Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan
produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini
berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan
bergerak ke belakang dan pasti bergerak ke depan untuk merekayasa
peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau
sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma konvensional,
tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf
(dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang terjadi,
suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang
sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam
mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan
refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan
kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu
diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang
mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari
belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan
yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-
nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan
praktis
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian
ijtihad, dasar hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad,
macam-macam ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-
tingkatannya.

1
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pengertian ijtihad?
2. Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4. Bagaimana objek ijtihad?
5. Bagaimana macam-macam ijtihad?

C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4. Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti
kesulitan dan kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya
mengikuti pola timbangan iftial yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah)
dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan demikian, dapat dirumuskan
bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi
mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir
yang maksimal.1
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala
kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan
perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh,
Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta
mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan
pelakunya dinamai mujtahid
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam
kajian ushul fiqh yang bermakna usaha maksimal ulama fiqh dalam
melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang
bersfat zanni. Dengan demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam
pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang
dilakukan para ulama fiqh untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik
berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal Alquran dan Sunnah, maupun
hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual yang mereka hadapi.
Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni memiliki peluang
benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada salahnya
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad
sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil
1
Amin Abdulloah, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar , 1997. Hlm:123-125

3
yang terinci dengan sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad
Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hukum Islam
semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis dari dalil-
dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi
ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam
dalam menggali hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-
dalilnya.
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah rayu (rasionalitas).
Istilah rayu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan
terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Quran dan hadis atau
prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu
adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah rayu tidak bisa dipisahkan dari
kata aql. Al-Quran sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk
memaksimalkan potensi akal. Dalam kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh,
Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan
hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada umumnya. Bagi
kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam
menetapkan hukum
Menurut Misbahuddin dengan melakukan analisis dari beberapa definisi
yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut
pandang, maka dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad
itu yaitu:
1. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
2. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni.
3. Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum
syara yang bersifat praksis.
4. Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.

4
B. Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Effendi banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan
ijtihad, antara lain :2
1. Q.S An-Nisa ayat 59 :











Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Q.S: an-Nisa/4:59)

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-


Quran dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang
tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada
Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan
ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja,
atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan
hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang
disebutkan dalam al-Quran karena persamaan illat-nya seperti dalam
praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan
2
Endang Saifuddin Anshari.Kuliah Al-Islam. (Bandung;Pustaka Bandung. 1978), Hlm:23-56

5
syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan
sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke
Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan
hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Quran,
kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan
ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : Segala pujian
bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah
dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut
secara lengkap sebagai berikut :
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman
Muaz, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Muaz ke Yaman,
maka beliau bertanya kepada Muaz, atas dasar apa Anda memutuskan
suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ;
kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?, dia menjawab dengan
dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : kalau tidak Anda
temukan adalam Sunnah Rasulullah?, Muaz menjawab aku akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: Segala pujian bagi
Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.
(HR.Tirmizi)
Menurut Syafei (2010,107-108), bagi seseorang yang sudah
memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada
orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
a. Orang tersebut dihukum fardhuain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil
dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum
ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia
yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardhuain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan
yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab,

6
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain
dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru,
baik ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan
dengan dalil syara.

C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-
masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di
dalam Al-quran maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qatiy, yakni
hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan
lain-lain tidak ada ijtihad padanya3
Bila dilihat dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap
hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil
ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-
Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan
tidak ada dosa diatasnya
Kedudukan hasl ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a. Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an
karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu
sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihadnya
mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah karena
berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
3
DjarnawHadikukusam, Ijtihad,dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif
Ketegangan Kreatif dalam Islam, (PLP2M Yogyakarta. 1985)Hlm:20-56

7
b. Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang
cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok
jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa
Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah sebelum
diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang
terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk AsysyafiI,
berdalil dengan hadis, yang artinya :
Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala,
dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu
pahala(H.R.Buchari dan Muslim).

Imam Syafiira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam


bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran
menegaskan: Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang
pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang
hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Quran
yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari
sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan
seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji
ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya
Pernyataan Imam SyafiI diatas, menggambarkan betapa
pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis
yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang

8
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan
mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsiphukum dalam Al-Quran dan Sunnah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas
jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas
jumlahnya.

D. Objek Kajian Ijtihad


Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah
yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qathi) dating dari Allah atau
Rasul-Nya, seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi
merupakan lapanga ijtihad dari segi periwatannya. Al-Quran yang beredar
dikalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (gqthi) keasliannya dating
dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir adalah pasti (qthi) datang dari
Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik al-Quran atau Hadis
Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada
kemungkinan adanya pemalsuan 4
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut
penulis, ijtihad juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah
setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni,
maupun belum ada nashnya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah
ada ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan
meneliti apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat
umum, apakah dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan
memakai qiyas atau istihsan atau pemakain urf atau dalil-dalil hukum
lainnya.

4 ZainabAl-Ghazali Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta. 1995:Hlm 123

9
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa
ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan
hukum secara tegas dan pasti (qathi). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak
dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya
secara tegas dan pasti dalam al-Quran da Synnah. Misalnya kewajiban
melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan
berzina, membunuh dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan
dalam al-Quran dan Sunnah.
Hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti dikemukakan oleh
Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni)
baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang
dapat dapat dikategorikan menjadi tiga macam :
1. Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau
beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad
dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat
dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya
pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid perlu
melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2. Lafal-lafal atau redaksi al-Quran atau hadis yang menunjukkan
pengertiannya secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan
pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal
atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini
menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad
disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh
suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat
ulama dalam menetapkan hukum.
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma
yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan
peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-
prinsip hukum yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah. Fungsi ijtihad
disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan

10
hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, dan sad
al-zariah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.

E. Macam-Macam Ijtihad
Ijtihad ada beberapa macam, yaitu :
1. Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang
dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya.
Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan
jalannya sampai kepada kita.
2. Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum
yang tidak ada padanya nash qathI, nash dhanni dan tidak ada pula ijma.
Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada
tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara, seperti
qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir rayi.
3. Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum
syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini
berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash
yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma dan
tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya
kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak
kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara.

Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah


ijtihad. Imam SyafiI menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama,
tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui rayu yang didasarkan pada
istihsan atau mashlahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu
mencakup rayu, qiyas dan akal
Pemahaman mereka tentang rayu sebagaimana yang diungkapkan oleh
para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh

11
seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syariat, tanpa melihat
apakah hal itu ada dsarnya atau tidak
Berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga
bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab
Al-Muwafaqat, yaitu :
1. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara
dari nash.
2. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam Al-Quran dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah denga menggunakan rayu
berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang diungkapka oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an,
diantaranya jami wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua
bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan
mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan,
hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2. Ijtihad syari, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara, termasuk dalam
pembagian ini adalah ijma, giyas, istihsan, istishlah, urf, istishab, dan
lain-lain.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad
dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang
mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan
cara istinbath.
2. Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag
menjelaskan tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya
seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai
ijtihad dan hadis yang diriwayatkan dari Muaz bin Jabal mengenai ketika
ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia
memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-
Quran, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan
melakukan ijtihad.
3. Pernyataan Imam SyafiI mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-
Quran dapat digali dengan ijtihad menggambarkan betapa pentingnya
kedudukan ijtihad disamping AL-Quran dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai
ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya dan
berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Quran dan Sunnah.
4. Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi,
Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syari.

13
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan
saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatankesempatan berikutnya.Semoga makalah
ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman
pada umumnya

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdulloah, Amin.1997, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Saifuddin Anshari, Endang.1978.Kuliah Al-Islam. Bandung; Pustaka Bandung.
Razak, Nasrudin. 1989.Dienul Islam, Maarif Bandung.
Al-Ghazali, ZainabMenuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta. 1995
Hadikukusam,Djarnaw. 1985.ijtihad,dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor),
Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta.

15
MAKALAH

IJTIHAD
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah
Fiqh dan Ushul Fiqh

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Rahayu
2. Anggun Amalia
3. Toni Oktavian
4. Destra Rahayu

Dosen Pembimbing:
JAKSON,S.Hi,M.A

MAHASISWA PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI JURUSAN


TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA

16
ISLAM (STAIN) KERINCI
T.A.2016/2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim
Alhamdulillah , Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga kami mampu
menyelesaikan Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah
ini berisikan tentang penjelasan Ijtihad
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini .
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir . Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita . Amin .

Sungai Penuh, November 2016

17
DAFTAR ISI
i

KATA PENGANTAR ..............................................................................


DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................
B. Rumusan Masalah ....................................................................
C. Tujuan Masalah ........................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad .....................................................................
B. Dasar Hukum Ijtihad ...............................................................
C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad .................................................
D. Objek Kajian Ijtihad .................................................................
E. Macam-Macam Ijtihad ............................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................
B. Saran .........................................................................................
DAFATR PUSTAKA

18
ii

19

Anda mungkin juga menyukai