Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Teori Maqoshid Syari’ah

Al-Maqashid jamak dari kata al-Maqsud yang berarti tuntutan, kesengajaan atau
tujuan sedangkan Al-Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya
perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Adapun makna al-

Maqashid al-Shari’ah secara istilah adalah ‫ املعان الىت شرعت هلا األحكام‬yang berarti nilai-
nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum. Sebagai landasan dalam berijtihad dalam
rangka menetapkan hukum, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan
al-Maqashid al-Shari’ah menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak
ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash. Pengertian tentang al-Maqashid al-
Shari’ah sebagai sebuah disiplin ilmu belum pernah dijelaskan oleh ulama-ulama
sebelumnya. Bahkan Imam Syatibi yang telah membahas panjang lebar tentang al-
Maqashid al-Shari’ah pun tidak menjelaskan apa itu yang disebut dengan al-Maqashid al-
Shari’ah . Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengetahui makna al-Maqashid al-

Shari’ah. Yang pertama dari sisi unsur bangunannya ( ‫)معىن اإلض اىف‬, yang kedua dari sisi

kedudukannya yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu (‫لقبا‬ ‫)معىن املقاصد الشريعة علما و‬.1

1. Makna al-Idlafiy al-Maqashid al-Shari’ah

al-Maqashid al-Shari’ah terdiri dari dua kata; al-Maqashid dan al-Syari’ah .

Secara Etimologi, al-Maqashid berasal dari akar kata ‫قصد‬ yang artinya menuju,

bermaksud, atau seimbang. Sementara ‫ شريعة‬dalam bahasa menunjuk pada jalan yang jelas
menuju sumber air, atau sumber airnya sendiri, atau agama. Dua kata ini jika digabung
maka bisa menghasilkan makna maksud agama, atau hal-hal yang menjadi maksud dan
tujuan dalam agama.

1
al-Raisuni (1995), Nazhariayah al-Maqasid Inda Imam al-Shatibi, (IIET: 2005), h. 17.

1
2. Makna al-Maqashid al-Shari’ah ‘Alaman atau Laqaban

Boleh jadi sebagai sebab tidak adanya ulama-ulama sebelum ini yang menjelaskan
makna al-Maqashid al-Shari’ah secara gamblang adalah karena al-Maqashid al-Shari’ah
belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Atau ia memang tidak perlu
dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu seperti yang diungkapkan
oleh Imam Syatibi. Imam al-Ghazali ketika membahas tentang al-Maqashid al-Shari’ah
menyinggung;

،‫ أن حيفظ عليهم عقوهلم‬،‫ أن حيفظ عليهم أنفسهم‬،‫ أن حيفظ عليهم دينهم‬:‫مقصود الشرع من اخللق مخسة‬

‫ أن حيفظ عليهم أمواهلم‬،‫أن حيفظ عليهم نسلهم‬

Tujuan Allah SWT dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama
mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. 2 Apa yang disampaikan al-
Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu al-
Maqashid al-Shari’ah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang
independen.

al-Maqashid al-Shari’ah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya


sudah ada sejak nash Alquran diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi Muhammad.
Karena al-Maqashid al-Shari’ah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia
selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam Surah Al-Anbiya’, Ayat : 107 :

َ َ‫َو َمٓا َأ ۡر َس ۡل ٰن‬


١٠٧ َ‫ك ِإاَّل َر ۡح َم ٗة لِّ ۡل ٰ َعلَ ِمين‬

Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (QS. Al-Anbiya’, Ayat : 107)

Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa al-Maqashid al-Shari’ah adalah makna-makna dan


hikmah-hikmah yang dicatatkan atau diperlihatkan oleh Allah dalam semua atau sebagian
besar syariatnya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya.3
al Raisuni menyatakan bahwa al-Maqashid al-Shari’ah adalah tujuan-tujuan yang

2
Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, almustashhfa min ‘ilm
al-‘Ushul, (Beirut; Dar Ihya at-Turats al-Araby: 1997), h. 44.
3
Muhammad Thahir Ibn Asyur, Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah, (Yordan: Dar an-Nafais, 2001),
h. 251.

2
diletakkan oleh syari’ah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba.4 Menurut 'Allal al
Fasiy, al-Maqashid al-Shari’ah adalah :

‫الغاية منها واألسرار الىت وضعها الشارع عند كل حكم من احكامها‬

Artinya : Tujuan yang dikehendaki Syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari'
(Allah) pada setiap hukum.5

Sementara itu, menurut Syatibi terlepas dari perdebatan ulama tentang keberadaan
al-Maqashid al-Shari’ah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Prinsip ini
mempunyai bangunan kokoh dalam Alquran. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa prinsip
al-Maqashid al-Shari’ah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat harus
dibuktikan secara ilmiah. Untuk tujuan tersebut, Syatibi berargumen bahwa melalui proses
al-Istiqra' al-Ma'nawi (induksi) prinsip tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah yang tidak
dapat dibantah oleh kalangan yang sepaham dengan Al-Razi (Asy'ariyah). Imam Syatibi
mengemukakan beberapa firman Allah yang dengan menggunakan metode al-Istiqra' al-
Ma'nawi dapat ditarik bahwa al-Maqashid al-Shari’ah adalah untuk kemaslahatan manusia
di dunia dan di akhirat.6

Peta sejarah perkembangan Al-Maqashid al-Shari’ah yang dikemukakan oleh al-


Raysuni, yang menekankan kategorisasinya pada tokoh, Muhammad Husyn dalam
disertasinya memetakanya dengan kategorisasi perkembangan pemikiranya. Menurutnya
perkembangan Al-Maqashid al-Shari’ah dapat dibagi menjadi tiga (3) era : era
pertumbuhan (Nash’ah al-Fiqr al-Maqashidi) dari mulai Tahun 320 H sampai dengan 403
H; dan era kemunculan (Zuhur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai Tahun 478 H sampai dengan
4
Menurut Ahmad Raisuni, istilah maqashid syari’ah pertama kali digunakan oleh alTurmuzi al-
Hakim dalam bukunya, yaitu: al-Salah wa Maqasiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-’Illah, ’Ilal al- Syariah, dan
juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh imam al-Qarafi menjadi buku karangannya. Setelah al-
Hakim, muncul Abu Mansur al-Maturidi dengan karyanya Ma’had al-Syara’, kemudian disusul Abu Bakar
al-Qaffal dengan bukunya Ushul Fiqh dan Mahasin al-Syariah, setelah al-Qaffal kemudian muncul Abū
Bakar al-Abhari dan al-Baqilany dengan masing-masing karyanya yaitu mas’alah al-Jawab wa al-dalail wa
al’Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad. Sepeninggal al-Baqilany, kemudian muncullah
Imam Haramain (al-Juwaini), beliau adalah orang yang pertama mengklasifikasikan maqasaid al-syariah
menjadi tiga kategori besar, yaitu: Daruriyyah, Hajjiyah dan Tahsiniyyah. Kemudian pemikiran beliau
dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazaly, al-Razy, al-Amidy, Ibn Hajib, al-Baidawi, al-Asnawi, Ibn
Subuki, Ibn Abdissalam, Najmuddin al- Tufi, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim. Ulasan lebih lanjut lihat
Ahmad ar-Raisuni, Muhadarat fi Maqasid al-Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kalimah, 2010), h. 61-114.
5
Ilal al-Fasi, Maqashid al Syari’ah wa Makarimuha, (Mesir: Dar al Ma’arif, 1971), h. 128.
6
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul as-Syari’ah, (Kairo: Mustofa Muhammad, 1992), h.
264.

3
Tahun 771 H; dan era perkembangan (Tathawur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai dari Tahun
771 H sampai dengan Tahun 790 H dan dari Tahun 790 sesudah berakhirnya al-Syatibi
diteruskan dengan metode Al-Maqashid al-Shari’ah Tahir ibn Asyur pada Tahun 1379 H
sampai dengan sekarang. Pasca Ibn Asyur hingga saat ini, Al-Maqashid al-Shari’ah
menapaki jalan menuju puncak kejayaan, dengan indikator utama dijadikanya Al-
Maqashid al-Shari’ah sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagian besar
persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan
sosial, politik dan ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global)
dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21
menjadi saksi semakin meningkatnya perhatian ulama dunia dan cendikiawan muslim
terhadap Al-Maqashid al-Shari’ah.7

Pembagian Maqashid Sejak zaman al-Juwaini dan al-Ghazali, mereka membagi al-
Mashalih menjadi al-Dharuriyyah, al-Hajjiyyah dan at-Tahsiniyyah. Mereka membatasi
al-Dharuriyyah pada lima hal yaitu al-Diin (agama), al-Nafs (jiwa), al-‘Aql (akal), al-Nasl
(turunan) dan al-Maal (harta).8 Diatas konsep inilah asy-Syathibi berjalan Itulah mungkin
sisi Taklid dalam pemikiran Maqashid asy-Syathibi Namun begitu, Tajdid dalam ilmu
Maqashid-nya merupakan hal yang tak terbantahkan.

Kelebihan asy-Syathibi dalam membicarakan konsep Al-Maqashid al-Shari’ah nya


adalah kepiawaiannya dalam membahas tujuan Maqashidullah dan Maqshidul Mukallaf.
Sehingga Thahir ibn Asyur menggolongkannya ke dalam ‘Ulama al-Afdzadz (langka).
Dalam kitabnya al-Muwafaqat Imam Syatibi membagi maqashid menjadi dua. Yang
pertama Maqashid yang kembali pada tujuan pembuat syari’ah (Allah SWT), yang kedua
maqashid yang kembali pada tujuan hamba (al-Qasdu alM-ukallaf).9

7
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari’ah dari
konsep ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010), h. 198-199.
8
al-Gazâli mengkategorisasi maslahah berdasarkan segi kekuatan substansinya (quwwatiha fi
dzâtiha), di mana maslahah itu dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) maslahah level darûrât, (2) maslahah level
hâjât, dan (3) maslahah level tahsînat/tazyînat. Masing-masing bagian disertai oleh maslahah
penyempurna/pelengkap (takmilah/tatimmah). Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-usûl al-khamsah)
yang berada pada level darûrât merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahah. Kelima tujuan/prinsip
dasar mencakup (1) memelihara agama (hifz al-dîn), (2) memelihara jiwa (hifz al-nafs), (3) memelihara akal
pikiran (hifz al-‘aql), (4) memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan (5) memelihara harta kekayaan (hifz al-
mâl). Pandangan alGazâli tentang al-Usûl al-Khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihâb al-Dîn alQarafi
(w. 684 H) dengan menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi, yakni memelihara kehormatan diri (hifz
al-‘Ird) meskipun diakui sendiri oleh alQarafi bahwa hal ini menjadi bahan perdebatan para ulama.
9
asy-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Jilid 1, juz 2, h. 261.

4
Asy-Syatibi menjelaskan Maqashid yang kembali pada tujuan Allah SWT dibagi

lagi menjadi empat bagian;

1. Maksud Allah SWT dalam Memberlakukan Syari’ah (al-Qasdu al-Syari’ fi Wad’i al-
Syari’ah ).

Dalam pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT
memberlakukan Syari’ah adalah untuk kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di
akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi tiga bagian; yang pertama al-Dharuriyah
(primer), yang kedua al-Hajiyah (sekunder), yang ketiga al-Tahsiniyah (tersier).10

Lebih jauh alSyâtibi menjelaskan bahwa al-Darûriyyah ialah sesuatu yang tidak
boleh tidak ada demi tegaknya kebaikan dan kesejahteraan, baik menyangkut urusan al-
Ukhrawi maupun urusan duniawi, di mana manakala ia lenyap, tidak ada, maka tidak dapat
terwujud kehidupan duniawi yang tertib dan sejahtera; bahkan, yang terwujud ialah
kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan ukhrawi yang celaka dan menderita. Bagi
al-Syâtibi, al-Darûriyyah itu mencakup upayaupaya memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara keturunan, memelihara harta kekayaan, dan memelihara akal budi.11

Adapun al-Hâjiyyah, dalam pandangan al-Syâtibi, ialah sesuatu yang dibutuhkan


dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan kesempitan yang
biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusahpayahan yang diringi dengan luputnya
tujuan/sasaran. Apabila al-Hâjiyyah tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran dan
kesusahpayahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada
maslahah al-Darûriyyah, yang bersifat umum. Kategori hâjiyyah sesungguhnya mengarah
kepada penyempurnaan darûriyyah, di mana dengan tegaknya al-Hâjiyyah, akan lenyap
segala Masyaqqah dan tercipta keseimbangan dan kewajaran, sehingga tidak menimbulkan
ekstrimitas (al-Ifrât Wa al-Tafrît).12

Sedangkan al-Tahsîniyyah, menurut pendapat al-Syâtibi, ialah sesuatu yang


berkenaan dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari

10
Ibid., h. 562
11
Ibid., h. 262.
12
Ibid., h. 267. Hajiyat yang dalam ushul fiqh merupakan tingkatan di bawah dharuriyat.
Karenanya, pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok di atas,
tetapi hanya membawa manusia pada kesulitan dalam merealisasikannya

5
kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat. Hal ini sering
disebut dengan al-Makârim al-Akhlâq. Bagi alSyâtibi, keberadaan al-Tahsîniyyah
bermuara kepada kebaikan-kebaikan yang melengkapi prinsip al-Maslahah al-Darûriyyah
dan al-Maslahah al-Hâjiyyah; ini karena ketiadaan al-Tahsîniyyah tidak merusak urusan
al-Darûriyyah dan al-Hâjiyyah; ia hanya berkisar pada upaya mewujudkan keindahan,
kenyamanan dan kesopanan dalam tata hubungan sang hamba dengan Tuhan dan dengan
sesama makhluk-Nya.13

2. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Bisa dipahami (al-Qasdu al Syari’ fi
Wad’i al Syari’ah Lil al-Ifham)

Ada dua hal penting yang disinggung oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan
ini. Yaitu syari’ah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan syari’ah ini
bersifat ummiyyah. Oleh karena itu imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin
memahami syari’ah ini, maka ia harus memahaminya dari sudut pandang lisan Arab, dan
bukan yang lain. Sementara yang dimaksud dengan Ummiyyah, imam Syatibi menjelaskan
bahwa syari’ah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu
lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak
belajar ilmu apa-apa.

“‫”واألمى منصوب ايل األم وهو الباقى علي األصل والدته األم مل يتعلم كتابا وال غريه‬.14

Atau secara sederhana, barangkali kita bisa mengatakan mereka disebut ummi
karena pengetahuan mereka tidak pernah melampaui lingkungannya. Hal ini tidak lain
untuk menegaskan bahwa Alquran adalah mu’jizat yang turun dari Allah SWT dan bukan
tiruan atau kumpulan dari ilmu-ilmu dan agama yang ada di luar Arab, seperti yang
dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengakui Nabi saw waktu itu.

3. Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk dijalankan (al-Qasdu al-Syari’ fi al-
Wad’i al-Syari’ah li al-Taklif bi al-Muqtadlaha)

13
Ibid., h. 273. Bagian ketiga dari maqasid asy-syari'ah adalah tahsiniyat. Menurut ulama ushul,
tahsiniyat ini sering disebut sebagai penghias atau sesuatu yang memperindah hukum-hukum Islam. Karena
tahsiniyat itu didasarkan pada nilai etika dan pertimbangan adat yang positif, sebagai contoh tahsiniyat yang
berhubungan dengan masalah jiwa adalah menjauhi makanan-makanan yang tidak layak untuk dimakan.
Tahsiniyat yang berhubungan dengan masalah harta adalah seperti larangan untuk berlebih-lebihan dalam
menggunakan air.
14
Ibid., h. 305- 308.

6
Dalam pembahasan ini, Imam Syatibi menyoroti dua hal; pertama al-Taklif
(pembebanan) di luar kemampuan, yang kedua taklif dengan yang mengandung unsur al-
Masyaqqah (kesulitan). Yang pertama tidak terlalu ia jelaskan secara panjang lebar, sebab
persoalan ini memang sudah jelas, setiap al-Taklif di luar kemampuan manusia maka ia
tidak sah karena tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kemudian ia mengurai persoalan
yang timbul pada nash-nash yang nampak diluar kemampuan manusia (seperti perintah
untuk mencintai atau larangan marah) dengan melihat pengantarnya maupun dampaknya.
Ketika misalnya syariat melarang marah pada hakekatnya bukan melarang marahnya,
sebab marah adalah tabiat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, tetapi yang
dilarang adalah melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan atau hal-hal yang
diakibatkan oleh marah seperti dendam pertengkaran dan sebagainya. Sementara yang
kedua yaitu taklif dengan ada unsur masyaqqahnya lebih ia terangkan secara agak
panjang.15

Ia menjelaskan bahwa Allah memberlakukan taklif yang ada unsur al-Masyaqqah-


nya bukan bermaksud untuk memberikan al-Masyaqqah pada manusia, tapi meraih
Maslahah yang ada dibalik al-Taklif tersebut. Oleh karena itu ia kemudian menandaskan
seseorang tidak boleh melakukan aktifitas dengan masksud mencapai masyaqqah-nya,
karena hal ini bertentangan dengan tujuan kemudahan bagi manusia yang ada dalam
syariat. Lebih jauh ia memaparkan, pada dasarnya setiap aktifitas mengandung unsur al-
Masyaqqah di dalamnya, seperti shalat, haji, bekerja dan lain sebagainya. Namun al-
Masyaqqah itu pada umumnya masih bisa diterima dan dipikul oleh manusia, bahkan
orang-orang yang menghindari aktifitas-aktifitas tersebut dengan dalih al-Masyaqqah di
dalamnya bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang malas

Ia juga memperhatikan bahwa kadang-kadang perasaan adanya masyaqqah ini


secara tidak sadar muncul karena didorong oleh nafsu yang menentang melakukan
perintah-perintah syariat, maka di sini ia mengingatkan bahwa termasuk tujuan Allah SWT
memberlakukan syariat adalah supaya manusia tidak tertawan dan dikendalikan oleh
nafsunya sehingga ia bisa menjadi hamba Allah SWT dengan baik. Apabila masyaqqah
yang ada ini sudah diluar kemampuan manusia umumnya atau memberatkan, maka syariat
mentolelirnya dengan adanya rukhshah (keringanan) seperti yang terjadi pada orang yang
sakit ketika ia tidak mampu untuk shalat berdiri, ia diperkenankan untuk duduk dan
seterusnya. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah
15
asy-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Jilid 1, juz 2, h. 499- 500.

7
SWT ini seimbang antara terlalu berat dan terlalu ringanTujuan Allah SWT Menurunkan
Syariat untuk Semua Hambanya (al-Qasdu al-Syari’ Fi al-Dukhuli al-Mukallaf Tahta al-
Ahkam al-Syari’ah).

Dalam point pembahasan ini, Imam Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang
diturunkan oleh Allah SWT ini berlaku untuk semua hambanya, tidak ada pengecualian
selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat. Kemudian ia memaparkan lebih
lanjut bahwa tujuan peletakan Syari’ah adalah untuk membebaskan seorang hamba dari
belenggu hawa nafsunya, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba
Allah SWT, sebagaimana halnya ia tidak bisa melepaskan diri dari predikat hambanya.

Sementara itu pada al-Maqashid yang kedua, yaitu al-Maqashid yang kembali pada
tujuan hamba (Qasdu al Mukallaf), Imam Syatibi berbicara mengenai peran sentral motif
dan niat yang menjadi dasar dari sebuah amal. Niatlah yang menjadikan amal seorang
hamba sah dan diterima atau tidak, niatlah yang bisa menjadikan amal sebagai ibadah atau
sekedar amal biasa, menjadikan ia wajib atau sunnah dan seterusnya. Ia lalu
menyontohkan sebuah amal jika didasari motif yang berbeda konsekwensinya pun akan
berbeda. Misalnya sujud, ia bisa membuat orang menjadi mu’min yang takwa atau bahkan
kafir, kembali pada niatnya. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian membuat beberapa
kesimpulan menyangkut hal ini :

Niat dan motif yang digerakkan oleh seorang hamba tidak boleh melenceng dari
garis syariat.

1) Siapapun yang dalam menjalankan perintah Allah SWT punya maksud lain tidak
seperti yang dimaksudkan oleh syariat, maka amalnya batal.

Di sini kemudian muncul sebuah persolan, bagaimana bagi seorang hamba yang
tidak mengetahui tujuan syari’ah dalam setiap syariatnya? Imam Syatibi kemudian
memberi solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, Dalam melakukan amal yang
diperintahkan seorang hamba harus berupaya sebisa mungkin menyesuaikan maksudnya
dengan tujuan syariat, jika ia telah yakin maksudnya selaras dengan tujuan syariat, ia tetap
tidak boleh menyingkirkan unsur al-Ta’abbud (beribadah) kepada Allah SWT, sehingga ia
tidak lepas dari arah menuju Allah SWT. Kedua, Ia hanya bermaksud patuh terhadap
perintah Allah SWT, dan menjalankan syariat persis seperti yang diajarkan.16
16
Ibid., h 499-500.

8
Kemudian al-Syatibi dalam al-Muwafaqat, membagi al-Maqashid atau tujuan
hukum itu kepada dua orientasi kandungan. Kedua kandungan tersebut adalah :17

a. al-Masalih al-Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia)


b. al-Masalih al-Ukhrawiyyah (tujuan kemaslahatan akhirat)

Kedua aspek ini menurut al-Syatibi tidak dapat dipisahkan dalam hukum Islam.
Oleh karena itu, menurut Asfri Jaya bakri bahwa baik al-Daruriyat, al-Hajiyat, dan al-
Tahsiniyat serta orientasi kandungan maslahat dunia dan akhirat adalah sangat penting
dalam pengembangan hukum Islam. Disamping itu dapat menarik garis yang jelas antara
lapangan hukum yang boleh dilakukan pengembangan melalui ijtihad dan lapangan hukum
yang tidak boleh dilakukan ijtihad, sehingga pembagian-pembagian tersebut menjadi titik
tolak dalam memahami hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah yang menurut
penulis khususnya dalam bidang muamalah.18 Sebagaimana pendapat Satria Effendi bahwa
khusus dalam bidang muamalah selama dapat diketahui tujuan hukumnya maka dapat
dilakukan pengembangan hukum.19

al-Maslahah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dibedakan antara kata al-Maslahat dan
kemaslahatan. Kata al-Maslahat diartikan dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
faedah, dan guna sedangkan kata kemaslahatanmempunyai makna kegunaan, kebaikan,
kemanfaatan, dan kepentingan. Dari sini jelas bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia
melihat kata maslahat dimasukkan sebagai kata dasar sedangkan kata kemaslahatan
dimasukkan sebagai kata benda jadian yang berasal dari kata maslahatyang mendapatkan
awalan/ke/ dan akhiran /an/.20

Menurut Yusuf Hamid al-‘Alim dalam bukunya al-Maqasid al-‘Ammah li asy-


Syari’ah al-Islamiyyah, al-Maslahah itu memiliki dua arti, yaitu arti al-Majazi dan al-
Haqiqi. Yang dimaksud dengan makna al-Majazi disini, kata al-‘Alim adalah suatu
perbuatan (al-Fi’lu) yang mengandung kebaikan (al-Saluha) yang memiliki arti manfaat.

17
Ibid., h. 517.
18
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqshid Syariah menurut Al-Syatibi, (Jakarta: Rajawali Press; 1996),
h.74.
19
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 150-151.
20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), Cet. Ke 2, h 364.

9
Contoh dari makna al-Majazi ini adalah mencari ilmu. Dengan ilmu akan mengakibatkan
kemanfaatan Contoh lainnya adalah bercocok tanam dan perdagangan. Dengan melakukan
ini semua, akan diperoleh manfaat, yaitu diperoleh kepemilikan harta. Makna Maslahah
seperti ini merupakan lawan dari Mafsadah sehingga keduanya tidak mungkin dapat
bertemu dalam suatu perbuatan. Makna Maslahah secara Majazi ini secara jelas dapat
ditemukan dalam kitab Ma’ajim al-Lugah, seperti kamus al-Muhit dan al-Misbah al-
Munir.21

Maslahah atau Istishlah merupakan salah satu dari tertib sumber hukum yang
kehujahannya masih diperselisihkan oleh ulama fikih. Kalangan Zahiriah, sebagian dari
kalangan Syafi’iyah dan Hanafiah tidak mengakui Mashlahah al-Mursalah sebagai
landasan pembentukan hukum, dengan alasan yang telah dikemukakan Abdul Karim
Zaidan, antara lain :22

a. Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuanketentuan hukum yang menjamin


segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berlandaskan
Mashlahah al-Mursalah, berarti menganggap syari’ah Islam tidak lengkap karena
menganggap masih ada maslahah yang belum tertampung oleh hukum-hukum-Nya.
Hal ini seperti bertentangan dengan Q.S al-Qiyamah, Ayat : 36, yaitu “Apakah

21
Yusuf Hamid al-‘Alim, al-Maqashid al-‘Ammah li asy-Syariah alIslamiyyah (Beirut: Mu’assasah
ar-Risalah, 2001), h. 2.
22
Imam asy-Syafi’i sebagai tokoh pendiri mazhab asy-Syafi’iyah, karena dia menyebut maslahat
tanpa pengakuan syara’ dengan istilah maslahah-mursalah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa
Imam asy-Syafi’i menolak maslahah mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Namun
apabila kita memahami istilah tersebut secara luas, meliputi maslahat yang sejenisnya diakui oleh syara’
maka dapat dikatakan bahwa Imam asySyafi’i tidak menolak maslahahmursalah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum Islam. Dalam catatan yang lain ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-
Syafi’i menolak maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena Imam asy-Syafi’i
dalam kitabnya ar-Risalah, menolak istihsan sebagai dasar penetapan hukum Islam. Namun pendapat
tersebut dibantah oleh Imam Haramain dan muridnya Imam alGhazali yang nota bene-nya juga sama-sama
dari mazhabn asy-Syafi’iyah dengan cara menghadirkan beberapa contoh hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i
berdasarkan kepada maslahah-mursalah. Kalau kita melihat kepada hasil ijtihad para imam yang empat
(Malik, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali), banyak sekali penetapan hukum berdasarkan kepada maslahat,
bahkan penetapan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat dilakukan juga oleh sahabat Nabi. Karena itu
sering ditemukan kemaslahatan dari hukum Islam, baik yang ditetapkan berdasarkan metode Qiyas, Istihsan
dan Istishab maupun melalui metode istislah atau maslahah-mursalah. Dengan demikian benar apa yang
dikatakan oleh al- Qorafi bahwa imam mujtahid/mazhab yang empat mempergunakan al-Maslahah-
Mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Adanya pendapat yangmengatakan para imam
besar menolak maslahat sebagai dasar menetapkan hukum Islam, disebabkan oleh kesalahan mereka dalam
memahami beberapa istilah yang digunakan oleh para imam tersebut. Abdul Karim Zaedan, Al-Wajiz fi
Ushul Al-Fiqh,( Beirut. Muassatul Risalah: 1996), h.238.

10
manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)?”
b. Membenarkan mashlahah al-mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka
pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk
menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslahatan.
Praktik seperti ini akan merusak citra agama.

Pendapat mereka yang menolak metode Mashlahah al-Mursalah ini dapat dibantah
dengan beberapa alasan. Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab
maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga
menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fikih
dikenal istilah yakfî al-‘amal bi al-zhan, beramal berdasarkan kepada zann dianggap cukup
karena semua fikih adalah zhan. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa
menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan
tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan
maslahat yang ditolak oleh syara’, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh lebih
banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada
suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka
maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak. Kedua, tidak
benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahahmursalah berarti
menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan
sebagai hujjah, mashlahah almursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu
(bahasan di bawah). Jadi tidak asal maslahat Persyaratan inilah yang akan mengendalikan,
sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan
kepada maslahat. Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang
dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-
prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak
sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh Alquran dan Sunnah
tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihâd. Keempat, tidak benar kalau memandang
maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan
menggunakan metode masalah mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas,
keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.

11
Sebagai sumber hukum, maslahat tidak bersifat statis. Ia bergerak mengikuti irama
kehidupan. Ditinjau dari konteks yang demikian ini, hukum itu tampak selalu bergerak,
berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Itulah sebabnya maslahat sebagaimana
dikutip oleh Nasrun Harun dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Maslahat yang mengalami perubahan sejalan dengan perubahan waktu, atau


lingkungan , dan atau orang-orang yang menjalaninya. Hal ini terjadi hanya pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan Mu’amalah dan Uruf (kebiasaan).
b. Maslahat yang tidak mengalami perubahan, bersifat tetap sampai akhir zaman.
Kemaslahatan akan bersifat tetap walaupun waktu, lingkungan orangorang yang
berhadapan dengan kemaslahatan tersebut telah berubah Kemaslahatan yang tidak
berubah ini adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah. 23

Pembagian maslahat ke dalam beberapa macam dari sudut pandang yang berbeda
ini, adalah hasil perenungan panjang oleh para pakar Ushul Fiqh (filsafat dan teori hukum
Islam) sejak abad ke 3 dan ke 4 H, dan berlangsung hingga saat ini. Kesimpulan tersebut
merupakan karya abstraksi intelektual yang luar biasa, dengan menggunakan metode
Ijtihad. Pembagian tersebut juga memberi rambu-rambu agar tidak seluruh maslahat yang
muncul dalam benak setiap orang dengan begitu saja dapat dijadikan sebagai sumber atau
pijakan hukum, yang pada akhirnya justru akan menyesatkan banyak orang. Maka dengan
demikian diharapkan hukum selalu dapat menjawab tantangan yang selalu muncul sebagai
isu global dalam kehidupan manusia.

Maslahat dalam syrariat Islam adalah al-Mashlahat yang bukan berdimensi


material dan duniawi saja, tetapi juga berdimensi spiritual dan al-Ukhrawi Said Ramadhan
al-Buthy menjelaskan dengan panjang lebar kriteria maslahat menurut syari’ah Ia
menyimpulkan bahwa maslahat mempunyai tiga kriteria, yaitu:24

a. Maslahat harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan akhirat. Dalam
istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahat yang berwawasan dunia dan
akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat dipandang absurd
atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang fatamorganik. Untuk itu,
mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat Ukhrawi. Bagi orang-orang

23
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta, Logos Waacana Ilmu, 1998), h. 117.
24
Al-Bûthi, Muhammad Sa’id Ramadhân, Dhawâbith al-Maslaẖah fî asSyarî’ah al-Islâmiyah,
(Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah 1973), h. 123.

12
yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai kelanjutan dari kehidupan
dunia. Karenanya, mereka meyakini adanya maslahat atau manfaat yang bersifat
ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan Maslahat Duniawi.
b. Maslahat tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata, tetapi juga
harus mengandung norma spiritual agar maslahat tersebut bisa memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian Filosof menentang adanya maslahat
rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahat rohani menurut pandangan
mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani terpenuhi.
Kebanyakan filosof tidak mempercayai maslahat yang bersifat spiritual ini. Karena
itu, setiap maslahat atau manfaat yang tidak bisa dinikmati secara material tidaklah
disebut sebagai maslahat.
c. Norma maslahat yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar pijakan bagi
maslahat-maslahat lainnya. Semua maslahat harus menginduk pada norma agama
dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan dengan kemaslahatan agama,
maka maslahat agama harus didahulukan demi menjaga dan melestarikan eksistensi
agama Pertentangan dimaksud tentunya berupa pertentangan antar norma. Norma
atau nilai yang terdapat dalam maslahat agama berorentasi pada
pandanganpandangan yang telah digariskan oleh Alquran dan Sunah Nabi, sedang
norma kemaslahatan non agama tentu terlepas dari pandangan-pandangan
keagamaan.

Sebelum al-Buthi menawarkan kriteria maslahat di atas agar al-Maslahah- al-


Mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam
Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali at-Tufi dan asy-Syathibi membuat persyaratan
dan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda
satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang
sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini.

al-Ghazali membuat batasan operasional al-Maslalah- al-Mursalah untuk dapat


diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam;

a) Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum


Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau
kehormatan.

13
b) Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Alquran, as-
Sunnah dan al-Ijma’.
c) Ketiga, Maslahat tersebut menempati level al-Daruriyah (primer) atau al-
Hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan al-Daruriyah.
d) Keempat, kemaslahatannya harus berstatus al-Qat’i atau zann yang
mendekati al-Qat’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan
persyaratan, harus bersifat al-Qat’iyah, al-Daruriyah, dan al-Kulliyah.25

Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas


terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang
berdiri sendiri, terlepas dari Alquran, as-Sunnah dan al-Ijma’. Imam al-Ghazali
memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode al-Istinbath
(menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan
ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan oleh Imam al-Ghazali
secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif
Suratma putra terhadap contoh-contoh kasus maslahah mursalah yang dikemukakan oleh
Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al- Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-
Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional
maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.

Bagi para ahli filsafat dan etika, realitas kehidupan ini terdiri dari kenikmatan-
kenikmatan dan penderitaanpenderitaan. Setiap orang dalam kehidupan ini selalu berjuang
untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut dan melepaskan diri dari segala
bentuk penderitaan. Jeremy Bentham (1789) dengan teori utilitarianisme mengatakan
bahwa motif manusia dalam bertindak adalah untuk mendapatkan kebahagiaan sebesar-
besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik-buruknya perbuatan manusia adalah
25
Selain al-Ghazali yang mengapresiasi Maslahah al-Mursalah adalah gurunya Imamal-Haramain
yang menurutnyas jelas-jelas menyatakan bahwa Imam Syafi’i menerima maslahah mursalah. Bahkan al-
Gazalib dalam Asas al-Qiyas, Syifa’ al-Galil, dan al-Mustasfa menunjukkan beberapa ijtihad Imam Syafi’i
yang berdasarkan pada maslahah mursalah. Kerancuan itu terus berlanjut hingga generasi baru, yang menulis
Usul al-Fiqh pada era dunia keilmuan telah begitu maju yang semestinya harus dilandasi denagn objektifitas
dan ketelitian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada penulis Abdul al-Wahab Khallaf, misalnya, yang
bukunya banyak dibaca oleh mahasiswa syari’ah Indonesia bahkan menjadi sumber rujukan penulisan karya
ilmiah para dosen syari’ah, ternyata membuat kekeliruan besar dalam menilai pandangan al-Gazali. Ia
menyatakan bahwa al-Gazali tidak menerima istishlah (maslahah mursalah) sebagai hujjah. Padahal al-
Gazali dalam berbagai kesempatan di berbagai buku usul fiqhnya tegas-tegas menyatakan bahwa istishlah
dapat menjadi hujjah, kendati sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri dgan kriteria-kriteria tertentu. Abu
Hamid Al Ghazali, syifa al ghalil fi bayani syabah wa al mukhil wa masalik at-ta’lil, tahqiq ahmad kabisi,
(Bagdad: Mkatabah Al Irsyad, 1971), h. 182.

14
tergantung kepada apakh perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan dan kenikmatan hidup
ataukah tidak. Menurutnya hukum yang efektif dan efisien adalah hukum yang bisa
mencapai visi dan misinya yaitu memberikan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar bagi
mayoritas masyarakat. Semboyan terkenal teori ini adalah The Greatest Happiness For
The Greatest Number.

Bagi para ulama Ushul-Fiqh terdapat tiga pokok pikiran tentang mashlahah atau
manfaat yang sangat kontradiktif dengan pemikiran ahli filsafat dan etika diatas yaitu:

1. Bahwa pengertisn mashlahah atau manfaat itu tidak hanya bersifat duniawi saja
tapi sekaligus bersifat ukhrawi, sebab manusia mempunyai dua alam kehidupan yaitu
kehidupan jangka pendekdi dunia dan jangka panjang di akhirat kelak. Dua alam
kehidupan ini sama-sama penting bahkan kehidupan akhirat jauh lebih penting, karena itu
kehidupan di dunia hanyalah sebagai tujuan antara menuju kehidupan akhirat yang abadi.
Dengan demikian, Allah swt mensyariatkan hukum untuk kepentingan dua kehidupan
diaats, sebagian dalam kategori ibadah, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan penciptanya (Allah swt) secara vertikal, dan sebagian yang lain dalam
kategori mualamah, yaitu hukumhukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
atau lingkungannya secara horizontal. Semua hukum dalam dua kategori diatas diyakini
mengandung mashlahah atau manfaat bagi manusia baik secara individual maupun sosial.

2. Bahwa mashlahah atau manfaat itu tidak hanya terbatas kepada yang bersifat
fisik saja sebagaimana menjadi pandangan para ahli filsafat dan etika, tetapi meliputi fisik
dan jiwa manusia. Manusia, menurut para ulama Ushul-Fiqh terdiri dari dua unsur penting
yaitu unsur fisik dan rohani atau jiwa. Masing-masing unsur penting manusia ini
membutuhkan mashlahah yang berbeda satu sama lain. Karenanya Islam membangun
ajarannya sangat komprehensif meliputi aqidah dan syari’ah yang menjadi kebutuhan
manusia itu secara utuh.

3. Bahwa kemaslahatan agama adalah menjadi prinsip bagi kemashlahatan


ukhrawi. Untuk itu para ulama Ushul-Fiqh mengklasifikasikan kebutuhan manusia dalam
lima tingkatan yang harus diwujudkan oleh hukum Islam, yaitu memelihara agama sebagai
kebutuhan paling penting, selanjutnya memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta
kekayaan, dan semua ini kemudian disebut dengan al-Dharuriyat al-Khamsah atau

15
kebutuhan primer manusia yang lima. Dan pada tingkat dibawahnya terdapat kebutuhan-
kebutuhan lain yang bersifat sekunder dan komplementer.

Secara normatif Alquran diyakini sebagai petunjuk bagi manusia yang membawa
kepada kemaslahatan di dunia dan akhirat. Keyakinan ini juga mengandung makna bahwa

a) Alquran tidak mungkin bertentangan dengan maslahat,


b) Maslahat tidak mungkin bertentangan Alquran.

Oleh karena itu, jika terjadi pertentangan antara nash dan maslahat maka terdapat
dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan pemahaman terhadap nash itu tidak tepat.
Kedua, kemungkinan pemahaman terhadap maslahat itu tidak tepat, Ketiga, kemungkinan
pemahaman terhadap teks dan maslahat keduanya tidak relevan. Jika terjadi dua kemung-
kinan tersebut maka keadaan itu menis-cayakan dilakukan pengkajian ulang terhadap
teori-teori ilmu Alquran dan rekonstruksi teori maslahat.

Adapun jika maslahat bertentangan dengan sunnah, maka itu bisa terjadi karena
beberapa faktor. Pema-haman terhadap maslahat itu dipenga-ruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya faktor sosio kultural, tempat, zaman, waktu. Sedangkan sunnah, secara historis
periwayatannya telah melalui rentang waktu, sehingga periwatannya berlangsung sekitar
abad ke 2 H. Hal ini tentu memungkinkan hadis itu harus diuji validitas dan realibiltasnya
dengan teknik triangulasi. Sebuah riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw. sangat
layak dipertanyakan, apa-lagi dengan merujuk pada pandangan adanya hadis-hadis yang
dinilai ber-laku temporal atau lokal. Yang demikian itu tentu tidak relevan untuk semua
keadaan dan tempat, sehingga perlu dilakukan penelusuran terhadap riwayat-riwayat yang
lebih relevan.

Demikian pula konsensus (al-Ijma’) sahabat, rumusan konsensus mereka tentu saja
dilatarbelakangi oleh pertimbangan rasional, logis, faktual pada masanya, yang belum
tentu sejalan dengan fakta-fakta empirik yang di-hadapi oleh setiap generasi dari zaman ke
zaman. Rumusan maslahat yang dihasilkan dari pertimbangan temporal dan lokal tidak
selalu tepat digunakan untuk perumusan maslahat dengan latar belakang situasi, kondisi,
tempat, dan zaman yang berbeda.

Pendekatan-pendekatan seperti itu perlu dirumuskan berdasarkan Kenyataan bahwa


hadis-hadis Nabi saw. mempunyai karakteristik dan sifatnya masing-masing. Ada hadis

16
yang bersifat universal, bersifat temporal, dan bersifat lokal. Syuhudi Ismail, mengatakan
bahwa pada kenyataannya, ada hadis Nabi saw. yang muncul didahului oleh sebab tertentu,
tetapi pada Kenya-taan lain ada juga hadis tidak dihahului oleh sebab tertentu. Ada hadis
yang bersifat umum, dan ada pula hadis yang muncul berkaitan dengan erat dengan
keadaan yang bersifat khusus disinilah dibutuh-kan adanya kejelihan dalam memahami
sebuah teks yang disandarkan kepada Nabi saw. Konteks pembicaraannya pun harus
dipahami agar tidak keliru dalam memahami peruntukan dan maknanya.26

Dengan pendekatan kontekstual (Historis, Sosiologis, Antropologis) diharapkan


mampu memberikan pema-haman terhadap teks hadis secara tepat, apresiatif, dan
akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dengan kalimat yang lebih
vulgar, diungkapkan Fazlur Rahman, apabila kajian terhadap materi-materi hadis
dilakukan secara konstruktif, dengan norma-norma kritisisme historis dan historis
sosiologisnya maka hadis itu akan mempunyai makna baru. Sebaliknya, tanpa
memperhatikan historis sosiologisnya, maka hadis itu akan mati tanpa memberikan arti
bagi kita masa kini. Hal ini sejalan dengan kaidah

‫تغري األحكام بالتغري األحوال واألزمنات واألمكنات‬

yaitu meniscayakan adanya elastisitas pemberlakuan teks karena dengan per-timbangan


keadaan, zaman, dan milliu.27

Hukum pada prinsipnya bertujuan untuk membangun dan mendatangkan maslahat


serta menghindarkan manusia dari kekacauan dan kerusakan. Dengan demikian pandangan
tersebut sesuai dengan prinsip al-Muhafazhat ‘ala al-Qadim al-Shalih wal Akhdzu bi al-
Jadid al-Ashlah, yakni bersikap selektif dan akomodatif terhadap perubahan demi
tercapainya maslahat yang bertumpu pada tujuan-tujuan syariat. Oleh karena itu salah satu
prinsip yang perlu diperhatikan dari teori al-Maslahat Imam Malik dan al-Gazali adalah
skala prioritas, yakni memprioritaskan proteksi al-Mafsadat daripada mengambil al-
Maslahat, sebab mencegah al-Mafsadat pada hakikatnya bermakna mendahulukan

26
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma ‘ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 5.
27
Gagasan ini tampaknya juga merupakan kegelisahan intelektual Arkoun sebagaimana diungkap
oleh Hendrik Meuleman, Tradial Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan pemikiran
Muhammad Arkoun (Yogyakarta: LKIS, 1996), h. 28.

17
maslahat yang lebih besar dan paling urgen daripada maslahat yang lainnya. Hal ini
sejalan dengan kaidah Dar’u al-Mafasid Muqaddamun ala Jalb al-Mashalih.

Selain itu, latar belakang intelektual dan sosiologis serta politik yang melingkupi
kehidupan Imam Malik di Madinah tentu menjadi pertimbangan untuk menarik teorinya ke
dalam konteks yang berbeda. Begitu pula kehidupan al-Gazali yang berhadapan dengan
berbagai tantangan dan ancaman terhadap eksistensi ajaran Islam juga mendapat
pertimbangan. Perbedaan antara iman Malik dan al-Gazali dalam konteks penyitaan harta
dari kaum konglomerat itu dilator belakangi oleh situasi sosial, ekonomi, dan politik yang
berbeda. Secara teoritis tidak satu pun pemikiran yang berdiri sendiri terlepas dari ideologi
dan konteksnya. Faktor geneologi intelektual Imam Malik dan al-Gazali juga harus
menjadi pertimbangan dalam mendudukkan teori maslahatnya. Keduanya berguru kepada
ulama yang berbeda, sehingga latar belakang intelektual para guru itu juga turut
memengaruhi cara pandang mereka. Dalam kaitan ini, al-Ghazali harus dilihat dengan latar
belakang dikenal sebagai filosof, mantiqi, mutakallim, sufi, faqih, dan ushuli.

Di bidang ilmu kalam ia merupakan tokoh Mutakallimin Asy’-ariyah, sementara di


bidang hukum Islam (fiqh dan ushul fiqh), ia merupakan tokoh Syafi’iyah. Dari latar
belakang afiliasi mazhab fikihnya sudah bisa dipastikan banyak dipengaruhi oleh
paradigma berpikir Imam Syafi’i dengan latar belakang sosiologis-antropologis
masyarakat Mesir. Sementara Imam Malik, maskipun ia merupakan salah seorang guru
Imam Syafi’i, namun al-Istinbath yang mempengaruhinya adalah kondisi sosio-historis
masyarakat Madinah. Kitab-kitab bacaan mereka juga tidak dapat dipungkiri sebagai
faktor yang memengaruhi pemikiran mereka.28

Ilmu maqashid punya keterkaitan yang sangat erat dengan maslahat. Bisa dikatakan
bahwa maslahat merupakan inti dari kajian Ilmu Maqashid. Maslahat, bagi umat manusia
merupakan kebutuhan primer. Karena itu, ia perlu mendapatkan perhatian khusus juga
standarisasi yang jelas.dengan demikian, maslahat yang ada pada diri manusia sesuai
dengan apa yang digariskan Allah dalam kitab suci.

3. Teori al-Maqoshid dalam Fatwa Corona

28
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1995), h. 269.

18
Sejak merebaknya wabah corona banyak Lembaga fatwa yang mengeluarkan fatwa
di antara dilarang bersalaman, dilarang melakukan shalat Jum’at dan diganti shalat dzhuhr
dengan dasar-dasar sebagai berikut:

pertama: Allah SWT.telah menegaskan dalam surat al-Baqarah, Ayat: 30 yang


berbunyi sebagai berikut :

ٰٓ ۡ
ُ ِ‫ف‬s ‫ا َويَ ۡس‬ssَ‫ا َأت َۡج َع ُل فِيهَا َمن ي ُۡف ِس ُد فِيه‬sْ‫ض خَ لِيفَ ٗۖة قَالُ ٓو‬
ُ‫ ِّد َمٓا َء َون َۡحن‬s ‫ك ٱل‬ َ ُّ‫َوِإ ۡذ قَا َل َرب‬
ِ ‫ل فِي ٱَأۡل ۡر‬ٞ ‫ك لِل َملَِئ َك ِة ِإنِّي َجا ِع‬
َ ۖ َ‫نُ َسبِّ ُح بِ َحمۡ ِدكَ َونُقَدِّسُ ل‬
٣٠ َ‫ك قَا َل ِإنِّ ٓي َأ ۡعلَ ُم َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui"

Dari ayat di atas sesungguhnya Allah akan menjadikan makhluk (Adam dan anak
cucunya) khalifah yakni pemimpin yang akan mengatur dunia beserta isinya yakni
manusia yang akan menjadi pemimpin semua makhluk yang ada dunia bukan hanya
bangsa manusia saja tapi juga binatang dan alam sekitarnya. demikian maksud Khalifah
pada ayat di atas bukan khalifah yang didengung dengungkan oleh tetangga sebelah
pemimpin yang ekslusif, pemahman khalifah yang dipahami mereka itu tidak tepat.

Manusia sebagai khalifah yakni sebagai pemimpin di dunia ini maka manusia
berkewajiban menjaga ketahanan manusia di dunia ini dan juga wajib bagi manusia
menjaga ketahanan alam sekitar atau yang dikenal sekarang dengan lingkungan. dalam
menjaga hal ketahanan tersebut manusia harus berusaha untuk melindungi binatang yang
hampir punah, maka oleh sebab itu menurut saya adanya sekelompok orang yang
melindungi binatang langka agar tidak punah maka hal itu adalah perintah Islam, dan hal
itu adalah tindakan Islami dan termasuk ibadah dalam rangka menjaga lingkungi hal itu

sesuai dengan maqoshid Syari’ah dengan istilah ‫ حفظ البئة‬/ Hifdzul Bi'ah. dalam menjaga
lingkungan saja wajib apalagi menjaga keberlangsungan hidup manusia di dunia ini tentu
lebih wajib, oleh karena itu suatu hal yang harus dilakukan oleh manusia sebagai
pemimpin di muka bumi ini untuk menjaga alam sekitar termasuk manusia itu sendiri,

19
andaikan manusia tidak berikhtiyar dalam rangka mencegah pandemic virus corona maka
niscaya semua manusia akan terkena wabah itu dan jika akan terkena maka hilanglah jenis
manusia, maka oleh karena itu menjaga keberlangsungan manusia dengan mengikuti
anjuran kesehatan adalah wajib bagi manusia sebagai upaya iktiyar manusia dan jika sudah
berikhtiyar dan masih terkena maka itu baru namanya taqdir. dijalani dengan ikhlas dan
tawakal.

Oleh karena itu karena hal di atas sudah merupakan hajat manusia dalam mencegah
wabah dan hajat itu bisa menmpati posisi al-Dharurat dan al-Dharurat itu bisa
membolehkan yang dilarang hal itu sebagaimana dikatakan dalam Kaidah Fiqhiyah
sebagai berikut:

‫احلاجة تنزل منزلة الضرورة‬

Artinya: Hajat Itu Bisa Menempati Posisi Dharurat

‫الضرورة تبيح احملظورات‬

Artinya: Dharurat Itu Bisa Membolehkan Yang Tidak Boleh

Maka saya berpendapat harusnya masyarakat muslim mengikuti himbauan ahli


kesehatan agar tidak kontak langsung dulu dengan orang lain baik dengan cara
menempelkan pipi atau bersalaman dan cukup diganti dengan isyarat penghormatan
dengan orang lain seperti menempelkan tangan kanannya di dadanya sendiri sebagai
pengganti bersalaman. hal itu dilakukan sampai keadaan di mana wabah korona sudah
tidak ada lagi hal ini juga sesuai dengan Kaedah Ushuliyah

‫احلكم يدور مع علته وجودا وعدما‬

Artinya: Hukum Itu Ada Terkait Dengan Tetapnya Illat Atau Tidak Tetapnya Illat

Kedua: dalam hadis diceritakan bahwa nabi bersabda:

20
‫أصبَ َح ِمْن ُك ْم ِآمنًا يف‬
ْ ‫«م ْن‬
َ :ً‫عن عبيد اهلل بن حمصن األنصاري اخلطمي رضي اهلل عنه مرفوعا‬
‫الد ْنيَا حِب َ َذافِ ِري َها‬ ِ ِِ
ْ ‫ فَ َكأمَّنَا ح َيز‬،‫وت َي ْومه‬
ُّ ُ‫ت لَه‬ ِ ِِ ِ
ُ ُ‫ عْن َدهُ ق‬،‫ ُم َعاىَفً يف َج َسده‬،‫سربِه‬
Dari Hadis di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw menempatkan nikmat sehat
sejajar dengan nikmat keamanan dan nikmat makanan, oleh karena itu nikmat yang
terbesar dalam diri kita adalah nikmat sehat selain nikmat aman dan nikmat ketersediaan
makanan.dengan demikian kewajiban kita menjaga kesehatan itu, yaitu dengan cara
mengikuti arahan-arahan dari ahli kesehatan dalam hal ini adalah pencegahan penyebaran
virus korona. maka dengan demikian bisa dikatan bahwa mengikuti nasehat para ahli
kesehatan adalah merupakan salah satu ibadah dalam rangka menjaga kesehatan
sebagaimana nabi mengajarkan kita untuk menjaga kesehatan selain itu dalam sebuah
hadis diceritakan bahwasanya Rasullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

‫اجملذومني‬
َ ‫النظر إىل‬
َ ‫ال تُدميُوا‬
Artinya: "Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta."
(HR Bukhori)

Dari hadis di atas jelaslah bahwa nabi memerinthakan kita untuk tidak mendekati
orang yang terkena penyakit kusta, hal itu dilakukan agar kita tidak tertular dari penyakit
itu, dan hal itu adalah metode Rasul dalam menghadapi wabah penyakit menular. Nabi
Muhammad saw juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan berada dekat wilayah
yang sedang terkena wabah. Sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah
dilarang untuk keluar. Hal berdasarkan sabda Nabi sebagai berikut:

‫ض وَأْنتُ ْم هبا فال خَت ُْر ُجوا ِمْنها‬


ٍ ‫بَأر‬ ِ ِ
ْ ‫إذا مَس ْعتُ ْم بالطَّاعُون‬
ٍ ‫بَأر‬
ْ ‫ وإذا وقَ َع‬،‫ض فال تَ ْد ُخلُوها‬

Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian
memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan
tempat itu." (HR Bukhari)

Imam Ibnu Qayim al jauziyah menjelaskan arti Thaun pada hadis di atas adalah:
sejenis penyakit di mana terjadi pembengkakan kronis dan ganas, sangat panas dan nyeri
hingga melewati batas pembengkakan sehingga kulit yang ada di sekitarnya bisa berubah

21
menjadi hitam, hijau, atau berwarna buram dan cepat bernanah, biasanya pembengakakan
ini muncul di tiga tempat: ketiak, belakang telinga, puncak hidung dan sekitar daging
lunak. Demikian menurut Ibnu Qayim dari madzhab Hanbali dalam kitabnya Zaadul
ma’ad.

Sementara itu Imam Nawawi salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab
Syafei mengatakan: bahwa sanya Abu Hasan al Madany berkata: dalam sejarah peradaban
Islam ada lima kejadian besar wabah Thaun: pertama Tha’un Syirawaih, yaitu wabah
tha’un yang terjadi di Madinah pada masa Rosulullah saw sekitar Tahun ke 6 H. Kedua:
Tha’un ‘Amawas dizaman Umar bin Khatab ra, yang ada di Syam ada riwayat mengatakan
kejadiannya di Palestina, dalam kejadian itu ada sekitar 25.000 orang meninggal dunia.
Ketiga: Tha’un yang terjadi pada masa Ibnu Zubair, pada bulan Syawal pada Tahun 69 H,
kejadian ini selama tiga hari, pada tiap harinya orang yang meninggal dunia 7000 orang,
termasuk didalamnya kematian putra Anas bin Malik dan juga putra Abdurrahman bin Abi
Bakar. Keempat, Tha’un yang terjadi pada bulan Syawal, pada Tahun 87 H. Kelima,
Thaun yang terjadi pada Tahun 131 H pada bulan Rajab, dan menjadi parah pada bulan
Ramadhan di Sikkatul Mirbad, pada tiap harinya terdapat 1000 orang menjadi korban.
Kemudian, di Kufah Tha’un terjadi pada 28 Tahun 50 H. Dalam kejadian ini, termasuk
meninggalnya Al-Mughirah bin Syu’bah.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa penyakit Thaun pada masa itu mirip dengan
penyakit menular pada masa kini, dan bahkan penyakit menular pada masa kini lebih
massif penularannya dan oleh karena adalah sebuah perbuatan yang syar’i jika kita
menghibdari wabah penyakit itu. Selain itu hadis riwayat Bukhari di atas juga menunjukan
larangan bagi kaum muslimin untuk mendatangi daerah yang terkena wabah penyakit juga
larangan untuk keluar lari dari daerah yang terkena wabah penyakit.

Terkait dengan masuk ke daerah wabah itu ulama sepakat tidak boleh dan haram
akan tetapi terkait dengan keluar dan lari dari daerah yang terkena wabah itu ulama
berbeda pendapat ada makud hadis tersebut apakah tidak keluar sama sekali atau boleh
keluar dengan alas an tertentu. Dalam hal ini Imam Ibnu hajar al-Asqalani menjelasakn
dalam Kitabnya Fathul Bari sebagai berikut: bahwa hal keluar dari sebuah daerah yang
terkena benacana penyakit itu dibagi menjadi tiga keadaan: pertama: jika ia keluar dan
lari dari daerah itu hanya untuk menghindar saja tanpa tujuan lainnya maka hukumnya
tidak boleh. Kedua: jika ia keluar bukan untuk lari dari daerah itu tetapi karena tujuan

22
bekerja maka hukumnya boleh ketiga jika ia keluar dengan tujuan bekerja atau keperluan
yang lainnya serta bertujuan untuk mencari selamat dari waba dan bala itu, maka di sini
ulama berbeda pendapat, namun menurut madzhab Umar bin Khatab hukumnya boleh.

Kemudian terkait dengan bersalaman untuk menghindari penyebaran virus corona


atau covid 19 hal itu berdasarkan hadis nabi yang diceritakan oleh al-Syuraid bin Suwaid
ats Stsaqafi, Radiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah sedang 29 melakukan bait dengan
kabilah Tsaqif kemudian Nabi mendengar bahwa di antara mereka ada yang menderita
kusta (semacam penyakit menular) kemudian Nabi bersabda kepada mereka: kembalilah ,
aku telah membaitmu (H.R. Muslim) Pada hadis di atas jelaslah bahwa Nabi tidak mau
membaiat dengan melakukan salaman dengan kabilah bani Tsaqif karena di antara mereka
ada yang mengidap penyakit kusta, hal itu dilakukan nabi untuk mencegah tertularnya
penyakit, maka kalau nabi saja tidak bersalaman dengan kabilah tsaqif itu dalam rangka
menghindari penularan penyakit, maka kita sebagai umatnya pun tentu boleh kita tidak
bersalaman karena khawatir tertularnya penyakit yang menular seperti virus corona pada
masa sekarang ini.

Ketiga: di masa khalifah Umar bin Khattab juga terdapat wabah penyakit. Dalam
sebuah hadits dicerikatakan, Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam lalu ia
mendapatkan kabar wabah penyakit. Hal itu sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin
'Amir ia mengatakan,sebagai berikut:

‫َأن عُ َمَر َخَر َج‬ َّ ‫اب َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ِام ٍر‬


ٍ ‫ك َعن ابْ ِن ِشه‬
َ
ِ
ْ ٌ ‫َأخَبَرنَا َمال‬ ْ ‫ف‬ َ ‫وس‬
ِ
ُ ُ‫َح َّد َثنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن ي‬
َّ ‫ف‬
‫َأن‬ ٍ ‫الشْأِم فََأخبره عب ُد الرَّمْح ِن بن عو‬ َّ ِ‫َأن الْ َوبَاءَ قَ ْد َوقَ َع ب‬َّ ُ‫غ َبلَغَه‬ َ ‫الشْأِم َفلَ َّما َكا َن بِ َس ْر‬
َّ ‫ِإىَل‬
َْ ُ ْ َ َْ ُ َ َ ْ
‫ض َوَأْنتُ ْم‬ ٍ ‫ض فَاَل َت ْق َد ُموا َعلَْي ِه َوِإذَا َوقَ َع بِ َْأر‬
ٍ ‫ال ِإذَا مَسِ ْعتُ ْم بِِه بِ َْأر‬
َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ ِ ‫هِب‬
ُ‫َا فَاَل خَت ُْر ُجوا فَر ًارا مْنه‬
Artinya: "Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama
Syam. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin
Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, "Jika
kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika
terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhori).

23
Kemudian Umar memutuskan untuk mengurungkan pergi ke daerah itu, akan tetapi
keputusan Umar itu ditentang oleh Abu Ubaidah, ia mengatakan engkau wahai Umar tak
seharusnya kembali karena bertentangan dengan perintah Allah SWT. Kemudian Umar
menjawab saya tidak melarikan diri dari ketentuan Allah SWT, tapi saya berpindah dari
taqdir yang satu menuju taqdir atau ketentuanNya yang lain

Keempat: dalam Maqhosidul Syari’ah bahwa manusia wajib untuk menjaga


jiwanya yang dalam istilah maqosid disebut dengan Hifdun nafsi, yakni menjaga jiwa,
dalam hal ini maka dalam syariat Islam terdapat banyak keringanan dalam beribadah yang
bisa disebut oleh ahli fiqih dengan istilah rukhsoh, hal itu supaya tidak menjadi mudharat
bagi mukallaf ia adalah keringanan dalam melakukan ibadah yang wajib karena ada udzur
contohnya adalah bolehnya tayamum bagi orang yang sakit, bolehnya tidak puasa bagi
orang yang sakit atau musafir, bolehnya shalat fardhu sambal duduk jika tidak mampu
berdiri.begitu juga di masa sekarang ini di mana wabah corona sedang menebar maka
dalam hal ini boleh bagi kita untuk tidak shalat berjamaah dalam rangka untuk
menghindari tersebarnya virus corona.

Kemudian terkait dengan himbauan pemerintah jika terjadi wabah yang meningkat
serta dikahatirkan menyebarkan virus corona kepada seluruh rakyat Indonesia, maka
pemerintah menghimbau untuk tidak Shalat jumat dan Tidak shalat berjamaah maka
menurut saya hal itu harus di patuhi karena hal itu berdasarkan alas an sebagai berikut:
pertama: berdasarkan hadis nabi dari Abdullah bin Abbas :

ِ ٍ ِِ ِ َ ‫ أنَّه‬،‫اس‬ ِ ِ
َ ‫ إ َذا ُق ْل‬:‫قال ل ُمَؤ ذِّنه يف يَوم َمط ٍري‬
‫ َأ ْش َه ُد‬،ُ‫ َأ ْش َه ُد َأ ْن ال إلَهَ إاَّل اللَّه‬:‫ت‬ ُ ٍ َّ‫َع ْن عبد اهلل ب ِن َعب‬

َ ،‫صلُّوا يف بُيُوتِ ُك ْم‬


َّ ‫ فَ َك‬:‫قال‬ ِ ِ ُ ‫أن حُم َّم ًدا ر‬
‫َّاس‬
َ ‫أن الن‬ َ :‫ قُ ْل‬،‫ َح َّي علَى الصَّاَل ة‬:‫ فال َت ُق ْل‬،‫سول اهلل‬ َ َ َّ
َّ ، ‫ ق ْد َف َع َل ذَا َمن هو َخْيٌر ِميِّن‬،‫ َأَت ْع َجبُو َن ِمن ذَا‬:‫قال‬
‫ وإيِّن‬،ٌ‫إن اجلُ ُم َعةَ َع ْز َمة‬ َ َ‫ ف‬،‫اسَتْن َك ُروا ذَ َاك‬
ْ
ِ ‫َّح‬
‫ض‬ ِ ِّ‫ُأح ِر َج ُكم َفتَ ْم ُشوا يف الط‬
ْ ‫ني والد‬ ُ ‫ َك ِر ْه‬.
ْ ‫ت َأ ْن‬
ْ

Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukan keringanan bolehnya


tidak shalat jumat dan tidak berjamaah tetapi harus diganti shalat dzuhur dan shalat di
rumah, karena keadaan hujan, kalau karena hujan saja boleh apalagi karena ada virus

24
corona atau covid 19 yang penyebarannya sangat cepat, maka tentu itu lebih utama karena
ada Kaidah Fiqih yang disarikan dari hadis nabi mengatakan:

ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر‬ َ َ‫ال‬

Artinya: tidak ada bahaya dan tidak membuat bahaya,

dan Imam malik berkata:

‫رفع الضرر اصل قاطع يف الشريعة السلمية‬

Artinya: menghilangkan memudharatan itu hukum asal dalam syariat Islam.

Pada masalah ini Syaikh Islam Imam Zakariya al Anshari ulama madzhab syafei
berkata; bahwasanya dinukilkan dari Hakim Iyadh yang mana ia mendengar dari para
ulama berkata bahwa orang yang berpenyakit kusta dan lepra dilarang dating ke masjid
untuk melaksanakan shalat Jumat dan Jamaah karena taukut menular penyakitnya.29

29
Zakaria al Anshari, Asnal Matholib (Darul Kutub al Ilmiah: tth. juz 1), h. 251.

25

Anda mungkin juga menyukai