lagi berfungsi
sebagai disiplin ilmu yang secara subtansial digunakan utuk mengungkap makna otentik
ayat-ayat al-Qur’an, justru yang terjadi sebaiknya.2
B. Rumusan Masalah
1
Muhammad Bushiri, Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan Maqasid al-Qur’an Perspektif Thaha Jabir Al-‘Awani,
Jurnal Tafsere Vol 7 No 1 Tahun 2019, 2
2
Muhammad Bushiri, Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan Maqasid al-Qur’an Perspektif Thaha Jabir Al-‘Awani,
3
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah bagaimana
tinjauan maqasid dalam aktifitas ijtihad fiqh ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui tinjauan maqasid dalam aktifitas ijtihad fiqh.
PEMBAHASAN
A. Konsep Maqasid
Konsep maqasid sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal
dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh
seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi
(w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-
Ahkam. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqasid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan
syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan
pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.3
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqasid menjadi
tiga tingkatan, yaitu: Maqasid dharuriyat, Maqasid hajiyat, dan Maqasid tahsiniyat.
Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan
menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa
bagi orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup
aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga
agama (hifz ad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4)
menjaga keturunan (hifz an-nasl); (5) menjaga harta (hifz al-mal).4
Maqasid adalah jamak dari maksud yang berasal dar fiil qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan.5 Sedangkan Syari’ah berarti jalan menuju sumber air yang dapat pula
diartikan sebagai jalan ke arah sumber keadilan6 dan jalan menuju sumber kehidupan.7
Pengertian Maqashid secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para
ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh
3
Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 2-3.
4
Ibid., 5.
5
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), 170.
6
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid. VIII (Beirut: Dar al-Sadr, t.th), 175.
7
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, cet. Ke-1 (Bandung: Pustaka, 1994), 140.
Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam
kitab al-Muwwafakat, “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”, dan “Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.8 Dari ungkapan al-Syatibi tersebut bisa
dikatakan bahwa alSyatibi tidak mendefinisikan maqasid al-syariah secara konfrehensif,
hanya saja ia menegaskan bahwa doktrin maqasid al-syariah adalah satu, yaitu maslahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh
karena itu al-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan
pensyariatan hukum Islam.9 Hanya saja, sebagian ulama ushul mendefinisikan maqasid al-
syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki dalam mensyari’atkan suatu hukum
bagi kemaslahatan umat manusia.
Maqasid al-syari’ah dikalangan ulama’ ushul juga disebut sebagai asrar al-syari’ah,
yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa
kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.10
12
Yusuf Qardawi, Al – Ijtihad Fii Asy – Syari’ah Al – Islamiyyah, hal. 5.
praktik yang mereka lakukan pada masanya. Imam Asy – Syatibi mengutarakan dua syarat
dasar yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad, yaitu
pemahaman terhadap Maqashid Syari’ah dan kemampuan menyimpulkan suatu hukum
dengan berpedoman pada pemahamannya terhadap Maqashid Syari’ah. 13 Dari sini kita bisa
melihat bahwa Imam Syatibi meletakkan Maqashid Syari’ah pada kedudukan yang paling
tinggi dari pengetahuan – pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, seperti
yang disyaratkan oleh para ulama selain beliau, diantaranya pemahaman terhadap Al –
Qur‟an, Sunnah, Bahasa Arab, Nasakh Mansukh, Qiyas dan lain sebagainya. Karena
menurut beliau pemahaman terhadap Al - Qur‟an dan Sunnah adalah pemahaman tehadap
maksud dan tujuan dari keduanya, atau suatu pemahan yang kontekstual, tidak sekedar
pemahaman tekstual. Selain Imam Syatibi, masih banyak ulama – ulama sebelum beliau
yang memiliki pandangan yang sama, diantaranya seperti Imam Al - Ghazali, Imam
Izzuddin bin Abdissalam, Imam Al - Qarafi, dan lain sebagainya. Apalagi dikalangan
ulama terkini, banyak sekali diantara mereka yang konsen dalam mengkagji dan
mengembangkan pemikiran Maqashid. Baik melalui buku, karya tulis dan lain sebagainya.
Ini menandakan betapa penting Maqashid Syari’ah dalam menentukan suatu hukum islam
yang tidak memiliki rujukan yang jelas dari Al – Qur‟an, Sunnah serta pendapat –
pendapat ulama sebelumnya.
13
Al – Ijtihad wa At – taqlid ‘inda al – imam asy – syatibi, hal,275.
Maqashid Syari’ah saat ini terkadang digunakan oleh sebagian kalangan pemikir liberal
dengan cara yang keliru, dengan mengatasnamakan kebebasan berpikir, keadilan, atau
maslahah berdasarkan hawa nafsu mereka. Hal ini dikarenakan dangkalnya pengetahuan
agama mereka dan tentu juga dipengaruhi oleh pemikiran barat. Mereka menggunakan
Maqashid Syari’ah untuk merusak Syari’at tersebut.
Diantara pemikiran yang keliru mengatasnamakan mashlahah berdasarkan hawa
nafsu seperti pendapat mantan Presiden Tunisia Habib Burqibah bahwa puasa Ramadhan
menyebabkan kemalasan dalam berkerja dan kurangnya produktifitas, lalu ia mengajak
para buruh untuk tidak berpuasa untuk menjaga yang menurut dia lebih urgen atau lebih
mashlahah yaitu tingginya produktifitas.14
Nuruddin Al - Khadimi menuliskan beberapa contoh aberlebihan menggunakan
pendekatan Maqashid tanpa batasan – batasan yang telaah ditentukan oleh syari‟at,
diantaranya sebagai betikrut:
1. Penafsiran materialistis dan mengedepankan egoisme dalam menentukan mashlahah
pada hukum positif. Dalam hukum positif (terutama kompilasi hukum islam di timur
tengah) mashlahah dianggap setiap yang mendatangkan manfaat, kesenangan bagi
setiap individu dan masyarakat. Maka apa yang dianggap oleh masing – masing
individu itu baik, maka itu lah Mashlahah. Sepertimana yang diangap oleh
masyarakat bermanfat maka itu dianggap Mashlahah. Tetapi ukuran agama tentang
Mashlahah ditepikan bahkan ditinggalkan, sebagai konsekuensi pemahaman bahwa
agama harus tunduk pada realita dan akal semata.
2. Seruan untuk mengedepankan realita terhadap wahyu. Telah Nampak pada saat ini,
seruan untuk menjadikan mashlahah harus dikedepankan dibandingkan tuntunan
wahyu. Aturan agama harus tunduk pada realita kehidupat umat manusia.
3. Seruan untuk mengedepankan Mashlahah terhadap Nash selain perkara ubudiyyah
4. Seruan untuk membebaskan Maqashid dari Syari’at
14
Ahmad raisuni, Ial – ijtihad: Annash – al waqi’ – al -maslahah, sibkah al -arabiyyah Beirut 2013. Hal.36.
ijtihad tanpa memahami ketentuan yang perlu diperhatikan. Maka perlu dipahami
ketentuan tersebut dengan baik. Imam Asy – Syatibi menyebutkan bahwa seseorang yang
mengkaji dan mendalami hukum – hukum islam dengan baik, akan menemukan bahwa ada
kemaslahatan yang dianggap dan ada yang tidak dianggap oleh agama. Yaitu yang hanya
berdsarkan hawa nafsu seseorang.
Secara umum ijtihad harus memenuhi 4 kriteria berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan dalil yang sudah jelas dan pasti.
2. Tidak boleh bertentangan dengan dalil – dalil yang mu’tabar dari nahs – nash Al -
Qur‟an, Sunnah, Ijma‟; Qiyas dan kaidah – kaidah umum.
3. Tidak bertentangan dengan kaedah tata bahasa Arab karena Al Qur‟an dan sunnah
tidak dapat dipahami kecuali dengan perantara pemahaman terhadap bahasa Arab.
4. Ijtihad harus bersumber dari seseorang yang adil dan wara‟.
Adapun aturan ijtihad melalui pendekatan Maqashid diantaranya adalah:
1. Akal dalam pandangan Maqashid adalah media berpikir bukan yang menentukan
hukum Maksudnya adalah bahwa akal adalah alat untuk memahami syari’at bukan
yang menyimpulkan hukum – hukum yang terkandung didalamnya,
2. Syariat sebagai tolak ukur Ketika Allah swt menganugerahkan akal kepada manusia
Ia juga kemudian mengutus para Rasul untuk membimbing akal dalam mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk.
3. Hukum tidak bisa ditetapkan hanya dengan akal
4. Tidak boleh menggunakan pendekatan Maqashid kecuali harus ada landasan dalil
tertentu
5. Maqashid tidak akan pernah bertentangan dengan nash.
15
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 135-136.
16
Ibid.
17
Ibid., 138.
Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu perbedaan
pendapat para ulama’, amat penting dan menarik untuk mengemukakan pendapat Imam al-
Ghazali. Menurut al-Ghazali, apabila yang dimaksud dengan maslahah adalag dalam
rangka memelihara dan mewujudkan tujuan syara’, maka tidak perlu diperselisihkan,
bahkan harus diikuti karena ia merupakan hujjah. Oleh karenanya Abu Zahrah misalnya
langsung mengatkan maqasid al-syari’ah dengan batasan maslahah al-mursalahnya. 18
Baginya suatu kemaslahatan harus sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum secara
umum. Keterkaitan maqasid al-syariah secara tegas dinyatakan oleh al-Syatibi. Setiap
kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan tetapi hal itu sesuai
dengan tindakan syara’, maka maslahah seperti ini dapat menjadi dasar hukum, namun ia
membatasi lapangan peranan maslahah al-mursalah dalam arti pengembangan hukum
untuk bidang mua’malah.19
Dalam karyanya al-I’tisham, al-Syatibi banyak mengemukakan contoh maslahah al-
mursalah yang ia kaitkan secara erat denga maqasid al-syari’ah. Antara lain, tentang
pentadwinan atau kodifikasi al-Qur’an dan kesaksian anak-anak. Terkait dengan kodifikasi
al-Qur’an, memang tidak ada nash yang memerintahkannya. Akan tetapi juga tidak
terdapat nash yang melarangnya. Sikap diam al-Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu
itu tidak ada motif yang menjadi pendorong keharusan pentadwinan al-Qur’an. Dengan
demikian pentadwinan Qur’an yang terjadi kemudian tidaklah bertentangan dengan dengan
al-Syari’. Sedangkan dalam masalah kesaksian anak-anak, atas dasar kemaslahatan
kesaksian mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu perkara,
walaupun tidak ada ketetapan dari al-Syari’. Al-Syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian
hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di kalangan
anak-anak, yang sulit mencari persaksian dari orang dewasa, maka persaksian anak-anak
menjadi bahan pertimbangan.20
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tampaklah akan pentingnya pertimbangan
maqasid al-syari’ah dan metode mehaminya untuk memperkuat dan mempertajam analisis
metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran istishlahi bagi setiap upaya
pengembangan dan dinamika hukum Islam.
18
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 221.
19
Al-Syatiby, al-Muwafaqat…, 111.
20
Khutbuddin Aibak, Al-Mashlahah al-Mursalah sebagai Penalaran Istislahi dalam Upaya Penerapan Maqasid asy-
Syari'ah, dalam Jurnal Ahkam, volume 11, nomor 1, Juli 2009, 25.
Banyak pembicara seputar maqasid dan fungsinya dalam ijihad fikih yang
membatasi tinjauan terhadap maqasid hanya pada proses taujih (menentukan arah hukum)
dan tarjih ketika dibutuhkan. Padahal, pada kenyataanya tinjauan terhadap maqasid tak
hanya berkutat pada hitung-hitungan dlaruriyat khams yang terkait dengan hukum yang
akan ditetapkan. Sesungguhnya tinjauan maqasid tampil dalam beberapa bentuk dan dalam
beberapa fase. Kami akan sebutkan beberapa yang paling penting.
1. Memastikan maksud dari teks syarak. Apakah yang dikehendaki adalah makna lahir dari
teks, ataukah makna lain.
2. Mencari hikmah atau maslahat yang dituju di balik hukum yang ditetapkan, agar nanti
dapat dijadikan poin tinjauan dalam aktifitas istinbath, qiyas, dan tanzil.
3. Merenungkan poin mana yang cocok dijadikan maqsid dan mana yang tidak, untuk
selanjutnya dieliminasi dari tinjauan hukum.
4. Membedakan maqsid utama dari maqsid tambahan untuk ditempatkan dalam posisi
masing-masing.
5. Memperhitungkan maqasid amah dalam setiap partikel hukum agar selaras dan tidak
saling bertentangan.
6. Memperhatian maqasid khasah yang terkait dengan hukum yang dibahas.
7. Memperhatikan masalih mursalah yang dijaga oleh syariat.
8. Mengurutkan dan level-levelnya berdasar maslahat dan mafsadah.
9. Memperhatikan maqasid dalam praktek qiyas.
10. Memperhitungkan efek akhir dari satu hokum.
Setiap pemikiran ada pengaruhnya, setiap awal ada akhirnya, setiap pertanyaan ada
jawabannya. Maka inilah kesimpulan dalam pembahasan ini yang dapat dirangkum, yaitu
bahwa ijtihad memeiliki peran yang sangat besar dalan eksistensi ajaran agama islam. Ia juga
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan umat islam. Ia merupakan warisan dari
Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Merupakan aktifitas para sahabat Rasul yang mulia.
Para mujtahid memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena mereka adalah ahli waris Nabi
dalam hal apa yang mereka upayakan dalan menggali hukum – hukum islam dengan syarat
yang telah ditentukan. Maqashid syari’ah memiliki kedudukan yang tinggi karena berperan
penting dalam syarat ijtihad yang diutamakan sebelum seseorang itu melakukan ijtihad,
sepertimana yang diutarakan oleh imam Syatibi dalam Al Muwafaqat. Bahwa syarat mujtahid
adalah paham terhadap Maqashid Syari’ah.
Selain memiliki peran yang sangat besar dalam ijtihad. Pendekatan Maqashid yang
berlebihan dalam ijtihad tanpa memperhatikan batasan- batasan yang telah ditentukan juga akan
berakibat fatal yang bisa menghasilkan ijtihad atau fatwa yang keliru. Hal ini Ketika landasan
kemaslahatan itu hanya berdasarkan hawa nafsu belaka.
DAFTAR PUSTAKA