Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN SIFAT-SIFAT TUHAN

Makalah Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Dr. Dedi Setiawan, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Aisyah Yuliana Fauziah 221260075

Cahya Maulana Ferdiansyah 221260011

Yunisa Umi Latifah 221260073

Progam Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF (IAIMNU)

METRO LAMPUNG

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi nikmat, rahmat
serta hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul Perbandingan Sifat-sifat Tuhan dengan tepat waktu. Makalah
ini merupakan salah satu tugas mata kuliah di progam studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah IAIM NU pada semester Satu.
Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Dedi Setiawan, M.Pd.I selaku
dosen pembimbing Mata kuliah Ilmu Kalam dan kepada segenap pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih


ada banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Wassalamualaikum. Wr.Wb.

Metro, 25 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. LatarBelakang................................................................................1
B. RumusanMasalah...........................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................2

A. Aliran Mu’tazilah............................................................................2
B. Aliran Asy’ariah..............................................................................4
C. Aliran Maturidiah............................................................................7
D. Aliran Syi’ah Radhifah...................................................................10
BAB III PENUTUP..................................................................................13

A. Kesimpulan......................................................................................13
B. Saran................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................14

iii
BAB 1

PENDAHULUAH

A. LATAR BELAKANG
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan
di antara aliran- aliran kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan.
Tarik-menarik di antara aliran- aliran kalam dalam
menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim
yang dibangun atas dasar kerangka pikir masing-masing dan
klaim menauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa
pahamnya dapat menyucikan dan memelihara keesaan Allah.
Perdebatan antaraliran kalam tentang sifat-sifat Allah
tidak terbatas pada persoalan Allah memiliki sifat atau tidak,
tetapi pada persoalan- persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti
antropomorfisme melihat Tuhan dan esensi Al-Quran.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pendapat sifat-sifat tuhan menurut aliran
Mu’tazilah?
2. Bagaimana pendapat sifat-sifat tuhan menurut aliran
Asy’ariah?
3. Bagaimana pendapat sifat-sifat tuhan menurut aliran
Maturidiah?
4. Bagaimana pendapat sifat-sifat tuhan menurut aliran Syi’ah
Radhifah?

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu'tazilah dengan
kaum Asy'ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan
Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-
sifat itu, seharusnya kekal seperti halnya dzat Tuhan. Selanjutnya,
jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal tidak satu, tetapi
banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa pada
paham banyak yang kekal (ta'addud al-qudama' atau multiplicity
of eternals). Ini membawa pada paham syirk atau politeisme.
Suatu hal yang tidak dapat diterima dalam teologi.1 Lebih jauh
lagi, Washil bin 'Atha' menegaskan bahwa siapa saja menetapkan
adanya sifat qadim bagi Allah, ia telah menetapkan adanya dua
Tuhan.
Kaum Mu'tazilah mencoba menyelesaikan persoalan
ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana telah dijelaskan
oleh Asy'ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai
hajat, dan sebagainya.2 Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka
tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya.
Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya,
tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya. Artinya, "Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah

1
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm. 135.
2
Al-Asy'ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, Buku 2, Terj. Rosihon Anwar
dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 197-198.

v
Tuhan." Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana
dijelaskan Abu Al-Huzail,5 adalah Tuhan, yaitu dzat atau esensi
Tuhan.3
Arti "Tuhan mengetahui dengan esensinya, menurut
Al-Jubba'i adalah untuk mengetahui sesuatu, Tuhan tidak berhajat
pada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui. Abu Hasyim, sebaliknya berpendapat bahwa arti
"Tuhan mengetahui melalui esensinya" adalah Tuhan mempunyai
keadaan mengetahui.4
Aliran Mu'tazilah yang memberikan pada akal daya
yang besar ber- pendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan
mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila Tuhan dikatakan
mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuran
panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai
kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh karena itu.
Mu'tazilah menafsirkan ayat-ayat yang terkesan Tuhan bersifat
jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Quran
yang menggambar- kan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi
takwil oleh Mu'tazilah dengan pengertian yang layak bagi
kebesaran dan keagungan Allah. Misalnya, kata istawa dalam
surat Tähä ayat 5 ditakwil dengan al-istila' wa al-ghalabah
(menguasai dan mengalahkan); kata 'aini dalam surat Taha ayat
39 di- takwilkan dengan ilmi (pengetahuan-Ku); kata wajhah
dalam surat Al- Qashash ayat 88 ditakwilkan dengan dzatuhu ayy
nafsuhu (dzat-Nya, yaitu diri-Nya); kata yad dalam surat Shad
ayat 75 ditakwilkan dengan al-quwwah (kekuatan).

3
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Fikri, Beirut, tt., hlm. 46.
4
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990, hlm. 92-
93.

vi
Selanjutnya, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan
bersifat immateri sehingga tidak dapat dilihat dengan mata
kepala. Dua argumen pokok yang diajukan oleh Mu'tazilah untuk
menjelaskan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata
jasmani. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat. Oleh karena
itu, tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia
ini. Kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat Tuhan di
alam ini. Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sandaran dalam
mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat Al-An'am,
ayat 22-23 surat Al-Qiyamah,19 ayat 143 surat Al-A'raf, ayat 110
surat Al-Kahf,21 dan ayat 51 surat Asy-Syūrā.
Mengenai hakikat Al-Quran, aliran Mu'tazilah
berpendapat bahwa Al-Quran adalah makhluk sehingga itu tidak
kekal. Mereka berargumen bahwa Al-Quran tersusun dari kata-
kata, dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf. Huruf hamzah
misalnya, dalam kalimat al-hamd li Allah, menurut Abd Al-
Jabbar mendahului huruf lam dan huruf lam men- dahului huruf
ha. Demikian pula surat dan ayat ada yang terdahulu dan
terkemudian. Sesuatu yang bersifat terdahulu dan datang
kemudian tidak dapat dikatakan qadim. Ayat-ayat Al-Quran yang
dipergunakan oleh Mu'tazilah sebagai dalil bagi pendapat di atas
adalah ayat 2 surat Al-Anbiya ayat 9 surat Al-Hijr, ayat 1 surat
Hüd,25 dan ayat 23 surat Az- Zumar.
B. Aliran Asy’ariah
Kaum Asy'ariah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan paham Mu'tazilah. Mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy'art,

vii
tidak dapat dimungkari bahwa Tuhan mem punyai sifat karena
perbuatan-perbuatannya. Selain itu, Tuhan mengetahui
menghendaki, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya. Al-Asy'ari lebih jauh
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan
dengan Mu'tazilah). Sifat-sifat itu sepers mempunyal tangan dan
kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis
(berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-
Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik dan tidak
dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya
mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya haqiqah)-tidak terpisah dari esensi-Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.5
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya konsensus
di kalangan kaum Asyariah bahwa daya, pengetahuan, hayat,
kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah
kekal Menurut Al-Ghazali, sifat-sifat ini tidak sama dengan
esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensinya. Uraian-uraian ini
juga membawa paham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya,
kaum Asy'ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukan Tuhan,
melainkan dari Tuhan. Karena sifat-sifat bukan dari Tuhan,
adanya sifat-sifat tidak membawa pada paham banyak kekal6
Paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang
mendorong kaum Asy'ariah memilih penyelesaian di atas "Sifat
mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan "keadaan
mengandung arti berubah. Selanjut nya, sifat mengandung arti

5
CA Qadir, Filsafat dan limu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor, Jakarta, 1991,
hlm 67-68
6
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm. 136

viii
kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena
itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat tetapi hanya
mempunyai keadaan, tidak segaris dengan konsep kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, Untuk mempertahankan kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, Tuhan harus mempunyai sifat-sifat yang
kekal.
Asy'ariah sebagai aliran kalam tradisional yang
memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani apabila sifat jasmani dipandang sama dengan
sifat manusia. Akan tetapi, ayat- ayat Al-Quran meskipun
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak
boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna
harfinya. Oleh karena itu. Tuhan dalam pandangan Asy'ariah
mempunyai mata, wajah, tangan, serta bersemayam di
singgasana. Akan tetapi, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la
yuhadd (tanpa diketahui cara dan batasnya)7
Bertentangan dengan pendapat Mu'tazilah di atas,
aliran Asy'ariah mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
kelak dengan mata kepala. Asy'ari menjelaskan bahwa sesuatu
yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud.
Karena Tuhan mempunyai wujud, la dapat dilihat. Lebih jauh
dikatakan bahwa Tuhan melihat apa yang ada. Dengan demikian,
melihat diri-Nya juga. Apabila Tuhan melihat. diri-Nya, tentu la
dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-
Nya. Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sandaran Asy'ari dalam
menopang pendapat di atas adalah surat Al-Qiyamah ayat 22-23,
surat Al-A'raf ayat 143, dan surat Yunus ayat 26.

7
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990, him. 93-94

ix
Aliran Asy'ariah berpendapat bahwa Al-Quran adalah
kekal tidak diciptakan. Asy'ari berpegang teguh pada pernyataan
bahwa Al-Quran bukan makhluk. Sebab, segala sesuatu tercipta,
setelah Allah berfirman kun (jadilah), segala sesuatu pun terjadi.
Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran dalam paham
mereka bukan yang tersusun dari huruf dan suara, tetapi yang
terdapat di balik yang tersusun dan suara itu. Ayat-ayat Al-Quran
dijadikan dalil oleh Asy'ari untuk menopang pen- dapatnya di
atas adalah surat Ar-Rüm ayat 25,surat Al-A'raf ayat 54, surat
Yasin ayat 82. surat Al-Kahf ayat 109, dan surat Al-Mu'min ayat
16,
C. Aliran Maturidiah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat
ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-
Asy'ari. Seperti halnya Al-Asy'ari, ia berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar, dan sebagainya.
Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Al-Asy'ari. Al-Asy'ari mengartikan sifat Tuhan
sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat
itu. Menurut Al- Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-
Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa terpisah
(innaha lam takun 'ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).
Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada
pengertian antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang
tersendiri dari dzat, sehingga sifat tidak akan membawa pada
berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).

x
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat
Tuhan cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu'tazilah menolak adanya sifat-
sifat Tuhan.
Sementara itu, Maturidiah Bukhara yang
mempertahankan an mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat Persoalan banyak yang kekal mereka
selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan
melalui kekekalan sifat-sifat itu; juga dengan mengatakan bahwa
Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu tidak
kekal.
Aliran Maturidiah Bukhara berbeda dengan Asy'ariah.
Sebagaimana aliran lain, Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa
Tuhan tidak mem- punyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran
yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
harus diberi takwil. Oleh karena itu, menurut Al-Bazdawi, kata
istaway harus dipahami dengan arti al- istila' ala asy-syai'i wa al-
qahr 'alaihi (menguasai sesuatu dan memaksa kannya). Demikian
juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata
dan dua tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.8
Golongan Samarkand dalam hal ini tidak sepaham
dengan Mu'tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan, melainkan tidak lain dari Tuhan.9
Maturidiah Samarkand sependapat dengan Mu'tazilah
dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan

8
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990, him. 94
9
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990, him. 93

xi
bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki
adalah kekuasaan Tuhan.10
Maturidiah Samarkand sejalan dengan Asy'ariah dalam
hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-
Maturidi bahwa melihat Tuhan merupakan hal yang seharusnya
dan benar, tetapi tidak dapat di jelaskan cara melihatnya. Dalam
Al-Quran surat Al-An'am ayat 103 dijadi kan dalil oleh Maturidi
dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala diberi tafsiran dengan mengatakan bahwa
Tuhan dapat dilihat, penafiyan al-idrak (pengungkapan dengan
cara-cara yang jelas) tidak ada artinya. Sebab, apabila selain
Tuhan hanya dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan
nafy al-idrak, menurut Al-Maturidi, menjadi tidak bermakna.
Oleh karena itu, Tuhan dapat dilihat dengan mata.
Demikian pula, Maturidiah Bukhara sependapat
dengan Asy'ariah dan Maturidiah Samarkand bahwa Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala. Al-Bazdawi (421-493) mengatakan
bahwa Tuhan kelak memper lihatkan diri-Nya untuk kita lihat
dengan mata kepala, menurut apa yang la kehendaki
Aliran Maturidiah Bukhara dan Maturidiah Samarkand
berpendapat bahwa Al-Quran itu kekal tidak diciptakan.
Maturidiah Bukhara berpen- dapat sebagaimana dijelaskan oleh
Bazdawi, kalamullah (Al-Quran) adalah sesuatu yang berdiri
dengan Dzat-Nya. Adapun yang tersusun dalam bentuk surat
yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian-bagian,

10
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta, 1986, hlm. 137

xii
bukan kalamullah secara hakikat, melainkan Al-Quran dalam
pengertian kiasan (majaz).
Maturidiah Samarkand mengatakan bahwa Al-Quran
adalah kala- mullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang
berhubungan dengan dzat Tuhan dan qadim. Selanjutnya,
dikatakan bahwa kalamullah tidak tersusun dari huruf dan
kalimat, sebab huruf dan kalimat diciptakan,
D. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi'ah Rafidhah menolak bahwa
Allah senantiasa bersifat tahu. Pendapat ini lebih keras daripada
pendapat Al- Fuwaithi. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu
bersifat baru, tidak gadim. Sebagian besar dari mereka
berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum
kemunculannya.11
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak
bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum la menghendakinya.
Ketika la menghendaki sesuatu, la pun bersifat tahu; jika tidak
menghendaki-Nya, la tidak bersifat tahu. Makna Allah
berkehendak menurut mereka adalah Allah mengeluarkan
gerakan (taharraka harkah). Ketika gerakan itu muncul, ia bersifat
tahu terhadap sesuatu. Ketika tidak ada gerakan, tidak dapat
dikatakan bahwa la bersifat tahu terhadap sesuatu. Mereka
berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak
bersifat tahu terhadap sesuatu sebelum la berkehendak
terhadapnya. Ketika la ber- kehendak agar sesuatu itu ada, la tahu

11
Al-Asy'ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, Buku 2, Terj. Rosihon Anwar
dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 203

xiii
bahwa sesuatu itu ada ketika la berkehendak agar sesuatu itu
tidak ada, la pun tahu bahwa sesuatu itu tidak ada; ketika la tidak
berkehendak agar sesuatu itu ada atau tidak ada, la pun tidak tahu
bahwa sesuatu itu ada atau tidak ada.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa makna Allah
bersifat tahu adalah la berbuat. Ketika ditanya apakah Allah
senantiasa bersifat tahu terhadap diri-Nya, jawaban mereka
beragam. Sebagian menjawab bahwa Allah tidak bersifat tahu
terhadap diri-Nya sebelum menciptakan pengetahuan. Sebab, la
memang ada, tetapi belum berbuat. Sebagian lagi menjawab
bahwa Allah senantiasa tahu terhadap diri-Nya. Jika ditanya
apakah Allah senantiasa berbuat, mereka menjawab, "Ya, tetapi
kami tidak mengatakan bahwa perbuatan-Nya juga qadim."
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa pengetahuan
merupakan sifat dzat Allah dan Allah tahu tentang diri-Nya.
Hanya, la tidak dapat disifati tahu terhadap sesuatu sebelum
sesuatu itu ada. Jika sesuatu tidak ada, tidak dapat dikatakan
bahwa la bersifat tahu. Sebab, tidak mungkin bersifat tahu
terhadap sesuatu yang tidak ada wujudnya. Pendapat ini
diceritakan oleh kelompok As-Sakkakiyyah,
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah
senantiasa menge- tahui dan pengetahuan-Nya itu merupakan
sifat dzat-Nya. Ia tidak dapat disifati bersifat tahu terhadap
sesuatu sebelum sesuatu itu ada, sebagaimana manusia tidak
dapat disifati melihat dan mendengar sesuatu sebelum bertemu
dengan sesuatu itu.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhannya dengan
bada' (perubahan). Mereka beranggapan bahwa Tuhan mengalami
banyak perubahan. Sebagian mengatakan bahwa Allah terkadang

xiv
memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang la
menghendaki melakukan sesuatu pada suatu waktu, lalu
mengurungkannya karena ada perubahan di dalam diri-Nya.
Perubahan ini bukan dalam artian nash, tetapi dalam arti bahwa
pada waktu yang pertama la tidak tahu apa yang akan terjadi pada
waktu yang kedua,

xv
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.
1. Aliran Mu'tazilah: mencoba menyelesaikan persoalan dengan
me- ngatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat
2. Aliran Asy'ariah: membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan paham Mu'tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat
3. Aliran Maturidiah: Maturidiah Bukhara mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat.
4. Aliran Syi'ah Rafidhah: sebagian besar tokoh Syi'ah Rafidhah
menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
meminta kritik yang membangun dari para pembaca

xvi
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa


Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Fikri, Beirut, tt.,

Al-Asy'ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, Buku 2, Terj.


Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 2000,

Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990

CA Qadir, Filsafat dan limu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor,


Jakarta, 1991

xvii

Anda mungkin juga menyukai