Dalam zaman Bani Ummayah ini situasi dan kondisi berubah. Selain karena pertikaian partai dan golongan bertambah ramai, juga karena adanya pemeluk agama yang lain masuk kedalam islam yang jiwanya tetap dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan yang pernah mereka anut. Kebebasan berbicara mendorong pula timbulnya kebebasan mengemukakan argumentasi masing-masing. Masalah qadar yang dulunya dibatasi pembatasannya mulai diungkapkan kembali secara bebas. Maka timbulah golongan Qadariyah yang dipelopori oleh Ma’bad Al Juhaimi (wafat tahun 80 H ) yang mengemukakan tentang kebebasan berbuat dan memilih, tanpa campur tangan Tuhan dalam perbuatan manusia. Dari pernyataan ini munculah golongan Jabariyah yang dipelopori oleh Jaham bin Safwan sebagai bantahan yang mengemukakan akidah yang dianutnya bahwa manusia itu serba terpaksa (majbur) dalam segala tindakannya. Pada akhir abad pertama hijriyah muncul golongan khawarij membentuk suatu madzhab sendiri yang menonjolkan pendapat: orang yang mengerjakan dosa besar itu kafir. Sedangkan Hasan Al Bisri (wafat tahun 110 H), berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar itu adalah fasiq, tidak keluar dari lingkaran mukmin (tidak kafir). Kemudian tampilah Washil bin Atho’ murid Hasan Al bisri, membantah pendapat gurunya dengan mengatakan: orang yang mengerjakan dosa besar itu berada diantara dua martabat, karena Washil bin Atho’ mengasingkan diri dari majlis gurunya Hasan Al bisri atau dari pendapat umum, maka dinamakanlah gologannya dengan sebutan Al-Mu’tazilah, golongan orang yang mengasingkan diri. Pada akhir masa ini, Washil bin Atho’ telah dapat menyusun dasar-dasar ilmunya bagi madzhab Mu’tazilah dan jalan-jalan mengajak masyarakat mengikuti ajarannya. Dia melaksanakan misinya ke seluruh pelosok dengan segenap tenaga dan kecakapan hingga sampailah pengembangannya ke Khurasan disebelah timur ke Maroko sebelah barat, ke Armenia sebelah utara dan ke Yaman sebelah selatan. Menurut keterangan seorang ahli tarikh, al-Maqrizi (766-845). Washil bin Atho’telah menyusun kitab tauhid yang berjudul “Kitabut-Tauhid”, “Kitabul Manzilatibainal Manzilatain”, “Kitab al futaya”. Dengan demikian masa ini adalah masa dimulainya usaha menyusun kitab dalam ilmu kalam, sekalipun kitab-kitab itu telah dibawa oleh arus zaman dan tidak ada yang sampai ketangan kita. Demikianlah situasi ini yang jauh berbeda dengan zaman khulafaurrosyidin dan malahan kian jauh dibandingkan dengan zaman nabi Muhammad SAW.