Di Susun Oleh :
A. IJTIHAD
1. Pengertian dan Dasar Hukum
a. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh
dalam menggunakan tenaga fisik maupun pikiran. Sedangkan
ijtihad secara terminologis, para ulama Ushul memandang bahwa
ijtihad adalah, “Pengerahan segenap kesungguhan dan kemampuan
yang dimiliki seorang ahli fikih untuk menghasilkan keyakinan
atau ilmu tentang suatu hukum.1 Definisi ijtihad lain yang
dikemukakan oleh Abu Zahra adalah: “Mencurahkan seluruh
kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbat-kan
hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah mencurahkan fikiran
dengan untuk mendapatkan hukum syar’i dengan salah satu dalil
syar’i dan dengan cara tertentu.
b. Dasar hukum ijtihad
Pada saat ini banyak ditemukan beberapa perbedaan madzhab
dalam hukum islam, dan hal itu disebabkan oleh adanya ijtihad.
Dengan adanya ijtihad ini semakin tampaklah kesempurnaan islam,
dengan itu juga islam bisa menjawab dan menghadapi berbagai
problematika yang beraneka ragam. Untuk itu digunakan dasar
hukum al-Qur’an dan Hadits sebagai alasan dibolehkannya
melakukan ijtihad ini. Dasar-dasar hukum ijtihad diantaranya
adalah:
1
Abdul Halim, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Hal.
177.
Dalam Qur’an surat an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS:
an-Nisa’/4:59).
Dalam Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59 ini menjelaskan
tentang perintah mengembalikan al-Qur’an dan sunnah menurut
Hasaballah adalah perintah agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-
nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau
hadis yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja,
atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaiadah umum yang
disimpulkan dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
2. Fungsi Ijtihad
Ada beberapa fungsi ijtihad diantaranya adalah:
1) Sebagai upaya memahmi redaksi ayat atau hadits yang
tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad.
2) Untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai
ke tingkat hadis mutawattir, seperti hadis ahad2
3. Macam-macam ijtihad
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dapat dibagi
menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut At-
Thayyib Khuderi as-sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad fardi
adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa
orang muhjtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam
mujtahid besar; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Ahmad bin Hambal.3 Sedangkan ijtihad jamai adalah apa yang
dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqih, yaitu
kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. setelah
Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah ushul
fiqih ijtihad jamai dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama –
ulama dalam satu disiplin ilmu yaitu, ilmu fiqih. Dalam
perkembangannya apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i seperti
dikemukakan Al-Thayyib, Khuderi al-Sayyid dismaping bukan
berarti melibatkan ulama mujtahid juga bukan dalam satu disiplin
ilmu. Ijtihad jamai’ merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu, disamping ilmu fiqih itu serndir sesuai
dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mengingat
masalah-masalah yang bermunculan ada yang berkaiatan dengan
ilmu selain ilmu fiqih, seperti ilmu kedokteran, pertanian dan ilmu-
ilmu sosial yang berhubungan dengan permasalahan yang akan
dibahas. 4
4. Syarat-syarat Mujtahid
2
Mardani, pendidiakan agama islam untuk perguruan tinggi, (Depok: Kencana, 2017)
hal. 141
3
Satria, Efeendi, dan MA. Zein, USHUL FIQH, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 258.
4
Ibid; hal. 258-259.
Adapun orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid,
dan harus memenuhi syarat-syarat menjadi mujtahid diantaranya
adalah:
1) Memahami bahasa Arab
2) Memahami tentang nasakh mansukh
3) Mengerti tentang sunnah
4) Mengetahui yang diijmakkan dan di-ihtilakan
5) Mengetahui tentang qiyas
6) Mengetahui maksud-maksud hukum
7) Memiliki pemahaman dan penilaian yang benar5
5. Perkembangan Ijtihad
a. Ijtihad dan fiqih pada masa Rasulullah SAW
5
Mardani, pendidiakan agama islam untuk perguruan tinggi, (Depok: Kencana, 2017)
hal. 141
6
Umam Khairu. Dkk, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia 2001) hlm 144.
Pada masa sahabat Abu Bakar, jika timbul suatu masalah
dalam tatanan rakyat, maka beliau menghukumi masalah tersebut
dengan jalan memahaminya dalam kitab al- Qur’an. Namun jika
tidak ditemukan suatu jawaban dari permasalahan tersebut, beliau
lalu mencarinya dalam hadis rasul. Jika masih belum menemukan,
maka beliau bertanya kepada para sahabat yang mengetahui
putusan nabi.
Sahabat umar, Usman dan Ali juga mengikuti jejak sahabat
Abu Bakar dalam menjawab permasalahan dari rakyat. Mereka
sangat berhati- hati dalam menerima riwayat. Berikut cara-cara
ijtihad yang para sahabat terapkan:
1. Mengeluarkan hukum dengan dasar ra’yu perseorangan
(ijtihad fardi). Yaitu apabila timbul suatu permasalahan
yang tidak ada dalam nash al- Qur’an dan hadis, para
sahabat menggunakan ra’yu atau akal pikiran yaitu
mendasarkan hukum pada kemashlahatan dengan
bersendikan kaidah- kaidah umum.
2. Mengeluarkan hukum dengan cara mengadakan ijma’
(ijtihad jama’i). adalah perkumpulan para ulama yang
membahas tentang jalan dan hukum dari permasalahan
tersebut hingga mencapai kata mufakat dan harus diikuti
oleh rakyat.
8
Amir, Syarifuddin, Ushul Fiqih II (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup 2011) Hlm
261.
9
Op. Cit, uman Khairul, hlm 148.
karyanya sekarang ini digunakan sebagai rujukan para hakim
dalam menyelesaikan perkara.10
d. Ijtihad Pada Masa Sekarang
B. IKHTILAF
1. Pengertian Ikhtilaf
10
Op. Cit, Amir Syarifuddin, Hlm 265.
11
Safriadi, MAQĀṢID AL-SYARĪ’AH SEBAGAI METODE IJTIHAD KONTEMPORER,
Volume. 4. No. 2 Tahun 2017, hlm 1-2, di akses dari
file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/309-13-724-1-10-20180104.pdf pada 15/09/2018
pukul 11.13 WIB.
Secara bahasa, ikhtilaf berasal dari bahasa Arab ikhtalafa-
yakhtalifu-ikhtilaafan yang berarti perselisihan. Ibnu katsir
mengemukakan bahwa kata ini dapat ditemukan di dalam al-Qur’an,
salah satunya berada di surat Maryam ayat 37. Dalam KBBI, ikhtilaf
diartikan sebagai perbedaan pendapat atau perselisihan pikiran.
Sedangkan secara terminologi, ikhtilaf merupakan perbedaan yang
terjadi di kalangan para ulama (mujtahid) dalam memahami sebuah
teks syariat (al-Qur’an dan al-Hadits), demi mengafirmasi kebenaran.
Terdapat beberapa definisi ikhtilaf menurut para ulama, seperti
menurut Thaha Jabir, ikhtilaf berarti kecenderungan seseorang
terhadap suatu sikap atau pendapat tertentu. Kemudian, menurut
Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Manawi, ikhtilaf berarti sikap atau
pendapat yang diambil oleh seseorang yang berbeda dari
sebelumnya. Sedangkan menurut al-Jurjaini, ikhtilaf berarti
perbedaan yang terjadi di antara dua orang untuk mengafirmasi suatu
kebenaran dan menegasikan kesalahan.12
2. Sebab-Sebab Ikhtilaf
Sebenarnya, ikhtilaf telah ada sejak zaman Rasulullah. Pada masa
itu ikhtilaf yang terjadi tidak sampai menimbulkan perpecahan karena
Rasulullah selalu berusaha mengembalikan segala urusan mereka
melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Sepeninggal Rasullah,
para sahabat pernah berikhtilaf tentang wafatnya Rasulullah,
pemakaman, dan pengganti Rasullah.
Pada periode Khalifah Abu Bakar dan Umar, ikhtilaf diantara
sahabat tetap ada, namun mereka masih sangat menghormati dan
memelihara musyawarah. Namun ini tidak bertahan lama karena
12
Mohammad Hanief Sirajulhuda, “Konsep Fikih Ikhtilaf Yusuf al-Qardhawi”,
Tsaqafah, Vol.13, No.2, November 2017, 258.
bertambah luasnya wilayah islam, yang di dalamnya terdapat adat
kebiasaan, tradisi dan pola hidup yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Menurut Muhammad Khudari Bek, ahli fiqih dari Mesir, ikhtilaf
disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya:
a. Munculnya faksi-faksi dalam Islam.
b. Tersebarnya ulama di berbagai wilayah taklukan Islam sejak
berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
c. Berkembangnya dinamika kehidupan manusia yang dibarengi
perbedaan adat istiadat dan budaya non-Arab yang memerlukan
fatwa baru.
d. Munculnya banyak hadits maudhu’.
e. Munculnya ulama non-Arab yang memicu kecemburuan sosial
bagi beberapa orang Arab yang fanatik.
f. Adanya kontestasi antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’y serta
para pendukung masing-masing pihak.
13
Masruhan, “Pengaruh Ikhtilaf al-Hadith”, Islamica, Vol. 7 No. 2, Maret 2013, 273.
Salah satu faktor ikhtilaf adalah qira’at. Sebenarnya telah
datang dari Rasulullah qiraat secara mutawatir, haya saja sebab
wurudnya mengundang perbedaan pendapat ulama dalam
meng-istinbat-kan hukum. Misalnya, ikhtilaf tentang mencuci
atau membasuh kedua kaki dalam wudhu. Allah berfirman:
14
Anwar Sadat, “Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin”, Ar-Risalah, Vol. 15 No. 2,
Nopember 2015, 182-189
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama,
ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk
kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan
tidak ditolerir. Dan ini meliputi semua jenis perbedaan dan
perselisihan yang terjadi antar umat manusia, tanpa membedakan
tingkatan, topik masalah, factor penyebab, unsur pelaku, dan lain-
lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati,
sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, dan
semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq perpecahan) yang
tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar
(perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman),
yang masih dibagi lagi menjadi dua.15
15
M.Yusuf, ‘’Dakwah Khilafiyah’’. Al-Bayan. Vol. 21 No 32. Juli-Desember 2015, 45
ikhtilaf dalam kepastian nas an kualitasnya, kedua, ikhtilaf dalam
pemahaman nas dan hikmahnya.16
16
Anwar Sadat, ‘’Ikhtilaf Dikalangan Ulama Al-Mujtahidin’’. Al-risalah. Vol. 15 No 2,
Nopember 2015,182.
c. al-nasikh wa al-mansukh, petunjuk dalam hadis yang satu
dinyatakan sebagai penghapus sedang hadis yang satunya sebagai
yang dihapus.
d. al-taufiq, menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.
17
Anwar Sadat, ‘’Ikhtilaf Dikalangan Ulama Al-Mujtahidin’’. Al-risalah. Vol. 15 No 2,
Nopember 2015,189.
Sunah Rasul. Adapun hikmah adanya ikhtilaf para fuqoha adalah
sebagai berikut:
a. Perbedaan merupakan suatu kemestian, kemestian ini disebabkan
oleh tabiat agama islam, tabiat syariat, tabiat manusia, tabiat alam
dan kehidupan.
b. Perbedaan adalah rahmat.
c. Perbedaan pendapat adalah kekayaan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Efeendi Satria, dan MA. Zein. 2005. USHUL FIQH. Jakarta: Kencana.
Halim, Abdul. 1998. Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Bandung: Pustaka
Hidayah.
Khairu, Umam Dkk. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih II. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup