Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN MAQASID DALAM AKTIVITAS IJTIHAD FIKIH

MODEL-MODEL DAN LEVELNYA

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah


Bahasa Arab
Dosen Pengampu: Dr. A. Halil Thahir, M.HI

Disusun Oleh:
GANJARAN GUSTI AGUNG ( 22503012 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqasid al-Qur’an adalah istilah yang digunakan ulama untuk menggali maksud-
maksud Allah SWT menurunkan al-Qur’an kepada seluruh manusia, kajian Maqosid al-
Qur’an belum menjadi disiplin ilmu tersendiri di kalangan para ulama klasik maupun
kontemporer. Walau demikian istilah Maqasid al-Qur’an bisa kita temui di dalam karya-
karya karangan ulama. Di antara ulama klasik misalnya, Abu Hamid al-Ghazali dalam
karyanya Jawahir al-Qur’an. Menurut beliau, bahwa puncak tujuan Allah menurunkan Al-
Qur’an adalah menyeru hamba menuju Allah SWT yang maha esa. Inti dari Maqosid al-
Qur’an adalah segala perintah Allah yang mengusahakan segala kemaslahatan manusia dan
sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemaslahatan, serta larangan yang mengusahakan
mencegah segala kerusakan-kerusakan serta sebab-sebabnya. Al-Razi mengatakan,
Maqasid al-Qur’an (tujuan-tujuan pokok al-Qur’an) adalah tauhid (mengesakan Allah)
Ahkam al-Syari’iyah (hukum-hukum syariah), Ahwal Ma’ad (keadaan hari akhir).1
Menurut Rasyid Ridha mengatakan: Maqasid al-Qur’an adalah memperbaiki
individu manusia, komunitas, kaum, serta membimbing mereka ke jalan yang benar, dan
merealisasikan kesatuan persaudaraan di antara manusia, mengembangkan potensi akal
mereka, dan membersihkan jiwa mereka. Memahami Maqasid al-Qur’an sangat penting
dalam tujuan kajian tafsir. Pada mulanya penafsiran al-Qur’an benar-benar otentik, murni
dan sesuai dengan tujuan al-Qur’an tidak ada penyelewengan dan penyimpangan karena
yang menafsirkan adalah Rasulullah dan para sahabat. Namun dalam perkembangannya
setelah melewati berbagai fase. Penafsiran dan pemahaman terhadap ayat mulai
ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, baik kepentingan ideologi, politik dan pula
disisipi oleh kisah-kisah isra’iliyyat, sehingga mengalami penyelewengan dan distori
makna al-Qur’an. Di sinilah penafsiran mulai kehilangan ruhnya, tafsir tidak lagi berfungsi
sebagai disiplin ilmu yang secara subtansial digunakan utuk mengungkap makna otentik
ayat-ayat al-Qur’an, justru yang terjadi sebaiknya.2
B. Rumusan Masalah
1
Muhammad Bushiri, Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan Maqasid al-Qur’an Perspektif Thaha Jabir Al-‘Awani,
Jurnal Tafsere Vol 7 No 1 Tahun 2019, 2
2
Muhammad Bushiri, Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan Maqasid al-Qur’an Perspektif Thaha Jabir Al-‘Awani,
3
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah bagaimana
tinjauan maqasid dalam aktifitas ijtihad fiqh ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui tinjauan maqasid dalam aktifitas ijtihad fiqh.
PEMBAHASAN

A. Konsep Maqasid
Konsep maqasid sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal
dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh
seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi
(w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-
Ahkam. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqasid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan
syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan
pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.3
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqasid menjadi
tiga tingkatan, yaitu: Maqasid dharuriyat, Maqasid hajiyat, dan Maqasid tahsiniyat.
Dharuriyat artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan
menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hajiyat maksudnya sesuatu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa
bagi orang sakit. Tahsiniyat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup
aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga
agama (hifz ad-din); (2) menjaga jiwa (hifz an-nafs); (3) menjaga akal (hifz al-‘aql); (4)
menjaga keturunan (hifz an-nasl); (5) menjaga harta (hifz al-mal).4
Maqasid adalah jamak dari maksud yang berasal dar fiil qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan.5 Sedangkan Syari’ah berarti jalan menuju sumber air yang dapat pula
diartikan sebagai jalan ke arah sumber keadilan6 dan jalan menuju sumber kehidupan.7
Pengertian Maqashid secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para
ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh
3
Abu Ishaq Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 2-3.
4
Ibid., 5.
5
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), 170.
6
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid. VIII (Beirut: Dar al-Sadr, t.th), 175.
7
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, cet. Ke-1 (Bandung: Pustaka, 1994), 140.
Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam
kitab al-Muwwafakat, “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”, dan “Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.8 Dari ungkapan al-Syatibi tersebut bisa
dikatakan bahwa alSyatibi tidak mendefinisikan maqasid al-syariah secara konfrehensif,
hanya saja ia menegaskan bahwa doktrin maqasid al-syariah adalah satu, yaitu maslahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh
karena itu al-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan
pensyariatan hukum Islam.9 Hanya saja, sebagian ulama ushul mendefinisikan maqasid al-
syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki dalam mensyari’atkan suatu hukum
bagi kemaslahatan umat manusia.
Maqasid al-syari’ah dikalangan ulama’ ushul juga disebut sebagai asrar al-syari’ah,
yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa
kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.10

B. Ijtihad: Pengertian dan Urgensinya


Kata Ijtihad jika ditinjau dari asal katanya berasal dari kata Jahada – Yajhadu –
Juhdan yang memiliki beberapa arti, diantaranya kesulitan, tujuan akhir, kemampuan;
usaha, bersungguh – sungguh untuk mendapatkan sesuatu, berlebihan dan lain sebagainya.
Kata Ijtihad adalah bentuk kata Masdar dari kata ijtahada – Yajtahidu – ijtihaadan yang
berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Sedangkan secara
isthilah para ulama fikih, ijtihad dapat diartikan sebagai “ mengerahkan segala daya upaya
untuk mendapatkan pemahaman tentang suatu hukum islam .” 11 Ada anggapan bahwa
Ijtihad tidak dianggap penting oleh Ushuliyyin, hal ini karena pembahasan ijtihad selalu
dibahas pada bab-bab terakhir disetiap karya mereka. Tentu anggapan ini tidak benar,
karena ijtihad dan para mujtahid memeliki urgensi yang sangat besar dalam agama ini.
Medapatkan perhatian lebih dikalangan para pemikir hukum islam. Adapun pembahsan
8
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: P.T. Raja grafindo
Persada, 1996), 64.
9
Ibid.
10
Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1108
11
Abu Ishaq Asy – Syatibi, Almuwafaqat fii Ushuuli Asy – Syari’ah, juz 2, hal.378
ijtihad selalu berada pada bab – bab terakhir dalam karya tulis mereka, karena ijtihad
diibaratkan buah dari pemikiran dan juga metode dalam berpikir.
Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa dua kata yang berasal dari akar kata yang sama
yaitu ijtihad dan jihad memeiliki peran yang sangat besar dalam agama ini. Ijtihad berperan
untuk mengetahui petunjuk agama yang benar sesuai ajaran para rasul. Sedangkan jihad
berperan untuk menjaga dan mempertahankan eksestensi dari agama. Ijtihad ranah teoritis
sedangkan jihad ranah praktis.12
Ijtihad menunjukkan kelenturan dinamisasi hukum islam, yang mampu menghadapi
tantangan zaman, tidak statis terhadap hukum – hukum islam dan tidak menghilangkan hak
– hak manusia. Ijtihad adalah salah satu manifestasi terpenting dari aktifitas intelektual
manusia. Kebutuhan akan ijtihad bersifat permanen sepanjang realitas kehidupan dan
kondisi masyarakat terus berubah dan berkembang. Apalagi dizaman sekarang ini, realita
yang dihadapi umat islam terus berkembang dengan pesat, selalu ada hal – hal baru yang
terjadi, yang harus mendapatkan perhatian dan respon cepat dari para pakar hukum islam
(Mujtahid). Ijtihad dan mujtahid merupakan keharusan yang harus selalu ada. Para pakar
yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad maka wajib bagi mereka untuk
melakukannya. Agar umat dapat tercerahkan. Lepas dari kesalahan atau kebingungan
dalam bertindak atau merespon perubahan tersebut.

C. Peran Maqashid dalam Ijtihad


Pengetahuan terhadap Maqashid Syari’ah sangat penting bagi setiap kalangan.
Terlebih bagi para mujtahid yang melakukan ijtihad. Oleh karena itu jika seorang mujtahid
tidak memahami Maqashid dengan baik maka akan terdapat banyak kekeliruan dan
kesalahan. Terutama bagi para mujtahid dan mufti saat ini. Sering kita temui fatwa yang
keliru atau nyeleneh karena tidak memahami Maqashid dengan baik. Atau pemahaman
Sebagian orang terhadap al – Qur‟an dan sunnah yang hanya mengandalkan pemahaman
tekstual danpa memahami konteks atau tujuan dari nash – nash tersebut. Oleh karena itu,
tidak ada keraguan bahwa Maqashid Syari’ah sangat berperan penting dalam ijtihad
kontemporer saat ini. Hal ini bisa kita lihat dari pendapat – pendapat yang diutrakan oleh
para ulama atau pakar hukum islam, baik zaman dulu hingga saat ini. Serta praktik –

12
Yusuf Qardawi, Al – Ijtihad Fii Asy – Syari’ah Al – Islamiyyah, hal. 5.
praktik yang mereka lakukan pada masanya. Imam Asy – Syatibi mengutarakan dua syarat
dasar yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad, yaitu
pemahaman terhadap Maqashid Syari’ah dan kemampuan menyimpulkan suatu hukum
dengan berpedoman pada pemahamannya terhadap Maqashid Syari’ah. 13 Dari sini kita bisa
melihat bahwa Imam Syatibi meletakkan Maqashid Syari’ah pada kedudukan yang paling
tinggi dari pengetahuan – pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, seperti
yang disyaratkan oleh para ulama selain beliau, diantaranya pemahaman terhadap Al –
Qur‟an, Sunnah, Bahasa Arab, Nasakh Mansukh, Qiyas dan lain sebagainya. Karena
menurut beliau pemahaman terhadap Al - Qur‟an dan Sunnah adalah pemahaman tehadap
maksud dan tujuan dari keduanya, atau suatu pemahan yang kontekstual, tidak sekedar
pemahaman tekstual. Selain Imam Syatibi, masih banyak ulama – ulama sebelum beliau
yang memiliki pandangan yang sama, diantaranya seperti Imam Al - Ghazali, Imam
Izzuddin bin Abdissalam, Imam Al - Qarafi, dan lain sebagainya. Apalagi dikalangan
ulama terkini, banyak sekali diantara mereka yang konsen dalam mengkagji dan
mengembangkan pemikiran Maqashid. Baik melalui buku, karya tulis dan lain sebagainya.
Ini menandakan betapa penting Maqashid Syari’ah dalam menentukan suatu hukum islam
yang tidak memiliki rujukan yang jelas dari Al – Qur‟an, Sunnah serta pendapat –
pendapat ulama sebelumnya.

D. Bahaya Berlebihan menggunakan pendekatan Maqashid dalam Ijtihad


Selain memiliki peran yang sangat besar dalam ijtihad, berlebihan menggunakan
pendekan Maqashid dalam ijtihad tanpa mengenal batasan – batasan yang sudah ditentukan
tentu juga akan berakibat fatal. Oleh karena itu harus ada keseimbangan dalam
penerapannya. Dan harus berdasarkan syarat – syarat yang telah ditentukan. Hal ini karena
titik fokus Maqashid Syari’ah adalah Maslahah atau kebaikan. Tentu yang harus
diperhatikan adalah kemaslahatan yang dimaksud oleh hukum syari‟at bukan kebaikan
yang hanya berdasarkan perhitungan hawa nafsu belaka. Mengutip apa yang diutarakan
oleh „Alal Al Fasi bahwa “ Maqashid Syari’ah itu memiliki titik fokus pada
kemaslahanatan, tetapi jangan sampai keluar dari jalur yang telah ditetapkan oleh syri‟at
dalam menentukan kemaslahatan tersebut. Lebih lanjut Ahmad Raisuni mengatakan bahwa

13
Al – Ijtihad wa At – taqlid ‘inda al – imam asy – syatibi, hal,275.
Maqashid Syari’ah saat ini terkadang digunakan oleh sebagian kalangan pemikir liberal
dengan cara yang keliru, dengan mengatasnamakan kebebasan berpikir, keadilan, atau
maslahah berdasarkan hawa nafsu mereka. Hal ini dikarenakan dangkalnya pengetahuan
agama mereka dan tentu juga dipengaruhi oleh pemikiran barat. Mereka menggunakan
Maqashid Syari’ah untuk merusak Syari’at tersebut.
Diantara pemikiran yang keliru mengatasnamakan mashlahah berdasarkan hawa
nafsu seperti pendapat mantan Presiden Tunisia Habib Burqibah bahwa puasa Ramadhan
menyebabkan kemalasan dalam berkerja dan kurangnya produktifitas, lalu ia mengajak
para buruh untuk tidak berpuasa untuk menjaga yang menurut dia lebih urgen atau lebih
mashlahah yaitu tingginya produktifitas.14
Nuruddin Al - Khadimi menuliskan beberapa contoh aberlebihan menggunakan
pendekatan Maqashid tanpa batasan – batasan yang telaah ditentukan oleh syari‟at,
diantaranya sebagai betikrut:
1. Penafsiran materialistis dan mengedepankan egoisme dalam menentukan mashlahah
pada hukum positif. Dalam hukum positif (terutama kompilasi hukum islam di timur
tengah) mashlahah dianggap setiap yang mendatangkan manfaat, kesenangan bagi
setiap individu dan masyarakat. Maka apa yang dianggap oleh masing – masing
individu itu baik, maka itu lah Mashlahah. Sepertimana yang diangap oleh
masyarakat bermanfat maka itu dianggap Mashlahah. Tetapi ukuran agama tentang
Mashlahah ditepikan bahkan ditinggalkan, sebagai konsekuensi pemahaman bahwa
agama harus tunduk pada realita dan akal semata.
2. Seruan untuk mengedepankan realita terhadap wahyu. Telah Nampak pada saat ini,
seruan untuk menjadikan mashlahah harus dikedepankan dibandingkan tuntunan
wahyu. Aturan agama harus tunduk pada realita kehidupat umat manusia.
3. Seruan untuk mengedepankan Mashlahah terhadap Nash selain perkara ubudiyyah
4. Seruan untuk membebaskan Maqashid dari Syari’at

E. Ketentuan Ijtihad dengan Pendekatan Maqashid


Setelah pembahasan tentang peran Maqashid dalam ijtihad dan bahaya ijtihad tanpa
pendekatan Maqashid serta bahaya berlebihan menggunakan pendekatan Maqashid dalam

14
Ahmad raisuni, Ial – ijtihad: Annash – al waqi’ – al -maslahah, sibkah al -arabiyyah Beirut 2013. Hal.36.
ijtihad tanpa memahami ketentuan yang perlu diperhatikan. Maka perlu dipahami
ketentuan tersebut dengan baik. Imam Asy – Syatibi menyebutkan bahwa seseorang yang
mengkaji dan mendalami hukum – hukum islam dengan baik, akan menemukan bahwa ada
kemaslahatan yang dianggap dan ada yang tidak dianggap oleh agama. Yaitu yang hanya
berdsarkan hawa nafsu seseorang.
Secara umum ijtihad harus memenuhi 4 kriteria berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan dalil yang sudah jelas dan pasti.
2. Tidak boleh bertentangan dengan dalil – dalil yang mu’tabar dari nahs – nash Al -
Qur‟an, Sunnah, Ijma‟; Qiyas dan kaidah – kaidah umum.
3. Tidak bertentangan dengan kaedah tata bahasa Arab karena Al Qur‟an dan sunnah
tidak dapat dipahami kecuali dengan perantara pemahaman terhadap bahasa Arab.
4. Ijtihad harus bersumber dari seseorang yang adil dan wara‟.
Adapun aturan ijtihad melalui pendekatan Maqashid diantaranya adalah:
1. Akal dalam pandangan Maqashid adalah media berpikir bukan yang menentukan
hukum Maksudnya adalah bahwa akal adalah alat untuk memahami syari’at bukan
yang menyimpulkan hukum – hukum yang terkandung didalamnya,
2. Syariat sebagai tolak ukur Ketika Allah swt menganugerahkan akal kepada manusia
Ia juga kemudian mengutus para Rasul untuk membimbing akal dalam mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk.
3. Hukum tidak bisa ditetapkan hanya dengan akal
4. Tidak boleh menggunakan pendekatan Maqashid kecuali harus ada landasan dalil
tertentu
5. Maqashid tidak akan pernah bertentangan dengan nash.

F. Hubungan Maqasid al-Syari’ah dengan beberapa Metode Ijtihad


Sebagaimana telah dijelaskan, pada dasarnya tujuan utama disyari’at-kannya hukum
Islam adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan,
bak di dunia maupun di akhirat. Pencarian para ahli ushul fiqih terhadap al-maslahah atau
kemaslahatan itu diwujudkan dalam bentuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah
digunakan oleh mereka untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya,
semua metode itu bermuara pada upaya penemuan kemaslahatan umat manusia, dan
menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidaka disebutkan
secara eksplisit baik dalam Alquran maupun dalam hadis. Atas dasar asumsi ini maka dapat
dikatakan, bahwa setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih
beruara pada al-maqasid al-syari’ah.
Metode istimbat hukum dengan menggunakan qiyas dan maslahah al-mursalah
ataupun yang lainnya adalah metode yang dapat digunakan dalam pengembangan hukum
Islam dengan menggunakan atau dikaitkan dengan maqasid al-syari’ah sebagai dasar untuk
memperoleh kemaslahatan yang hendak dicapai dalam hukum yang ditetapkannya.
Misalnya metode qiyas15 baru bisa dilaksanakan apabila dapat ditentukan maqasid al-
syari’ah yaitu denga cara menemukan illat16 hukum dari sebuah permasalahan hukum.
Contoh hukum tentang khamar adalah karena sifatnya yang dapat memambukkan
dan bisa merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat hukum khamar adalah
memabukkan dan merusak akal. Khamar adalah hanya salah satu contoh dari sekian
banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya. Terlebih dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka sangat banyak sifat-sifat dari zat-zat
kimiawi yang memiliki kesamaan sidat dan fungsi dengan khamar di atas. Dari sini dapat
dilihat betapa erat hubungan antara metode qiyas dengan maqasid al-syari’ahi. Para ahli
ushul fiqih mengelaborasi keterkaitannya, menurut mereka illat baru bisa dijadikan sebagai
dasar penetapan hukum setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkannya hukum
itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum, tidak dapat diabaikan pemahaman
tentang maslahat dan mafsadat yang menjadi inti kajian maqasid al-syari’ah. 17
Selain itu, untuk mengetahui kedudukan maslahah al-mursalah dalam pandanga
para ulama’, tampaknya memag harus dikaitkan dengan analisis maqasid al-syari’ah.
Analisis ini dapat melahirkan dua dampak positif. Pertama, dapat menampakkan titik temu
perbedaan pendapat antara ulama’ yang menggunakan maslahah al-mursalah. Kedua,
analisis keterkaitan ini dapat menunjukkan bahwa betapa pentingnya maqasid al-syari’ah
dalam rangka penajaman analisis metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran
istislahi untuk memecahkan permasalahan-permasalhan hukum dalam Islam.

15
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 135-136.
16
Ibid.
17
Ibid., 138.
Dalam hubungannya dengan dampak yang pertama, yakni titik temu perbedaan
pendapat para ulama’, amat penting dan menarik untuk mengemukakan pendapat Imam al-
Ghazali. Menurut al-Ghazali, apabila yang dimaksud dengan maslahah adalag dalam
rangka memelihara dan mewujudkan tujuan syara’, maka tidak perlu diperselisihkan,
bahkan harus diikuti karena ia merupakan hujjah. Oleh karenanya Abu Zahrah misalnya
langsung mengatkan maqasid al-syari’ah dengan batasan maslahah al-mursalahnya. 18
Baginya suatu kemaslahatan harus sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum secara
umum. Keterkaitan maqasid al-syariah secara tegas dinyatakan oleh al-Syatibi. Setiap
kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nash secara khusus, akan tetapi hal itu sesuai
dengan tindakan syara’, maka maslahah seperti ini dapat menjadi dasar hukum, namun ia
membatasi lapangan peranan maslahah al-mursalah dalam arti pengembangan hukum
untuk bidang mua’malah.19
Dalam karyanya al-I’tisham, al-Syatibi banyak mengemukakan contoh maslahah al-
mursalah yang ia kaitkan secara erat denga maqasid al-syari’ah. Antara lain, tentang
pentadwinan atau kodifikasi al-Qur’an dan kesaksian anak-anak. Terkait dengan kodifikasi
al-Qur’an, memang tidak ada nash yang memerintahkannya. Akan tetapi juga tidak
terdapat nash yang melarangnya. Sikap diam al-Syari’ ini dapat diduga bahwa pada waktu
itu tidak ada motif yang menjadi pendorong keharusan pentadwinan al-Qur’an. Dengan
demikian pentadwinan Qur’an yang terjadi kemudian tidaklah bertentangan dengan dengan
al-Syari’. Sedangkan dalam masalah kesaksian anak-anak, atas dasar kemaslahatan
kesaksian mereka dapat dipertimbangkan hakim dalam memutuskan suatu perkara,
walaupun tidak ada ketetapan dari al-Syari’. Al-Syari’ hanya mengatakan bahwa kesaksian
hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di kalangan
anak-anak, yang sulit mencari persaksian dari orang dewasa, maka persaksian anak-anak
menjadi bahan pertimbangan.20
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tampaklah akan pentingnya pertimbangan
maqasid al-syari’ah dan metode mehaminya untuk memperkuat dan mempertajam analisis
metode maslahah al-mursalah sebagai corak penalaran istishlahi bagi setiap upaya
pengembangan dan dinamika hukum Islam.
18
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), 221.
19
Al-Syatiby, al-Muwafaqat…, 111.
20
Khutbuddin Aibak, Al-Mashlahah al-Mursalah sebagai Penalaran Istislahi dalam Upaya Penerapan Maqasid asy-
Syari'ah, dalam Jurnal Ahkam, volume 11, nomor 1, Juli 2009, 25.
Banyak pembicara seputar maqasid dan fungsinya dalam ijihad fikih yang
membatasi tinjauan terhadap maqasid hanya pada proses taujih (menentukan arah hukum)
dan tarjih ketika dibutuhkan. Padahal, pada kenyataanya tinjauan terhadap maqasid tak
hanya berkutat pada hitung-hitungan dlaruriyat khams yang terkait dengan hukum yang
akan ditetapkan. Sesungguhnya tinjauan maqasid tampil dalam beberapa bentuk dan dalam
beberapa fase. Kami akan sebutkan beberapa yang paling penting.
1. Memastikan maksud dari teks syarak. Apakah yang dikehendaki adalah makna lahir dari
teks, ataukah makna lain.
2. Mencari hikmah atau maslahat yang dituju di balik hukum yang ditetapkan, agar nanti
dapat dijadikan poin tinjauan dalam aktifitas istinbath, qiyas, dan tanzil.
3. Merenungkan poin mana yang cocok dijadikan maqsid dan mana yang tidak, untuk
selanjutnya dieliminasi dari tinjauan hukum.
4. Membedakan maqsid utama dari maqsid tambahan untuk ditempatkan dalam posisi
masing-masing.
5. Memperhitungkan maqasid amah dalam setiap partikel hukum agar selaras dan tidak
saling bertentangan.
6. Memperhatian maqasid khasah yang terkait dengan hukum yang dibahas.
7. Memperhatikan masalih mursalah yang dijaga oleh syariat.
8. Mengurutkan dan level-levelnya berdasar maslahat dan mafsadah.
9. Memperhatikan maqasid dalam praktek qiyas.
10. Memperhitungkan efek akhir dari satu hokum.

Selanjutnya, poin-poin diatas akan dijelaskan lebih detail. Insyaallah.


1. Memastikan maksud dari teks syarak.
Yaitu mencari makna yang dikehendaki dari teks syariat, apakah itu adalah makna lahir
yang sekilas dipahami, ataukah makna yang dihasilkan dari dalalah lafaz-lafaz tersebut,
atau justru ada makna lain yang dipahami berdasar siyaq, qarinah, dan argumen-
argumen syarak? Ini menjadi amat penting karena hal yang sesungguhnya kita cari
adalah maksud Syari’ (pembuat syariat), bukan makna bahasa dari lafaz ataupun makna
lahirnya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa ada banyak redaksi dari teks syarak yang tidak
dapat dipahami secara jelas maksudnya, hingga perlu dilakukan penalaran lebih lanjut
untuk menampakkan maknanya. Ada juga teks yang secara lahir maknanya jelas, tapi
setelah dipikir ulang ternyata bukan itu makna yang dituju. Pada akhirnya makna yang
dipegang adalah makna simpulan dari proses nalar, bukan makna lahir dari teks. Dalam
konteks ini, al-Alamah Ibnu Daqiq al-Id punya kaedah ushul fikih yang berbunyi: “suatu
makna ketika diketahui secara pasti, atau disangkakan mendekati kepastian maka lebih
layak dijadikan acuan hukum dari pada makna lahir dari lafaz.” Dari sini dapat
disimpulkan bahwa maqasid mulai ditinjau semenjak proses penalaran dalam upaya
memahami makna dan hukum yang dituju teks syariat.
Di antara contoh teks yang butuh penalaran khusus untuk mendapat maknannya
adalah ungkapan adlaf mudlaafah (kelipatan yang berlipat-lipat) dalam ali Imran ayat
130. Makna apa yang kita pilih akan secara langsung memberikan efek hukum berbeda.
Pertama, apakah yang dimaksud dengan “kelipatan” di sini adalah pokok pinjaman yang
terus bertambah hingga berlipat-lipat begitu banyak? Hingga pinjaman yang pada
awalnya sejumlah seratus ribu rupiah menjadi tigaratus, empat ratus, lima ratus hingga
sejuta. Ataukah “kelipatan” yang dikehendaki di sini adalah kelipatan bunga, yang pada
awalnya sejumlah sepuluh persen berlipat menjadi dua pulu persen, tiga puluh persen,
dan seterusnya? Sedikit penalaran akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa
makna yang sesuai adalah makna kedua. Ini berdasar penjelasan yang ada pada al
baqarah 278-279.
Kedua, apakah pemberian sifat berupa “mudlaafah” / “berlipat-lipat” dapat
mengesahkan mafhum mukhalafah? Artinya keharaman riba terbatas pada bunga yang
berlipat-lipat, sedangkan bunga yang tidak berlipat begitu banyak -seperti pendapat
sebagian modernis- dapat dihukumi halal?! Setelah sejenak kita berfikir, akan nampak
jelas bahwa makna yang sedemikian ini tidak dikehendaki. Sekecil apapun kelipatannya,
bunga tetaplah dihukumi haram. Adapun penambahan sifat mudlaafah ditujukan untuk
menguatkan dan menjelaskan betapa kejinya perbuatan ini, dan betapa perbuatan ini
harus dijauhi. Inilah pemahaman yang dipegang ulama dari dulu hingga sekarang.
Sampel teks yang makna lahirnya jelas tapi perlu beberapa catatan dalam
memahaminya adalah hadits riwayat sahabat Abu Said al-Khudri “jangan berteman
kecuali dengan orang mukmin, jangan ada yang memakan makananmu selain orang
yang bertakwa!” jika kita saklek pada teks tanpa mencari-cari apa yang sebetulnya Nabi
kehendaki, kita hanya akan menjumpai putus hubungan yang betul-betul pedhot del
antara kaum mukmin dan selainnya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip yang
ditanamkan syariat bahwa kaum mukmin haruslah selalu berbuat baik, bersosial dengan
seluruh manusia dan terus mengajak mereka menuju jalan yang lurus. Oleh karenanya,
sebagian ulama memberi catatan bahwa makna lahir dari hadist ini bukanlah makna
yang dikehendaki. Imam al;Munawi berkata, “hadits ini bukan berarti orang yang tidak
bertakwa dihalangi dari perbuatan baik. Rasul saja jelas-jelas memberi makan kaum
musyrik, memberi beratus-ratus muallafah, bahkan memberi mereka makan dan
bercampur baur dengan mereka. Walhasil, maksud dari hadits tersebut –seperti yang
telah dijelaskan oleh al-Tibbi- adalah larangan untuk bekerja dalam bidang-bidang yang
diharamkan. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak disenangi oleh orang yang bertakwa.
Jangan berkawan dekat kecuali dengan orang yang taaat” Dari sini dapat disimpulkan
bahwa redaksi hadist tersebut bemakna larangan mengerjakan keharaman. Bahwa orang
bertakwa akan menjauhi pelaku perbuatan haram. Juga perintah untuk tidak menjadikan
pelaku perbuatan haram sebagai kekasih.
KESIMPULAN

Setiap pemikiran ada pengaruhnya, setiap awal ada akhirnya, setiap pertanyaan ada
jawabannya. Maka inilah kesimpulan dalam pembahasan ini yang dapat dirangkum, yaitu
bahwa ijtihad memeiliki peran yang sangat besar dalan eksistensi ajaran agama islam. Ia juga
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan umat islam. Ia merupakan warisan dari
Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Merupakan aktifitas para sahabat Rasul yang mulia.
Para mujtahid memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena mereka adalah ahli waris Nabi
dalam hal apa yang mereka upayakan dalan menggali hukum – hukum islam dengan syarat
yang telah ditentukan. Maqashid syari’ah memiliki kedudukan yang tinggi karena berperan
penting dalam syarat ijtihad yang diutamakan sebelum seseorang itu melakukan ijtihad,
sepertimana yang diutarakan oleh imam Syatibi dalam Al Muwafaqat. Bahwa syarat mujtahid
adalah paham terhadap Maqashid Syari’ah.
Selain memiliki peran yang sangat besar dalam ijtihad. Pendekatan Maqashid yang
berlebihan dalam ijtihad tanpa memperhatikan batasan- batasan yang telah ditentukan juga akan
berakibat fatal yang bisa menghasilkan ijtihad atau fatwa yang keliru. Hal ini Ketika landasan
kemaslahatan itu hanya berdasarkan hawa nafsu belaka.
DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Khutbuddin. Al-Mashlahah al-Mursalah sebagai Penalaran Istislahi dalam Upaya


Penerapan Maqasid asy-Syari'ah, dalam Jurnal Ahkam, volume 11, nomor 1, Juli 2009.
Al- Syatiby, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa
Muhammad, t.th.).
Bakrie, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: P.T.
Raja grafindo Persada, 1996).
Bushiri,Muhammad. Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan Maqasid al-Qur’an Perspektif
Thaha Jabir Al-‘Awani, Jurnal Tafsere Vol 7 No 1 Tahun 2019.
Dahlan, Abdul Azis, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996).
Djamil,Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Manzur,Ibn. Lisan al-Arab, Jilid. VIII (Beirut: Dar al-Sadr, t.th).
Qorib, Ahmad. Ushul Fikih 2, cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997).
Rahman, Fazlur. Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, cet. Ke-1 (Bandung: Pustaka,
1994).
Zahra,Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958).

Anda mungkin juga menyukai