Anda di halaman 1dari 5

PENGANTAR ILMU FIQH

PADA PENGARAHAN FATHU-L-KUTUB KELAS 5


20 Februari 2022
Oleh: Yudi Wili Tama, S.Pd.
A. Pengertian Fiqh
Fiqh secara etimologi bermakna mengetahui, memahami, atau menguasai sesuatu;
lebih jauh lagi kata ini sering digunakan dalam ilmu agama (Mujiddin, 2005, hal. 1250).
Hal ini sesuai dengan firman Allah s.w.t dalam surat Hud ayat 91;

‫ب َما َن ْف َقهُ َكثِ ًيرا ِم َّما َت ُقول‬


ُ ‫قَالُوا يَا ُش َع ْي‬

“mereka berkata, ‘Wahai Syu’aib tidaklah benar-benar kami memahami dari apa yang mereka
ucapkan”

Menurut pengertian lain Fiqh juga bermakna ungkapan dari setiap hal yang diketahui
yang diyakini oleh seorang pakar yang bersumber dari sebuah pemikiran (al-Muqri, 2006,
hal. 79).

Adapun kata fiqh secara terminologi bermakna ilmu yang berkaitan dengan
hukum-hukum syari’at yang praktikal yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci (al-
Zarkasyi, 1992, hal. 21).

B. Kata-Kata yang Terkait dengan Fiqh


1. Syari’at
Syari’at secara etimologi bermakna sumber mata air yang dijadikan tempat untuk
diminum. Dinamakan seperti itu karena kejelasan tempat tersebut. Kata syari’at
diambil dari kata ‫ َش َر َع‬yang bermakna jelas; adapun bentuk plural dari kata syari’at
adalah ‫ َش َراِئع‬, lebih jauh lagi kata ini sering digunakan dalam perkara agama dan
seluruh hukum-hukumnya; senada dengan pengertian tersebut juga terdapat dalam
surat al-Jatsiah ayat 18 dan al-Maidah ayat 48 (al-Islamiah, 1983, hal. 94).
Adapun secara terminologi; wahyu yang turun kepada Rasulullah s.a.w. berupa
hukum-hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, diman hukum-hukum
tersebut berkaitan dengan perkara-perkara aqidah, rohani, dan perbuatan mukallaf;
baik bersifat qath’i (tidak bisa diperdebatkan) dan zanni (bisa diperdebatkan) (al-
Mahbubi, 2017, hal. 69).
Kata syari’at dan fiqh memiliki pengertian secara umum dan khusus. Kedua kata
tersebut terkadang bertemu dalam perihal hukum-hukum syari’at yang termaktub
dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan al’Ijma’; namun terkadang keduanya berbeda satu
sama lain dimana syari’at membahas hukum-hukum aqidah sedangkan fiqh
membahas hukum-hukum ijtihadi yang secara tekstual tidak termaktub dalam al-
Qur’an maupun al-Sunnah maupun konsensus ulama (al-Syibramilisi, 2003, hal. 32).
2. Ushu-l-Fiqh
Ushu-l-Fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang dilihat dari segi keglobalannya, bukan
parsialnya (Qudamah, 1998, hal. 20-21).
Adapun hubungan antara fiqh dan ushu-l-fiqh terletak pada fokus kedua ilmu
tersebut. Dimana, fiqh berfokus pada dalil-dalil yang terperinci untuk mengambil
kesimpulan hukum dari dalil-dali tersebut (al-Zarkasyi, 1992, hal. 21); sedangkan
ushu-l-fiqh dan juga temanya adalah berfokus kepada dalil-dalil yang global yang
mana wajhu al-dalalah (segi yang dijadikan dalil) adalah hukum-hukum syari’at
(Qudamah, 1998, hal. 20-21).
C. Hukum Mempelajari Ilmu Fiqh
Mepelajari fiqh terkadang dihukumi fardhu ‘ain bagi seorang mukallaf contoh
seperti mempelajari tata cara wudhu, shalat, puasa dan semacamnya. Lebih jauh lagi,
mempelajari perkara yang disebutkan tadi tidak diwajibkan bagi seseorang kecuali
memang sudah waktunya mereka diwajibkan atas perkara yang disebutkan-ketika masuk
usia baligh- ('Abidin, 2003, hal. 29). Ada contoh dalam hal ini; jika ada seseorang yang
masuk usia baligh bersamaan dengan masuknya waktu shalat, sedangkan ia belum begitu
memahami perkara shalat; maka manakah yang lebih didahulukan sedangkan tidak
mungkin untuk melakukan keduanya dalam satu waktu? Maka jawaban yang benar
menurut madzah Syafi’i adalah wajib baginya mendahulukan mempelajari perkara shalat
dibandingkan untuk melaksanakan shalat pada waktu tersebut; sebagaimana wajib bagi
seseorang melaksankan ibadah sa’i dibandingkan melaksanakan ibadah shalat Jum’at jika
tempat tinggalnya jauh; hal ini sesuai dengan kaidah sesuatu perkara tidak akan sempurna
kewajibannya kecuali dengan adanya wasilah maka wasilah tersebut menjadi wajib (al-
Nawawi, 2008, hal. 24-25). Adapun perkara jual beli, nikah, ataupun perkara mu’amalah
lainnya yang asalnya itu tidak fardhu ‘ain namun menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang
butuh dalam perkara tersebut untuk menghindari dirinya dari perkara syubhat dan
makruh; hal tersebut juga berlaku bagi profesi apapun untuk mempelajari perkara yang
menghindari dirinya dari perkara yang haram.
Terkadang mempelajari fiqh juga dihukumi fardhu kifayah; yaitu perkara yang
mampu untuk menegakkan agam seperti menghafal al-Qur’an, al-Hadits beserta ilmu-
ilmunya; namun ada ulama juga yang berpendapat mempelajari perkara tersebut adalah
sunnah hukumnya (al-Nawawi, 2008, hal. 24).
D. Keutamaan Ilmu Fiqh
Banyak ayat dan hadits yang berbicara mengenai keutamaan fiqh dan juga anjuran
mempelajarinya, diantaranya firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 122:

‫َّه وا يِف الدِّي ِن َولُِيْن ِذ ُروا َق ْو َم ُه ْم ِإ َذا َر َجعُ وا‬ ِ ‫ِئ‬ ٍِ ِ ِ ِ ِ ِ


ُ ‫َو َما َكا َن الْ ُمْؤ منُو َن لَيْنفُروا َكافَّةً َفلَ ْوالَ َن َفَر م ْن ُكل ف ْرقَة مْن ُه ْم طَا َفةٌ ليََت َفق‬
‫ِإلَْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم حَيْ َذ ُرو َن‬

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah s.w.t. telah menjadikan para pakar fiqh menempati
posisi orang yang memberikan peringatan dan juga menyampaikan seruan agama yang
mana posisi tersebut merupakan tugas dari para nabi (al-Islamiah, 1983, hal. 95). Hal ini
juga dikuatkan oleh sabdanya Nabi Muhammad s.a.w. yang dikeluarkan oleh Imam
Bukhari (al-'Asqalani, 2015, hal. 164):

ِ ِ
ْ ‫َم ْن يُِرد اللَّهُ بِه َخْيًرا يُ َفق‬
‫ِّههُ يِف الدِّي ِن‬

“Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan menjadikan ia faham
akan perkara agama”.

E. Tema Ilmu Fiqh


Tema yang menjadi pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan mukalaf dimana
perbuatan tersebut bisa dipredikatkan menjadi halal, haram, wajib, sunnah, ataupun
makruh ('Abidin, 2003, hal. 26-27).
F. Perkembangan Ilmu Fiqh
Dalam sejarah yurisprudensi Islam, fiqih memiliki sejarah yang panjang.
Periodisasi perkembangan fiqih terbagi dalam tiga babak. Periode pertama saat Nabi
Muhammad saw masih hidup, periode kedua pada masa sahabat saat Nabi sudah tiada,
dan periode ketiga pada masa tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid. Tiap-tiap
periode memiliki dinamika yurisprudensinya masing-masing (Khalaf, 2009, hal. 15-16).
Periode pertama adalah pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Pada
dasarnya, hukum atas suatu perbuatan sudah terbentuk sejak zaman Rasulullah, sejak
pertama kali Islam itu hadir; karena Islam sendiri sejak awal sudah bermuatan akidah,
akhlak, dan hukum atas perbuatan manusia. Pada periode ini, Rasulullah lah yang
menjadi satu-satunya rujukan fatwa umat Islam. Hukum-hukum fiqih saat itu terdiri hari
hukum Allah dan rasul-Nya dengan acuan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, tidak mungkin
terjadi selisih pendapat hukum saat itu. Karena memang hanya ada satu pemegang
otoritas hukum, yaitu Rasulullah saw.
Periode berikutnya (kedua) adalah pada masa sahabat Nabi. Rasulullah sudah
tidak ada. Bagaimanapun, problematika sosial akan terus berkembang dan, tentu, hukum
Islam tidak bisa lepas dari hal ini. Pada periode ini banyak persoalan-persoalan agama
muncul yang tidak ditemui pada saat Nabi hidup hidup. Otomatis, para sahabat
melakukan ijtihad, memutuskan perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at,
dengan tetap mengacu pada hukum periode pertama. Sehingga produk hukum pada saat
itu terdiri dari hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang
bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijtihad sahabat. Pada periode ini ini juga
belum ada kodifikasi fiqih secara khusus.
Periode ketiga, yaitu periode tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad
kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode ini bukan hanya periodisasi yang menjadi faktor
perkembangan hukum fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena semakin luasnya
kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk Islam dari penjuru dunia dengan pluralitas
sosio kultur dan geografis. Tentu, masalah yang dihadapi umat Muslim, terutama para
imam mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua itu mendorong para imam mujtahid
untuk memperluas medan ijtihad dan menetapkan hukum syara’ atas semua peristiwa
yurisprudensi Islam serta membuka bahasan dan pandangan baru bagi mereka. Ketetapan
hukum pada periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode ini. Pada periode ketiga ini,
hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan rasul-Nya, fatwa dan putusan para
sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari al-Qur’an,
hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid. Barulah pada periode ini
terjadi kodifikasi hukum Islam yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M)
dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w.
775 M) (khalifah kedua Bani Abbasiyah). Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para
sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in yang valid (sahih) menurut Imam Malik. Kitab ini
dijadikan landasan hukum fiqih oleh penduduk Hijaz. Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798
M), pengikut mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih
yang kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin al-
Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah,
menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh Imam
Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth, yang menjadi
rujukan fiqih mazhab Hanafi. Setelah itu disusul oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’ (w.
820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis kitab fiqih yang diberi judul Al-
Umm di Mseir. Kitab ini menjadi pijakan dalam fikih mazhab Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
'Abidin, M. A. (2003). Raddu al-Mukhtar 'Ala al-Dari al-Mukhtar (Vol. 1). ('. A. Mu'awwid,
Penyunt.) Riyadh, Arab Saudi: Dar 'Alimi-l-Kutub.
al-'Asqalani, I. H. (2015). Fath al-Bari 'ala Syarhi Shahih al-Bukhari (Vol. 1). (M. F.-K. 'Abdul
'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, Penyunt.) Kairo: al-Matba'ah al-Salafiyah.
al-Islamiah, W.-l.-A. w.-S. (1983). al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (Vol. 32). Kuwait: Wazaratu-l-
Awqaf wa al-Syu'un al-Islamiah.
al-Mahbubi, '. b. (2017). Syarh al-Tawdih 'ala al-Tanqih. Kairo: al-Mathba'ah al-Khairiah.
al-Muqri, A. b.-F. (2006). al-Misbah al-Munir fi Gharibi Syarhi-l-Kabir (Vol. 2). Kairo: Daru-l-
Ma'arif.
al-Nawawi, Y. b.-H.-H. (2008). al-Majmu' Syarh al-Muhadzab (Vol. 1). Jeddah, Arab Saudi:
Maktabah al-Irysad.
al-Syibramilisi, M. b.-'.-R. (2003). Nihayatul Muhtaj ila Syarhi-l-Minhaj (Vol. 1). Beirut: Daru-l-
Kutub al-Islamiah.
al-Zarkasyi, B.-l.-D. M. (1992). al-Bahru al-Muhith fi Ushu-l-Fiqh (Vol. 1). ('. Q. al-'Ani,
Penyunt.) Kuwait.
Khalaf, '. W. (2009). 'Ilmu Ushuli-l-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da'wah al-Islamiah.
Mujiddin, M. b.-F. (2005). al-Qamus al-Muhit. Beirut, Libanon: al-Risalah.
Qudamah, I. (1998). Raudhatu al-Nazir wa Jannatu al-Manazir (Vol. 1). (S. M. Isma'il,
Penyunt.) Beirut: Muassasah al-Rayan.

Anda mungkin juga menyukai