Irfani
Jurnal Pendidikan Islam
Pengarah
Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo
(Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag)
Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo
(Dr. Lukman Arsyad, M. Pd)
Redaktur
Momy A. Hunowu, S. Ag., M. Si
Penyunting
Drs. Hi. Muh. Arif, M.Ag
Jhems Richard Hasan, M.Hum
Redaktur Pelaksana
Burhanuddin AK Mantau, S. Ag., M. Pd. I
Hj. Yanti Manoppo, S. Ag., M. Pd. I
Sekretaris
Dra. Hj. Nurtin Tuli
Drs. Abdurrahman Mala, M. Pd.
Arten Mobonggi, S. Ag. M.Pd.
Redaktur
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Dalam melaksanakan pendidikan, perlu diperhatikan adanya
faktor-faktor determinan pendidikan yang ikut menentukan keberha-
silan pendidikan tersebut. Dengan kata lain bahwa faktor-faktor deter-
minan pendidikan adalah sesuatu yang menentukan berlangsungnya
proses dan hasil pendidikan, baik di rumah tangga, sekolah, maupun
masyarakat.
Faktor-faktor determinan pendidikan itu menurut Toto Suharto
terdiri dari lima macam, antara satu dengan yang lainnya mempunyai
hubungan yang erat, yaitu: peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan,
alat-alat pendidikan, millieu/lingkungan.1
Dari kelima faktor determinan pendidikan di atas, terdapat dua
faktor dominan pendidikan atau yang mendominasi pendidikan yaitu
peserta didik dan pendidik, sedangkan yang lainnya bukan merupakan
faktor dominan karena pendidik dan peserta didik adalah yang
“mengatur” proses pendidikan sedangkan yang lainnya adalah “di-
atur”.
Toto Suharto dengan memodifikasi konsepsi Noeng Muhadjir,
mengungkapkan secara filosofis komponen-komponen pokok pendidi-
1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2006), h. 110. Dalam tulisan lainnya disebutkan; faktor-faktor determinan dalam
pendidikan Islam terdiri dari tujuan, kurikulum, pendidik, peserta didik, metode, dan
evaluasi, Lihat As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, (Cet. I;
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 85-107.
kan Islam ke dalam lima komponen, yaitu tujuan, pendidik dan peserta
didik, kurikulum, metode, dan konteks pendidikan.2
Faktor-faktor determinan yang disebutkan di atas, menjadi pe-
nentu keberhasilan pendidikan di rumah tangga, sekolah dan masyara-
kat. Dalam pendidikan Islam, maka hal yang paling diharapkan untuk
dapat diperoleh yaitu sebuah proses pendidikan yang berkualitas yang
mampu memenuhi semua faktor-faktor determinan agar peserta didik
dapat mencapai keberhasilan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan pokok
yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Bagaimana faktor-faktor
determinan dalam pendidikan Islam? Dari pokok permasalahan ter-
sebut kemudian dirumuskan sub permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peserta didik dalam pendidikan Islam?
2. Bagaimana pendidik dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana alat dalam pendidikan Islam?
4. Bagaimana tujuan dalam pendidikan Islam?
5. Bagaimana lingkungan dalam pendidikan Islam?
B. PEMBAHASAN
2
Ibid., h. 111.
3
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. IV;
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 99.
4
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 111.
5
Ibid., h. 112
6
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 97.
7
Manusia terdiri dua anasir yang saling berkaitan. Pengembangan daya
jasmani yang terpenuhi dalam transfer of knowledge harus disempurnakan dengan
transfer of value. Tanpa itu pendidikan hanya akan menghasilkan output yang berat
sebelah serta kehilangan keseimbangan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 23.
8
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka
Dasar Oprasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 29
9
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h.
78
10
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 5108 yang diulas oleh Muhaimin dan
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 2003), h. 19
11
Imam Muslim, Shahih Muslim Jilid 2 (Beirut: Darul Fikr, tt,), h.460
12
Sayid Quthub, Tafsir fi Dlilalil Qur’an Juz.VI (Libanon: Darul Ahya), h.
453
katan mutu guru dan perbaikan sistem pendidikan guru sebagai salah
satu unsur pendidik.13
Di lain pihak peningkatan alokasi anggaran untuk sektor
pendidikan yakni sebesar 20% dan perbaikan gaji guru pun sudah
dilakukan melalui program sertifikasi guru walaupun masih belum
memadai atau belum terwujud sepenuhnya karena selalu berpacu
dengan bertambah tingginya tuntutan hidup di masyarakat. Hal ini
dilakukan pemerintah dengan harapan dapat meningkatkan profe-
sionalisme guru.
Dalam Islam profesionalisme ini mempunyai fungsi sosial,
artinya dapat memberi manfaat yang luas kepada masyarakat.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:
#úÇLè #ÍúlÂè ©æ #èÇ©æ #û_½ì Eæw#úÇLè #ôÔÏæ Íú EæªÁç #èÇ©æ #íOEæMç\#çÇLè #çhÏè mæ #EæÆTæ îh\æ #íNÏè læ ¹ õ #ÎçLFô #EæÆTæ hî \
æ
#æÀEôµ#úrEîƽD#çlÐè c æ #èÇÁæ #ìËü¾½D#æÀÎçokæ #EæÏ#æÀEôµ#EðÐLì Dæl©è Fô # îÈ47Fô #ûlp
è Lç #úÇLè #ì˾ü½D#ìhMè ©æ #èÇ©æ #ûqÐè µô
# ## çËõ¾Âæ ©æ #æÇp ç \ æ Íæ #çÌçlçÂç©#æÀEô#èÇÁæ
Artinya:
Kami telah diceritakan oleh Abu kuraib, kami telah diceritakan
Said bin Hubbab dari Muawiayah bin shalih dari umar bin Qais
dari Abdullah bun Busra, berkata, ya Rasulullah Saw. siapa
manusia yang paling baik? Rasulullah Saw. Sebaik-baik manusia
adalah orang yang panjang umurnya dan profesional dalam
pekerjaannya (baik cara kerjanya sehingga punya manfaat terha-
dap orang lain).
Lebih dari itu, profesionalisme mempunyai nilai ibadah kese-
muanya dalam rangka mengabdi kepada Allah. Profesi yang sesuai de-
ngan panggilan hati akan disenangi dan memberikan kepuasan psiko-
logis tersendiri, pada gilirannya kepuasan psikologis ini dapat
meningkatkan kualitas profesionalisme itu sendiri sesuai dengan teori
reinforcement.
13
Udin S., Pengembangan Profesi Guru Menyongsong Abad XXI (Palu:
Makalah, Panitia Seminar Sehari UT Luwuk Banggai, 24 Oktober 1995), h. 5.
14
Muhammad bin Isa bin Surati bin Musa al-Dahak, Sunan al-Turmuziy,
Kitab Al-Zahn Min Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Thuli Al-Umri Al-Mu’mi, Hadis ke-
2251.
15
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
222.
16
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
29.
17
Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta:
Bumi Angkasa, 2001), h. 72.
18
Tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan manusia
kepada Allah dan mewujudkan tugas kekhalifahan dalam kehidupan manusia, baik
secara individual maupun secara sosial. Lihat firman Allah dalam surat Adz-
Dzariyat:56.
19
Irpan Abd. Gafar dan Muhammad Jamil, Reformulasi Rancangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Restu Agung, 2001), h. 73.
20
N.K. Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Bina Aksara, 2008),
h. 28.
21
Siskandar, Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dasar dan
Menengah (Makalah) (Jakarta: Pusat Kurikulum, Depdiknas, 2003), h. 2.
22
Yuliani Nurani Sujiono, Menu Pembelajaran Anak Usia Dini (Jakarta:
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, 2005), h. 208.
23
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
(Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h. 157.
24
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h.181.
25
Zakiah Daradjat, op.cit., h. 80.
26
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
123.
27
Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 143.
28
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Peserta Didik
Sekolah, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 163.
29
Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi
Pendidikan Anak (terj. M. Syihabuddin) (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 45.
30
Syahminan Zaini, loc. cit.
31
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung:
Rosdakarya, cet. V, 1992), h. 224.
32
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 708.
33
Dinn Wahyudin, Pengantar Pendidikan (Modul 1-9), Cet. I; (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2007), h. 3.4.
34
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), h. 28.
35
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaebany, Falsafah al-Tarbiyah al-
Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 137.
36
Ramayulis, op.cit., h. 147.
37
Ngalim Purwanto, op.cit., h. 29.
C. PENUTUP
1. Peserta didik dalam pendidikan Islam bukan hanya orang yang
belum dewasa tapi orang yang membutuhkan pendidikan dan
atau menyerahkan dirinya untuk dididik. Orang yang membu-
tuhkan pendidikan sudah dimulai sejak dalam kandungan me-
lalui pendidikan pranatalis. Orang yang menyediakan dirinya
untuk dididik adalah yang tercatat dalam suatu lembaga
pendidikan. Tiga aspek yang dikembangkan pada peserta didik
dalam pendidikan Islam yaitu: (a) rohani (tarbiyatul ruhiyah),
(b) akal (tarbiyatul aqliyah), (c) jasmani (tarbiyatul jismiyah).
Kebutuhan rohaniah peserta didik yang harus dipenuhi dalam
pendidikan agar sejalan dengan fitrah yang dimilikinya, jika
tidak anak akan tumbuh tidak normal.
2. Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab atau diserahi
tanggungjawab untuk mendidik. Orang tua adalah penang-
gungjawab pendidikan anak, guru dan pemimpin formal
(pemerintah) serta pemimpin informal (ulama dan tokoh
masyarakat) adalah orang yang diserahi tanggungjawab untuk
mendidik oleh orang tua sebagai penanggungjawab utama dan
pertama pendidikan anak. Kedudukan pendidik dalam Islam
sangat penting dalam mewujudkan tujuan karenanya dituntut
untuk melaksanakan tanggungjawabnya secara profesional.
3. Tujuan dalam pendidikan Islam merupakan sesuatu yang harus
dicapai dalam proses pendidikan yang sejalan dengan tujuan
hidup seorang muslim. Tujuan pendidikan dalam pendidikan
Islam harus berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan sumber pokok ajaran Islam. Tujuan pendidikan
Islam ialah pembentukan kepribadian muslim, yaitu suatu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam.
4. Alat dalam pendidikan Islam adalah segala situasi, tindakan
dan perlengkapan yang sengaja diadakan atau dipersiapkan
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Jadi, pembelajaran,
hukuman, keteladanan, motivasi, segala sarana dan prasarana
DAFTAR PUSTAKA
------, Filsafat Pendidikan Islam cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Abstrak
A. PENDAHULUAN
1
Yusuf al-Qardhawi, Fikih al-Zakat, ( Libanon : Muassah Risalah, 2000 ), h. 42
2
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran
dan Membangun Jaringan, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 ), h. 3
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Zakat
Kata zakat adalah isim masdar dari kata zaka-yazku-
zakah, yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik dan bertambah.
Dengan demikian orang yang mengeluarkan zakat diharapkan
hati dan jiwanya akan menjadi bersih, sebagaimana yang dije-
laskan Allah dam firmannya QS. At-Taubah: 103, yang ber-
bunyi:
D¯ ×1¯IÙkQ WÆ ©G#_XT SM® 1®Mn°LWsÉ"XT ×1ÉFÄm¯FIV¼É" <RV\i_ ×1°N¯XSÙ%U ÕC°% ÖkÉ]
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) keten-
teraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.3
Ayat ini menjelaskan bahwa menunaikan kewajiban za-
kat, merupakan suatu keharusan yang diperintahkan oleh Allah
swt., hal ini disebabkan karena zakat adalah salah satu elemen
dalam membersihkan dan mensucikan harta yang dimiliki oleh
setiap orang, dan juga dapat memberi ketentramana jiwa ba-
gi orang yang menyalurkan zakat demi membantu orang-orang
yang lemah.
Menurut Abu Muhammad Ibnu Qutaibah yang menya-
takan bahwa lafaz zakat diambil dari kata zakah yang berarti
kesuburan dan penambahan. Syara’ memakai kata tersebut untuk
dua arti pertama dengan zakat diharapkan akan mendatangkan
3
Membersihkan maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan mensucikan maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda
mereka
Artinya:
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah
mereka selalu menyembah.
Ayat-ayat al-Qur’an lain yang mengisahkan para Nabi
dan Rasul terkait dengan perintah menunaikan zakat ini dapat
dilihat pada Qs. Al-A’raf: 156-157 yang mengisahkan Nabi
Musa as berserta kaumnya, Qs. Maryam: 54-55, yang men-
ceritakan Nabi Ismail as, Qs. Maryam: 31, yang menceritakan
tentang pembicaraan Nabi Isa as yang masih berada dalam
ayunan. Dan secara umum masalah zakat ini dibahas dalam 38
surat dan 130 ayat dalam al-Qur’an.
Pada awal penyebaran Islam di Mekkah, zakat yang
harus ditunaikan karena merupakan kewajiban kepada Allah
belum dikumpulkan dan didistribusikan melalui lembaga for-
mal selama awal Islam di Mekkah karena jumlah kaum mus-
limin ketika itu relatif masih sedikit dan hidup dalam masya-
rakat yang memusuhi mereka. Kaum muslimin mengeluarkan
6
Abdallah al-Shiekh dalam John E. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid
6, (Jakarta : Mizan, 2001), h. 185
7
Yusuf al-Qardhawi, op.cit, h. 61
8
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,
2007), h. 233
9
T.M. hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1996),
h. 11
10
Abu al-Fida’ Ismail ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir ibn Katsir, Jilid I, (Dar al-Fikri:
t.th,), h. 234
11
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 5, ( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), h. 630
12
Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf:
orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa
fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah,
rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
dian yang mulia dan bersifat personal (fariyah). Oleh sebab itu
kewajiban mengeluarkan zakat ini sama wajibnya dengan kita
melaksanakan sholat lima waktu.
Kenyataan di atas mengingatkan kita pada waktu terjadi-
nya penolakan sebagian orang untuk membayar zakat pada
masa kekhalifahan Abu Bakar ra., yang kemudian diperangi
oleh beliau dengan alasan “ saya tidak akan memisahkan sesuatu
yang telah Rasul satukan”, maksudnya, Abu Bakar tidak akan
membedakan kewajiban mengeluarkan zakat dengan kewajiban
melaksanakan sholat, karena Nabi saw dalam setiap sabdanya
selalu menyatukan sholat dengan zakat.
R<{Xq SÅSÁWc EU +Y¯ "F\O ¯n×mWÓ¯ 1°FmWc°j C°% SÄBmØ\Ê WÛÏ°
×1ÀI<% D¯ WÛÏ° §©¨ ÏscsWà t©SVV E¯ àÈPÈn¾§<Wc CW%
Artinya:
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.
C. PENUTUP
Zakat di satu sisi merupakan bukti adanya kesadaran
antar manusia, hal ini dapat melahirkan kesejahteraan sirkulasi
hidup sosial, dan dapat membantu dalam mengentaskan kemiski-
nan sehingga dapat menyelamatkan manusia lain dari kerugian di
dunia dan di akhirat. Di sisi lain zakat dapat meminimalkan sifat
kikir, materialistik, individualistik dan egoistik (ananiyah),
sedangkan sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan
menjauhkan manusia dari rahmat Allah swt.
Perlu disadari bahwa zakat sebagai salah satu tonggak
perekonomian umat Islam sudah sejak awal Islam telah men-
dapat perhatian, karena kesuksesan Islam dengan adanya umat
menunaikan zakat ini bukanlah hal yang baru akan tetapi telah
terjadi di masa lalu yang tercatat dalam lembaran sejarah.
Memahami adanya nilai-nilai pendidikan yang sarat
akan nilai sosial, nilai ekonomi dan kedekatan diri kepada Allah
swt, mutlak untuk diperlukan, karena pada dasarnya apapun yang
28 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat
DAFTAR PUSTAKA
al-Dimasyqi, Abu al-Fida’ Ismail ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir, Jilid I,
Dar al-Fikri: t.th.
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Sesungguhnya fondasi utama tegaknya masyarakat Islam
adalah akidah, yakni akidah Islamiah. Tugas pertama masyarakat Is-
lam adalah memelihara, menjaga dan mengukuhkan akidah, serta
mamancarkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia1 Selain memiliki
keistimewaan dibidang akidah, ibadah dan pola pikir, masyarakat
Islam juga memiliki keistimewaan dalam masalah akhlak dan peri-
laku.
Akhlak dan perilaku merupakan bagian penting dari eksistensi
masyarakat Islam. Mereka adalah masyarakat yang mengenal persa-
maan dan keadilan, kebajikan kasih sayang, kejujuran dan keperca-
yaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan harga diri, kewibawaan dan
1
Yusuf Qardhawi, ed., Wahid Ahmadi, Islam Agama Peradaban (Solo: Era
Intermedia, 2004), h. 17.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Ibn Miskawaih
Maskawaih adalah seorang filosof Muslim yang memusatkan
perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang
sejarahwan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang
kebudayaan Romawi, Persia dan India, di samping filsafat Yunani.4
Nama lengkapnya adalah Abu A’li Al-Khazim Ahmad bin Ya’kub bin
Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih mashur adalah Miskawaih.
Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi
(Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang di-
peroleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai
pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika
orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syiah.
2
Ibid.,h. 121.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h. 261.
4
De Boer, History of Philosophy in Islam, terj. Arab Abu Ridah (Cairo,
1957), h. 238-239.
5
K.H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar
Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 92.
6
A. A. Izzat, Ibnu Miskawaih (Mesir: Musthafa Al-Halabi, 1946), h. 304-
305.
7
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 93.
8
Ibid
9
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Cairo: An-Nadhhah Mishriyah, 1956), h.
66-68.
10
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 94.
11
Ibid., h.101.
12
Ibid.
baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada peru-
bahan-perubahan yang dialami anak pada masa pertumbuhannya dari
satu keadaan ke keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang menge-
lilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami
perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan
adanya aturan-aturan syariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan
berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua
memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membe-
dakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya
ditinggalkan. Dari sini pula Miskawaih memandang penting arti pen-
didikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan
pembinaan akhlak.13
c. Keutamaan (Fadhilah)
Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa,
yaitu bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat)
yang mengejar kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang ber-
tumpu pada kemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu ber-
fikir tentang hakikat segala sesuatu. Tiga kekuatan itu saling berdesak
dan berebut posisi, jika dapat terjadi keselarasan dalam perimbangan
posisi ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada
manusia.
Atas dasar adanya tiga macam kekuatan jiwa manusia itu, dapat dise-
butkan adanya tiga macam keutamaan dasar dan dari masing-masing
keutamaan dasar itu timbul pula keutamaan cabang yang berpokok
pada keutamaan-keutamaan dasar itu. Keselarasan antara tiga keuta-
maan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan kesem-
purnaan ketiga keutamaan dasar tersebut.
Dengan demikian keutamaan-keutamaan jiwa ada empat ma-
cam yaitu hikmah (wisdom), iffah (kesucian), syaja’ah (keberanian)
dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas.
Kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat; Keutamaan lahir jika
manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan
akal yang sehat, sehingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya.
Keberanian adalah keutamaan jiwa atau ghadhabiyah (sabu’iyah);
keutamaan ini timbul jika manusia dapat menundukkan kepada jiwa
13
Ibid.
14
Ibid., h. 102.
15
Ibid.
16
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet.1V, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), h. 64.
memperoleh tujuan yang lebih besar ataupun tujuan pada dirinya, baik
bersifat jasmaniah maupun ruhaniah, dan seterusnya. Tujuan yang
bebas dari ikatan kondisional, merupakan tujuan tertinggi, yang
menjadi tujuan semua manusia, yaitu yang disebut “kebaikan Mutlak.”
Dalam hal ini Miskawaih mengambil alih konsep Aristoteles. Kebai-
kan mutlak itu jika dapat dimiliki orang akan sampai kepada keba-
hagiaan tertinggi, karena kebaikan mutlak itu merupakan tujuan
terakhir manusia yang mampu berfikir sehat.
Menurut Miskawaih, kebahagiaan tertinggi itu tidak lain
adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek, yaitu aspek teo-
ritis yang bersumber kepada kontinyuitas pikir akan hak-hak wujud,
dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang mampu mela-
hirkan perbuatan yang baik.17 Para Nabi diutus Tuhan tiada lain ha-
nyalah untuk menyampaikan ajaran syariah yang memerintahkan
untuk memperoeh keutamaan dan menjauhi keburukan-keburukan.
Orang yang mencapai kebahagiaan tertinggi jiwanya akan te-
nang, merasa selalu berdampingan dengan Malaikat. Jiwanya ditera-
ngi oleh nur Ilahi dan merasakan nikmat atas kelezatan yang tertinggi
pula. Baginya tidak menjadi masalah apakah dunia datang kepadanya
atau meninggalkannya, apakah dunia kotor atau bersih. Dia pun tidak
merasa susah dan sedih berpisah dengan orang yang dicintainya. Akan
dilakukannya segala yang menjadi kehendak Allah, akan dipilihnya
hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada Allah.18
Dalam usaha mencapai kebahagiaan, manusia selalu memer-
lukan pedoman syari’at yang memberikan petunjuk dan meluruskan
jalan mencapai kebijaksanaan, guna mengatur dirinya sendiri sampai
akhir hayatnya. Syari’atlah yang memerintahkan manusia untuk mela-
kukan hal-hal yang terpuji, karena asalnya dari Allah.19
e. Cinta (mahabbah)
Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai
salah satu unsur dari etika. Cinta menurutnya ada dua macam; cinta
kepada Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid
kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah,
17
Ibid.
18
Ibid., h. 65.
19
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 104.
tetapi tipe cinta ini hanya bisa dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada
sesama manusia ada kesamaan antara cinta kepada orang tua dan cinta
murid kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru dipandang lebih
mulia dan lebih berperan. Guru adalah bapak rohani bagi murid-mu-
ridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki
keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat
kemuliaan rohani terhadap jasmani.20
f. Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Miskawaih membe-
rikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Ia
menyebutkan bahwa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa
hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk
hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Jiwa anak-anak berkembang
dari tingkat sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi, semula tanpa
ukiran, kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat
dan sakit, kemudian timbul pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu
kekuatan syahwat yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan
(bahimiyah) Dalam perkembangan berikutnya, timbul pula kekuatan
sabu’iyah atau ghadhabiyah. Akhirnya dalam perkembangan berikut-
nya lahir pula kekuatan berfikir, atau jiwa cerdas, yang ditandai de-
ngan timbulnya rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan ini anak-anak
dapat merasakan serta membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai
ditanamkan pada anak-anak.21
Kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat,
syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama tersimpul dalam me-
numbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan
dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan dapat dilatih
dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk
cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua dapat dicapai dengan cara
memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan pergaulan dari
teman-temannya yang berperangai buruk. Sangat berfaedah menjauh-
kan anak-anak dari lingkungan keluarganya sehari-hari pada saat-saat
tertentu, dan memasukkan mereka ke lingkungan lain yang lebih
20
Ibid.
21
A.A Izzat, op. cit., h. 416.
22
Ibid., h. 342.
23
Ibid., h. 342.
24
Ibid., h. 346.
C. PENUTUP
Setelah mencermati bahasan dalam tulisan ini, penulis me-
ngambil kesimpulan bahwa Miskawaih membagi kitabnya itu menjadi
tujuh bagian, bagian pertama membicarakan perihal jiwa yang meru-
pakan dasar pembahasan akhlak. Bagian kedua membicarakan perihal
manusia dalam hubungannya dengan akhlak. Bagian ketiga mem-
bicarakan perihal kebajikan dan kebahagiaan yang merupakan inti
pembahasan tentang akhlak. Bagian keempat membicarakan perihal
keadilan. Bagian kelima membicarakan perihal cinta dan persa-
habatan. Bagian keenam dan ketujuh membicarakan perihal pengo-
batan penyakit-penyakit jiwa.
25
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 66
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Tidak sedikit pertentangan yang terjadi di kalangan kaum
Muslim berkaitan dengan praktek-praktek kegamaan. Satu kalangan
memandang bahwa dalam menjalankan aktivitas kehidupan apalagi
praktek-praktek ibadah, semestinya merujuk kepada ajaran nabi
Muhammad sebagaimana yang sedang dilaksanakan di tanah kela-
hiran Islam. Kalangan lain menilai bahwa praktek-praktek ibadah
dalam aktivitas hidup manusia tidak harus menyesuaikan dengan
kebudayaan-kebudayaan Arab. KH. Abdurrahman Wahid dengan cer-
das menjelaskan kedua pertentangan ini dengan konsep Islam murni
dan Islam pribumi. Bahwa Islam yang diajarkan oleh nabi Muhammad
adalah Islam murni yang hanya bisa berlaku di daerah kelahiran Islam.
Sementara Islam pribumi adalah Islam yang telah menyesuaikan
dengan budaya lokal, sehingga tidak sedikit praktek-praktek ibadah
dan produk-produk kebudayaan yang nampaknya sangat jauh dari
syari’at Islam yang original, asalkan tidak kehilangan ruhnya.
Pertentangan ini menarik untuk dikaji, dan untuk dapat mem-
pertemukan pertentangan sengit tersebut dapat dijelaskan dengan
konsep akulturasi budaya, bisa jadi, praktek-praktek ajaran Islam akan
bernuansa Gorontalo, sekiranya Islam diturunkan di daerah ini.
B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
1
Kuntowijoyo, Paridigma Islam (Bandung: Mizan, cet. III, 1991), h. 229.
2
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb (ed), Whither Islam? A Survey of
Modern Movement in The Moslem World (London: Victor Gollanz Ltd, 1932), h. 12.
3
Lihat dalam al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abu Bakar al-Ahdalial-Yamani as-
Syafi’i (Kudus: Menara Kudus, t.th.), h. 63. Lihat juga dalam Nurcholis Madjid,
Islam, Doktrin dan Peradaban (Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 2000), h. 550.
4
Budaya dapat berwujud dalam berbagai dimensi: dapat berupa simbol
(contoh: agama dan mitos, bentuk-bentuk seni, cerita, bahasa); dalam bentuk social
(contoh: cara orang mengorganisir komunitasnya, hubungan-hubungan ekonomi
maupun antara pribadi); dapat berupa teknologi (contoh: alat-alat yang digunakan
dalam melaksanakan pola-pola perilaku pertanian, artistektur, obat-obatan dan
sebagainya. Lihat Yvon Ambroise, Culture: “Liberating or Alianiting” dalam Jurnal
Jeevadhara (New Delhi: Jeevada, 1992), h. 26-30.
5
Ridin Sofwan, et. al., Islam Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h.12
6
Ibid., h.18.
7
Sri Denti, Mumarasat al-Suluk bi Minangkabau: Tatbiq al-Ta’lim al-
Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah, dalam STUDIA ISLAMIKA Volume 11,
Number 2, 2004 h. 345 – 360.
8
Ridin Sofwan, op.cit., h. 32-33.
9
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. IV; (Jakarta:
Paramadina, 2000), h. 542.
10
Ridin Sofwan, op.cit., h. 32-33
11
Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago and London:
University of Chicago Press, 1960).
12
Memang kadangkala beberapa tradisi dan adat istiadat yang dipraktekkan
itu meskipun diselenggarakan demi syi’ar Islam, tetapi tak jarang pula dibumbuhi
dengan unsur mitos, sesajen, dan perilaku khurafat dan tahayyul. Jadi, masuknya
berbagai unsur tersebut perlu dicermati secara mendalam dan bersikap arif, agar
ajaran Islam dapat diamalkan secara murni oleh pemeluknya.
melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa
maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Hal itu ditun-
jukkan di mana telah berdiri berbagai jenis bangunan di Jawa seperti
candi, keratin, banteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada
bangunan gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki konsep men-
capat, hiasan tokoh wayang pada rumah, kuburan dan padepokan.
Ternyata, perkawinan Islam murni dengan adat dan budaya
lokal terjadi di mana ada masyarakat yang menerima Islam dan mem-
pertahankan tradisi lokalnya. Di Gorontalo misalnya, banyak istilah-
istilah budaya bahkan menjadi konsep peradatan dan pemerintahan
kebudayaan Gorontalo, yang mendapat pengaruh dari Islam. Misalnya
taqowa dari kata taqwa, pakaian adat resmi pimpinan di Gorontalo
tertutama dipakai pada upacara resmi peradatan; halifa; dari kata
khalifa panggilan untuk raja atau pimpinan misalnya kepada daerah
atau gubernur. Hal ini terlihat pula dalam upacara-upacara sosial
seperti peringatan maulid atau mauludu di Gorontalo.13
Produk-produk budaya lain yang menunjukkan kekhasan Islam
di Gorontalo dapat dilihat pada aktivitas, artefak dan hari raya. Dalam
bentuk aktivitas dapat dilihat pada aktivitas daur hidup (kelahiran,
pernikahan, kematian) yang senantiasa berbalut nuansa Islam dalam
pelaksanaannya. Kekhasan dalam bentuk artefak dapat dilihat pada
bentuk bangunan masjid yang bertiang penyanggah empat serta
konstruksi atap yang bersusun tiga. Secara lokal, empat tiang dalam
mesjid tersebut adalah simbol dari empat sahabat nabi, sementara
konstruksi atap yang bersusun tiga merupakan gambaran adanya 3
pijakan dalam Islam yaitu rukun Islam, rukun iman dan rukun ikhsan.
Sementara dalam perayaan hari raya, jika di Mekah dan Madinah, hari
raya yang paling ramai adalah hari raya idul adha pada bulan haji,
tetapi di Indonesia, dan Gorontalo khususnya, hari raya yang paling
ramai adalah hari raya idul fitri pada bulan syawal. Perayaan ini secara
lokalitas, telah membetuk tradisi Islam lokal dengan merayakan hari
raya sunat, yang dilaksanakan pada hari ketujuh bulan Syawal. Hari
raya idul fitri untuk merayakan kemenangan setelah puasa sebulan
13
Nani Tuloli, “Sastra Lisan Gorontalo dalam Konteks Kebudayaan Islam”
dalam Seminar Nasional, Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur
Indonesia (Gorontalo: Grafika Karya, 2004), h. 70.
14
Maharsi, Pola-pola Perpaduan Islam dan Budaya Nusantara, dalam Islam
dan Budaya Lokal, Ali Sodikin dkk (Yogyakarta: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya
Islam (PKSBI), 2009), h. 29.
15
Ibid., h. 30.
C. PENUTUP
Sebagai sebuah agama, Islam bukan hanya merupakan kum-
pulan doktrin Ilahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga terwujud
dalam realitas sosial. Karena itu, dalam proses akomodasi kultural
dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi
dan adat lokal serta pada kemampuan untuk mempertahankan nilai-
nilai pokok keislaman. Ajaran Islam diterima dengan baik di berbagai
tempat, terutama karena proses islamisasi yang bersifat asimilatif. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya persentuhan Islam dan budaya lokal,
dan hal ini pulalah yang membuat Islam mudah diterima dan
membawa dampak pada pesatnya perkembangan Islam di Nusantara.
Dari berbagai bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal, paling
tidak terdapat dua pola yang dikembangkan para penyebar agama
Islam di Nusantara, yaitu pertama, meneruskan dan menambah buda-
ya yang ada dengan memberi makna dan nama baru sesuai dengan
nilai-nilai Islam, seperti dalam kesenian dan upacara tradisional.
Kedua, memunculkan budaya baru tetapi tetap mengadopsi unsur-
unsur lokal, seperti dalam arsitektur masjid. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan,
akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sofwan, Ridin, et. al., Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Dalam setiap proses pendidikan, peserta didik merupakan kom-
ponen masukan yang mempunyai kedudukan sentral. Tidak ada proses
pendidikan yang berlangsung tanpa kehadiran peserta didik. Ketika
memasuki proses pembelajaran di sekolah, peserta didik mempunyai
latar belakang yang tertentu yang turut memberikan pengaruh terha-
dap kesuksesannya dalam belajar, latar belakang yang dimaksud dapat
berupa umur, jenis kelamin, pengalaman, kemampuan sosial-ekonomi
orang tua, tingkat kecerdasan, kreativitas, bakat dan minat, motivasi
belajar dan sebagainya, karenanya agar proses pembelajaran berhasil
sesuai harapan maka hal tersebut tidak bisa diabaikan oleh seorang
pengajar mengingat bahwa proses pembelajaran mengarah pada pe-
ningkatan kualitas manusia secara utuh, meliputi dimensi kognitif-
intelektual, ketrampilan dan lain-lain1.
Kecerdasan sebagai salah satu komponen penting yang tidak
bisa diabaikan oleh seorang pengajar merupakan alat untuk belajar,
1
Iskandarwassid & Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa,
(Jakarta: PT Remaja Rosdakarya), 2008, h.2
2
Linda Campbell,Bruce Campbell & Dee Dickinson,Metode Praktis
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, (Jakarta: Intuisi Press, 2004), h.2
3
Agus Nggermanto, Quantum Quotient Kecerdasan Quantum, (Jakarta:
Nuansa, 2003), h.49
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Dan Jenis – Jenis Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menen-
tukan sukses-tidaknya peserta didik dalam belajar. Selama ini penger-
tian kecerdasan hanya menitik beratkan pada kemampuan IQ yang ha-
nya mengukur prestasi anak didik dari kemampuan matematika dan
bahasa yang notabene kemampuan intelek tersebut diukur melalui tes
IQ akibatnya pemberian penghargaan lebih kepada orang-orang yang
memang ahli dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa tan-
pa memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang
memiliki talenta di dalam kemampuan seperti arsitek, musikus, ahli
alam, designer, terapis, entrepreneurs dan sebagainya. Padahal sebagai
konsekuensi dari yang namanya makhluk hidup yang selalu saja ada
persoalan dalam menjalani kehidupan ini setiap orang mempunyai
cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, oleh
karena itu, menurut Gardner dalam Douglas Brown Kecerdasan bukan
hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang4. Kecerdasan meru-
pakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu
masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu
yang dapat berguna bagi orang lain, menurutnya kecerdasan tidak ha-
nya diukur melalui tes standar semata, namun lebih dari itu, kecer-
dasan adalah : a) kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi dalam kehidupan manusia, b) kemampuan untuk menghasilkan
persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan, c) kemampuan untuk
menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan
penghargaan dalam budaya seseorang5.
Dari konsep Gadrner tentang kecerdasan di atas, dapat dipa-
hami bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang dalam me-
mahami, menyikapi dan menyelesaikan persoalan yang terjadi da-lam
4
H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran & Pengajaran Bahasa,
(Pearson: Education Inc, 2007), h.116
5
Linda Camppbell, Bruce Campbell, Dee Dickinson, op.cit, h. 3
6
Ibid, h.3
7
Herena I.R Agustien, Fathur Rohim, Maskur,Mutiara O.Pandjaitan, Materi
Pelatihan Terintegrasi Bahasa Inggris, (Jakarta: DepDikNas, 2004), h.40
C. PENUTUP
Sebagai usaha menciptakan sistem lingkungan yang terdiri
atas pengajar, peserta didik, materi pembelajaran, metode dan media
yang memungkinkan terjadinya proses belajar secara optimal maka
dalam proses pengajaran seyogyanya dapat membantu menumbuhkan
dan mentransformasikan nilai-nilai positif dengan memberdayakan
serta mengembangkan potensi-potensi kepribadian dan seluruh kecer-
dasan yang dimiliki peserta didik.
Sebagai sosok yang memegang peranan strategis dalam
pembelajaran bahasa, guru bahasa seyogyanya memahami, menge-
tahui dan turut memberikan perhatian terhadap pengembangan kecer-
dasan-kecerdasan yang relevan (kecedasan linguistik, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan inter-
personal dan kecerdasan intrapersonal) yang dimiliki peserta didik da-
lam meramu proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai dan peserta didik memiliki peluang untuk mengembangkan
kecerdasan-kecerdasan yang relevan yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
AǤPENDAHULUAN
Belajar merupakan proses ke arah suatu perubahan pada diri
pembelajar secara berencana, baik dari segi tingkat pengetahuan, kete-
rampilan ataupun sikap. 1 Hal tersebut berarti bahwa belajar adalah
suatu usaha berdasarkan kesadaran untuk melakukan perubahan pada
diri pembelajar. Pada sisi lain, lahirnya kesadaran untuk merubah diri
dalam berbagai aspeknya, mengandung suatu indikasi bahwa orang
yang belajar tersebut, sadar tentang kekurangan-kekurangan yang
1
Azhar Arsyad, Media Pengajaran (Edisi I, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persda, 1997), h. 1.
2
Bambang Yudi Cahyono membedakan antara bahasa kedua dan bahasa
asing. Menurutnya, bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu
(bahasa pertama dikuasai), sedangkan bahasa asing adalah bahasa yang dipelajari
setelah bahasa kedua.Sebagai contoh, bahasa Inggris bagi warga Malaysia, Filifina
dan Singapura merupakan bahasa kedua, tetapi di Indonesia merupakan bahasa
asing, karena kebanyakan warga Indonesia terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia
setelah bahasa ibu. Setelah itu baru belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Lihat Bambang Yudi Cahyono, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa ( Cet. I ; Surabaya :
Airlangga University Press, 1995), h. 308.
3
Departemen Agama R.I, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada
Perguruan Tinggi Agama/IAIN (Jakarta : Proyek Pengembangan Sistim Pendidikan
Agama, 1975), h. 129.
atau gagal”. Oleh sebab itu, kesalahan berbahasa yang sering dibuat
oleh siswa harus dikurangi, dan kalau perlu dihapuskan sama sekali.4
Untuk mencapai harapan tersebut di atas, maka seluk beluk
kesalahan berbahasa pembelajar, harus dikaji secara mendalam. Hasil
dari pengkajian tersebut sangat bermanfaat untuk evaluasi dan penyu-
sunan materi serta strategi pengajaran yang akan diterapkan dalam
kelas.5
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing, tidak sepi dari
fenomena tersebut di atas dan mempunyai kesamaan dengan penga-
jaran bahasa asing lainnya. Keluhan-keluhan para guru pengajar baha-
sa Arab tentang kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh siswa,
terdengar nyaring di amana-mana. Kesalahan-kesalahan tersebut se-
ring diatributkan sepenuhnya kepada si pembelajar. Oleh sebab itu,
fenomena-fenomena yang bersifat kasuistik tersebut, harus mendapat
perhatian serius para tenaga pengajar bahasa. Perhatian yang dimak-
sudkan ialah mengadakan analisis terhadap aspek-aspek kesalahan,
faktor-faktor yang mempengaruhinya serta cara mengatasinya.
B. PEMBAHASAN
4
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa (Cet. X ; Bandung : Penerbit Angkasa, 1988), h. 67.
5
Ibid., h. 69.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Edisi II, Cet. III ; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 940.
7
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, op.cit., h. 29.
8
Ibid., h. 75.
9
Ibid., h. 76.
10
Ibid., h. 141-142.
11
Ibid., h. 142.
12
Ibid.
1. Mengumpulkan data
2. Mengidentifikasikan kesalahan
3. Mengklasifikasikan kesalahan
4. Menjelaskan frekuensi kesalahan
5. Mengoreksi kesalahan.
Sementara menurut Parera,14 analisis kesalahan dapat dilaku-
kan dengan langkah-langkah:
1. Pengumpulan data,
2. Identifikasi kesalahan, baik secara khusus maupun umum,
3. Klasifikasi atau pengelompokan kesalahan,
4. Pernyataan tentang frekuensi tipe kesalahan,
5. Identifikasi lingkup tipe kesalahan, dan
6. Usaha perbaikan.
Dari paparan di atas diartikan analisis kesalahan berbahasa
adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan peneliti atau guru
bahasa yang meliputi kegiatan mengumpulkan sampel kesalahan,
mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan
kesalahan tersebut, mengklasifikasikan kesalahan itu dan mengeva-
luasi taraf kesalahan, serta melakukan perbaikan. Secara lebih detail,
metode analisis kesalahan berbahasa itu dilakukan dengan mengum-
pulkan sampel kesalahan yang diperbuat siswa baik dalam karangan
atau bentuk lainnya secara cermat dan detail. Kesalahan berbahasa
yang sudah terkumpul ini dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
13
Jos Daniel Parera, Lingusitik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1997), h. 143.
14
Ibid., h. 145.
15
E. Zaenal Arifin dan Farid hadi, 1001 Kesalahan Berbahasa, (Edisi II, Cet.
II ; Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), h. 15-183.
16
Ibid., h. 86- 89.
17
Ibnu Rawandhy N. Hula dan Damhuri, Bahasa Arab Untuk Para Pemula,
(Cet. II; Gorontalo, 2010), h. 136.
18
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaid al-Lugah al-Arabiyyah, Juz II, (Cet.
IX; Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), h. 16.
a. Bahasa lisan
Dalam telaah terhadap konsep-konsep yang ditawarkan oleh
para pakar metodologi pembelajaran dalam melakukan koreksi terha-
dap kesalahan berbahasa lisan peserta didik, ditemukan adanya perbe-
daan-perbedaan konsep. Ada yang beranggapan bahwa kesalahan
yang dilakukan oleh pembelajar dalam berbahasa lisan, hendaknya
segera dikoreksi, agar tidak terbiasa bagi mereka melakukan kesa-
lahan yang serupa pada waktu yang lain. Sementara yang lain menga-
takan bahwa, berilah kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan
konsep mereka dalam bahasa sasaran (bahasa asing yang dipelajari),
meskipun salah. Sebab menurutnya, kesalahan-kesalahan tersebut
pada akhirnya akan disadarinya sendiri oleh pembelajar setelah pen-
getahuan mereka matang.
Tindakan korektif terhadap kesalahan berbahasa lisan, hen-
daknya dilakukan secara bijaksana. Berdasarkan data temuan lapa-
ngan, bahwa koreksi secara langsung terhadap kesalahan berbahasa
pembelajar pada saat sedang berbicara, mempunyai cacat yang sangat
serius. Tindakan seperti itu akan berimplikasi terhadap hilangnya
keberanian dan menurunnya minat pembelajar dalam melakukan ba-
hasa lisan. Kekhawatiran akan mendapat teguran secara langsung
b. Bahasa tulisan
Dalam kegiatan koreksi kesalahan bahasa tulis para pembe-
lajar, guru dapat menggunakan berbagai teknik. Teknik-teknik yang
biasa dimanfaatkan antara lain sebagai berikut:
19
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Thuruq Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah,
(Cet. I; Mishr: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979), h. 247.
20
H. Tayyar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan
Bahasa Arab (Edisi I, Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 199-
200.
C. KESIMPULAN
Kesalahan yang dilakukan pembelajar dalam mempergunakan
bahasa kedua atau bahasa asing, merupakan fenomena yang sulit
dihindari. Hal tersebut mengingat bahwa para pembelajar yang belajar
bahasa, sudah terlebih dahulu mempunyai pengalaman bahasa seb-lum
belajar bahasa kedua atau bahasa asing. Pengalaman tersebut sangat
berpengaruh dalam dalam cara pembelajar dalam menggunakan baha-
sa kedua.
Untuk memudahkan perbaikan dan koreksi terhadap kesalahan
berbahasa pembelajar, maka seorang guru terlebih dahulu harus
mampu mendeteksi kesalahan-kesalahan siswa dan membuat tipologi
kesalahan-kesalahan tersebut. Kemampuan guru dalam mengelom-
21
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, op. cit., h. 188-189; Bandingkan
dengan Fahmi Ali Yunus et.al., Asasiyat Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah wa al-
Tarbiyah al-Diniyah, (al-Qahirah: Dar al-Tsaqafah, 1981),h. 264-265.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
A. PENDAHULUAN
B. METODE PENELITIAN
C. ACUAN TEORI
1. Hakikat Kemampuan Berbahasa
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam ke-
hidupan manusia. Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh
manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan bahasa,
manusia dapat mengungkapkan gagasan atau pendapatnya sehingga
82 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia
1
Kompas, 20 Februari 2010
D. PEMBAHASAN
1. Keadaan Mahasiswa
Latar belakang atau asal usul mahasiswa yang diterima di
IAIN Sultan Amai Gorontalo bukan hanya berasal dari SMU/-
2
Depdikbud. Pedoman Proses Belajar Mengajar di SD. (Jakarta: Proyek
Pembinaan Sekolah Dasar, 1995).
3
Mokh. Basiran. Apakah yang Dituntut GBPP Bahasa Indonesia
Kurikulum 1994. (Yogyakarta: Depdikbud. 1999).
4
Aminuddin, 1994.
5
Leonard Bloomfield, Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
1995), h.44.
6
Isah Cahyani dkk. 2007. Kemampuan Berbahasa Indonesia di Sekolah
Dasar. (Bandung: UPI Press.1985), h.15.
7
Guntur Tarigan dalam ibid. h.5
8
Iskandarwassid dan H. Dadang Sunendar. Strategi pembelajaran Bahasa.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008), h.40.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Endah Ariani Madusari T., Suplemen Pendidikan BERMUTU:
Metodologi Pembelajaran, dari http://www.docstoc.com.docs/25352982 METO-
DOLOGI-PEMBELAJARAN-BAHASA-INDONESIA/ diakses 15 Agusts 2011)
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun dari pembahasan yang dilakukan di atas, dapat
disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a) Mahasiswa mayoritas hanya menggunakan bahasa Indo-
nesia lisan pada kesempatan formal saja. Seperti ketika da-
lam kegiatan diskusi, presentasi, seminar serta digunakan
ketika bertemu dengan orang yang memiliki derajat lebih
tinggi.
b) Dalam bahasa lisan terdapat dua macam keterampilan atau
kemampuan. Yaitu, kemampuan berbicara (produktif) dan
kemampuan mendengar (reseptif).
c) Pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan komunika-
tif dan metode komunikatif. Selain itu teknik yang diguna-
kan adalah teknik penyajian diskusi dan teknik penyaji-
an kerja kelompok.
d) Pembelajaran yang diterapkan di kalangan mahasiswa
sangatlah berpengaruh terhadap kemampuan mahasis-
wa dalam berbahasa Indonesia lisan dan sangatlah dibutuh-
kan mengingat bahwa mahasiswa sangatlah dituntut untuk
menggunakannya.
2. Saran
a) Bagi mahasiswa sebaiknya mereka lebih sering dalam
menggunakan bahasa Indonesia lisan baik dalam kegiatan
formal maupun informal. Mengingat kedudukan mahasis-
wa sebagai pelajar level tinggi yang dituntut untuk mampu
dalam berbahasa Indonesia lisan.
b) Dalam pembelajaran sebaiknya baik dosen maupun
mahasiswa lebih giat dalam proses pembelajaran agar ter-
cipta mahasiswa yang benar-benar mampu dan terampil
dalam berbahasa Indonesia
92 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
A. PENDAHULUAN
kata yang biasa kita sebut jika ingin berbicara tentang pengubahan
suatu hal/nilai.
Tidak sedikit dari kita yang masih merasa bingung bila telah
melihat banyak angka hasil dari penskoran yang telah dilakukan da-
lam penilaian hasil belajar siswa. Harus dibuat atau diolah seperti
apakah, agar skor-skor yang telah didapat oleh siswa tersebut tidak
berhenti hanya sampai kumpulan angka saja, tetapi juga dapat “berbu-
nyi”, bermanfaat, dan bermakna.
Salah satu unsur yang harus dipahami agar dapat melakukan
konversi skor dengan benar adalah mengetahui apa yang dimaksud
dengan mengkonversi skor. Tanpa adanya pemahaman tentang apa itu
konversi skor, maka sangat mustahil seseorang dapat melakukan
mengkonversi skor mentah menjadi skor standar dalam penilaian hasil
belajar siswa dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam ke-
sempatan ini akan dibahas mengenai bagaimana mengubah dan
memberikan pemaknaan pada angka-angka mentah yang telah didapat
oleh siswa sebagai peserta tes menjadi skor standar. Bila semua proses
mempelajari materi ini telah selesai, maka diharapkan dapat dengan
baik memahami macam-macam teknik konversi skor dan dapat
mengkonversi skor mentah menjadi skor standar.
B. PEMBAHASAN
1
Suharsimi, Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), h.235
2
Anas Soedijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2008), h.309
3
Surapranata, Sumarna. Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi
Hasil Tes: Implementasi Kurikulum 2004. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
h.54
4
Ibid, h. 54
dalam diri siswa, hal yang temporer dalam diri siswa, penyeleng-
garaan, dan hal yang tidak pernah diperhitungkan lainnya.
5
Mali, Gayo Akhir. Pemberian Skor, Verifikasi dan Standar Penilaian.
(http://arminaven.blogspot.com/2011/06/pemberian-score-verifikasi-dan-
standar.html. Diakses: 28 September 2011), h. 3
6
Ibid, h. 4
points scale) rentang nilai mulai dari 0 sampai dengan 10, z score
(nilai standar z), dan T score (nilai standar T).7
Dengan demikian teknik konversi skor mentah menjadi skor
standar ada 2 (dua) macam, yaitu: yang mengacu pada PAP dan
PAN. Konversi nilai yang mengacu pada PAN terbagi menjadi 5
(lima), yaitu: stanfive, stannine, stanel, z score, dan T score.
7
Ibid, h. 4-5
Skor Mentah
Nilai = x 100%
Skor Maksimum Ideal
Rumus stanfive:
Mean + 1.5 SD = A
Mean + 0.5 SD = B
Mean – 0.5 SD = C
Mean – 1.5 SD = D
Mean – 1.5 SD = E
Jawab:
¦x 80 75 60 65 40 35 75 45 35 60 570
Mean 57
n 10 10
F2 (80 57) 2 2(75 57) 2 2(60 57) 2 2(65 57) 2 (40 57) 2
SD
n 10
2(35 57)2 (45 57)2
17.19
10
Mean + 1.5 SD = A 57 + (1.5) 17.19 = 84
Mean + 0.5 SD = B 57 + (0.5) 17.19 = 66
Mean – 0.5 SD = C 57 - (0.5) 17.19 = 48
Mean – 1.5 SD = D 57 - (1.5) 17.19 = 31
Mean – 1.5 SD = D 57 - (1.5) 17.19 = 31
Skor mentah setelah dikonversi menjadi skor standar berskala
lima adalah sebagai berikut:
A 84
B = 66 – 83
C = 48 – 65
D = 31 – 47
E 30
Rumus Stanel
M + 2.25 SD = 10
M + 1.75 SD = 9
M + 1.25 SD = 8
M + 0.75 SD = 7
M + 0.25 SD = 6
M – 0.25 SD = 5
M – 0.75 SD = 4
M – 1.25 SD = 3
M – 1.75 SD = 2
M – 2.25 SD = 1
Jawab:
57 + 2.25 x 17.19 = 96 96 = 10
57 + 1.75 x 17.19 = 87 87 – 95 = 9
57 + 1.25 x 17.19 = 78 78 – 86 = 8
57 + 0.75 x 17.19 = 70 70 – 77 = 7
57 + 0.25 x 17.19 = 61 61 – 69 =6
57 – 0.25 x 17.19 = 53 87 – 95 = 5
57 – 0.75 x 17.19 = 44 44 – 52 = 4
57 – 1.25 x 17.19 = 36 36 – 43 = 3
57 – 1.75 x 17.19 = 27 27 – 35 = 2
T score = 50 + 10 z
Total T Score
No Nama
Z score (50 + 10 z)
1 Adit +0.17 51.7
2 Surya -3.95 10.5
3 Yanti +1.60 66.0
4 Teguh -4.74 2.6
5 Bona +0.18 51.8
6 Benu +4.18 91.8
7 Yuli +7.20 112.0
8 Endah -1.24 37.6
9 Feni -0.34 46.6
10 Dona -3.06 19.4
C. KESIMPULAN
Konversi adalah pengubahan atau pengolahan skor mentah
hasil tes belajar menjadi nilai standar. Skor adalah hasil pekerjaan
menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dengan jalan menjum-
lahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah dija-
wab dengan betul, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya.
Skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor
mentah yang perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
(dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (standard
score).
Teknik konversi skor mentah menjadi skor standar ada 2 (dua)
macam, yaitu: yang mengacu pada PAP dan PAN. Konversi nilai yang
mengacu pada PAN terbagi menjadi 5 (lima), yaitu: stanfive, stannine,
stanel, z score, dan T score.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh:
Abd. Razak Mozin., S.Ag., M.Si *
Abstrak
Dalam pandangan tradisonal kehidupan atau hidup yang
baik bagi seseorang adalah tidak suka protes, membantah,
melawan, dan sterusnya, merupakan sebuah ungkapan yang se-
ringkali terdengar dalam percakapan sehari-hari. Ungkapan ini se-
akan-akan ingin membenarkan berbagai mithos tentang konflik
yang telah berkembang lama. Bahwa konflik harus dihindarkan;
konflik terjadi karena salah pengertian; konflik merupakan isyarat
memudarnya hubungan antarpribadi; konflik dapat selalu dipe-
cahkan; Konflik adalah sesuatu yang buruk (Beebe, 1996: 301).Ter-
lepas dari berbagai mithos tersebut, muncul pertanyaan; me-
ngapa konflik senantiasa muncul dalam aktivitas manusia, termasuk
aktivitas organisasi? Apakah konflik dapat dihilangkan begitu saja?
Management of
Group Interface
Triggers: Specific
Incidents and
Frustrations
Sumber: Model dikembangkan Richard E.Walton & John Dulton dalam Richard L. Daft (1992).
Organization Theory and Design, West Publishing Company, USA, p. 434.
Sumber-sumber Konflik
Berdasarkan model teoritis sebagaimana terlihat pada gambar
di atas dapat dilihat bahwa pada kotak paling kiri (konteks dan fak-
tor-faktor organisasi) terdapat elemen-elemen yang dapat menjadi
sumber-sumber konflik horizontal antar kelompok. Berbagai
elemen ini dapat mendorong munculnya konflik horizontal tatkala
dipicu oleh adanya kejadian kecil, maupun perasaan kecewa yang
melanda kelompok.
Faktor-faktor organisasi yang dapat mendorong konflik
adalah: Pertama, Environment. Lingkungan eksternal yang senantiasa
berkembang pesat dan penuh ketidakpastian, menuntut tanggapan
anggota organisasi untuk memiliki kemampuan, sikap dan
kekuatan mencapai tujuan organisasi. Kedua, Size (ukuran). Ketika
ukuran organisasi makin meningkat maka organisasi akan dibagi dalam
Dampak Konflik
Konflik tidak mungkin dihindarkan, sebagai konsekuensi inte-
raksi manusia. Mengikuti pandangan kontemporer, konflik bisa
destruktif bisa pula konstruktif, tergantung penanganannya
(Kreps,1982;187 & Stewart & Logan, 1993:343; Devito, 1995:382;
Daft, 1992: 443 & Beebe,1996: 303). Konflik bisa menimbulkan
dampak negatif misalnya, melemahnya hubungan antarpribadi, tim-
bulnya sikap marah, perasaan terluka, keterasingan (Kreps, 1986:187).
Pada tahap dini, konflik ditandai dengan sikap tidak saling per-
caya antara satu kelompok dengan kelompok lain yang lambat laun
ditunjukkan secara verbal maupun nonverbal: raut wajah tidak
senang, bersikap diam atau mungkin menghindari kelompok lain
(Pace & Faules, 1994: 250). Pada level organisasi, konflik
membawa dampak negatif; pemborosan energi/tenaga (hilangnya
konsentrasi untuk pekerjaan), menurunnya rasa saling pengertian
terhadap kelompok lain, kurangnya kerjasama antara kelompok bahkan
yang terjadi justru saling salah menyalahkan, koordinasi menjadi sangat
buruk (Daft, 1982: 444).
Sebaliknya, konflik bila dikelola secara tepat maka hal itu akan
membawa dampak konstruktif bagi pihak yang terlibat termasuk
organisasi. Pertama, sebagai tanda peringatan dini. Konflik bisa men-
jadi semacam detector untuk mengidentifikasi masalah yang timbul.
Kedua, sebagai katup pengaman. Konflik bisa menjadi katup penga-
man agar tidak menimbulkan kemarahan yang lebih besar. Keti-
ga, meningkatkan interaksi. Konflik bisa meningkatkan interaksi
dan keterlibatan anggota organisasi dalam mendiskusikan isuisu
mengenai hubungan antara dua pihak, antar kelompok atau organi-
sasi. Keempat, menumbuhkan kreativitas. Kelima, menjembatani
penyelesaian masalah. Keenam, mendorong penyampaian informasi
antara kelompok. Ketujuh, menguji kekuatan ide dari anggota
organisasi, dan solusi yang ditawarkan atas masalah yang terjadi
(Kreps, 1982:187-189).
Sejalan dengan pemikiran Kreps, menurut Stewart & Logan
(1993: 343- 347) bahwa konflik bisa membantu kelompok-kelompok
yang terlibat untuk membuat keputusan yang lebih baik dan bukan
keputusan yang sifatnya adopsi dari atas; konflik pun bisa membantu
seseorang untuk mencari solusi atas masalah yang melanda individu
atau kelompok; konflik pun dapat membantu mengemukakan keyakinan
dalam suatu hubungan; konflik mampu menyampaikan kontak inter-
personal yang sesungguhnya.
Persoalan yang dihadapi setiap pemimpin organisasi adalah
bagaimana menangani konflik sehingga tidak menimbulkan dampak
buruk bagi kelangsungan hidup organisasi. Dalam rangka ini, teknik-
teknik yang bisa dilakukan adalah: Pertama, Structural sepa-
ration: Kelompok yang tidak suka bekerja sama yang berada dalam
satu bagian, dipisahkan secara stuktural. Kedua, Bureaucratic au-
thority: Bahwa ketika terjadi konflik maka dibutuhkan otoritas
pimpinan yang lebih tinggi dari organisasi, menangani konflik antara
kelompok dalam level horizontal. Ketiga, Limited communication:
Mendorong upaya meningkatkan komunikasi antara setiap bagian. Ko-
munikasi yang terus menerus difokuskan pada isu-isu utama or-
ganisasi misalnya menyangkut tujuan yang dicapai. Keempat, Inte-
grating Devices: Ketika terjadi konflik antara kelompok maka
diperlukan adanya team khusus dari masing-masing pihak yang ber-
tikai, yang bersama-sama membahas masalah dan mencari ja-
lan keluar. Kelima, Confrontation and negotiation Pihak-pihak ya-
ng terlibat konflik dipertemukan dan melakukan negosiasi guna
mendapat jalan keluar atas masalahnya. Yang terpenting, ne-
gosiasi yang dilakukan harus mengarah kepada penyelesaian
yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Keenam,
Third party Consultant: Langkah ini dilakukan dengan cara
menghadirkan pihak ketiga manakala terjadinya konflik antar
kelompok. Pihak ketiga, bisa konsultan dari luar perusahaan yang
memang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Ketujuh, Member
Rotation: Memindahkan individu ke bagian lain, baik secara temporer
maupun secara permanen. Tujuannya agar individu tersebut bisa
memahami nilai-nilai, kebiasaan, masalah, yang dihadapi kelom-
pok lain. Kedelapan, Superordinate goals: Pimpinan puncak
organisasi harus sesering mungkin menyampaikan, mensosialisa-
sikan apa yang menjadi tujuan bersama dan utama organ isasi.
Kesembilan, Intergroup training: Melakukan pelatihan-pela-
tihan reguler antar kelompok. Masing-masing pihak dari kelompok
yang terlibat konflik diikutsertakan dalam pelatihan reguler di luar
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
122