Anda di halaman 1dari 14

ISLAM DALAM PARADIGMA KEILMUAN

DALAM BINGKAI WAHDATUL ULUM

 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Wahdatul ulum
yang dibina oleh Bapak Ardiansyah,DR,LC,MA

Disusun oleh:

Kholid Harahap (0206211026)

Sabina Febrian (0206211012)

Suriati (0206211029)

Rizka ramadhani Nasution(0206211019)

PROGRAM STUDI HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATRA UTARA

T.A 2021/2022
Assalamualaikum Wr.Wb

PujisyukurataskehadiratTuhanYangMahaEsa,atasrahmatdanhidayah-Nya

penulis

dapatmenyelesaikanmakalahygberjudul"IdeologiIlmuPengetahuanRabbaniyyah"

dengan

tepatwaktu.

MakalahdisusununtukmemenuhitugasmatakuliahWahdatulUlum.Selainitu,

makalahinibertujuanuntukmenambahwawasanbagiparapembacamaupun

penulis.

PenulismengucapkanterimakasihkepadaBapakArdiansyah,DR.LC.MAselaku

dosen

matakuliahWahdatulUlum.Ucapanterimakasihjugadisampaikankepadaseluruh

pihakyang

telahmembantudiselesaikannyamakalahini.

Penulismenyadarimakalahinimasihbanyakmengalamikekurangan.Olehkarena

itu,sarandankritikygmembangunsangatdiperlukandemikesempurnaanmakalah

ini.

Medan,10November2021

Kelompok5
DAFTARISI

KataPenganta

........................................................................................................................1

Daftarisi

...................................................................................................................................2

Bab1

Pendahuluan..................................................................................................................3

a.LatarBelakang

.......................................................................................................................3

b.Rumusan

Masalah..................................................................................................................3

Bab2Pembahasan……………………………………………………………………………4

A.apaygdimaksuddenganparadigma

B.bagiamanparadigmailmupendidikanIslam

Bab3Penutup………………………………………………………………………………...6

a.Kesimpulan………………………………………………………………………………….6

DaftarPustaka………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia,
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di
akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke
jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman,
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS.
17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada
kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep
Pendidikan.
Berbicara tentang paradigma,  tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam filsafat
ilmu yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah
yang bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan
pertanyaan-pertanyaan utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita
mengetahuinya? Bagaimana membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu
dengan situasi dan kondisi, ruang serta waktu.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan paradigma?
2.      Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works). Ia
adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari
penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah
maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan
data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah
dibuat dalam bangun suatu paradigma.
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat,
paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh
George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh
salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri
tentang paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami
oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought
atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing
tertentu pula. Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang
disebut skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein
melihatnya sebagai cagar bahasa.
Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi;
epistimologi, ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana
cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan.
Ontologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi
memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan.
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan
dengan:
1.      Apa yang harus dipelajari.
2.      Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.
3.      Bagaimana metode untuk menjawabnya.
4.      Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok
dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa
kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman,
serta pilihan-pilihan.

B.     Paradigma Ilmu Pendidikan Islam


Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia.
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat
kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia.[8] Maka di sini
perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini
sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya
pendidikan sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya
hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap
hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan
Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi
pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi
yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia,
sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan
pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua
persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru
membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan,
manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat
universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun,
termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling
tidak berpijak pada tiga alasan:
1.       Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh
norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan
norma dalam Ilmu Pendidikan. Adapun landasan normatif Islam dalam hal pendidikan,
sebagai berikut:
a.       Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah
Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah
Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
b.      Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal
shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang
menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan
bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal
yang terbaik atau amal shaleh).
c.       Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi
baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir
aspek yang buruknya
d.      Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan.
Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan
demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran
mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik
bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[11]
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat
lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat
Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan
untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang
hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi
pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana
Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan
tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang
sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya
grand design tentang ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka
memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi
pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya
terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem
pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya
berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna
kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya
diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan
pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam
–yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah
fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan
pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang
pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq : 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari
Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman
kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash : 81). [12]
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan
tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan
kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis
pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic
Outlook menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua
corak.[13] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup
dan kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan
menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha
mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan
ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih
bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip
pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi
bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah
bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan
kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah
itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak
memilikinya”. Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan
mengadopsi pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi
tersebut mengandung suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu
yang mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka
telah menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan
kontribusi bagi berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang
berkaitan dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum
alam. Di satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam
QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-
ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu
mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis,
melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran
yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan,
yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38;
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan
pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-
aspek praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari
sistem pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya
mendapatkan legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai
justifikasi dan legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini
sebenarnya bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini
berfungsi sebagai penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai
universal selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara
asasiah tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran
progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila
pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu
dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya
ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping
efektif dan efisien, model ini telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam
digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan
membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor
ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu
pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang
kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
1.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini
lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits
menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
2.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti
Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri utama
interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);
3.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti al-
Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama interpretasi
kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
4.      menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim
kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya.
Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya
seislami mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology
Islam.; (2) ia didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan
mengandung nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum
mempunyai metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami
kegagalan, atau paling tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat
semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik
dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud
pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan
mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang
lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan
Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas
objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya
tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak
terlepas dari objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
1.      asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam Al-
Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput
dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik
oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS.
Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan
cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
2.      konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil
pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-
Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan,
manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi
pendidikan, yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam;
dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf
Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para
sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).
3.      teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja
ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari sudut
yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih
melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena
pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia
empiris tentang orang atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun
teori-teori kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan
eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.

BAB III
PENUTUP

A.     kesimpulan
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu
cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah
lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan,
pengalaman, serta pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa
merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam
dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan
1.      Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh
norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan
norma dalam Ilmu Pendidikan.
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat
lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat
Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan
untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang
hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala aspek
kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di
dalam Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk
mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh
kepada aturan, selalu condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam
dijadikan paradigm Ilmu Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan
nilai-nilai Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana


Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan nilai, Bandung: Alfabeta
Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-
jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm
hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi. Mizan: Bandung
Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, 1994. Handbook of qualitative Research, Thousand
OAKS: SAGE publications
Syafiie, Inu Kencana. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya
terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh.1982. Education theory: A Qur’anic Outlock, Mekkah:
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

Anda mungkin juga menyukai