Anda di halaman 1dari 18

PENERAPAN WAHDATUL ‘ULUM DALAM PENDIDIKAN DAN

PENGAJARAN

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Wahdatul ‘Ulum

Dosen Pengampu: Saidatul Fadilah M.Pd

DISUSUN OLEH:

ADELIA GUSFIRA (0501232094)

NURUL AINI HARAHAP (0501233183)

SITI RAHMA MUTIARA (0501232059)

KURNIA FITRI (0501232145)

SUCI INDAH TRIANI (0501233181)

GISTRANT YOGA (0501231076)

YUSUF ADZKA TARIGAN (0501233223)

DEVANI TARIGAN (0501232129)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji dan syukur kami sampaikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan
nikmat, berkah dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Pada
kesempatan kali ini tidak lupa pula kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dosen
Saidatul Fadilah M.Pd selaku dosen mata kuliah Wahdatul ‘Ulum yang telah membimbing
kami sebagai mahasiswanya. Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata
sempurna.

Apabila dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya, karena keterbatasan ilmu dan pemahaman kami yang belum
seberapa. Karena itu kami sangat menantikan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun, guna menyempurnakan tugas ini. Semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi
pembaca. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, 7 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan penelitian.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3

A. Hubungan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran.............................3


B. Penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran.............................7
C. Tujuan Penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran.................8

BAB III PENUTUPAN......................................................................................................11

A. Kesimpulan..............................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................12

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam membangun suatu peradaban
dalam sebuah bangsa dan negara. Sehingga diperlukan usaha pendidikan yang terencana
untuk mewujudkan peradaban yang maju. Usaha pendidikan terencana yang dimaksud,
harus memiliki konsep yang komprehensif meliputi segala aspek realitas manusia dalam
kehidupan untuk menuju cita-cita dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan
usaha untuk membentuk generasi muda Indonesia menjadi warga negara yang baik
sehingga kelak mampu menjalankan perannya.

Tantangan pendidikan saat ini bukan hanya terjadi pada pengajar ataupun tenaga
pendidik saja, akan tetapi juga banyak generasi muda telah kehilangan arah dari nilai-nilai
agama yang bersumber dari Al-Qur’an. Adanya kecanggihan teknologi, westernisasi, dan
globalisasi memberikan dampak positif dan negatif bagi setiap generasi muda Indonesia.
Namun, tidak setiap generasi muda menyikapi dampak negatif dengan baik. Terjadinya
penurunan kualitas moral bangsa merupakan salah satu dampak dari kecanggihan
teknologi, westernisasi, dan globalisasi. Seperti yang terjadi dikalangan remaja dengan
maraknya kenakalan remaja seperti penyalahgunaan narkotika, sex bebas, klitih bahkan
tawuran. Sehingga dengan contoh kasus yang terjadi dikalangan pelajar tersebut,
menandakan bahwa konsep pendidikan dan pengejaran yang diinginkan belum
sepenuhnya berhasil untuk membentuk karakter generasi muda yang ideal.

Dengan penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam pembelajaran dan pengajaran dapat


membantu kita untuk mengatasi generasi-generasi muda untuk tidak hanya pintar dan
cerdas saja tetapi juga ber akhlakul karimah. Dan percaya bahwa Al-Qur’am adalah
sumber Ilmu Pengetahuan, Seperti yang tertera pada ayat dibawah ini.

ُ‫ِكَتابَأْنَز ْلَناه‬ ‫و‬ ٌ‫َتِكَتاب‬ ‫ر ُم‬ ٌ ‫و‬ ِ‫اِته‬ ‫ب ْْلَل‬


ٌ‫ِإَلْيكَ ُمَباَر ك‬ ‫َِل‬ ُ‫َأْنَز ْلَناه‬ ‫َب‬ َ ‫ِلَيَّد‬ ‫ْا‬ ‫َذَّك‬
َ‫َو ِلَيَت ر‬ ‫َب‬
ِ‫ِلَيَّد َّبُروا آَياِته‬ ‫َي‬ َ‫ِإَلْيك‬ ‫ك ا‬ ‫َّبُر‬ ‫آَي‬ ‫ُأوُلِو ا‬ ‫ا‬
Artinya: “ Ini adalah sebuah kitab yang kami turunnkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan aya-ayatnya dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (Q.S Shad [38]: 29).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan wahdatul ‘ulum dengan pendidikan dan pengajaran?
2. Bagaimana penerapan wahdatul’ ulum dalam pendidikan dan pengajaran?
3. Untuk apa wahdatul ‘ulum diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan wahdatul ‘ulum dengan pendidikan dan pengajaran.
2. Untuk mengetahui cara menerapkan wahdatul ‘ulum dalam pendidikan dan
pengajaran.
3. Untuk mengetahui alasan wahdatul ‘ulum diterapkan dalam pendidikan
dan pengajaran.

2
A. Hubungan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran

Seperti apa yang ditulis oleh Syahrin Harahap, Kurikulum dan pembelajaran
merupakan dua entitas yang tidak berdiri sendiri. Kurikulum dan pembelajaran memiliki
keterkaitan yang erat. Kurikulum berhubungan dengan apa yang harus dipelajari, sedangkan
pembelajaran berhubungan dengan cara mempelajarinya. Dengan merujuk John Arul Phillips,
Syahrin Harahap menegaskan meskipun kurikulum dan pengajaran merupakan dua entitas
yang berbeda namun saling tergantung dan tidak dapat berfungsi dalam isolasi. Dengan
demikian dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan transdisipliner terdapat
penyesuaian antara tipe pengetahuan yang dipelajari dengan strategi pembelajaran yang
diterapkan.

Tentu tidak dapat dilupakan dalam pembelajaran di perguruan tinggi, pusat


pembelajaran adalah mahasiswa. Dengan demikian, pembelajaran yang diterapkan dosen
haruslah aktif di mana peserta didik diberi peran yang besar dalam proses pene- muan
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian. Bagi Syahrin Harahap, pendekatan transdisipliner
menekankan bahwa kepentingan yang paling utama dalam pembelajaran adalah kepentingan
umat manusia, bukan kepentingan disiplin ilmu. Disiplin ilmu tidak boleh menjadi pembatas
kotak cara berfikir, bersikap, dan bertindak seseorang. Disiplin ilmu yang diajarkan harus
bersifat terbuka dan kebenaran yang diajarkan selalu berkembang.

Pernyataan ini hemat penulis sangat penting untuk menegaskan orientasi


pembelajaran. Tanpa disadari ada banyak pergeseran yang terjadi dalam proses pendidikan
social, budaya dan politik. Penulis ingin memberi contoh dalam hokum misalnya,
sebagaimana kritik yang dilontarkan Satjipto Rahardjo sebagai tokoh hokum progresif
menyatakan bahwa hokum telah bergeser dari hokum untuk kepentingan manusia menjadi
hokum demik hokum itu sendiri. Pembelajaran tentu bukan ilmu untuk ilmu melainkan
bagaimana proses pembelajaran itu memberi nilai tambah dan dapat mentransformasikan
manusia untuk mewujudkan tujuan pembelajaran itu sendiri.

Disebutkan di dalam buku Wahdatul Ulum bahwa pembelajaran dengan pendekatan


transdisipliner yang dikembangkan di UINSU Medan mengalami perubahan paradigma:
a. Perubahan orientasi pembelajaran yang semula berpu- sat pada pendidik (teacher
centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered).

3
b. Perubahan metodologi yang semula lebih didominasi expository berganti ke
participatory.
c. Perubahan pendekatan, yang semula lebih banyak ber- sifat tekstual berubah menjadi
lebih kontekstual.

Persoalan sebenarnya adalah bagaimana penerapan Wahdatul Ulum Integrasi


Transdispliner dalam kegiatan pembe- lajaran. Kita tentu setuju bahwa Wahdatul ‘Ulum
harus jadi spirit bagi semua mata kuliah yang diajarkan di UINSU Medan. Makna Wahdatul
‘Ulum di sini tentu dalam pengertian filosofis. Hal pertama yang harus diyakini oleh para
dosen, tidak ada satupun ilmu yang terlepas dari Allah SWT. Allah SWT Sebagai sumber
ilmu baik untuk ilmu- ilmu religious atau Islamic Studies dalam istilah WU ataupun ilmu-
ilmu pengetahuan Islam atau apa yang disebut ilmu umum, maka semuanya harus terhubung
kepada Allah SWT.

Masalahnya adalah bagaimana proses menghubungkan ilmu tersebut. Inilah tugas


yang paling berat dan suka tidak suka mau tidak mau harus dipikul oleh dosen dan
mahasiswa. Sampai di sini, dosen tidak boleh mengisolasi diri dari ilmu – ilmu lain.
Pengajaran berbasis WU mensyaratkan dosen harus tahu semua ilmu walaupun tak
mendalaminya. Paling tidak karena tidak satu ilmu terhubung dengan semua ilmu, ia harus
tahu ilmunya berhubungan dengan ilmu yang mana.

Seorang pengajar ekonomi mikro ketika mengajarkan teori - teori konsumsi dari
Barat, maka ia harus masuk pada persoalan psikologi prilaku, motivasi seseorang dalam
melakukan sesuatu. Ia juga harus masuk pada tuntutan Al-Qur'an tentang konsumsi dan
bagaimana agama melihat aktivitass konsumsi itu. Sampai pada akhirnya ia setelah
melakukan integrasi- transdispliner- merumuskan model baru, pendekatan baru jika tidak
mungkin menghasilkan teori baru. Bagi pengajar di FKM, kesehatan lingkungan, keselamatan
dan kesehatan kerja sangat bertaut dengan perilaku seseorang. Tentu ia harus menjelaskan
bagaimana urgensi kesehatan dalam perspektif ilmu Kesehatan masyarakat, namun ia juga
mampu menjelaskan sudut pandang Al-Qur'an yang sejak awal bahkan ayat yang paling awal
sekali, sangat mementingkan kebersihan. Tentu yang diinginkan bukan sebata menjelaskan
di dalam Al-

4
Qur'an ada ajaran tentang kesehatan tetapi lebih dari itu ia mampu merumuskan model
kesehatan Al-Qur'an dan akhirnya menjadi penciri FKM di UINSU 1.

Demikian juga dalam ilmu dakwah misalnya, di mana saat ini ilmu dakwah tidak bisa
bertahan di dalam rumahnya tanpa memasuki dan berinteraksi dengan ilmu yang terkait.
Katakanlah dengan ilmu komunikasi dan ilmu psikologi massa untuk sekedar menyebut
contoh. Ketika dakwah bersentuhan dengan tekhnologi informasi, digitalisasi, maka dakwah
tidak bisa melepaskan diri dari komunikasi digital. Dalam bidang hokum Islam misalnya,
para dosen harus mampu menjelaskan bahwa peristiwa hokum bukanlah berdiri sendiri. Ada
banyak factor yang mengitarinya. Oleh karena itu pengajar hokum Islam harus melihat
berbagai factor. Perceraian bukan hanya persoalan kekerasan dalam rumah tangga, peroblema
ekonomi namun harus ini sudah terkait dengan masalah kebosanan. Dan ini adalah masalah
psikologi. Demikian juga dengan persoalan jinayah, masalah kesaksian sebagai contoh. Hari
ini ada pergeseran saksi personal menjadi saksi tekhnologi atau digital. Perkawinan bukan
sebatas aqad antara laki-laki dan perempuan namun terkait juga dengan HAM dan
perlindungan hak-hak anak.

Tentu semua bidang ilmu hari ini tidak bisa sendiri dalam menghadapi persoalan di
masyarakat yang semakin komplek. Dalam bidang sains dan tekhnologi akan sangat terasa
sekali. Demikian juga dalam pendidikan dan keguruan bahkan ilmu- ilmu dan dasar seperti
ilmu-ilmu Ushuluddin juga harus berinteraksi terkoneksi dengan ilmu lainnya.

Harus disadari bahwa upaya menghubungkan antara satu ilmu dengan ilmu lain
adalah langkah awal dalam proses inte- grasi-transdisipliner. Namun harus dihindari
walaupun amat sangat menggoda, para dosen terjebak pada ayatisasi atau sain- tisasi.
Kemudian menjadi tidak tehindarkan apa yang disebut klaim superioritas. Dosen amat
tergoda untuk mengatakan, "ternyata Al-Qur'an lebih dahulu membahas masalah ini" atau
dengan mengatakan, "Dalam Al- Qur'an sudah ada isu-isu ini" dan sebagainya.

Bagi penulis, untuk menghindari ayatisasi atau saintisasi, gagasan Kuntowijoyo perlu
dipertimbangkan yaitu "Pengilmuan Islam". Namun hal ini perlu kerja keras. Sebagaimana
yang telah disebut di muka ketika membahas tentang respon cendikiawan muslim, membawa

1
Dr. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag dan Dr. Muhammad Yafiz, M. Ag, Diskursus Integrasi Ilmu,( Medan: FEBI
UINSU PRESS,2022), hlm,73
5
teks kepada konteks ketimbang konteks ke teks akan jauh lebih produktif bagi
pengembangan. ilmu di masa depan. Satu hal yang perlu diingat oleh para pengajar adalah
Hadis-hadis Nabi Muhammad adalah sumber ilmu pengetahuan dan sekaligus juga sebagai
dalil yang dapat diobjektifikasi.
Penulis perlu mengingatkan kita semua, bahwa proses integrasi ini sebagai upaya
yang tidak boleh berhenti harus dilakukan juga oleh mahasiswa. Oleh karena itu, tugas-tugas
kuliah dan diskusi-diskusi kelas harus diarahkan untuk melaku kan integrasi. Untuk bisa
memasuki wilayah integrasi ini maka mahasiswa sejak jauh-jauh hari harus mau dan berani
membuka dirinya terhadap bidang ilmu-ilmu lain. Mahasiswa tidak boleh berkutat pada
ilmunya sendiri dan menutup diri dengan ilmu orang lain. Tentu saja yang dimaksud adalah
ilmu-ilmu luar bidang keahlian namun memiliki hubungan dengann ilmunya.

Ada empat pilar pendidikan holistik sebagai acuan pembelajaran yang ditetapkan
UNESCO, yaitu: learning to know, to do, to be, to life together. Di Indonesia, ditambah satu
pilar lagi berdasar Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yaitu Learning to believe and to
convince the almighty God (Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa). Pilar kelima ini, menurut Permendiknas tersebut, sejalan dengan Penjelasan
Undangundang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 37 ayat 1: “Pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.” Lima pilar pendidikan ini sejalan
dengan paradigma Wahdatul Ulum, dengan catatan masih perlu dielaborasi lebih rinci.
Penjelasan pilar pembelajaran ini dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran dan tingkat
pencapaian intelektual adalah sebagai berikut:

1. Learning to know; Pada pilar ini terkandung makna bagaimana belajar ilmu.
Dalam hal ini ada tiga aspek yang perlu diperhatikan: apa yang dipelajari,
bagaimana caranya dan siapa yang belajar.

2. Learning to do; Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu seseorang
mampu mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah. Jadi dalam hal ini
menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang berhubungan dengan dunia
kerja.
3. Learning to be; Belajar ini menekankan pada pengembangan potensi insani
secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal jati diri,

6
memahami kemampuan dan kelemahannya dengan kompetensi-kompetensinya
akan membangun pribadi secara utuh.
4. Learning to live together; Belajar ini menekankan agar peserta didik mampu
hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan
mampu.
Untuk mencapai Wahdatul ‘Ulûm maka dalam kegiatan pembelajaran dan pengajaran
perlu diperhatikan/dilakukan hal-hal berikut:

1. Memaksimalkan kemampuan tenaga pengajar dalam menguasai ilmu


pengetahuan dibidangnya, baik penguasaan materi keilmuan maupun metode
mengajar, penelitian, dan eksperimen.

2. Perkuliahan diutamakan menggunakan teknik dialogis, diskusi, dan


eksperimen- eksperimen dalam bidang yang bersangkutan.

3. Perkuliahan dilaksanakan tepat waktu dan memanfaatkannya secara penuh.

4. Perkuliahan dan diskusi di kelas harus dinuasai oleh penguasaan korelasi ilmu
yang dipelajari dengan ilmuilmu pada bidang yang lain.

5. Perkuliaahan diupayakan secara maksimal memperkuat kemampuan mahasiswa


pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain penguasaan ilmu,
perkuliahan juga diarahkan untuk menumbuhkan minat dan kemampuan
mahasiswa dalam melakukan konkritisasi ilmu tersebut bagi pengembangan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia.

6. Perkuliahan diusahakan untuk dapat menginternalisasi nilai-nilai ilmu tersebut


dalam peningkatan kualitas integritas dan akhlak mahasiswa.

Dengan proses pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas, maka ujian akhir atau
ujian komprehensif akan mengevaluasi/menguji kemampuan dan penguasaan mahasiswa pada
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang mencakup:

1. Paradigma Wahdatul ‘Ulûm.

2. Kemampuan menguasai ilmu dalam bidangnya.

3. Kemampuan dalam melaksanakan pendekatan transdisipliner.

7
4. Ujian komprehensif diharapkan dapat menggali minat, komitmen, dan
kemampuan mahasiswa dalam melakukan konkritisasi ilmunya bagi
kesejahteraan umat manusia dan pembangunan peradaban.

5. Ujian komprehensif juga diharapkan dapat menggali penghayatan


mahasiswa terhadap manfaat ilmu yang dipelajarinya bagi penguatan integritas
dan moral.2

B. Tujuan Penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran

Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu adalah hakekat ilmu yang hakiki, atau ilmu, bersama
dengan ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Kesatuan ilmu ini meliputi semua ilmu, mulai dari
ilmu spiritual, agama, etika, ilmu sosial, budaya, dan humaniora hingga ilmu terapan, serta
ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Tujuan Wahdatul 'Ulum adalah untuk menciptakan sistem
pengetahuan yang komprehensif. penjelasan Parluhutan itu dalam ilmu.

Etika dimasukkan ke dalam biologi, pemahaman spiritual dimasukkan ke dalam


pengetahuan alam fisik, dan seterusnya. Sekalipun ada perbedaan dalam pengetahuan, itu
bukanlah keterpisahan dalam pengertian tradisional; sebaliknya, itu adalah keragaman. Fokus
khusus pada bagian atau objek tertentu mengarah pada diferensiasi. Tanpa terikat oleh filsafat
ilmiah Barat, diperlukan filsafat yang berbeda untuk memperoleh pengetahuan holistik.
Filsafat Wahdatul 'Ulum lebih menekankan penyatuan berbeda dengan pendekatan
reduksionis yang ditekankan dalam filsafat ilmu.

Wahdatul 'Ulum menurut beberapa definisi di atas adalah ilmu yang sesungguhnya
berasal dari Allah SWT dimana manusia diberi kesempatan untuk mengharapkan cinta-Nya,
dan ini memang bagian dari takwa kepada Allah SWT. Secara etimologi, ilmu berarti
mengetahui,kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘alima, ya’lamu,ilman yang berarti tahu atau
mengetahui. Sebagaimana ulama’ yang lain, Imam al-Ghazali mendefinisikan ilmu sebagai
berikut: Al-ilmu huwa ma’rifatul al-syai’ ala mahuwa bihi. Artinya “ilmu adalah mengetahui
sesuatusesuai dengan sesuatu itu sendiri” (Al-Ghazali, 2017).

Menurut definisi ini, pengetahuan adalah informasi yang dimiliki subjek dan
diperoleh secara langsung atau melalui perantara utusan dan hamba Allah dari Dzat Yang
Maha Tahu

8
2
Syahrin harahap dkk, Paradigma Integrasi Keilmuan dan Karakter Lulusan Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara Medan, (medan: perdana publishing, 2018)

9
(Allah). Pengetahuan subjek tentang akurasi suatu objek tergantung pada seberapa canggih
dan bersih mata yang cermat, serta jumlah cahaya yang menyingkap objek tersebut.
Pengetahuan subjek yang akurat tentang objek semakin jelas semakin bersih dan canggih
mata subjek dan semakin kuat iluminasi cahaya.

Pengetahuan ini mengandung kebenaran korespondensi karena ada kecocokan antara


pengetahuan subjek dengan pengetahuan objek tentang kondisi objektif. Mengetahui item
yang diketahui dapat dilakukan secara akurat dengan dua cara. Pertama, dari cara subjek
objek melihatnya. Hasil akurasi juga berbeda karena manusia mengamati objek dengan cara
dan kemampuan yang berbeda. Semakin baik alat yang digunakan dan semakin baik alat yang
digunakan untuk mengamati objek maka semakin tepat pula pengetahuan yang diperoleh.

Ungkapan "informasi yang diperoleh melalui akal" (maustufida minal - 'aql)


menyinggung jenis informasi ini. Kedua, dengan memperoleh informasi baik secara langsung
dari Tuhan Yang Maha Mengetahui maupun melalui perantara para hamba dan utusan Tuhan.
Ketepatan suatu objek tidak hanya bergantung pada jumlah cahaya yang menyingkapnya,
tetapi juga pada seberapa canggih dan jernih mata yang cermat. Semakin jelas objeknya,
semakin kuat iluminasi cahayanya, dan semakin bersih dan canggih mata subjeknya, semakin
besar pengetahuan subjeknya. Ilmu semacam ini disebut Ilmu Laduni atau Mukasyafah.

Sumber Pengetahuan Tuhan adalah sumber dari segala pengetahuan. Lalu, apa artinya
memiliki pengetahuan yang lengkap tentang Tuhan? Pengetahuan Tuhan yang sempurna
mencakup segala sesuatu, termasuk masa lalu, masa depan, dan segala sesuatu di antaranya.
Demikian pula, pengetahuan Tuhan mencakup yang terlihat dan tidak terlihat. Kalm Allah
(wahyu-Nya) mengungkapkan sebagian ilmu Allah kepada manusia, sedangkan Khalq Allh
(makhluk-Nya) membuat yang lain terlihat. Kalam Allh yang diturunkan kepada Nabi/Rasul
dicatat dalam Kitab Suci atau Mushaf (dalam hal ini Al-Qur'an memuat semua wahyu yang
diterima Nabi Muhammad), sedangkan ilmu Allah lainnya ditampilkan dalam Khalq Allah.
Sedangkan ayat-ayat kawniyah alam semesta dapat diteliti untuk memperluas pengetahuan,
sedangkan ayat-ayat qawliyah dapat dipelajari dan diterjemahkan menjadi ilmu. Dalam hal
menciptakan dan memperluas pengetahuan, kedua media pengetahuan ini memainkan peran
yang sama. Penting untuk dicatat bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan dengan
salah satu dari dua cara: Memperoleh informasi baru dengan mempelajari Firman-Nya dan
Wujud- Nya; dan, kedua, perolehan pengetahuan melalui anugerah langsung dari Tuhan.
Al-Qur'an
10
memberikan banyak penjelasan untuk jalan pertama; seperti ajakan berpikir dan perintah
“Iqrabi ismi rabbika". Apala tatafakarûn dan apal'ya'qilûn? Menurut Al-Qur'an, sebagian
manusia menerima ilmu dari Allah sambil mengikuti jalan kedua menuju penemuan ilmu. ûtu
al- 'ilm atau " jaaka minal-ilm” (orang-orang yang diberi ilmu) adalah nama-nama yang
diberikan kepada orang-orang yang menerima ilmu dari Allah.

Allah adalah satu-satunya sumber pengetahuan; wahyu (termasuk ilham) dan


makhluk- makhluk-Nya adalah dua saluran yang melaluinya Allah memberikan ilmu. Dari
satu perspektif, media ini juga dapat dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam arti
non- esensial karena berasal dari Allah, Sumber Ilmu tertinggi. Di sisi lain, Al-Qur'an dan
makhluk- makhluk Allah juga merupakan objek kajian untuk menelaah ilmu. Sekali lagi,
Kalm Allh dan Khalq Allah adalah sarana Tuhan berbagi ilmu dengan manusia. Ilmu Allah
yang diwahyukan- Nya melalui wahyu (Kitab-kitab Allah) disebut Kalm Allah. Khalq Allah,
di sisi lain, adalah manifestasi nyata dari pengetahuan Allah dalam bentuk alam semesta
(termasuk Alquran). Menurut umat Islam, wahyu Allah berupa Al-Qur’an berfungsi sebagai
informasi berupa ayat- ayat qawliyah yang bersifat eksplisit, sedangkan alam semesta
berfungsi sebagai wujud berwujud berupa ayat-ayat kawniyah yang dapat diteliti untuk
memperluas pengetahuan. . dan dapat dipelajari dan diubah menjadi informasi. Hasilnya,
wahyu mengungkapkan apa yang telah Dia ciptakan dan rencanakan secara langsung. Kedua
sumber informasi tersebut memberikan kontribusi yang sama pada penciptaan pengetahuan
illahi.

11
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dengan demikian dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan


transdisipliner terdapat penyesuaian antara tipe pengetahuan yang dipelajari dengan
strategi pembelajaran yang diterapkan. Pembelajaran yang diterapkan dosen haruslah
aktif di mana peserta didik diberi peran yang besar dalam proses penemuan pengetahuan,
pengalaman, dan keahlian. Disebutkan di dalam buku Wahdatul Ulum bahwa
pembelajaran dengan pendekatan transdisipliner yang dikembangkan di UINSU Medan
mengalami perubahan paradigma: Perubahan orientasi pembelajaran yang semula
berpusat pada pendidik (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student
centered).Allah SWT Sebagai sumber ilmu baik untuk ilmu- ilmu religious atau Islamic
Studies dalam istilah Wahdatul ‘Ulum ataupun ilmu-ilmu pengetahuan Islam atau apa
yang disebut ilmu umum, maka semuanya harus terhubung kepada Allah SWT.

Di Indonesia, pilar pendidikan menjadi lima, yaitu learning to know, to do, to be,life
together, dan learning to believe and to convince the almighty God. Pilar kelima ini,
menurut Permendiknas tersebut, sejalan dengan Penjelasan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 37 ayat 1: “Pendidikan agama dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.”
Penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan pengajaran Untuk mencapai Wahdatul
‘Ulûm maka dalam kegiatan pembelajaran dan pengajaran perlu diperhatikan/dilakukan
hal-hal berikut; Perkuliahan dan diskusi di kelas harus dinuansai oleh penguasaan korelasi
ilmu yang dipelajari dengan ilmu ilmu pada bidang yang lain. Selain penguasaan ilmu,
perkuliahan juga diarahkan untuk menumbuhkan minat dan kemampuan mahasiswa
dalam melakukan konkritisasi ilmu tersebut bagi pengembangan peradaban dan
kesejahteraan umat manusia.

Tujuan Penerapan Wahdatul ‘Ulum dalam Pendidikan dan Pengajaran Menurut Imam
Al-Ghazali, ilmu adalah hakekat ilmu yang hakiki, atau ilmu, bersama dengan ilmu

12
agama

13
dan ilmu pengetahuan.Kesatuan ilmu ini meliputi semua ilmu, mulai dari ilmu spiritual,
agama, etika, ilmu sosial, budaya, dan humaniora hingga ilmu terapan, serta ilmu agama
dan ilmu pengetahuan.

B. Saran
Semoga kedepannya penerapan Wahdatul ‘Ulum dapat diterapakan dengan benar
pada mahasiswa yang akan menjadi generasi-generasi muda Indonesia, yang tidsk hanya
berilmu tetapi juga beragama dan memiliki pedoman yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag dan Dr. Muhammad Yafiz, M. Ag: Diskursus
Integrasi Ilmu,( Medan: FEBI UINSU PRESS,2022).
Dr. Rusyadi Ananda, M.pd dan Dr. A. Zebar, M.hum: Pendidikan Karakter
Implementasi Wahdaul Ulum dalam Pembelajaran,(Medan: CV. Pusdrika Mitra Jaya,
2021).
Q.S Shad [38]: 29.

15

Anda mungkin juga menyukai