Anda di halaman 1dari 10

Problema Dikotomi Keilmuan

dan Reintegrasi Wahdatul Ulum


Oleh kelompok 2

Cindy Monika 0801212340


Dayu Furahman 0801213423
Diva Aulia Nathasya 0801213109
Ulfa Khairunnisa 0801211005

Dosen Pengampu : Heri Saputra, Mthi

2021/2002
1. Problematika dikotomi ilmu
A. Pengertian dikotomi
Secara etimologi, istilah dikotomi berasal bahasa Inggris dichotomy yang berarti pembagian
dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dikotomi diartikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara
umum, istilah dikotomi ini digunakan untuk membedakan atau memilah dua hal yang berbeda.
Adapun secara istilah atau terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu (umum)
dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik lainnya. Dikotomi adalah
pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain di mana
yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.
Dikotomi merupakan istilah yang digunakan untuk memisahkan antara karakter ilmu agama dan
umum yang seakan digunakan secara terpisah. Dan, hal ini tidak lepas dari latar belakang historis-
kultural, di mana dalam proses perkembangannya ada pemisahan yang demarkatis antara kedua
domain tersebut.
Dalam proses kesejarahan, misalnya, dikotomi tersebut diawali dengan
perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian
dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam
serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh
dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam. Islam yang
pada awalnya universal, mengakomodir semua permasalahan dan aspek
kehidupan, menemukan titik pembelahan ketika ada pertemuan dengan ilmu-
ilmu filsafat yang notabene berasal dari non -Islam.
Dalam konteks pendidikan Islam, dikotomi lebih dipahami sebagai
dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan
umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Sistem
pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya
peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang ka>ffah dan
universal.
Sejarah dikotomi ilmu Pengetahuan
Sebagaimana telah disinggung bahwa dikotomi pengetahuan merupakan proses sejarah
yang membudaya dalam kehidupan ummat Islam. Di sini, dikotomi lahir dari konteks ruang waktu
dan jalin kelindang kehidupan umat Islam dalam kurun waktu tertentu. Ideologi, politik, sosial, dan
budaya dalam hal ini menjadi faktor yang memengaruhi munculnya dikotomi ini.
Dalam perkembangannya, dikotomi keilmuan ini akan berimplikasi terhadap model pemikiran. Di
satu pihak, ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari
nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain, ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang
terpisah dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara normatif, Islam sangat menghargai tentang penguasaan ilmu pengetahuan.
Sehingga, ilmu dalam Islam dipandang secara utuh dan universal, tidak ada istilah pemisahan
atau dikotomi. Al-Qur’an juga menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan
meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmu ditinggikan derajatnya di sisi Allah,
bahkan tidak sama orang yang mengetahui dan dengan orang yang tidak mengetahui. Hal ini
sebagaimana firman Allah swt. yang artinya:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. al-Mujadalah
[58]: 11)
Proses dikotomi di indonesia

Proses pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari proses masuknya
Islam di Indonesia. Meskipun ada beberapa versi tentang kapan masuknya Islam di
Indonesia, namun dapat dipahami bahwa masuknya Islam tidak bisa lepas dari para
penyebar Islam dan perdagangan. Sehingga, akulturasi budaya dan agama menjadi
berjalin kelindan di antara keduanya. Dan, pendidikan Islam dalam konteks ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat yang ada pada saat itu.
Pesantren dalam hal ini merupakan manifestasi pendidikan Islam awal di Indonesia.
Keberadaan pesantren sejalan dengan dinamika pendidikan Islam di Nusantara.
Mengenai awal kemunculan pesantren ini, ada beberapa pandangan. Abdurrahman
Mas’ud, misalnya, memandang bahwa keberadaan pesantren tidak lepas dari peran
Walisongo, figur penyebar agama Islam di Jawa.
Dikotomi ini kemudian melahirkan pola
stratifikasi pendidikan, di mana pendidikan
Islam lebih diposisikan pada level yang lebih
rendah. Hal ini berakibat pada lemahnya
posisi tawar pendidikan Islam. Sehingga,
persepsi terhadap pendidikan Islam menjadi
semakin buruk.
Reintegrasi Wahdatul Ulum
Bangunan ilmu pengetehuan yang Dikotomik antara ilmu pengetahuan umum
dan ilmu pengetehuan agama harus di ubah menjadi bangunanan keilmuan baru,
menjadi kesatuan ilmu (Wahdatul Ulum) paling tidak bersifat komplementer.
Dari sini tergambar Reintegrasi Epistimologi Keilmuan mutlak diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga
di era globalisasi ini agar tanggung jawab kemanusiaan dalam mengelola sumber
daya alam dan sumber daya manusia indonesia menjadi berkualitas dan sebagai
sebagai Kholifatullah fi al-Ard.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia
dengan tuhan, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global.
Seperangkat aaturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang
disebut syariat. Kitab suci Al Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak,
kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran. Namun, agama tidak pernah
menjadikan wahyu sebagai satu-satunya sumber pengetehuan. Menurut pandangan ini,
sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan
pengetahuan yang berasal dari manusia.
Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah.
Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.
Maka objektifitas ilmu adalah ilmu dari orang yang beriman untuk seluruh manusia, tidak
hanya orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja. Contoh
objektivikasi ilmu antara lain: Optik dan aljabar (tanpa harus dikaitkan dengan budaya islam
era Al Haitami, Al Khawarizmi), maekanika dan astropisika (tanpa dikaitkan budaya Yudeo-
kristiani).
Wahdatul ulum sebagai paradigma keilmuan baru yang menyatukan bukan hanya sekedar
menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia, itu tidak akan berakibat
mengecilkan peran Tuhan atau mengucilkan manusia
Kesimpulan
Wahdatul ‘Ulum adalah kesatuan ilmu-ilmu yang mempunyai landasan
prinsip-prinsip diantaranya: Ilmu itu harus menjadikan pengembangnya semakin
dekat dengan Tuhan, Menjadikan wahyu sebagai pintu masuk pertama.Ilmu-ilmu
agama  harus menerima ilmu pengetahuan nonagama yang terkait, Ilmu- ilmu
modern harus menerima prinsip- prinsip tauhid.
Ilmu yang tidak di integrasikan akan mempunyai dampak yang kurang baik,
karena ilmu dipandang sebagai kekuatan atau
kekuasaan. Sedangkan Untuk  yang di integrasikan ilmu di pandang sebagai
tanggung jawab.
Wahdatul ulum sebagai paradigma keilmuan baru yang menyatukan bukan hanya
sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia, itu tidak
akan berakibat mengecilkan peran Tuhan atau mengucilkan manusia.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai