Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

IJTIHAD DAN IHTILAF

Di Susun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Manajemen Studi Fiqih

Dosen Pengampu : Nujumun Niswah, M.Pd

Di Susun Oleh :

1. Aulia Rahmawati (1710810053)


2. Qorin Ferdiana Saadah (1710810054)
3. Lailia Alfatikhah (1710810055)
4. Eva Muzdalifah (1710810056)

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI JURUSAN TARBIYAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa.
Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan
yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum, sebab hukum
dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata. Pada
umumnya, Semua hukum perbuatan dalam islam selalu merujuk kepada
keempat macam rujukan yang disepakati oleh mayoritas kaum muslimin
yaitu; al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Apabila dihadapkan dengan
sebuah kasus yang pertama dilihat adalah al-Qur’an, Jika tidak ditemukan
maka kemudian melihat sunnah, jika tidak ditemukan, maka kemudian
melihat apakah terdapat ijmak dari para mujtahid. Tapi jika tidak
ditemukan juga maka dilakukan ijtihad menggunakan qiyas terhadap nash
(al-Qur’an dan Sunnah), dan tidak boleh bertentangan dengan isi
kandungan al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, disini kami akan
mengkaji lebih dalam tentang apa itu “ijtihad dan ihtilaf”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dasar hukum, fungsi dan peran mujtahid dalam
pengembangan ijtihad?
2. Bagaimana pengertian, sebab, pengaruh dan hikmah ikhtilaf?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui pengertian, dasar hukum, fungsi dan peran mujtahid dalam
pengembangan ijtihad.
2. Mengetahui pengertian, sebab, pengaruh dan hikmah ikhtilaf.
PETA KONSEP IJTIHAD DAN IKHTILAF
BAB II
PEMBAHASAN

A. IJTIHAD
1. Pengertian dan Dasar Hukum
a. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh
dalam menggunakan tenaga fisik maupun pikiran. Sedangkan
ijtihad secara terminologis, para ulama Ushul memandang bahwa
ijtihad adalah, “Pengerahan segenap kesungguhan dan kemampuan
yang dimiliki seorang ahli fikih untuk menghasilkan keyakinan
atau ilmu tentang suatu hukum.1 Definisi ijtihad lain yang
dikemukakan oleh Abu Zahra adalah: “Mencurahkan seluruh
kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbat-kan
hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah mencurahkan fikiran
dengan untuk mendapatkan hukum syar’i dengan salah satu dalil
syar’i dan dengan cara tertentu.
b. Dasar hukum ijtihad
Pada saat ini banyak ditemukan beberapa perbedaan madzhab
dalam hukum islam, dan hal itu disebabkan oleh adanya ijtihad.
Dengan adanya ijtihad ini semakin tampaklah kesempurnaan islam,
dengan itu juga islam bisa menjawab dan menghadapi berbagai
problematika yang beraneka ragam. Untuk itu digunakan dasar
hukum al-Qur’an dan Hadits sebagai alasan dibolehkannya
melakukan ijtihad ini. Dasar-dasar hukum ijtihad diantaranya
adalah:

1
Abdul Halim, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Hal.
177.
Dalam Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:
     
       
        
       
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS:
an-Nisa’/4:59).
Dalam Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 ini menjelaskan
tentang perintah mengembalikan al-Qur’an dan sunnah menurut
Hasaballah adalah perintah agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-
nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau
hadis yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja,
atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaiadah umum yang
disimpulkan dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

2. Fungsi Ijtihad
Ada beberapa fungsi ijtihad diantaranya adalah:
1) Sebagai upaya memahmi redaksi ayat atau hadits yang
tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad.
2) Untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai
ke tingkat hadis mutawattir, seperti hadis ahad2
3. Macam-macam ijtihad
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dapat dibagi
menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut At-
Thayyib Khuderi as-sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi
adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa
orang muhjtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam
mujtahid besar; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Ahmad bin Hambal.3 Sedangkan ijtihad jamai adalah apa yang
dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqih, yaitu
kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. setelah
Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah ushul
fiqih ijtihad jamai dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama –
ulama dalam satu disiplin ilmu yaitu, ilmu fiqih. Dalam
perkembangannya apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i seperti
dikemukakan Al-Thayyib, Khuderi al-Sayyid dismaping bukan
berarti melibatkan ulama mujtahid juga bukan dalam satu disiplin
ilmu. Ijtihad jamai’ merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu, disamping ilmu fiqih itu serndir sesuai
dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mengingat
masalah-masalah yang bermunculan ada yang berkaiatan dengan
ilmu selain ilmu fiqih, seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-
ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dibahas. 4
4. Syarat-syarat Mujtahid

2
Mardani, pendidiakan agama islam untuk perguruan tinggi, (Depok: Kencana, 2017)
hal. 141

3
Satria, Efeendi, dan MA. Zein, USHUL FIQH, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 258.

4
Ibid; hal. 258-259.
Adapun orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid,
dan harus memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid diantaranya
adalah:
1) Memahami bahasa Arab
2) Memahami tentang nasakh mansukh
3) Mengerti tentang sunnah
4) Mengetahui yang diijmakkan dan di-ihtilakan
5) Mengetahui tentang qiyas
6) Mengetahui maksud-maksud hukum
7) Memiliki pemahaman dan penilaian yang benar5
5. Perkembangan Ijtihad
a. Ijtihad dan fiqih pada masa Rasulullah SAW

Umat islam pada masa rasulullah belum melakukan ijtihad,


karena pada zaman itu semua permasalahan yang dihadapi mereka,
mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah dan rasul pun
langsung menjawab dengan wahyu yang telah Allah turunkan. Jika
ada suatu permasalahan yang belum ada jawabannya, rasulullah
baru melakukan ijtihad.
Setelah Rasulullah wafat, para ulama dan umat islam
merasa sangat kehilangan, karena wahyu Allah telah terputus
mereka khawatir, jika ada suatu masalah dan tidak tahu bagaimana
hukumnya. Para ulama kemudian menmutar otak dan mulai
berfikir untuk melakukan ijtihad yang berpedoman pada al-
Qur’an.6
a. Ijtihad dan fiqih pada masa Khulafaurrasyidin

5
Mardani, pendidiakan agama islam untuk perguruan tinggi, (Depok: Kencana, 2017)
hal. 141

6
Umam Khairu. Dkk, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia 2001) hlm 144.
Pada masa sahabat Abu Bakar, jika timbul suatu masalah
dalam tatanan rakyat, maka beliau menghukumi masalah tersebut
dengan jalan memahaminya dalam kitab al- Qur’an. Namun jika
tidak ditemukan suatu jawaban dari permasalahan tersebut, beliau
lalu mencarinya dalam hadis rasul. Jika masih belum menemukan,
maka beliau bertanya kepada para sahabat yang mengetahui
putusan nabi.
Sahabat umar, Usman dan Ali juga mengikuti jejak sahabat
Abu Bakar dalam menjawab permasalahan dari rakyat. Mereka
sangat berhati- hati dalam menerima riwayat. Berikut cara-cara
ijtihad yang para sahabat terapkan:
1. Mengeluarkan hukum dengan dasar ra’yu perseorangan
(ijtihad fardi). Yaitu apabila timbul suatu permasalahan
yang tidak ada dalam nash al- Qur’an dan hadis, para
sahabat menggunakan ra’yu atau akal pikiran yaitu
mendasarkan hukum pada kemashlahatan dengan
bersendikan kaidah- kaidah umum.
2. Mengeluarkan hukum dengan cara mengadakan ijma’
(ijtihad jama’i). adalah perkumpulan para ulama yang
membahas tentang jalan dan hukum dari permasalahan
tersebut hingga mencapai kata mufakat dan harus diikuti
oleh rakyat.

Ahli ahli fatwa dahulu, tidak menetapkan hukum


untuk masalah yang belum terjadi. Karena itu, pemakaian
qiyas pada masa itu belum berlaku. Bahkan sebagian dari
mereka mencela adanya qiyas sebagai penetapan hukum.
Dengan demikian penetapan hukum pada masa sahabat
dikelompokan menjadi empat, yaitu: Kitabullah (al-
Qur’an), Sunaturrasul Al-Ijtihad (ar-ra’yu), yaitu penetapan
hukum berdasarkan kemaslahatan umat berdasarkan
kaidah- kaidah syara’ yang umum. Al- ijma’, yaitu
penetapan hukum dengan musyawarah para sahabat.

b. Ijtihad dan fiqih pada masa Bani Umayyah

Pada masa pemerintahan bani Umayyah, para sahabat


banyak yang berhijrah ke pusat- pusat kota jazirah arab untuk
mengajarkan ilmu fiqih, mengembangkan agama dan
meriwayatkan hadis. mereka pergi ke Kufah, Basyrah, Syam, Mesir
dan kota lainnya. Umat islam di daerah tersebut saling berdatangan
untuk mendapatkan ilmu dari para sahabat. Murid dari para sahabat
tersebut dikenal dengan istilah tabi’in, dan muri dari para tabi’in
dikenal dengan tabi’it tab’in. Lahirnya para tabi’in yang pandai
dalam ilmu fiqih dan hkum islam, maka timbullah perselisihan
diantara mereka yang saling menguatkan pendapatnya. Karena itu,
ulama- ulama pada masa ini terbagi menjadi dua yatu:
1. Golongan ahlu hadis, yaitu golongan yang menetapkan
hukum dengan hadis- hadis yang mereka terima dan apabila
mereka tidak mendapat jawaban hukum dari hadis mereka
tidak mau menggunakan qiyas dalam menjawabnya.
Pengikut dari ahlu hadis ini adalah ulama hijaz, karena
mereka berada dekat dengan keberadaan nabi dan memiliki
banyak koleksi hadis.
2. Golongan ra’yu, adalah golongan yang menetapkan hukum
dengan hadis dan apabila mereka tidak mendapatkan
jawaban dari hadis mereka menjalankan metode qiyas.
Pengikut dari golongan ini adalah ulama irak, karena
keberadaannya jauh dari nabi SAW, dan mereka merasa
kekurangan hadis.7

Pembagian golongan tersebut juga berakibat pada produk


ijtihad yang dihasilkan. Contohnya adalah:
7
Ibid., hlm 144-147.
1. Menurut golongan hadis, tidak boleh hukumnya
membaca alqur’an dalam keadaan junub. Sedangakan
menurut Sai’id Ibnu Musayyab dari golongan ra’yu
memfatwakan bolehnya membaca alqur’an saat keadaan
junub asalkan tidak memegangnya.
2. Menurut golongan hadis, perempuan boleh keluar
rumah untuk pergi ke masjid asalkan tidak memakai
wewangian, namun menurut golongan ra’yu perempuan
tidak boleh keluar rumah sekalipun pergi ke masjid.
Karena pada waktu itu banyak orang usil yang
mengganggu.8

c. Ijtihad dan Fiqih Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa Bani Abasiyah ini muncullah para imam


madzhab, yang bertugas untuk menyempurnakan perbedaan
golongan pada masa Umayyah.9 Para imam madzhab
menyempurnakan hal tersebut dengan metode “ushul”. Para imam
madzhab ini berusaha membukukan hasil penggalian, penyimpulan
dan penelitiannya dari hukum-hukum islam terdahulu. Karya-

8
Amir, Syarifuddin, Ushul Fiqih II (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup 2011) Hlm
261.

9
Op. Cit, uman Khairul, hlm 148.
karyanya sekarang ini digunakan sebagai rujukan para hakim
dalam menyelesaikan perkara.10
d. Ijtihad Pada Masa Sekarang

Banyak orang yang mengatakan bahwa pintu ijtihad


sekarang ini telah ditutup. Namun pendapat ini tidaklah benar,
karena permasalahan-permasalahan sekarang ini timbul silih
berganti dan membutuhkan jawaban dari para mujtahid. Ulama
ushul berkata:
“nash-nash telah tiada, sementara peristiwa yang harus
diselesaikan nash, semakin menjadi- jadi”
Ijtihad kontemporer sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan
primer bahkan hukumnya fardhu kifayah, terutama pada era seperti
sekarang ini yang penuh dinamika problematika dan
perkembangan zaman teknologi yang cukup pesat. Apabila kasus-
kasus kontemporer tersebut di selesaikan dengan metode lama,
maka akan mengalami kesukaran dalam mengatasi persoalan
kekinian. Perlu adanya pembaharuan metode untuk mampu
mengimbangi kemajuan perkembangan masyarakat, metode
Maqāṣid al-Syarī’ah dianggap mampu berdialog dan mengimbangi
kemajuan zaman pada masa kekinian. Berbicara tentang Maqāṣid
al-Syāri’ah tidak terlepas dari peranan tokoh ushul fiqh yang
mengembangkan teori tersebut yaitu Imam al-Syātibī.11

B. IKHTILAF
1. Pengertian Ikhtilaf

10
Op. Cit, Amir Syarifuddin, Hlm 265.

11
Safriadi, MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD KONTEMPORER,
Volume. 4. No. 2 Tahun 2017, hlm 1-2, di akses dari
file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/309-13-724-1-10-20180104.pdf pada 15/09/2018
pukul 11.13 WIB.
Secara bahasa, ikhtilaf berasal dari bahasa Arab ikhtalafa-
yakhtalifu-ikhtilaafan yang berarti perselisihan. Ibnu katsir
mengemukakan bahwa kata ini dapat ditemukan di dalam al-Qur’an,
salah satunya berada di surat Maryam ayat 37. Dalam KBBI, ikhtilaf
diartikan sebagai perbedaan pendapat atau perselisihan pikiran.
Sedangkan secara terminologi, ikhtilaf merupakan perbedaan yang
terjadi di kalangan para ulama (mujtahid) dalam memahami sebuah
teks syariat (al-Qur’an dan al-Hadits), demi mengafirmasi kebenaran.
Terdapat beberapa definisi ikhtilaf menurut para ulama, seperti
menurut Thaha Jabir, ikhtilaf berarti kecenderungan seseorang
terhadap suatu sikap atau pendapat tertentu. Kemudian, menurut
Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Manawi, ikhtilaf berarti sikap atau
pendapat yang diambil oleh seseorang yang berbeda dari
sebelumnya. Sedangkan menurut al-Jurjaini, ikhtilaf berarti
perbedaan yang terjadi di antara dua orang untuk mengafirmasi suatu
kebenaran dan menegasikan kesalahan.12

2. Sebab-Sebab Ikhtilaf
Sebenarnya, ikhtilaf telah ada sejak zaman Rasulullah. Pada masa
itu ikhtilaf yang terjadi tidak sampai menimbulkan perpecahan karena
Rasulullah selalu berusaha mengembalikan segala urusan mereka
melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Sepeninggal Rasullah,
para sahabat pernah berikhtilaf tentang wafatnya Rasulullah,
pemakaman, dan pengganti Rasullah.
Pada periode Khalifah Abu Bakar dan Umar, ikhtilaf diantara
sahabat tetap ada, namun mereka masih sangat menghormati dan
memelihara musyawarah. Namun ini tidak bertahan lama karena

12
Mohammad Hanief Sirajulhuda, “Konsep Fikih Ikhtilaf Yusuf al-Qardhawi”,
Tsaqafah, Vol.13, No.2, November 2017, 258.
bertambah luasnya wilayah islam, yang di dalamnya terdapat adat
kebiasaan, tradisi dan pola hidup yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Menurut Muhammad Khudari Bek, ahli fiqih dari Mesir, ikhtilaf
disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya:
a. Munculnya faksi-faksi dalam Islam.
b. Tersebarnya ulama di berbagai wilayah taklukan Islam sejak
berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
c. Berkembangnya dinamika kehidupan manusia yang dibarengi
perbedaan adat istiadat dan budaya non-Arab yang memerlukan
fatwa baru.
d. Munculnya banyak hadits maudhu’.
e. Munculnya ulama non-Arab yang memicu kecemburuan sosial
bagi beberapa orang Arab yang fanatik.
f. Adanya kontestasi antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’y serta
para pendukung masing-masing pihak.

Hadits sebagai sumber hukum yang kedua tentu berpotensi


menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Menurut
Waliyullah al-Dahlawi, sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
antar-sahabat dalam menyikapi hadits Rasul sebagai sumber kedua
hukum Islam ada 4 macam, yaitu: perbedaan kuantitas hafalan hadits,
perbedaan kualitas hafalan hadits, perbedaan kadar intelektualitas
dalam menalar hadits, dan perbedaan dalam menetapkan hukum-
hukumnya, lebih-lebih bila terdapat kontradiksi antara al-Quran
dengan hadits atau hadits dengan hadits.13

Selain faktor-faktor diatas, ikhtilaf juga disebabkan beberapa faktor


lain, di antaranya::
a. Ikhtilaf dalam qira’at

13
Masruhan, “Pengaruh Ikhtilaf al-Hadith”, Islamica, Vol. 7 No. 2, Maret 2013, 273.
Salah satu faktor ikhtilaf adalah qira’at. Sebenarnya telah
datang dari Rasulullah qiraat secara mutawatir, haya saja sebab
wurudnya mengundang perbedaan pendapat ulama dalam
meng-istinbat-kan hukum. Misalnya, ikhtilaf tentang mencuci
atau membasuh kedua kaki dalam wudhu. Allah berfirman:
      
    
      
         
       
      
       
      
    

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki....” (QS. Al-Maidah:
6)
Dalam ayat ini, terjadi perbedaan qira’at di kalangan ulama
misalnya Nafi, Ibnu ‘Amr dan al-Kisa’iy, membaca
“(waarjulakum) dengan ‫وارجُلكم‬, sedangkan Ibnu Kasir, Abu
‘Amru dan Hamzah, membaca dengan ‫وار ِجلكم‬. Ulama yang
membaca ‫ وارجُلكم‬berarti di athaf-kan kepada anggota yang
dibasuh, dan bacaan ‫وار ِجلكم‬karena di-athaf-kan kepada anggota
yang disapu.
Jumhur ulama dalam hal ini, cenderung dengan qiraat
nasab, karena itu kita berkewajiban membasuh kedua kaki pada
wudhu’ tidak dengan menyapunya.
b. Adanya nas Alquran yang memiliki makna ganda (musytarak)
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan
menalar suatu nas tentang maksud Tuhan dengan suatu lafal
yang mengandung beberapa makna.
Dari segi makna suatu lafal dalam bahasa Arab dikenal
salah satu istilah yang disebut al-musytarak: yaitu suatu lafal
yang pada dasarnya mengandung dua pengertian atau lebih.
Apabila dalam firman Allah terdapat kata-kata yang tidak
ada qarinah-nya (dalil yang jelas) maka masing-masing arti
yang dikandung oleh kata tersebut mempunyai kemungkinan
yang sama untuk dijadikan landasan maksud kata tersebut.
Sebagai contoh konkrit, perbedaan pendapat ulama tentang kata
“‫روء‬ZZ‫ ”ق‬yang dapat berarti suci atau haid pada posisi yang
bersamaan.
Ulama yang berpendapat bahwa kata “‫روء‬ZZ‫ ”ق‬berarti suci,
alasannya karena ‘iddah wanita yang tertalak baru terhitung
ketika ia suci. Dalam kondisi haid, ulama tidak
mempermasalahkan bahwa ‘iddahnya belum terhitung.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat sebagian sahabat seperti:
‘Aisyah, Ibnu Umar dan Said bin Sabit serta Imam Syafi’ iy.
Pendapat lainnya. bahwa kata “‫ ”قروء‬berarti haid, alasannya
adalah bahwa wanita yang tertalak seharusnya menunggu
sampai tiga kali haid dan bukan tiga kali suci. Pendapat ini
sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Walaupun ikhtilaf dalam memahami ayat tersebut tidak
terhindarkan, namun kedua pendapat dapat difahami dan
dimengerti keberadaannya. Dimaksudkan bahwa pendapat
pertama mengacu pada masa terhitungnya ‘iddah’ sedangkan
pendapat kedua yaitu mengacu dari masa lamanya menunggu.
Selain itu pula kata “‫روء‬ZZZ‫ ”ق‬termasuk kategori lafal yang
mengandung pengertian musytarak (lebih dari satu arti).
c. Adanya sejumlah nas yang tampaknya saling bertentangan (ta’
arudh)
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh yang berkaitan
dengan ta’arudh al-’adillat (pertentangan nas), misalnya
pernyataan sebagian ulama tentang batalnya wudhu dengan
menyentuh zakar (alat kelamin). Imam Syafi’iy, Hambali,
Ishak dan Malik berpendapat bahwa wudhu batal. Nas yang
dijadikan landasan adalah hadis yang bersumber dari Basrah
binti Shafwan, sebagaimana berikut: “Bahwa Nabi SAW
berkata, ‘Barang siapa yang menyentuh alat kelaminnya, maka
hendaklah ia berwudhu’ lebih dahulu sebelum salat.’”
Sahabat yang mengikuti hadis tersebut ialah: Umar, Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Aisyah dan Saad
bin Abi Waqqas.
Adapun Abu Hanifah cenderung berpendapat bahwa hal
yang demikian itu tidak membatalkan wudhu. Beliau mengacu
pada hadis Thalak bin Ali sebagai berikut: “Bahwa Nabi SAW
pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh alat
kelaminnya ketika ia sedang sembahyang. Maka Nabi berkata
tiadalah ia kecuali bagian dari engkau.” (HR. Tirmiziy).
Sahabat yang mengikuti hadis kedua ini, ialah: Ali, Umar,
dan Ibnu Mas’ud. Tampaknya kedua kelompok yang
bertentangan ini masing-masing memiliki alasan dan hujjah
yang cukup kuat.
Walaupun kedua hadis tersebut, dari sisi lafal dan makna
berbeda, ulama hadis telah membahas dan mengajukan
alternatif-alternatif metode penyelesainnya. Penyelesaian
dimaksud akan memberi petunjuk secara substantif
sesungguhnya pertentangan dalam hadis tidak ada.
d. Adanya kasus-kasus tertentu yang tidak ada nas-nya secara
sharih.
Salah satu yang menjadi sebab adanya ikhtilaf di antara
para ulama, yaitu adanya kasus-kasus tententu yang tidak
tersebut nas-nya secara tekstual dalam Alquran dan Hadis.
Jelasnya bahwa Rasulullah wafat, masih saja dijumpai sebagian
kasus yang tidak mendapatkan tanggapan konkret atas
kepastian hukumnya. Hal ini dipahami, bahwa Alquran
memang tidak menjelaskan suatu kasus secara terinci,
petunjuknya turun secara mujmal (umum), muthlaq (pasti),
mubham (tidak jelas) dan lain-lain. Dalam kaitan tersebut.
peranan hadis sebagai bagian dari ijtihad Nabi, dan para
sahabat besar dalam menjelaskannya, mendapat tempat
tersendiri. Kasus-kasus yang muncul kemudian cukup banyak,
sedang nas Alquran dan Hadis yang menyangkut hukum begitu
terbatas.
Pada akhirnya ulama dalam mengantisipasi ketetapan
hukum suatu kasus berbeda dan pada gilirannya terjadilah
ikhtilaf dalam pemahaman dan penafsiran.
Kasus-kasus tertentu yang tidak ada nas-nya secara sharih
penetapan hukumnya disandarkan pada perkataan sahabat
(qawl al- sahab’iy). Sebagian ulama cenderung untuk
menjadikannya hujjah syara yang wajib dipedomani, dan oleh
kebanyakan ulama menjadikannya hujjah syara’ atas dasar
kredibilitas sahabat itu sendiri. Dengan demikian ikhtilaf ulama
dalam masalah fiqih khususnya menyangkut kasus-kasus yang
tidak ada nas-nya, dapat dikatakan mengacu dari perbedaan
pendapat ulama tentang qa’ul al-sahaby yang menjadikannya
sebagai hujjah syara’.14
3. Pembagian Ikhtilaf

14
Anwar Sadat, “Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin”, Ar-Risalah, Vol. 15 No. 2,
Nopember 2015, 182-189
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama,
ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk
kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan
tidak ditolerir. Dan ini meliputi semua jenis perbedaan dan
perselisihan yang terjadi antar umat manusia, tanpa membedakan
tingkatan, topik masalah, factor penyebab, unsur pelaku, dan lain-
lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati,
sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, dan
semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq perpecahan) yang
tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar
(perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman),
yang masih dibagi lagi menjadi dua.15

a. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas dalam


kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karnanya ia tertolak dan
tidak ditolerir.
b. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip).
Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk
kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang
diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan
dan perselisihan hati.

Imam Al-Subkiy membagi ikhtilaf menjadi 3 jenis, pertama,


menyangkut usul (pokok dan prinsip) yaitu yang menyimpan dari
kandungan Alquran dan tidak diragukan lagi merupakan tindakan
bid’ah dan sesat. Kedua, menyangkut perselisihan pendapat dan
peperangan yang bisa menjadi haram jika tidak menginginkan
kemaslahan-kemaslahan. Ketiga, menyangkut masalah furu’
(cabang) seperti ikhtilaf dalam hal halal-haram atau sejenisnya. Prof
DR. Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni: pertama,

15
M.Yusuf, ‘’Dakwah Khilafiyah’’. Al-Bayan. Vol. 21 No 32. Juli-Desember 2015, 45
ikhtilaf dalam kepastian nas an kualitasnya, kedua, ikhtilaf dalam
pemahaman nas dan hikmahnya.16

4. Metode Ulama Dalam Mengatasi Ikhtilaf

Dimaksudkan ikhtilaf di sini terdapat dua buah nas atau lebih


dari sisi makna yang tampaknya bertentangan, sebagian ulama
berpendapat bahwa semuanya tidak mungkin diamalkan secara
bersamaan. Oleh karena itu para ulama menempuh berbagai macam
cara (jalan) di dalam mengkompromikan nas-nas tersebut.
Diketahui bahwa apa yang dikemukakan oleh Nabi berupa ayat-
ayat Alquran dan Hadis, sama-sama berasal dari Allah. Oleh karena itu
tidak mungkin bertentangan di antara keduanya. Namun pada
kenyataannya ada sejum1ah nas (hadis) yang tampaknya tidak sejalan
dan bertentangan dengan hadis lain ataupun dengan Alqur’an. Bila
demikian halnya, maka pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya.
Dalam mengantisipasi kandungan nas misalnya, ulama tidak
sependapat. Terhadap sunnah Nabi, sebagian ulama menyebutnya
dengan mukhtaliful hadits, sebagian lagi menyebutnya dengan
mukhtalafatul hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan al-
ta’ arudh. Untuk menyelesaikan nas hadis yang tampak bertentangan
tersebut, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama; ada yang
menempuh satu cara ada pula yang menempuh lebih dari satu cara
dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai
dalam hal ini antara lain:
a. al-tarjih cmeneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki
argumen yang lebih kuat);
b. al-jam’u, yakni kedua hadits yang tampak bertentangan itu
dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai dengan
konteksnya.

16
Anwar Sadat, ‘’Ikhtilaf Dikalangan Ulama Al-Mujtahidin’’. Al-risalah. Vol. 15 No 2,
Nopember 2015,182.
c. al-nasikh wa al-mansukh, petunjuk dalam hadis yang satu
dinyatakan sebagai penghapus sedang hadis yang satunya sebagai
yang dihapus.
d. al-taufiq, menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun


tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga.
Dinyatakan demikian karena selain itu ulama pada umumnya lebih
mengutamakan cara al-jam’u, dan al-taufiq, sepanjang cara itu dapat
diterapkan, juga untuk cara penye1esaian yang diberi istilah yang
berbeda, ternyata hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.
Keempat tahap metode penyelesaian dalam mengatasi ikhtilaf
al-adillat sebagaimana telah dikemukakan di atas ialah (1) al-jam’u; (2)
al-nasih wa a-mansukh; (3) al-tarjih dan (4) al-taufiq. Cara yang
disebutkan terakhir perlu ditempuh bila ternyata ketiga cara yang
disebutkan terdahulu tidak dapat diselesaikan. Dengan menempuh cara
al-taufiq seseorang akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan
yang keliru.17
5. Hikmah Ikhtilaf
a. Niatnya jujur dan menyadari akan bertanggung jawab bersama.
b. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas
cakrawala berpikir.
c. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan atau pihak yang
berbeda pendapat dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang
menyangkut kehidupan di sekitar mereka.

Perbedaan pendapat tentang penetapan hokum oleh para fuqoha


dalam ilmu fikih dan kajian mazhab fikih dalam berbagai cabang, pada
hakikatnya merupakan hasil pemahaman terhadap kitab Allah dan

17
Anwar Sadat, ‘’Ikhtilaf Dikalangan Ulama Al-Mujtahidin’’. Al-risalah. Vol. 15 No 2,
Nopember 2015,189.
Sunah Rasul. Adapun hikmah adanya ikhtilaf para fuqoha adalah
sebagai berikut:
a. Perbedaan merupakan suatu kemestian, kemestian ini disebabkan
oleh tabiat agama islam, tabiat syariat, tabiat manusia, tabiat alam
dan kehidupan.
b. Perbedaan adalah rahmat.
c. Perbedaan pendapat adalah kekayaan.

Perbedaan pendapat yang bersifat ijtihadiah telah memperkaya,


mengembangkan dan memperluas fiqih, karena setiap pendapat pasti
didasarkan kepada dalil-dalil dan pertimbangan syar’i yang digali oleh
akal para fuqoha dan pemikir islam yang cemerlang, melalui ijtihad,
qiyas, istihsan, dan lain sebagainya. Adapun faedah mempelajari
ikhtilaf fuqoha sebagai berikut:
a) Terhindar dari taqlid buta
b) Mengetahui keragaman dalil-dalil yang mereka pergunakan
dalam penetapan hukum
c) Mengetahui jalan pikiran mereka dalam menetapkan
permasalahan hukum furu’iyah
d) Dapat mengembangkan kemampuan dalam fiqih
e) Mengetahui kuat dan lemahnya hujjah (alasan) yang digunakan
oleh para fuqoha atau imam madzhab
f) Dapat memilah hujjah yang hujjah yang sesuai dengan al-Quran
dan al-Hadist dan hujjah itu dapat dijadikan pedoman dalam
mengamalkan ibadah
g) Bisa membedakan antara perbedaan yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan dalam islam
h) Bisa menemukan khazanah hukum islam yang beragam
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

ijtihad adalah mencurahkan fikiran dengan untuk mendapatkan hukum


syar’i dengan salah satu dalil syar’i dan dengan cara tertentu. Dasar-dasar
hukum ijtihad terbentuk dari al-Qur’an dan hadits. Salah satu fungsi dari
ijtihad adalah untuk mengembanagkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam al-Quran dan as-Sunnah, seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah
mursalah. Macam-macam ijtihad menurut sisi pelakunya ada dua yaitu,
ijtihad fardhi dan ijtihad jamai’i. Sedangkan ikhtilaf adalah perbedaan yang
terjadi di kalangan para ulama (mujtahid) dalam memahami sebuah teks
syariat (al-Qur’an dan al-Hadits), demi mengafirmasi kebenaran. Salah satu
sebab dari ikhtilaf adalah berkembangnya dinamika kehidupan manusia
yang dibarengi perbedaan adat istiadat dan budaya non arab yang
memerlukan fatwa baru. Pembagian ikhtilaf dibagi menjadi dua, yaitu atau
perbeedaan dan perselisihan hati (ikhtilaful qulub) dan perbedaan dan
perselisihan dalam hal pemikiran (ikhtilaful ‘uqul wal afkar).
DAFTAR PUSTAKA

Efeendi Satria, dan MA. Zein. 2005. USHUL FIQH. Jakarta: Kencana.

Hanief, Mohammad Sirajulhuda. 2017. Konsep Fikih Ikhtilaf Yusuf al-


Qardhawi Tsaqafah, Vol.13, No.2,

Halim, Abdul. 1998. Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Bandung: Pustaka
Hidayah.

Khairu, Umam Dkk. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia

Mardani. 2017. pendidiakan agama islam untuk perguruan tinggi. Depok:


Kencana.

Masruhan. 2013. Pengaruh Ikhtilaf al-Hadith”, Islamica, Vol. 7 No. 2.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih II. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup

Safriadi. 2017. MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD


KONTEMPORER. Volume. 4. No. 2

Sadat, Anwar 2015. “Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin”, Ar-


Risalah. Vol. 15 No. 2.

Yusuf, M. 2015. Dakwah Khilafiyah. Al-Bayan. Vol. 21 No 32.

Anda mungkin juga menyukai