Anda di halaman 1dari 130

Volume 7 Nomor 1 Juni 2011 ISSN: 1907-0969

Irfani
Jurnal Pendidikan Islam
Pengarah
Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo
(Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag)

Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo
(Dr. Lukman Arsyad, M. Pd)

Redaktur
Momy A. Hunowu, S. Ag., M. Si

Penyunting
Drs. Hi. Muh. Arif, M.Ag
Jhems Richard Hasan, M.Hum

Redaktur Pelaksana
Burhanuddin AK Mantau, S. Ag., M. Pd. I
Hj. Yanti Manoppo, S. Ag., M. Pd. I

Sekretaris
Dra. Hj. Nurtin Tuli
Drs. Abdurrahman Mala, M. Pd.
Arten Mobonggi, S. Ag. M.Pd.

Terbit atas Kerjasama:


Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo
dengan Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo
Daftar Isi

Pengantar Redaksi ........................................................................... iv

Faktor-faktor Determinan dalam Pendidikan Islam


Najamuddin Petta Solong, S.Ag, M.Ag. ........................................... 1

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat


Selviyanti Kaawoan, S.Ag, M.HI...................................................... 18

Pendidikan Akhlak pada Anak (Telaah Pemikiran Ibn Miskawaih)


Tita Rostitawati, S.Ag, M.Pd.I. ........................................................ 31

Akulturasi Islam dan Budaya Lokal


Momy A. Hunowu, S.Ag, M.Si. ........................................................ 44

Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa


Yuwin R. Saleh, S.Pd. M.Pd ........................................................... 55

Metode Analisis Kesilapan dalam Pembelajaran Bahasa Arab


Damhuri, S.Ag, M.Ag. .................................................................... 64

Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia terhadap Kemampuan


Berbahasa Lisan Mahasiswa
Hj. Lamsike Pateda, S.Pd, M.Pd. ................................................... 79

Mengkonversi Skor Mentah menjadi Skor Standar dalam Penilaian


Hasil Belajar Siswa
Lian G. Otaya, SE. ......................................................................... 94

Pendekatan Perilaku Komunikasi


dalam Memahami Konflik Organisasi
Abd. Razak Mozin., S.Ag., M.Si .................................................... 112

Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011 iii


Pengantar Redaksi

Fakultas Tarbiyah dan Tadris dalam kurun waktu 2 bulan


terakhir ini (Nopember-Desember) sedang sibuk-sibuknya menyeleng-
garakan kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) untuk
para guru Pendidikan Agama Islam tingkat sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah sampai tingkat sekolah menengah umum/madrasah aliyah,
sebagai bagian dari proses sertifikasi guru di lingkungan Kementerian
Agama RI. Tentu saja kegiatan ini sangat menyita pikiran dan waktu
seluruh dosen di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Tadris yang
terlibat baik sebagai pemateri, pendamping sampai kepanitiaan. Inilah
salah satu alasan kenapa jurnal Irfani edisi kali ini terlambat dari
biasanya karena harus menunggu satu demi satu tulisan yang masuk
ke redaksi, setelah itu harus diolah lagi.
Dengan tidak mengurangi hormat kami kepada para dosen
senior, edisi ini terdapat 8 buah karya para dosen muda yang dipilah
dalam 4 tema utama, pendidikan Islam, kebudayaan Islam, pem-
belajaran bahasa dan evaluasi. Terdapat tiga tulisan yang mengulas
tentang pendidikan Islam. Satu tulisan kebudayaan Islam, tiga tulisan
pembelajaran bahasa dan satu tulisan evaluasi. Diawali dengan tulisan
Najamuddin Petta Solong yang mengurai faktor-faktor determinan
dalam pendidikan Islam. Faktor-faktor determinan yang dimaksudkan
adalah faktor yang menentukan keberhasilan proses pendidikan Islam
baik dalam rumah tangga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
Sebagai faktor dominan dari kelima faktor dimaksud adalah pendidik
dan peserta didik karena keduanya adalah “yang mengatur” sedang
faktor lainnya adalah “yang diatur”. Faktor-faktor determinan dalam
Pendidikan Islam oleh penulis tidak saja harus dilihat sebagai satu
sistem tapi sudah dilihat sejak dalam kandungan sebagai pendidikan
pranatalis dan inilah yang membedakannya dengan konsep pendidikan
Barat maupun pendidikan nasional. Tulisan ini tampaknya berupaya
menstimuli pembaca dengan melihat dan mencari lebih banyak
informasi di dalam daftar pustaka yang disuguhkan dan mulai mem-
perdebatkan isu-isu tentang keberhasilan pendidikan dari berbagai
faktor dengan melihat dari “kacamata” Islam.
Jika Najamuddin mengurai faktor yang menentukan keber-
hasilan pendidikan Islam maka ulasan Selviyanti Kaawoan lebih
menekankan nilai pendidikan yang terkandung dalam perintah menu-

iv Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011


naikan zakat. Zakat, sebagaimana yang diperintahkan kepada umat
Islam, bukan hanya terkait dengan ibadah kepada Allah swt, melai-
nkan pula terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi umat. Me-
nurut Selviyanti, memahami adanya nilai-nilai pendidikan yang sarat
akan nilai sosial, nilai ekonomi dan kedekatan diri kepada Allah swt,
mutlak untuk diperlukan, karena pada dasarnya apapun yang diperoleh
di dunia ini hanyalah kepemilikan yang sementara dan kapanpun
dapat diambil kembali oleh yang maha Kuasa jika dikehendaki-Nya
Berbeda dengan Selvi Kaawoan, Tita Rostitawati lebih mene-
kankan pada pendidikan akhlak. Tulisan ini menelaah pemikiran Ibn
Miskawaih tentang akhlak, terutama pada anak-anak. Ada pernyataan
yang dikutip Tita yang penting untuk direnungkan, bahwa sesung-
guhnya fondasi utama tegaknya masyarakat Islam adalah akidah,
yakni akidah Islamiah. Tugas pertama masyarakat Islam adalah
memelihara, menjaga dan mengukuhkan akidah, serta mamancarkan
cahayanya ke seluruh penjuru dunia. Mengingat pentingnya pem-
binaan akhlak, Miskawaih memberikan perhatian besar terhadap
pendidikan akhlak pada anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa
kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia
berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi
dimulai. Agar masa depan akhlak anak terarah, Tita menawarkan 2
syarat, yaitu, syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama
tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang
dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik,
dan dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak
berbakat untuk cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua dapat
dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan
pergaulan dari teman-temannya yang berperangai buruk
Bagian kedua adalah tema kebudayaan Islam. Hanya ada 1
tulisan pada tema ini, ditulis oleh Momy A. Hunowu dengan judul
Akulturasi Islam dan budaya lokal. Tulisan ini mengkaji tentang
pertautan antara Islam dan budaya lokal, mengurai secara sederhana
tentang hakikat akulturasi Islam dan budaya lokal serta bentuk
akulturasi Islam dan budaya lokal. Sebagai kajian pustaka, tulisan ini
lebih banyak memberi contoh akulturasi Islam dan budaya lokal Jawa.
Meski demikian, pada akhir tulisan, Momy A. Hunowu berusaha
menampilkan budaya lokal Gorontalo, baik berdasarkan hasil pene-
litian di masa lalu maupun ulasan penulis mengenai fakta-fakta ke-di-
sini-kinian.
Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011 v
Tema ketiga adalah pembelajaran bahasa. Bagian ini diawali
dengan tulisan Yuwin R. Saleh tentang Kecerdasan dan Pembelajaran
Bahasa. Yuwin mengurai bahwa mempelajari bahasa memerlukan
sebuah perjuangan panjang yang menuntut keterlibatan total, respon
fisik, intelektual dan seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh peserta
didik apalagi kecakapan bahasa sebagai sebuah tujuan dalam pem-
belajaran bahasa seringkali membawa kita pada penggunaan kata
“kecerdasan”, oleh karenanya pemahaman akan kecerdasan dalam hal
ini sekaligus bagaimana memaksimalkan kecerdasan itu dalam proses
pembelajaran menjadi bagian yang sangat penting yang perlu men-
dapat perhatian dari seorang guru bahasa apalagi tujuan pembelajaran
bahasa memang menuntut hampir keseluruhan jenis kecerdasan
tersebut.
Tulisan kedua adalah tentang Metode Analisis Kesilapan
Dalam Pembelajaran Bahasa Arab yang diulas Damhuri. Tulisan ini
lebih membenarkan apa yang diulas Yuwin R. Saleh sebelumnya,
bahwa mempelajari bahasa membutuhkan kecerdasan secara total.
Jika tidak, maka akan terjadi banyak kesalahan. Menurut Damhuri,
Kesalahan dalam berbahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan
merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari bagi pembe-
lajar, khususnya para pemula. Bahkan kesalahan-kesalahan berbahasa
pembelajar pada hakikatnya merupakan sebuah input yang berharga
bagi pengajar bahasa. Dari kesalahan-kesalahan tersebut seorang
pengajar bahasa dapat mengetahui dan mengklasifikasikan aspek-
aspek penting dan mendesak yang harus diberikan kepada pembelajar.
Klasifikasi masalah kebahasaan pembelajar tersebut selanjutnya
dimanfaatkan untuk menempuh langkah-langkah pembe-lajaran yang
efektif dan tepat sasaran dan langsung menyentuh sisi kebutuhan
pembelajar. Selanjutnya, secara timbal balik, koreksi-koreksi yang
tajam terhadap kesalahan berbahasa pembelajar dapat menjadi
insfirasi bagi mereka untuk mengetahui letak-letak kesalahan yang
selama ini mereka lakukan. Dengan kesadaran tersebut, maka
pembelajar akan melakukan perbaikan internal secara sadar. Atas
dasar tersebut, maka penerapan metode analisis kesalahan berbahasa
dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Arab perlu dilakukan
sesuai dengan tingkat kebutuhan pembelajar.
Tulisan terakhir pada bagian pembelajaran bahasa adalah hasil
penelitian. Dilakukan oleh Lamsike Pateda dengan judul penelitian
“Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia Terhadap Kemampuan
vi Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011
Berbahasa Lisan Mahasiswa; Survei pada Mahasiswa Fakultas
Tarbiyah, IAIN Sultan Amai Gorontalo”. Tulisan ini setidaknya
berusaha menemukan kesalahan dalam berbahasa sebagaimana diulas
Damhuri sebelumnya. Ini pula yang melatarbelakangi Lamsike Pateda
melakukan penelitian dalam bentuk survey, bahwa kemampuan
berbahasa Indonesia lisan seseorang kurang baik menyebabkan
informasi yang disampaikan tidak diterima dengan baik oleh pende-
ngar, sehingga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Salah satu
temuan Lamsike Pateda yang dapat dipaparkan di sini adalah bahwa
mayoritas mahasiswa hanya menggunakan bahasa Indonesia lisan
pada kesempatan formal saja. Seperti ketika dalam kegiatan diskusi,
presentasi, seminar serta digunakan ketika bertemu dengan orang yang
memiliki derajat lebih tinggi. Ini berarti bahwa mereka lebih banyak
menggunakan bahasa lokal atau informal. Lian G. Otaya dengan tajuk
Mengkonversi Skor Mentah menjadi Skor Standar dalam Penilaian
Hasil Belajar Siswa. Menurut Lian, Kegiatan penskoran (scoring) dan
penilaian merupakan satu rangkaian kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan. Penskoran merupakan kegiatan mengumpulkan data
melalui tes maupun non-tes sehingga diperoleh skor mentah (raw
score) untuk kemudian diolah atau dikonversi (diubah). Sementara
nilai pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan
seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah ditunjukkan
oleh testee terhadap materi atau bahan yang diteskan, sesuai dengan
tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. Nilai, pada
dasarnya juga melambangkan penghargaan yang diberikan oleh tester
kepada testee atas jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes
hasil belajar. Itulah sebabnya mengapa nilai sering disebut skor
standar (standard score). Untuk dapat disebut nilai, skor-skor mentah
hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan pengubahan. Dengan
demikian, Lian menjelaskan bahwa untuk sampai kepada skor standar,
maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-
skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
(dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (Standard
Score). Untuk lebih memastikan pembaca, Tulisan Lian dilengkapi
dengan contoh-contoh penskoran, semoga bermanfaat bagi pembaca
untuk menilai hasil belajar peserta didiknya dan bagian akhir dalam
Jurnal edisi ini adalah satulisan yang menutup seluruh ulasan ditulis
oleh Abd. Razak Mozin Pendekatan Perilaku Komunikasi dalam
Memahami Konflik Organisasi .
Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011 vii
Pembaca, inilah sajian kami edisi ini, dengan harapan, semoga
menjadi bacaan yang bernas sekaligus menjadi pengayaan bagi kita
yang bergelut dalam dunia pembelajaran untuk meningkatkan kom-
petensi kita dalam pendidikan dan pembelajaran. Akhirulkalam, meski
telah terlambat, segenap redaksi Irfani mengucapkan selamat Tahun
Baru Islam, 1433 H.

Gorontalo, Oktober 2011

Redaktur

viii Irfani, Volume 7 Nomor 1 Juni 2011


FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Najamuddin Petta Solong

Abstrak

Keberhasilan pendidikan Islam dipengaruhi oleh seluruh faktor


determinan pendidikannya. Apabila timbul permasalahan di da-
lam pendidikan Islam, maka pendidik sebagai faktor dominan
dalam pendidikan Islam harus dapat mengklasifikasikan masa-
lah yang dihadapi itu ke dalam faktor-faktor yang ada sebagai
faktor determinan, terdiri dari: peserta didik, tujuan pendidikan,
alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan sembari mencari
langkah-langkah yang tepat untuk pemecahannya dengan meng-
gunakan “kacamata” pendidikan Islam.

Kata Kunci: Faktor Determinan, Pendidikan Islam

A. PENDAHULUAN
Dalam melaksanakan pendidikan, perlu diperhatikan adanya
faktor-faktor determinan pendidikan yang ikut menentukan keberha-
silan pendidikan tersebut. Dengan kata lain bahwa faktor-faktor deter-
minan pendidikan adalah sesuatu yang menentukan berlangsungnya
proses dan hasil pendidikan, baik di rumah tangga, sekolah, maupun
masyarakat.
Faktor-faktor determinan pendidikan itu menurut Toto Suharto
terdiri dari lima macam, antara satu dengan yang lainnya mempunyai
hubungan yang erat, yaitu: peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan,
alat-alat pendidikan, millieu/lingkungan.1
Dari kelima faktor determinan pendidikan di atas, terdapat dua
faktor dominan pendidikan atau yang mendominasi pendidikan yaitu
peserta didik dan pendidik, sedangkan yang lainnya bukan merupakan
faktor dominan karena pendidik dan peserta didik adalah yang
“mengatur” proses pendidikan sedangkan yang lainnya adalah “di-
atur”.
Toto Suharto dengan memodifikasi konsepsi Noeng Muhadjir,
mengungkapkan secara filosofis komponen-komponen pokok pendidi-

1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2006), h. 110. Dalam tulisan lainnya disebutkan; faktor-faktor determinan dalam
pendidikan Islam terdiri dari tujuan, kurikulum, pendidik, peserta didik, metode, dan
evaluasi, Lihat As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, (Cet. I;
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 85-107.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 1


Najamuddin Petta Solong

kan Islam ke dalam lima komponen, yaitu tujuan, pendidik dan peserta
didik, kurikulum, metode, dan konteks pendidikan.2
Faktor-faktor determinan yang disebutkan di atas, menjadi pe-
nentu keberhasilan pendidikan di rumah tangga, sekolah dan masyara-
kat. Dalam pendidikan Islam, maka hal yang paling diharapkan untuk
dapat diperoleh yaitu sebuah proses pendidikan yang berkualitas yang
mampu memenuhi semua faktor-faktor determinan agar peserta didik
dapat mencapai keberhasilan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka permasalahan pokok
yang diangkat dalam tulisan ini adalah: Bagaimana faktor-faktor
determinan dalam pendidikan Islam? Dari pokok permasalahan ter-
sebut kemudian dirumuskan sub permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peserta didik dalam pendidikan Islam?
2. Bagaimana pendidik dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana alat dalam pendidikan Islam?
4. Bagaimana tujuan dalam pendidikan Islam?
5. Bagaimana lingkungan dalam pendidikan Islam?

B. PEMBAHASAN

1. Peserta didik dalam Pendidikan Islam


Peserta didik adalah orang yang membutuhkan pendidikan dan
menyerahkan dirinya untuk dididik. Orang yang membutuhkan pen-
didikan sudah dimulai sejak dalam kandungan melalui pendidikan pra-
natalis. Orang yang menyediakan dirinya untuk dididik adalah yang
tercatat dalam suatu lembaga pendidikan seperti siswa, santri, kelom-
pok belajar dan mahasiswa.
Pandangan Islam tentang peserta didik adalah bukan hanya
anak yang belum dewasa tetapi seluruh manusia, sebab: (a) konsep
pendidikan Islam adalah pendidikan sepanjang hayat. Sabda Nabi:
”didiklah anakmu dari buaian sampai ke liang lahat”. (b) pendidikan
Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia karena Rasul diutus
untuk itu. Sabda Nabi: ”dan Tidaklah aku (Muhammad) diutus kecuali
untuk seluruh manusia”.
Walaupun dalam proses berlangsungnya pendidikan, kedu-
dukan pendidik sangat menentukan akan tetapi tidaklah seluruh per-
soalan pendidikan ditentukan oleh keberadaan pendidik. Karenanya
peserta didik harus memegang peranannya sebagai subyek pendidikan
karena dialah yang mengelola dan mengembangkan apa-apa yang
diajarkan kepadanya.
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan,
peserta didik tidak dianggap sebagai organisme yang pasif sebagai

2
Ibid., h. 111.

2 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

penerima informasi, tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif,


memiliki potensi untuk berkembang, kebutuhan, bakat dan potensi
yang berbeda-beda yang harus dipenuhi dan dikembangkan melalui
belajar.
Guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, akan tetapi
berperan sebagai orang yang membimbing dan memfasilitasi agar pe-
serta didik mau dan mampu belajar. Peserta didik tidak dianggap seba-
gai obyek yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melain-
kan ditempatkan sebagai subyek yang belajar sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuan yang dimilikinya.3
Peserta didik adalah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai
tumpuan perhatian. Di dalam proses pembelajaran, peserta didik seba-
gai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian
ingin menciptakannya secara optimal. Peserta didik menjadi faktor
“penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesua-
tu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.4
Tidak tepat lagi bahwa peserta didik berperan sebagai obyek.
Pandangan yang menganggap peserta didik sebagai obyek sebenarnya
pendapat yang usang, yang terpengaruh oleh konsep Tabularasa
bahwa peserta didik diibaratkan sebagai kertas putih yang dapat di-
tulisi sekehendak hati oleh para guru. Dalam konsep ini berarti peserta
didik hanya pasif seolah-olah barang terserah mau diapakan. Sebalik-
nya guru akan sangat dominan di dalam proses pembelajaran.5
Dalam proses pembelajaran guru harus memerankan peserta
didik sebagai subyek ketimbang obyek. Belajar yang efektif ketika
peserta didik diperankan sebagai subyek sehingga diharapkan lebih
aktif dalam kegiatan belajar. Jika diperankan sebagai obyek belajar,
kesempatan mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan
bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai dengan gayanya sangat terbatas,
sebab, segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.6
Peran peserta didik sebagai subyek dalam pendidikan sejalan
dengan prinsip-prinsip pandangan Islam mengenai manusia: (1) ma-
nusia adalah makhluk yang paling mulia (Q.S. al-Isra: 70); (2)
manusia dibentuk dalam sebaik-baik kejadian; (3) tugas manusia di
dunia sebagai khalifah, (4) manusia dilengkapi dengan akal yang

3
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. IV;
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 99.
4
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 111.
5
Ibid., h. 112
6
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 97.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 3


Najamuddin Petta Solong

harus digunakan; (5) dalam pertumbuhan dan perkembangannya ma-


nusia dipengaruhi dua faktor yakni lingkungan dan pembawaan.
Tiga aspek yang dikembangkan dalam pendidikan Islam yaitu:
(a) rohani (tarbiyatul ruhiyah), (b) akal (tarbiyatul aqliyah), (c)
jasmani (tarbiyatul jismiyah). Kebutuhan rohaniah anak yang harus
dipenuhi dalam pendidikan Islam yakni rasa kasih sayang, aman, ingin
tahu, bebas dan rasa sukses, jika tidak anak akan tumbuh tidak normal
bila salah satu kebutuhan tidak terpenuhi.7
Perkembangan jasmani dan rohani yang perlu diperhatikan
keseimbangan agar tidak terjadi kelainan dalam diri anak. Kebutuhan
jasmaniah tidak dapat dikosumsikan sebagaimana hewan, tetapi lebih
dari itu, pemenuhan kebutuhan tersebut harus dikosumsikan harmonis
untuk mengaktualisasikan fitrah manusia.8Al-Jamil yang dikutip Ari-
fin, fitrah adalah kemampuan dasar beragama pada anak yang dalam
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh langkah-langkah pendi-
dik.9
Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa mem-
bedakan antara iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya,
ia dapat membedakan antara iman dan kafir. Karena ujud fitrah adalah
qolb dapat mengantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang
oleh apapun, sedang setan hanya dapat membisikkan kesesatan
sewaktu anak telah mencapai usia akil baligh.10 Nabi saw, bersabda:
ËÆp½#ËÆ©ªÏ#ÖÔ\#ÓDló²½D#Ѿ©ÞDh½ÎÏ#h½Î½ÎÁ#ÇÁ#qн#ÔÏÍ#EªÁ#ÕLD#Ç¢©
Artinya:
“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya,
sehingga lidahnya memalingkan padanya.” (H.R. Muslim)11

Sayyid Quthub memberikan makna fitrah dengan memadukan


dua pendapat, yaitu bahwa fitrah merupakan jiwa kemanusiaan yang
perlu dilengkapi dengan tabiat beragama, antara fitrah kejiwaan ma-

7
Manusia terdiri dua anasir yang saling berkaitan. Pengembangan daya
jasmani yang terpenuhi dalam transfer of knowledge harus disempurnakan dengan
transfer of value. Tanpa itu pendidikan hanya akan menghasilkan output yang berat
sebelah serta kehilangan keseimbangan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 23.
8
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka
Dasar Oprasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 29
9
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h.
78
10
Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi, h. 5108 yang diulas oleh Muhaimin dan
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 2003), h. 19
11
Imam Muslim, Shahih Muslim Jilid 2 (Beirut: Darul Fikr, tt,), h.460

4 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

nusia dan tabiat beragama merupakan relasi yang utuh, mengingat


keduanya ciptaan Allah pada diri manusia sebagai potensi dasar ma-
nusia yang memberikan hikmah (wisdom), mengubah diri ke arah
yang lebih baik, mengobati jiwa yang sakit, dan meluruskan diri dari
rasa keberpalingan.12
Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa fitrah itu merupakan ciptaan atau kemampuan dasar yang diba-
wa oleh anak sejak lahir. Agar fitrah itu dapat tumbuh dan berkem-
bang ke arah kepribadian anak maka perlu dikembangkan sejak dalam
kandungan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian pengaruh baik
langsung maupun tidak langsung oleh kedua orang tua terutama
ibunya sebagai dasar bagi pengembangan kepribadian anak selanjut-
nya melalui pendidikan formal.

2. Pendidik dalam Pendidikan Islam


Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab atau diserahi
tanggungjawab untuk mendidik. Orang tua, guru dan pemimpin for-
mal/informal adalah contoh pendidik. Orang tua adalah penang-
gungjawab pendidikan anak, guru dan ulama serta pemerintah adalah
orang yang diserahi tanggungjawab untuk mendidik oleh orang tua.
Jadi, guru adalah sebutan terhadap pendidik yang diserahi tang-
gungjawab mendidik oleh orang tua peserta didik.
Dalam bahasa Arab yang biasa dipakai sebagai sebutan bagi
para guru, yaitu ustadz, mu'allim, mursyid, murabbi, mudarris, dan
mu-addib. Istilah-istilah ini, dalam penggunaannya, memiliki makna
tertentu. Dalam tradisi Islam Indonesia ditemukan pula beberapa pre-
dikat bagi guru yang biasanya berbeda dalam setiap daerah. Misalnya,
Kyai di pulau Jawa dan Madura, Ajengan di Jawa Barat, Tuan Guru di
Lombok, dan Teuku di Aceh. Sebutan lain untuk pendidik di seko-
lah/pesantren adalah ustaz adalah seperti enci, mener, engku, gurutta,
dan sebagainya. Di lembaga kursus disebut instruktur atau pelatih,
pembimbing, dan di Perguruan Tinggi disebut dosen dan guru besar.
Keberadaan pendidik sebagai salah satu pelaku dalam pendi-
dikan Islam sangat menentukan sebab di samping sebagai pendidik,
juga berfungsi sebagai pembimbing, organisator, sekaligus sebagai
motivator yang hendak bertindak sebagai figur yang menjadi panutan
peserta didik baik dari segi tingkah laku maupun dari seluruh
kepribadiannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Itulah sebabnya cukup beralasan jika kemudian pemerintah
Republik Indonesia sejak tahun 1979 (proyek P3 G) sampai saat ini,
telah memberikan perhatian begitu banyak terhadap upaya pening-

12
Sayid Quthub, Tafsir fi Dlilalil Qur’an Juz.VI (Libanon: Darul Ahya), h.
453

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 5


Najamuddin Petta Solong

katan mutu guru dan perbaikan sistem pendidikan guru sebagai salah
satu unsur pendidik.13
Di lain pihak peningkatan alokasi anggaran untuk sektor
pendidikan yakni sebesar 20% dan perbaikan gaji guru pun sudah
dilakukan melalui program sertifikasi guru walaupun masih belum
memadai atau belum terwujud sepenuhnya karena selalu berpacu
dengan bertambah tingginya tuntutan hidup di masyarakat. Hal ini
dilakukan pemerintah dengan harapan dapat meningkatkan profe-
sionalisme guru.
Dalam Islam profesionalisme ini mempunyai fungsi sosial,
artinya dapat memberi manfaat yang luas kepada masyarakat.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:

#úÇLè #ÍúlÂè ©æ #èÇ©æ #û_½ì Eæw#úÇLè #ôÔÏæ Íú EæªÁç #èÇ©æ #íOEæMç\#çÇLè #çhÏè mæ #EæÆTæ îh\æ #íNÏè læ ¹ õ #ÎçLFô #EæÆTæ hî \
æ
#æÀEôµ#úrEîƽD#çlÐè c æ #èÇÁæ #ìËü¾½D#æÀÎçokæ #EæÏ#æÀEôµ#EðÐLì Dæl©è Fô # îÈ47Fô #ûlp
è Lç #úÇLè #ì˾ü½D#ìhMè ©æ #èÇ©æ #ûqÐè µô
# ## çËõ¾Âæ ©æ #æÇp ç \ æ Íæ #çÌçlçÂç©#æÀEô#èÇÁæ
Artinya:
Kami telah diceritakan oleh Abu kuraib, kami telah diceritakan
Said bin Hubbab dari Muawiayah bin shalih dari umar bin Qais
dari Abdullah bun Busra, berkata, ya Rasulullah Saw. siapa
manusia yang paling baik? Rasulullah Saw. Sebaik-baik manusia
adalah orang yang panjang umurnya dan profesional dalam
pekerjaannya (baik cara kerjanya sehingga punya manfaat terha-
dap orang lain).
Lebih dari itu, profesionalisme mempunyai nilai ibadah kese-
muanya dalam rangka mengabdi kepada Allah. Profesi yang sesuai de-
ngan panggilan hati akan disenangi dan memberikan kepuasan psiko-
logis tersendiri, pada gilirannya kepuasan psikologis ini dapat
meningkatkan kualitas profesionalisme itu sendiri sesuai dengan teori
reinforcement.

3. Tujuan dalam Pendidikan Islam


Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud” dalam bahasa
arab dinyatakan dengan ghayat atau ahdaf atau aqasid. Dalam bahasa
Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan “goal” atau purpose atau
obyektive atau aim. Secara umum istilah-istilah itu mengandung

13
Udin S., Pengembangan Profesi Guru Menyongsong Abad XXI (Palu:
Makalah, Panitia Seminar Sehari UT Luwuk Banggai, 24 Oktober 1995), h. 5.
14
Muhammad bin Isa bin Surati bin Musa al-Dahak, Sunan al-Turmuziy,
Kitab Al-Zahn Min Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Thuli Al-Umri Al-Mu’mi, Hadis ke-
2251.

6 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu


tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya
atau aktivitas. 15 Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai
setelah usaha atau kegiatan selesai,16 atau sesuatu yang hendak dicapai
dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Bila pendidikan itu berbentuk
pendidikan formal, tujuan pendidikan itu harus tergambar dalam suatu
kurikulum.17
Tujuan tentu berbeda dengan hasil. Tujuan pendidikan berbeda
dengan hasil pendidikan. Tujuan pendidikan adalah sesuatu yang ha-
rus dicapai dalam proses pendidikan yang sejalan dengan tujuan hidup
manusia. Jadi, tujuan pendidikan adalah segala perubahan yang harus
terjadi pada diri peserta didik melalui kegiatan atau proses pendidikan.
Pada dasarnya, tujuan berisi harapan sedangkan hasil berisi
capaian. Harapan diwujudkan melalui proses pendidikan dan ketika
harapan itu terwujud maka disebut hasil. Pendidikan Islam yang
berhasil adalah pendidikan yang memenuhi harapan dalam proses
pendidikannya sehingga dapat dinilai hasil-hasil yang dicapai oleh
pendidikan Islam.
Keterangan tentang tujuan pendidikan Islam mengharuskan
untuk membahas tentang sifat-sifat asal (natur) manusia menurut
pandangan Islam, sebab pada manusia itulah dicita-citakan sesuatu
yang akan ditanamkan oleh pendidikan. Dengan kata lain, manusia
macam mana yang ingin dicapai dengan pendidikan itu.18
Bila pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses maka
proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendi-
dikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada haki-
katnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk
dalam pribadi manusia yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa isi
dari tujuan pendidikan Islam itu adalah perubahan yaitu terbentuknya

15
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
222.
16
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
29.
17
Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta:
Bumi Angkasa, 2001), h. 72.
18
Tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan manusia
kepada Allah dan mewujudkan tugas kekhalifahan dalam kehidupan manusia, baik
secara individual maupun secara sosial. Lihat firman Allah dalam surat Adz-
Dzariyat:56.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 7


Najamuddin Petta Solong

kepribadian muslim, suatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai


oleh ajaran Islam yang dalam al-Qur’an disebut “Muttaqien”.19
Nilai-nilai ideal itu memengaruhi dan mewarnai pola
kepribadian muttaqin sehingga menggejala dalam prilaku lahiriahnya.
Dengan kata lain prilaku lahiriah adalah cermin yang memproyek-
sikan nilai-nilai Islam yang telah mengacu di dalam jiwa seorang
muslim sebagai produk dari proses kependidikan.
Dalam pendidikan dikenal juga istilah tujuan pembelajaran,
merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembe-
lajaran. Tidak ada suatu pembelajaran yang diprogramkan tanpa tu-
juan, karena hal ini merupakan kegiatan yang tidak memiliki kepastian
dalam menentukan arah, target akhir dan prosedur yang dilakukan.
Tujuan dalam pendidikan Islam merupakan suatu cita-cita ya-
ng bernilai normatif. Sebab dalam tujuan terdapat sejumlah nilai da-
lam ajaran Islam yang harus ditanamkan kepada peserta didik. Nilai-
nilai Islam itu nanti akan mewarnai cara peserta didik bersikap dan
berbuat dalam lingkungan sosial, baik di sekolah maupun di luar seko-
lah.
Tujuan mempunyai jenjang dari yang luas atau umum sampai
kepada yang sempit atau khusus. Semua tujuan itu berhubungan antara
satu dengan yang lainnya, dan tujuan di atasnya. Bila tujuan terendah
tidak tercapai, tujuan di atasnya tidak tercapai pula, sebab tujuan beri-
kutnya merupakan turunan dari tujuan sebelumnya. Merumuskan tu-
juan memperhatikan kesinambungan setiap jenjang tujuan pendidikan.
Guru dalam mengajar, sekalipun hanya berupa sub materi bahan ajar,
tidak boleh terlepas dari konteks tujuan sebelumnya.
Lebih spesifik Roestiyah, berpendapat bahwa tujuan merupa-
kan deskripsi tentang penampilan perilaku (performance) peserta
didik yang diharapkan setelah mempelajari bahan pelajaran tertentu.
Suatu tujuan menunjukkan suatu hasil yang diharapkan dari
pembelajaran dan bukan sekedar proses dari pembelajaran itu sen-
diri.20
Tujuan merupakan suatu sasaran di mana kegiatan itu diarah-
kan dan diusahakan untuk sedapat mungkin dicapai dalam jangka
waktu tertentu. Semua guru harus mengetahui tujuan dalam pembe-
lajaran yang akan dicapainya, agar kegiatan-kegiatan yang dilaku-
kannya tidak saling bertentangan. Cara yang ditempuh dapat berbeda-
beda sesuai dengan pembagian tugas masing-masing guru dalam
mengampu pelajaran.

19
Irpan Abd. Gafar dan Muhammad Jamil, Reformulasi Rancangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Restu Agung, 2001), h. 73.
20
N.K. Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Bina Aksara, 2008),
h. 28.

8 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

Untuk mencapai tujuan dalam pendidikan Islam dibutuhkan


program pembelajaran formal yang mempunyai tujuan yang jelas dan
konkret yaitu suatu pembelajaran yang diorganisasi segala variabel
pembelajarannya; seperti tujuan, cara, alat, waktu, tempat, dan
evaluasi untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan pendidikan Islam itu
sulit terwujud kalau bukan dengan pembelajaran, sedangkan pembela-
jaran tidak akan ada artinya tanpa mencapai tujuan pendidikan Islam.
Tujuan pembelajaran dimaknai sama dengan kompetensi kare-
na isi tujuan adalah kompetensi. Kompetensi adalah ”pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfi-
kir dan bertindak.” 21 Kompetensi merupakan pengetahuan, keteram-
pilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan ber-
pikir dan bertindak. 22 Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai
oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.23
Khusus untuk tujuan pada mata pelajaran pendidikan agama
Islam harus berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis yang merupakan
sumber pokok ajaran Islam. Tujuannya tidak boleh menyimpang atau
menentang prinsip-prinsip ajaran Islam.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa prinsip
pokok ajaran Islam harus pula menjadi prinsip tujuan lembaga
pendidikan Islam dan tujuan pada mata pelajaran dalam pendidikan
Islam. Hal ini penting diperhatikan karena tujuan merupakan suatu
sasaran di mana kegiatan itu diarahkan dan diusahakan untuk sedapat
mungkin dicapai dalam jangka waktu tertentu.

4. Alat dalam Pendidikan Islam


Segala situasi, tindakan dan perlengkapan yang sengaja
diadakan atau dipersiapkan untuk mencapai tujuan pendidikan itulah
yang disebut alat pendidikan. Jadi, alat pendidikan mencakup metode,
evaluasi, media, sarana dan prasarana yang digunakan dalam memper-
mudah pencapaian tujuan pendidikan. Pembelajaran, hukuman, ketela-
danan, motivasi, segala sarana dan prasarana baik perangkat keras
maupun lunak, bersifat fisik maupun psikis termasuk dalam alat pen-
didikan.

21
Siskandar, Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dasar dan
Menengah (Makalah) (Jakarta: Pusat Kurikulum, Depdiknas, 2003), h. 2.
22
Yuliani Nurani Sujiono, Menu Pembelajaran Anak Usia Dini (Jakarta:
Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, 2005), h. 208.
23
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
(Jakarta: Asa Mandiri, 2008), h. 157.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 9


Najamuddin Petta Solong

Ramayulis cenderung tidak membedakan antara alat dengan


media dan tidak memasukkan metode ke dalam alat pendi-
dikan. 24 Daradjat menyebutkan, alat sama dengan media, 25 Uhbiyati
cenderung menyamakan metode dan alat pendidikan Islam dan tidak
memasukkan media ke dalam alat pendidikan.26
Alat dalam pendidikan Islam yaitu cara dan segala apa saja
yang dapat digunakan untuk menuntun atau membimbing peserta
didik dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi manusia berke-
pribadian muslim yang diridhoi oleh Allah dan tidak boleh menyim-
pang dengan petunjuk yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun
Hadits Nabi dalam penerapannya. Alat dalam pendidikan Islam meru-
pakan faktor yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan dan
mempengaruhi kualitas/nilai yang dihasilkan oleh pendidikan Islam.
Pentingnya masalah alat pendidikan ini sampai-sampai Rasu-
lullah saw bersabda yang maknanya: “Kami para Nabi, diperintahkan
untuk menempatkan seseorang pada posisinya, berbicara kepada me-
reka sesuai dengan kemampuan akalnya”. Dari hadis tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa dalam mendidik harus disesuaikan dengan
keadaan dan kemampuan peserta didik. Tidak boleh mementingkan
materi dengan mengorbankan peserta didik. Sebaliknya, pendidik
harus menyusun materi tersebut sedemikian rupa sesuai dengan
karakteristik peserta didik, tetapi dengan cara serta gaya yang menarik
dan menyenangkan.
Zaini membagi alat pendidikan itu ke dalam 2 bagian besar
yang masing-masing dibagi dalam sub bagian, yaitu: (1) Amar Ma’ruf
terdiri dari: (a) dengan ajaran-ajaran yang baik, (b) dengan teladan
yang baik. (c) dengan ganjaran. (2) Nahi Munkar terdiri dari: (a)
dengan menjauhi kejahatan, (b) dengan peringatan atau teguran, kalau
kesalahannya masih ringan, (c) dengan hukuman.27
Munandar memberikan contoh ganjaran dengan pemberian
hadiah kepada peserta didik untuk pekerjaan yang dilaksanakan
dengan baik, tidak harus berupa materi, yang terbaik justru berupa
senyuman atau anggukan, kata penghargaan, kesempatan untuk me-
nampilkan dan mempresentasikan pekerjaan sendiri. 28 Budaiwi me-

24
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h.181.
25
Zakiah Daradjat, op.cit., h. 80.
26
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
123.
27
Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 1996), h. 143.
28
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Peserta Didik
Sekolah, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 163.

10 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

ngemukakan pendapat al-Qabasi, guru harus menyayangi, bersikap


lemah lembut, memberikan nasihat, dan berperan sebagai pengganti
orang tua.29
Ganjaran menurut al-Qabasi di atas bentuknya lebih bersifat
psikologis yang tercermin dalam sikap dan perlakuan guru terhadap
siswa. Dalam hal ini, ganjaran tersebut dengan penciptaan suasana
interaksi sosial yang nyaman antara guru dan peserta didik. Pendapat
di atas menunjukkan pemberian reinforcement yang berbentuk peng-
hargaan (reward) terhadap perilaku yang baik merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan Islam.
Perlu ditegaskan kembali bahwa segala usaha atau perbuatan
yang dilakukan pendidik ditujukan untuk melaksanakan tugas pendi-
dikan Islam, termasuk penggunaan alat pendidikan. Alat pedidikan
adalah tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan agar pendidikan Is-
lam tersebut berjalan dengan lancar dan berhasil.30
Pendidik umumnya dituntut menggunakan sarana tersebut
secara efektif, selektif dan kreatif, dinamis dan bertanggungjawab.
Artinya, pendidik yang menentukan berhasil atau tidaknya penggu-
naan alat pendidikan itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendi-
dikan dengan melibatkan secara efektif, aktif, kreatif serta bertang-
gungjawab kepada peserta didik yang berlangsung pada setiap lingku-
ngan pendidikan.
Untuk mencapai keberhasilan tujuan pendidikan Islam,
seorang pendidik dituntut memilih alat-alat pendidikan yang baik dan
sesuai, memperhatikan empat faktor atau syarat, yaitu: (a) tujuan
apakah yang hendak dicapai dengan alat itu, (b) siapa (pendidik) yang
menggunakan alat itu, (c) anak (si terdidik) yang mana dikenakan alat
itu, dan (d) agaimana menggunakan alat itu.31
Keempat syarat tersebut di atas, merupakan hal yang mutlak
diketahui oleh pendidik sehingga akan mudah di dalam membimbing
dan mendidik peserta didik dengan menggunakan alat-alat itu. Sebab,
alat-alat pendidikan sangat luas sekali, bahkan termasuk di dalamnya
kurikulum, metode, evaluasi dan sebagainya. Demikian pula tindakan,
sikap, situasi, termasuk alat-alat peraga.
Alat pendidikan mempunyai peranan penting sebab merupakan
jembatan yang menghubungkan pendidik dengan peserta didik menuju
kepada tujuan pendidikan Islam. Apabila seluruh faktor telah dipan-

29
Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi
Pendidikan Anak (terj. M. Syihabuddin) (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 45.
30
Syahminan Zaini, loc. cit.
31
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung:
Rosdakarya, cet. V, 1992), h. 224.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 11


Najamuddin Petta Solong

dang baik terkecuali faktor metode maka pendidik memerinci dan


mengklasifikasikan ke dalam klasifikasi masalah alat yang tepat untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam.

5. Lingkungan dalam Pendidikan Islam


Sisi lain yang ikut mempengaruhi berhasilnya pendidikan Is-
lam adalah faktor lingkungan. Hal ini perlu diketahui sebab pendi-
dikan Islam hanya berlangsung dalam lingkungan yang memung-
kinkan terjadinya proses belajar. Sehingga itu, lingkungan dikatakan
sebagai salah satu faktor determinan dalam pendidikan Islam.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, lingkungan diartikan
sebagai bulatan yang melindungi (melingkar). 32 Lingkungan adalah
segala sesuatu yang ada di luar diri individu. Dari definisi tersebut
Wahyudin membedakan 2 jenis lingkungan yaitu lingkungan alam dan
lingkungan sosial budaya.33
Purwanto mengartikan lingkungan (environment) meliputi
semua kondisi-kondisi dalam cara-cara tertentu mempengaruhi ting-
kah laku seseorang, pertumbuhan, perkembangan maupun proses. Dari
definisi ini ternyata bahwa di dalam lingkungan tidak hanya terdapat
sejumlah faktor-faktor pada suatu saat, tetapi terdapat pula faktor-
faktor lain yang banyak sekali, yang secara potensial dapat mempe-
ngaruhi perilaku seseorang.34
Al-Syaibany berpendapat, lingkungan ialah ruang lingkup luar
yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk
kegiatannya seperti: air, udara, bumi, langit, matahari, dan sebagainya
juga masyarakt yang merangkumi insan pribadi, kelompok, institusi,
sistem, undang-undang, dan adat kebiasaan.35
Pendapat at-Toumy di atas lebih terperinci dari pendapat sebe-
lumnya. Lingkungan tidak terbatas kepada alam dan sosial tetapi juga
benda, peristiwa, kondisi masyarakat dan dapat mempengaruhi per-
tumbuhan dan perkembangan peserta didik. At-Toumy sejalan dengan
Ramayulis, lingkungan yaitu segala yang ada disekitar anak, baik
berupa benda-benda, peristiwa-peristiwa yang terjadi, maupun kondisi
masyarakat, terutama yang dapat memberi pengaruh yang kuat terha-

32
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 708.
33
Dinn Wahyudin, Pengantar Pendidikan (Modul 1-9), Cet. I; (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2007), h. 3.4.
34
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2004), h. 28.
35
Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaebany, Falsafah al-Tarbiyah al-
Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 137.

12 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

dap anak yaitu lingkungan di mana proses pendidikan berlangsung


dan lingkungan tempatnya bergaul sehari-hari.36
Memang, di dalam membahas lingkungan apalagi lingkungan
pendidikan sering diartikan bahwa lingkungan pendidikan adalah,
rumah tangga, sekolah dan lembaga masyarakat. Padahal, keluarga;
sekolah; dan lembaga masyarakat bukanlah lingkungan tetapi tempat
berlangsungnya proses pendidikan yang dipengaruhi oleh lingkungan:
alam, sosial/budaya serta material.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ling-
kungan pendidikan adalah keadaan kesekitaran di tempat berlang-
sungnya proses pendidikan. Keadaan kesekitaran seperti udara (ling-
kungan alam) interaksi sosial (lingkungan sosial) sarana dan prasarana
(lingkungan material), sedangkan keluarga, sekolah dan masyarakat
bukanlah lingkungan pendidikan melainkan tempat berlangsungnya
pendidikan.
Pengertian lingkungan berbeda dengan pendidikan walaupun
keduanya sama-sama memberi pengaruh terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan kepribadian peserta didik. Hakikatnya, pendidikan
dalam Islam berlangsung sepanjang hayat. Dalam konteks ini pen-
didikan Islam dapat berlangsung di dalam berbagai lingkungan, yaitu
di rumah tangga, sekolah dan masyarakat yang dipengaruhi oleh
lingkungan alam, sosial dan material.
Sartain dalam Purwanto, membagi lingkungan menjadi 3
bagian yaitu: (1) Lingkungan luar, segala sesuatu di dunia ini yang
bukan manusia, seperti: rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, hewan,
(2) Lingkungan dalam, segala sesuatu yang termasuk lingkungan
dalam tubuh manusia. (3) Lingkungan sosial, semua manusia yang
mempengaruhi. Pengaruh lingkungan sosial ini ada yang diterima
secara langsung maupun tidak langsung.37
Lingkungan dalam pendidikan Islam dapat dimaknai sebagai
segala sesuatu yang ada disekitar atau di sekeliling peserta didik yang
dapat dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan pendidikan Islam
secara optimal. Hal ini tergantung dari pendidik dalam memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan psikologis peserta didik dalam suatu
lingkungan pendidikan. Pendidik selalu mendampingi peserta didik-
nya, terutama orang tua sebagai yang paling dekat dan bersentuhan
langsung dengan peserta didik.
Lingkungan merupakan sesuatu yang mempengaruhi pada
pertumbuhan dan perkembangan jiwa peserta didik. Adapun pengaruh
lingkungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu positif dan negatif, adapun
uraiannya sebagai berikut; (1) Pengaruh lingkungan dikatakan positif,

36
Ramayulis, op.cit., h. 147.
37
Ngalim Purwanto, op.cit., h. 29.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 13


Najamuddin Petta Solong

jika lingkungan itu dapat memberikan dorongan atau motivasi dan


rangsangan kepada peserta didik untuk berbuat hal-hal yang baik. (2)
Sebaliknya pengaruh lingkungan dikatakan negatif bilamana keadaan
sekitar peserta didik itu tidak memberikan pengaruh baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berhasil
atau tidaknya pendidikan dalam Islam baik di rumah tangga, sekolah
dan masyarakat juga banyak ditentukan oleh faktor-faktor determinan
pendidikan yang telah diuraikan di atas termasuk di dalamnya factor
lingkungan yaitu keadaan kesekitaran di tempat berlangsungnya
pendidikan seperti lingkungan alam, sosial/budaya maupun material.

C. PENUTUP
1. Peserta didik dalam pendidikan Islam bukan hanya orang yang
belum dewasa tapi orang yang membutuhkan pendidikan dan
atau menyerahkan dirinya untuk dididik. Orang yang membu-
tuhkan pendidikan sudah dimulai sejak dalam kandungan me-
lalui pendidikan pranatalis. Orang yang menyediakan dirinya
untuk dididik adalah yang tercatat dalam suatu lembaga
pendidikan. Tiga aspek yang dikembangkan pada peserta didik
dalam pendidikan Islam yaitu: (a) rohani (tarbiyatul ruhiyah),
(b) akal (tarbiyatul aqliyah), (c) jasmani (tarbiyatul jismiyah).
Kebutuhan rohaniah peserta didik yang harus dipenuhi dalam
pendidikan agar sejalan dengan fitrah yang dimilikinya, jika
tidak anak akan tumbuh tidak normal.
2. Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab atau diserahi
tanggungjawab untuk mendidik. Orang tua adalah penang-
gungjawab pendidikan anak, guru dan pemimpin formal
(pemerintah) serta pemimpin informal (ulama dan tokoh
masyarakat) adalah orang yang diserahi tanggungjawab untuk
mendidik oleh orang tua sebagai penanggungjawab utama dan
pertama pendidikan anak. Kedudukan pendidik dalam Islam
sangat penting dalam mewujudkan tujuan karenanya dituntut
untuk melaksanakan tanggungjawabnya secara profesional.
3. Tujuan dalam pendidikan Islam merupakan sesuatu yang harus
dicapai dalam proses pendidikan yang sejalan dengan tujuan
hidup seorang muslim. Tujuan pendidikan dalam pendidikan
Islam harus berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan sumber pokok ajaran Islam. Tujuan pendidikan
Islam ialah pembentukan kepribadian muslim, yaitu suatu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam.
4. Alat dalam pendidikan Islam adalah segala situasi, tindakan
dan perlengkapan yang sengaja diadakan atau dipersiapkan
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Jadi, pembelajaran,
hukuman, keteladanan, motivasi, segala sarana dan prasarana

14 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

baik perangkat keras maupun lunak, bersifat fisik maupun


psikis digunakan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadis
dalam mempermudah pencapaian tujuan pendidikan Islam.
5. Lingkungan dalam pendidikan Islam sangat penting diper-
hatikan karena merupakan sesuatu yang memengaruhi secara
positif maupun negatif pada pertumbuhan dan perkembangan
jiwa peserta didik. Pengaruh lingkungan dapat dikatakan po-
sitif, jika lingkungan itu dapat memberikan dorongan atau
motivasi dan rangsangan kepada peserta didik untuk berbuat
hal-hal yang baik. Pengaruh lingkungan dapat dikatakan
negatif bilamana keadaan sekitar peserta didik itu tidak
memberikan pengaruh baik.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 15


Najamuddin Petta Solong

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

------, Filsafat Pendidikan Islam cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Budaiwi, Ahmad Ali, Imbalan dan Hukuman Pengaruhnya bagi


Pendidikan Anak (terj. M. Syihabuddin), Jakarta: Gema Insani,
2002.
al-Dahak, Muhammad bin Isa bin Surati bin Musa, Sunan al-
Turmuziy, Kitab Al-Zahn Min Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Thuli
Al-Umri Al-Mu’mi.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.


----------, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi
Angkasa, 2001.

Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Umum Bahasa


Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 20007.

Gafar, Irpan Abd. dan Muhammad Jamil, Reformulasi Rancangan


Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Restu Agung,
2001.

Muhajir, As’aril, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, Cet. I;


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan


Kerangka Dasar Oprasionalnya, Bandung: Trigenda Karya,
2003.

Munandar, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Peserta


Didik Sekolah, Jakarta: Gramedia, 1992.

Muslim, Imam, Shahih Muslim Jilid 2 Beirut: Darul Fikr, tt.


Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 1986.

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,


Bandung: Rosdakarya, cet. V, 1992.

----------, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.

16 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Faktor-Faktor Deteminan Pendidikan Islam

Quthub, Syayid, Tafsir fi Dlilalil Qur’an Juz.VI Libanon: Darul


Ahya’, tt.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008.
Roestiyah, N.K., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Bina Aksara,
2008.
S., Udin, Pengembangan Profesi Guru Menyongsong Abad XXI, Palu:
Panitia Seminar Sehari UT Luwuk, 24 Oktober 1995.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2006.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
Siskandar, Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dasar dan
Menengah (Makalah), Jakarta: Pusat Kurikulum, Depdiknas,
2003.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz
Media, 2006.
Sujiono, Yuliani Nurani, Menu Pembelajaran Anak Usia Dini,
Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, 2005.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. IV;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
al-Syaebany, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah al-Tarbiyah al-
Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Jakarta: Asa Mandiri, 2008.
Wahyudin, Dinn, dkk., Pengantar Pendidikan (Modul 1-9), Cet. I;
Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.
Zaini, Syahminan, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 1996.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 17


NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM ZAKAT

Oleh: Selviyanti Kaawoan

Abstrak

Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah yang memiliki po-


sisi dan peranan yang penting, strategis dan menentukan. Ar-
tinya, zakat itu tidak hanya berdimensi maliyah (harta/materi)
saja, akan tetapi juga berdimensi ijtimaiyah (sosial). Oleh
karena itu zakat mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat
besar, baik bagi muzakki (orang mengeluarkan zakat), mus-
tahiq (orang yang berhak menerima zakat), harta itu sen-diri
maupun bagi masyarakat keseluruhan. Zakat merupakan
salah satu pilar utama dalam menegakkan ajaran Islam, ya-
ng harus ditunaikan oleh setiap orang Islam itu sendiri. Ter-
kait dengan persoalan zakat ini kita dapat menemukan pesan
adanya nilai-nilai pendidikan dalam tuntutan menunaikan
zakat. Nilai-nilai pendidikan dimaksud adalah nilai ibadah
yang langsung kepada Allah swt., dan zakat memiliki nilai-
nilai pendidikan yang berdimensi sosial.
Kata Kunci: Nilai Pendidikan, Zakat

A. PENDAHULUAN

Setiap orang Islam memahami bahwa zakat adalah salah satu


Rukun Islam. Bila kita kembali mengingat pelajaran atau pengkajian
di masa kecil, Rukun Islam pertama adalah membaca/mengucapkan
dua kalimat syahadat. Umat Islam Indonesia tampaknya lebih banyak
yang sudah dilahirkan dalam keadaan Islam. Kedua adalah sholat,
dalam urusan sholat umat Islam di Indonesia sudah cukup ketat da-
lam ketatalaksanaannya, perangkat lunak (sofware) dan perangkat
keras (hardware) yang harus ada sudah cukup baik. Untuk perangkat
keras umat Islam sudah mempunyai lebih dari cukup jumlah mesjid,
siapapun akan dengan mudah menemukan tempat sholat ketika sudah
masuk waktu sholat, sedangkan untuk perangkat lunaknya mengenai
bagaimana tata cara sholat, kondisi sudah cukup bagus, mulai dari

18 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

pembelajaran praktik ibadah sholat di sekolah atau di lembaga Islami


lainnya.
Selanjutnya rukun Islam ketiga adalah kewajiban membayar
zakat. Persoalan ini, tampaknya umat Islam belum begitu sepakat me-
ngenai bagaimana ketatalaksanaannya, dan bahkan kesadaran mereka
akan arti penting zakat tampaknya masih belum memadai. Masya-
rakat muslim kaya sudah merasa membayar zakat hanya dengan
membayar pajak, sedangkan pihak yang miskin merasa enggan men-
dalami persoalan zakat karena memenuhi kebutuhan sehari-harinya
saja mereka kesulitan.
Untuk kewajiban puasa di bulan Ramadhan, mulai dari peme-
rintah sampai masyarakat kecil pedesaan, umat muslim sudah cukup
baik dalam ketatalaksanaannya, paling tidak untuk menahan lapar dan
tidak makan. Terakhir rukun haji respon pelaksanaan sudah cukup
baik karena umat muslim di Indonesia cukup mempunyai kemamuan
keras untuk berhaji.
Dalam konteks ini, dari kelima rukun Islam ini ada satu hal
yang menarik untuk dicermati. Dalam al-Qur’an kewajiban pelak-
sanaan sholat dibarengi dengan kewajiban zakat diulang sebanyak 27
kali.1 Dapat dipahami bahwa adanya keterkaitan rukun Islam kedua
sholat dan rukun Islam ketiga zakat, pemahaman ini oleh sebagian
intelektual muslim dikenal dengan keterkaitan antara keshalehan
individual dan keshalehan sosial.
Perintah zakat secara implisit menunjukkan bahwa umat Islam
sesungguhnya harus gigih agar bisa menjadi kaya dalam arti tidak
tergantung kepada orang lain dan kalau perlu bisa membantu orang
lain. Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa barangsiapa yang me-
laksanakan sholat tetapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada
sholat baginya. Jika dalam kehidupan kita, ditemukan adanya orang
kaya dan miskin, maka keengganan membayar zakat dapat diartikan
orang kaya tidak membayar zakat walaupun berkecukupan (mencapai
nisab) secara materi, dan bagi si miskin keengganan untuk bekerja
mencari nafkah atau menjemput rejeki yang telah Allah taburkan di
muka bumi ini.2

1
Yusuf al-Qardhawi, Fikih al-Zakat, ( Libanon : Muassah Risalah, 2000 ), h. 42
2
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran
dan Membangun Jaringan, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006 ), h. 3

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 19


Selviyanti Kaawoan

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Zakat
Kata zakat adalah isim masdar dari kata zaka-yazku-
zakah, yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik dan bertambah.
Dengan demikian orang yang mengeluarkan zakat diharapkan
hati dan jiwanya akan menjadi bersih, sebagaimana yang dije-
laskan Allah dam firmannya QS. At-Taubah: 103, yang ber-
bunyi:

‰D¯ ×1¯IÙkQ WÆ ©G#_™XT SM® 1®Mn°LWsÉ"XT ×1ÉFÄm¯FIV¼É" <RV\i_™ ×1°N¯šXSÙ%U ÕC°% ÖkÉ]

§ª©¬¨ Î2j¯ WÆ ÍÌk°-\y ŒXT  ×1ÈN‘ ·CV\y \V"SQ _™

Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) keten-
teraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.3
Ayat ini menjelaskan bahwa menunaikan kewajiban za-
kat, merupakan suatu keharusan yang diperintahkan oleh Allah
swt., hal ini disebabkan karena zakat adalah salah satu elemen
dalam membersihkan dan mensucikan harta yang dimiliki oleh
setiap orang, dan juga dapat memberi ketentramana jiwa ba-
gi orang yang menyalurkan zakat demi membantu orang-orang
yang lemah.
Menurut Abu Muhammad Ibnu Qutaibah yang menya-
takan bahwa lafaz zakat diambil dari kata zakah yang berarti
kesuburan dan penambahan. Syara’ memakai kata tersebut untuk
dua arti pertama dengan zakat diharapkan akan mendatangkan

3
Membersihkan maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan mensucikan maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda
mereka

20 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

kesuburan pahala dan kedua zakat merupakan suatu kenyataan


jiwa suci dari kikir dan dosa.4
Yusuf al-Qardhawi seorang ulama kontemporer menga-
takan zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah yang memiliki
posisi dan peranan yang penting, strategis dan menentukan,
artinya bahwa zakat itu tidak hanya berdimensi maliyah (har-
ta/materi) saja, akan tetapi juga berdimensi ijtimaiyah (sosial).
Oleh karena itu zakat mempunyai manfaat dan hikmah yang
sangat besar, baik bagi muzakki (orang mengeluarkan zakat),
mustahiq (orang yang berhak menerima zakat), harta itu sendiri
maupun bagi masyarakat keseluruhan.5
Pendapat di atas menjelaskan bahwa zakat memiliki
peran sosial yang sangat besar. Sejarah menyebutkan bahwa pa-
da masa Rasulullah di Madinah, muncul masalah sosial-eko-
nomi, yakni banyaknya warga Madinah yang hidup di bawah
garis kemiskinan, sehingga keadaan ini cukup mengkhawa-
tirkan. Bagi orang yang hidup dalam kekurangan, hal yang di-
pertaruhkan adalah keimanan atau akidahnya. Rasulullah men-
ganjurkan kepada umatnya agar hidup dalam kecukupan, kar-
ena orang yang fakir nyaris menjadi kafir. Dengan disyari’-
atkannya zakat oleh Allah swt, kepada umat Islam terutama bagi
yang mampu, hal ini memiliki tujuan utama untuk mengen-
taskan kemiskinan, sehingga dengan adanya zakat diharapkan
dapat membawa perubahan bagi yang mustahiq atau penerima
zakat akan menjadi muzakki atau orang yang membayar zakat.

2. Zakat Dalam Lintasan Sejarah


Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan oleh
Allah swt kepada umat manusia melalui Nabi terakhir Muham-
mad saw. Sebagai agama samawi terakhir, Islam memiliki
berbagai aturan dan tata laksana yang harus dilakukan oleh
umatnya, baik yang bersifat “melanjutkan” ajaran sebelumnya
(syar’u man qablana) atau membuat ajaran baru. Salah satu
ajaran Islam yang sifatnya “melanjutkan” tersebut adalah ibadah
4
T.M Hasbi ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1996 ),
h. 1
5
Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), h. 82

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 21


Selviyanti Kaawoan

zakat. Namun demikian zakat memiliki posisi penting dalam


Islam, bahkan zakat ini merupakan salah satu dari rukun Islam.
Zakat bukanlah syari’at baru yang hanya terdapat pada
syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw, akan tetapi
zakat juga merupakan bagian dari syari’at yang bawa oleh para
Rasul dan Nabi terdahulu, misalnya Nabi Ibrahim as, Ishaq as,
Yakub as, Ismail as, Musa as, dan Isa as. Hal ini dapat dipahami
dari beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Dalam Qs. Al-Anbiya’ : 73 yang menceritakan kisah
Nabi Ibrahim as, Nabi Ishaq as, dan Nabi Yakub as.:

°1šXn×m\bÙ #ØÈ°Ù ×1¯IÙkV¯ X=Ùj\OØTU XT W5­mÙ%U


¯ |ETÀi×MXi <R„-®ŒU ×1ÀI›X=Ú \È\BXT

§°¬¨ WÛÏ°i¯›Wà R<V SÈ5[XT ®QS‰s XÄW)c¯ XT ®QSQ ƒ¡ X4V¯ XT

Artinya:
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah
mereka selalu menyembah.
Ayat-ayat al-Qur’an lain yang mengisahkan para Nabi
dan Rasul terkait dengan perintah menunaikan zakat ini dapat
dilihat pada Qs. Al-A’raf: 156-157 yang mengisahkan Nabi
Musa as berserta kaumnya, Qs. Maryam: 54-55, yang men-
ceritakan Nabi Ismail as, Qs. Maryam: 31, yang menceritakan
tentang pembicaraan Nabi Isa as yang masih berada dalam
ayunan. Dan secara umum masalah zakat ini dibahas dalam 38
surat dan 130 ayat dalam al-Qur’an.
Pada awal penyebaran Islam di Mekkah, zakat yang
harus ditunaikan karena merupakan kewajiban kepada Allah
belum dikumpulkan dan didistribusikan melalui lembaga for-
mal selama awal Islam di Mekkah karena jumlah kaum mus-
limin ketika itu relatif masih sedikit dan hidup dalam masya-
rakat yang memusuhi mereka. Kaum muslimin mengeluarkan

22 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

zakat secara pribadi untuk membantu orang miskin dan untuk


menebus kemerdekaan mereka yang dijadikan budak.6
Lebih lanjut al-Qardhawi menjelaskan bahwa zakat
yang disebut dalam al-Qur’an al-Makky masih bersifat umum,
tanpa kekhususan atau perintah. Pembayaran zakat pada masa itu
tergantung pada kesadaran masing-masing atau rasa kederma-
wanannya dan rasa kewajiban untuk membantu sesama muk-
min.7
Heri Sudarsono mengatakan bahwa zakat diwajibkan
pada tahun ke-9 Hijriyah, sementara shadaqah fitrah diwajib-
kan pada tahun ke-2 Hijriyah. Peraturan mengenai pengeluaran
zakat diatas muncul pada tahun ke-9 hijriyah ketika dasar Islam
telah kokoh, wilayah negara berekspansi dengan cepat dan orang
berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan yang disusun
meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dike-
nai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentasi zakat untuk
barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah
pekerjaan yang memerlukan waktu dan pegawainya tidak diberi
gaji resmi, tetapi mereka mendapat bayaran dari dana zakat.8
Pada suatu hari pada tahun kedua Hijriyah bertepatan de-
ngan tahun 623 Masehi, sebelum syara’ menentukan harta
yang dizakatkan dan kadarnya masing-masing yang akan diza-
katkan khususnya untuk zakat mal, Nabi Muhammad saw
mengumumkan dihadapan para sahabat beberapa kewajiban
Islam, di antaranya “kewajiban mengeluarkan zakat nafs yang
terkenal dengan zakat fitrah. Pengumuman itu disampaikan
pada dua hari sebelum hari raya idul fitri. Dengan adanya
maklumat Nabi saw ini maka ini merupakan awal dimulainya
kewajiban membayar zakat sebelum berangkat sholat idhul fitri.9

6
Abdallah al-Shiekh dalam John E. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid
6, (Jakarta : Mizan, 2001), h. 185
7
Yusuf al-Qardhawi, op.cit, h. 61
8
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,
2007), h. 233

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 23


Selviyanti Kaawoan

Adapun mengenai persoalan zakat mal Ibn Katsir


menjelaskan ketika Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra, me-
nyerahkan harta mereka kepada Nabi. Ketika itu Umar bin
Khattab menyerahkan setengah dari seluruh hartanya kepada
Rasulullah saw., kemudian Rasul bersabda “apa yang engkau
tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar”, Umar menjawab
“aku tinggalkan mereka setengah hartaku”. Adapun Abu Bakar
membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah saw., kemudian
Rasul bersabda, “ apa yang engkau tinggalkan kepada keluar-
gamu, wahai Abu Bakar?”, ia menjawab, “aku tinggalkan kepa-
da mereka Allah dan Rassul-Nya”, mendengar ucapan Abu Ba-
kar ini, Umar bin Khattab langsung menangis, lalu berkata, “
Demi Allah, kami tidak pernah melakukan kebaikan apapun
juga kecuali engkau telah mendahului kami”. Apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab ini berkaitan
dengan shadaqah yang bersifat umum baik yang wajib maupun
yang sunnah.10
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ini ter-
jadi pada tahun kedua hijriah, pada tahun ini para penerima
zakat baru dua golongan saja yaitu kelompok fuqara dan masa-
kin.
Selanjutnya pada tahun ke-9 Hijriyah, barulah Allah
swt., menurunkan QS. al-Taubah: 60, dengan diturunkannya
ayat ini, maka ditentukanlah golongan yang boleh dan berhak
mengambil zakat dan menerimanya, menurut Quraish Shihab
ayat ini merupakan dasar pokok menyakut kelompok-kelom-
pok yang berhak mendapat zakat.11 Berikut dapat kita cermati
Qs. At-Taubah : 60, yang berbunyi :

9
T.M. hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1996),
h. 11
10
Abu al-Fida’ Ismail ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir ibn Katsir, Jilid I, (Dar al-Fikri:
t.th,), h. 234
11
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 5, ( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), h. 630

24 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

°R[݊[UÀ-ÙXT SM×nQ WÆ WÛ¯°-›\ÈÙXT ©Ûܦ›_\-ÙXT °ÄWmV ÁÝÚ ° Á0›V\iƒ¡ \-5¯

©#k¯‚ ©ÛÙÓXT  ©#k¯\y c¯ÛXT WÛÜ°%­m›WÓÙXT ª!V­Jm c¯ÛXT ×1ÆMÇSÉ É

§¯©¨ ³2k¦\O Î2j¯ WÆ ŒXT   |¦°K% <R²c­mVÙ


Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fa-
kir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajib-
kan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.12

3. Hubungan Perintah Melaksanakan Sholat Dan Zakat


Dalam al-Qur’an perintah zakat seringkali digandengkan
penyebutannya dengan perintah sholat. Ini menunjukkan bahwa
antara zakat memiliki hubungan yang sangat erat dengan sholat,
meskipun terdapat pula perbedaan pada keduanya.
Zakat adalah suatu ibadah maliyah yang lebih menitik-
beratkan kepada aspek sosial kemasyarakatan (ijtima’iyah),
untuk mengatur hubungan kehidupan manusia dan hubungan-
nya dengan Allah swt., serta dalam hubungannya dengan sesama
manusia. Sedangkan sholat lebih menitikberatkan pada kepriba-

12
Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus
zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf:
orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya
masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa
fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah,
rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 25


Selviyanti Kaawoan

dian yang mulia dan bersifat personal (fariyah). Oleh sebab itu
kewajiban mengeluarkan zakat ini sama wajibnya dengan kita
melaksanakan sholat lima waktu.
Kenyataan di atas mengingatkan kita pada waktu terjadi-
nya penolakan sebagian orang untuk membayar zakat pada
masa kekhalifahan Abu Bakar ra., yang kemudian diperangi
oleh beliau dengan alasan “ saya tidak akan memisahkan sesuatu
yang telah Rasul satukan”, maksudnya, Abu Bakar tidak akan
membedakan kewajiban mengeluarkan zakat dengan kewajiban
melaksanakan sholat, karena Nabi saw dalam setiap sabdanya
selalu menyatukan sholat dengan zakat.

4..Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Zakat


Zakat merupakan salah satu pilar utama dalam mene-
gakkan ajaran Islam, yang harus ditunaikan oleh setiap orang
Islam itu sendiri. Terkait dengan persoalan zakat ini kita dapat
menemukan pesan adanya nilai-nilai pendidikan dalam tuntu-
tan menunaikan zakat. Nilai-nilai pendidikan dimaksud adalah
nilai ibadah yang langsung kepada Allah swt., dan zakat me-
miliki nilai sosial.
a) Nilai perwujudan keimanan kepada Allah,
Zakat merupakan syarat untuk memperoleh pertolongan
dari Allah swt, dan merupakan wujud mensyukuri nikmat Al-
lah swt., berupa harta benda. Sebagaimana yang digambarkan
dalam Qs. Al-Hajj : 40-41.

 Œ R<{Xq SÅSÁ Wc EU +Y¯ "F\O ¯n×mWÓ¯ 1°F­m›Wc°j C°% SÄB­mØ\Ê WÛÏ°Š

´ÌXk¯XT ÀÌ°%šXS_™ Õ0W%°FiÈN‘ ¹ØÈW¯ 1ÆM_µØÈW `ˆ‰=  ÀÌÙÙ\j Y×SVXT

EXn¾§=XjVXT  <nm°9  Ä1Ôy SMn°Ù ÄmÖkÄc ÀiªH›_W%XT µ1šXSQ _™XT

×1ÀI›‰<Š‰% D¯ WÛÏ°Š §­©¨ Ïsc­sWà t©SV V ‹ E¯  àœÈPÈn¾§<Wc CW% Œ

26 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

¦TÄmØÈ\-Ù¯ TÄmW%U XT QQS‰s ÃSV"XÄXT QQSQ ƒ¡ SÄ%VU ¨º×q)] r¯Û

§­ª¨ ®qSÄ%:] ÉRWª ›Wà ŽXT  ­mV=À-Ù ¨CWà ×S\IW5XT

Arinya: ayat (40) (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari


kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan
Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi
Maha perkasa. Ayat (41) (yaitu) orang-orang yang jika Kami te-
guhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.

b) Nilai persaudaraan dalam agama, sebagaimana dijelas-


kan dalam Qs. At-Taubah: 11,

 ¨Cc°G r¯Û ×1ÅÈ5šXSØ\¯ VÙ QQS‰s ÃSV"XÄXT QQSQ ƒ¡ SÄ%VU XT SÈV" D¯ VÙ

§ªª¨ WDSÀ-Q ÕÈWc 4×SV ° °0›Wc)[ Ä#¦A¡[ÝÈ5XT

Artinya:
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

c) Nilai saling tolong menolong terhadap orang yang lemah dan


teraniaya.
Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam me-
menuhi hajat hidup para fakir miskin dan yang merupakan

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 27


Selviyanti Kaawoan

kelompok mayoritas di sebagian belahan besar negara dan dunia


ini. Dengan adanya zakat yang diberikan oleh orang kaya
tentunya dapat memberi support kekuatan bagi kaum muslimin
lainnya dalam mengangkat eksisitensinya.
Selain itu dengan adanya zakat bisa mengurangi
kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam
dada fakir miskin karena masyarakat bawah akan mudah
terpengaruh oleh rasa benci dan permusuhan jika mereka meli-
hat kelompok masyarakat ekonomi tinggi menghambur-ham-
burkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Apabila
harta yang melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan
kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih
antara si kaya dan si miskin.

d. Adanya peningkatan ekonomi.


Dengan menunaikan zakat, maka dapat memacu per-
tumbuhan ekonomi bagi yang mengeluarkan zakat (muzakki),
dan bertambah berkah harta tersebut. Membayar zakat dapat
pula memperluas harta benda atau uang, karena ketika harta
dibelanjakan, maka perputarannya akan meluas dan lebih ba-
nyak pihak yang mengambil manfaatnya.

C. PENUTUP
Zakat di satu sisi merupakan bukti adanya kesadaran
antar manusia, hal ini dapat melahirkan kesejahteraan sirkulasi
hidup sosial, dan dapat membantu dalam mengentaskan kemiski-
nan sehingga dapat menyelamatkan manusia lain dari kerugian di
dunia dan di akhirat. Di sisi lain zakat dapat meminimalkan sifat
kikir, materialistik, individualistik dan egoistik (ananiyah),
sedangkan sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan
menjauhkan manusia dari rahmat Allah swt.
Perlu disadari bahwa zakat sebagai salah satu tonggak
perekonomian umat Islam sudah sejak awal Islam telah men-
dapat perhatian, karena kesuksesan Islam dengan adanya umat
menunaikan zakat ini bukanlah hal yang baru akan tetapi telah
terjadi di masa lalu yang tercatat dalam lembaran sejarah.
Memahami adanya nilai-nilai pendidikan yang sarat
akan nilai sosial, nilai ekonomi dan kedekatan diri kepada Allah
swt, mutlak untuk diperlukan, karena pada dasarnya apapun yang
28 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Nilai-Nilai Pendidikan dalam Zakat

diperoleh di dunia ini hanyalah kepemilikan yang sementara dan


kapanpun dapat diambil kembali oleh yang maha Kuasa jika
dikehendaki-Nya.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 29


Selviyanti Kaawoan

DAFTAR PUSTAKA

al-Dimasyqi, Abu al-Fida’ Ismail ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir, Jilid I,
Dar al-Fikri: t.th.

al-Qardhawi, Yusuf, Fikih al-Zakat, Libanon : Muassah Risalah, 2000


.

al-Shiekh, Abdallah, dalam John E. Esposito, Ensiklopedi Dunia


Islam Modern, Jilid 6, Jakarta : Mizan, 2001.

ash-Shiddiqy, T.M Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : Pustaka Rizki


Putra, 1996.

Fahruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat Di Indonesia, Malang : UIN


Malang Press, 2008.

Mufraini, M. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat:


Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006.

Qadir, Abdurrahman, Zakat Dalam Dimensi Mahdhah dan sosial,


Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah Volume 5, Jakarta : Lentera Hati,


2007 .

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,


Yogyakarta: Ekonisia, 2007.

30 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


PENDIDIKAN AKHLAK PADA ANAK
(Telaah Pemikiran Ibn Miskawaih)

Oleh: Tita Rostitawati

Abstrak

Miskawaih adalah filosof besar dalam Islam. Tetapi kefilo-


sofannya tidak ia raih melalui jalur pendidikan formal
melainkan dengan otodidak. Di satu pihak, dialah contoh se-
orang otodidak yang sukses dan sejati. Sebagai “Bapak etika
Islam” pemikirannya tidak terlepas dari Pengaruh filsafat
Yunani, misalnya ketika menyebut keutamaan-keutamaan
moral lebih banyak mengadopsi konsep Plato, Aristoteles dan
Galen. Tetapi di pihak lain dalam hal etika juga Miskawaih
ingin mempertemukan ajaran Syariat Islam dengan teori-
teori etika dalam filsafat. Namun demikian Miskawaih memi-
liki nilai plus dibanding filosof lainnya, terutama sekali
dalam pembahasannya tentang urgensi kenabian dan urgensi
ditanamkannya pendidikan akhlak terhadap anak-anak.
Kata Kunci: Pendidikan Akhlak, Pemikiran Ibn Miskawaih

A. PENDAHULUAN
Sesungguhnya fondasi utama tegaknya masyarakat Islam
adalah akidah, yakni akidah Islamiah. Tugas pertama masyarakat Is-
lam adalah memelihara, menjaga dan mengukuhkan akidah, serta
mamancarkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia1 Selain memiliki
keistimewaan dibidang akidah, ibadah dan pola pikir, masyarakat
Islam juga memiliki keistimewaan dalam masalah akhlak dan peri-
laku.
Akhlak dan perilaku merupakan bagian penting dari eksistensi
masyarakat Islam. Mereka adalah masyarakat yang mengenal persa-
maan dan keadilan, kebajikan kasih sayang, kejujuran dan keperca-
yaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan harga diri, kewibawaan dan

1
Yusuf Qardhawi, ed., Wahid Ahmadi, Islam Agama Peradaban (Solo: Era
Intermedia, 2004), h. 17.

Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010 31


Tita Rostitawati

kerendaan hati, kedermawanan dan keberanian, perjuangan dan


pengorbanan, kebersihan dan keindahan, kesederhanaan dan keseim-
bangan, kepemaafan, kepenyantunan serta saling menasehati dan
bekerja sama.2 Akhlak di sini maksudnya bukan hanya menyangkut
hubungan antar manusia, melainkan juga mencakup hubungan manu-
sia dengan penciptanya.
Akhlak dalam ajaran Islam tidak dapat disamakan dengan eti-
ka, jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia serta
hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Tetapi akhlak lebih luas
maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup
pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. 3 Ibnu Mis-
kawaih merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang menge-
mukakan tentang akhlak sebagai kajian utamanya.
Mencermati latar belakang diatas, maka permasalahan yang
akan dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah pemikiran Ibnu
Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak?

B. PEMBAHASAN
1. Biografi Ibn Miskawaih
Maskawaih adalah seorang filosof Muslim yang memusatkan
perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang
sejarahwan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang
kebudayaan Romawi, Persia dan India, di samping filsafat Yunani.4
Nama lengkapnya adalah Abu A’li Al-Khazim Ahmad bin Ya’kub bin
Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih mashur adalah Miskawaih.
Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi
(Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang di-
peroleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai
pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika
orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syiah.

2
Ibid.,h. 121.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h. 261.
4
De Boer, History of Philosophy in Islam, terj. Arab Abu Ridah (Cairo,
1957), h. 238-239.

32 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

Gelar lain sering disebutkan, yaitu Al-Khazin, yang berarti bendaha-


rawan, disebabkan pada masa kakuasaan A’dhud Al-Daulah dari Bani
Buwaihi ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.5
Miskawaih dilahirkan di Ray (Teheran). Mengenai tahun kela-
hirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M. Syarif
menyebutkan Tahun 320 H/932M. Margoliouth menyebutkan Tahun
330 H/932 M.Abdul Aziz Izzat menyebutkan Tahun 325H.-
6
Sedangkan wafatnya semua sepakat, yaitu pada tanggal 9 Sha-far
421 H/16 Pebruari 1030 M.
Dilihat dari tahun lahirnya dan wafatnya, Miskawaih hidup pa-
da masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh
Bani Buwaihi yang beraliran Syiah dan berasal dari keturunan Parsi
Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari
bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Mentri
(Amir Al-Umara) dengan gelar Mu’izz Al-Daulah pada 945 M. Ayah-
nya Abu Syuja Buwaih adalah pemimpin suku yang amat gemar ber-
perang, dan kebanyakan pengikutnya berasal dari daerah pegunungan
Dailan di Persia, di daerah pegunungan pantai selatan Laut Qaswain,
yang merupakan pendukung keluarga Saman. Tiga anak Buwaih,
diantaranya Ahmad bin Buwaih, mengadakan ekspansi ke daerah
Selatan, hingga berhasil menduduki Asfahan, kemudian Syiraz dan
daerah sekitarnya pada tahun 934M. Dua tahun berikutnya dia berhasil
menaklukan Khuziztan dan Karman. Kemudian Syirazlah yang
dipilih menjadi ibukota kekuasaan mereka. Pada tahun 945 M, Ahmad
bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat Bani Abbas berada
di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh
Turki terhadap Bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan
leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah
Bani Abbas.7
Puncak prestasi atau zaman keemasan kekuasaan Bani Bu-
waihi adalah pada masa Adhud al-Daulah yang berkuasa pada tahun

5
K.H. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar
Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 92.
6
A. A. Izzat, Ibnu Miskawaih (Mesir: Musthafa Al-Halabi, 1946), h. 304-
305.
7
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 93.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 33


Tita Rostitawati

367 hingga 372 H. 8 Adhud al-Daulah adalah penguasa Islam yang


pertama kali menggunakan gelar Syahinsah yang berarti Maharaja,
gelar yang di pergunakan raja-raja Persia Kuno. Kecuali prestasinya
dalam bidang politik yang luar biasa, yang telah berhasil menyatukan
kembali negara-negara kecil yang memisahkan diri pemerintahan
pusat hingga menjadi imperium besar sebagai mana yang dialami pada
masa Harun Al-Rasyid, Adhud Al-Daulah amat besar juga perhatian-
nya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada
masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan Adhud Al-Daulah. Dan pada masa ini juga Maskawaih
muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi
di samping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih,
yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itu-
lah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatian-
nya pada bidang etika Islam.
2. Riwayat Pendidikan Ibn Miskawaih
Riwayat pendidikan Miskawaih tidak diketahui dengan jelas.
Miskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis riwayatnya
pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang
pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Miskawaih ti-
dak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ah-
mad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman Ab-
basiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar
membaca, menulis, mempelajari Al-Quran, dasar-dasar bahasa Arab,
tata bahasa Arab (nahwu), dan arudh (ilmu membaca dan membuat
syair). Matapelajaran-matapelajaran dasar tersebut diberikan di surau-
surau, di kalangan keluarga yang berada di mana guru didatangkan ke
rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah
ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan
pelajaran ilmu fiqih, hadis, sejarah ( khusus sejarah Arab, Parsi dan
India) dan matematika. Selain itu diberikan pula macam-macam ilmu
praktis seperti musik, bermain catur, dan furusiah (semacam ilmu ke-
militeran).9

8
Ibid
9
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Cairo: An-Nadhhah Mishriyah, 1956), h.
66-68.

34 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

Diduga Miskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu


pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Miskawaih tidak
mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang
mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran
lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Maskawaih teru-
tama sekali dengan jalan banyak membaca buku, terutama di saat
memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan Al-Daulah.
Pengatahuan Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak
membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga
saat ini nama Miskawaih memperoleh sebutan “Bapak Etika Islam”
Karena Miskawaihlah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan
sekaligus menulis buku tentang etika.
Adapun karya-karya Miskawaih yang dapat terekam oleh para
penulis (sejarahwan) di antaranya sebagai berikut :
1. Kitab Al-Fauz Al-Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian
(Metafisika).
2. Kitab Al-Fauz Al-Akbar, tentang etika.
3. Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika
4. Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘Araq, tentang etika
5. Kitab Tartib As-Sa’adat tentang etika dan politik, terutama
mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih.
6. Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-
peristiwa sejarah sejak air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H.
7. Kitab Al-Jami, tentang ketabiban.
8. Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan.
9. Kitab Al-Asyribah, tentang minuman.
10. Kitab Al-Mustaufi, berisi kumpulan-syair-syair pilihan.
11. Kitab Jawizan Khard (akal abadi) yang membicarakan panjang
lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab,
Persia, India dan Romawi.10

3. Pemikiran Akhlak Ibn Maskawaih


Sebagai “Bapak Etika Islam” Miskawaih dikenal juga sebagai
Guru Ketiga (Al-Mu’allim Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang dige-
lari Guru kedua (Al-Mu’allim Al-Tsani. Sedangkan yang dipandang
sebagai Guru Pertama (Al-Mu’allim Al-Awwal) adalah Aristoteles.
Teorinya tentang etika secara terinci ditulis dalam kitab Tahzib Al-

10
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 94.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 35


Tita Rostitawati

Akhlak wa That-hir Al-A’raq (Pendidikan Budi dan Pembersih


Watak).
Miskawaih membagi kitabnya itu menjadi tujuh bagian, bagian
pertama membicarakan perihal jiwa yang merupakan dasar pemba-
hasan akhlak. Bagian kedua membicarakan perihal manusia dalam hu-
bungannya dengan akhlak. Bagian ketiga membicarakan perihal keba-
jikan dan kebahagiaan yang merupakan inti pembahasan tentang akh-
lak. Bagian keempat membicarakan perihal keadilan. Bagian kelima
membicarakan perihal cinta dan persahabatan. Bagian keenam dan
ketujuh membicarakan perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa.
a. Unsur-unsur Etika Miskawaih
Teori etika Miskawaih bersumber pada Filsafat Yunani, Pe-
radaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Penga-
ruh Plato, Aristoteles dan Galen amat jelas dalam teori etika
Miskawaih. Usaha Miskawaih adalah mempertemukan ajaran Syariat
Islam dengan teori-teori etika dalam filsafat, setelah berusaha mem-
pertemukan antara berbagai macam teori etika dalam filsafat.
b. Pengertian Akhlak
Kata akhlaq menurut Miskawaih adalah bentuk jama’ dari kata
khuluq. Dia memberikan pengertian khuluq adalah keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikir-
kan dan diperhitungkan sebelumnya11 Dengan kata lain, khuluq adalah
keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara
spontan. Keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak lahir dan
dapat juga merupakan hasil latihan membiasakan diri.12
Berkenaan dengan pengertian khuluq yang dikemukakan oleh
Miskawaih tersebut, dapat kita peroleh kesimpulan bahwa keadaan
jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan
secara spontan itu tidak selamanya merupakan pembawaan fitrah sejak
lahir, tetapi dapat juga diperoleh dengan jalan latihan-latihan mem-
biasakan diri, sehingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan
perbuatan yang baik. Dengan kata lain, manusia dapat berusaha
mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik men-
jadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam,

11
Ibid., h.101.
12
Ibid.

36 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada peru-
bahan-perubahan yang dialami anak pada masa pertumbuhannya dari
satu keadaan ke keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang menge-
lilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Miskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami
perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan
adanya aturan-aturan syariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan
berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua
memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membe-
dakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang seharusnya
ditinggalkan. Dari sini pula Miskawaih memandang penting arti pen-
didikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan
pembinaan akhlak.13
c. Keutamaan (Fadhilah)
Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa,
yaitu bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat)
yang mengejar kelezatan jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang ber-
tumpu pada kemarahan dan keberanian, dan nathiqah yang selalu ber-
fikir tentang hakikat segala sesuatu. Tiga kekuatan itu saling berdesak
dan berebut posisi, jika dapat terjadi keselarasan dalam perimbangan
posisi ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada
manusia.
Atas dasar adanya tiga macam kekuatan jiwa manusia itu, dapat dise-
butkan adanya tiga macam keutamaan dasar dan dari masing-masing
keutamaan dasar itu timbul pula keutamaan cabang yang berpokok
pada keutamaan-keutamaan dasar itu. Keselarasan antara tiga keuta-
maan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan kesem-
purnaan ketiga keutamaan dasar tersebut.
Dengan demikian keutamaan-keutamaan jiwa ada empat ma-
cam yaitu hikmah (wisdom), iffah (kesucian), syaja’ah (keberanian)
dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas.
Kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat; Keutamaan lahir jika
manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan
akal yang sehat, sehingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya.
Keberanian adalah keutamaan jiwa atau ghadhabiyah (sabu’iyah);
keutamaan ini timbul jika manusia dapat menundukkan kepada jiwa

13
Ibid.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 37


Tita Rostitawati

nathiqah dan menggunakannya sesuai dengan tuntutan akal sehat


dalam menghadapi perkara-perkara besar, hingga tidak akan dihing-
gapi rasa takut terhadap perkara-perkara yang menggetarkan, jika
melakukannya dengan baik dan tabah maka akan menghasilkan sikap
terpuji. Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan
tiga macam keutamaan tersebut di atas di saat terjadi keselarasan
antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuatan sehat.
Sehingga masing-masing kekuatan tidak menuntut kepuasan sejalan
dengan wataknya, dan dengan demikian orang akan dapat bersikap
adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.14
Miskawaih menyebutkan adanya keutamaan lain, selain empat
macam keutamaan moral tersebut, yaitu keutamaan jiwa yang lebih
sesuai dengan ketinggian martabat jiwa, yaitu berusaha memiliki pen-
getahuan, dan kesempurnaan jiwa yang sebenarnya adalah dengan
pengetahuan dan bersatu dengan akal aktif. 15 Dalam hal yang dise-
butkan terakhir ini jelas Miskawaih memperoleh pengaruh dari
Socrates yang mengatakan bahwa keutamaan adalah pengetahuan, dan
dari Neo-Platonisme yang mengatakan bahwa puncak keutamaan jiwa
adalah bersatu dengan akal aktif, selanjutnya meningkat terus hingga
bersatu dengan Tuhan.
d. Kebahagiaan (Sa’adah)
Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dan al-
sa,adah (kebahagiaan). Kebaikan menjadi tujuan semua orang; Ke-
baikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manu-
sia. Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersi-
fat umum, tetapi relatif bergantung pada orang per orang. Dengan
demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebai-
kan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia
sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang
yang berusaha memperolehnya.16
Miskawaih mengatakan bahwa orang yang berakal tidak akan
bergerak dan bekerja tanpa tujuan, baik tujuan dalam dimensi pendek
maupun dalam dimensi panjang, baik tujuan yang merupakan sarana

14
Ibid., h. 102.
15
Ibid.
16
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet.1V, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), h. 64.

38 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

memperoleh tujuan yang lebih besar ataupun tujuan pada dirinya, baik
bersifat jasmaniah maupun ruhaniah, dan seterusnya. Tujuan yang
bebas dari ikatan kondisional, merupakan tujuan tertinggi, yang
menjadi tujuan semua manusia, yaitu yang disebut “kebaikan Mutlak.”
Dalam hal ini Miskawaih mengambil alih konsep Aristoteles. Kebai-
kan mutlak itu jika dapat dimiliki orang akan sampai kepada keba-
hagiaan tertinggi, karena kebaikan mutlak itu merupakan tujuan
terakhir manusia yang mampu berfikir sehat.
Menurut Miskawaih, kebahagiaan tertinggi itu tidak lain
adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek, yaitu aspek teo-
ritis yang bersumber kepada kontinyuitas pikir akan hak-hak wujud,
dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang mampu mela-
hirkan perbuatan yang baik.17 Para Nabi diutus Tuhan tiada lain ha-
nyalah untuk menyampaikan ajaran syariah yang memerintahkan
untuk memperoeh keutamaan dan menjauhi keburukan-keburukan.
Orang yang mencapai kebahagiaan tertinggi jiwanya akan te-
nang, merasa selalu berdampingan dengan Malaikat. Jiwanya ditera-
ngi oleh nur Ilahi dan merasakan nikmat atas kelezatan yang tertinggi
pula. Baginya tidak menjadi masalah apakah dunia datang kepadanya
atau meninggalkannya, apakah dunia kotor atau bersih. Dia pun tidak
merasa susah dan sedih berpisah dengan orang yang dicintainya. Akan
dilakukannya segala yang menjadi kehendak Allah, akan dipilihnya
hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada Allah.18
Dalam usaha mencapai kebahagiaan, manusia selalu memer-
lukan pedoman syari’at yang memberikan petunjuk dan meluruskan
jalan mencapai kebijaksanaan, guna mengatur dirinya sendiri sampai
akhir hayatnya. Syari’atlah yang memerintahkan manusia untuk mela-
kukan hal-hal yang terpuji, karena asalnya dari Allah.19
e. Cinta (mahabbah)
Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai
salah satu unsur dari etika. Cinta menurutnya ada dua macam; cinta
kepada Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid
kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah,

17
Ibid.
18
Ibid., h. 65.
19
K.H. Ahmad Azhar Basyir, op.cit., h. 104.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 39


Tita Rostitawati

tetapi tipe cinta ini hanya bisa dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada
sesama manusia ada kesamaan antara cinta kepada orang tua dan cinta
murid kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru dipandang lebih
mulia dan lebih berperan. Guru adalah bapak rohani bagi murid-mu-
ridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki
keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat
kemuliaan rohani terhadap jasmani.20
f. Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Miskawaih membe-
rikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Ia
menyebutkan bahwa masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa
hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk
hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Jiwa anak-anak berkembang
dari tingkat sederhana kepada tingkat yang lebih tinggi, semula tanpa
ukiran, kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat
dan sakit, kemudian timbul pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu
kekuatan syahwat yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan
(bahimiyah) Dalam perkembangan berikutnya, timbul pula kekuatan
sabu’iyah atau ghadhabiyah. Akhirnya dalam perkembangan berikut-
nya lahir pula kekuatan berfikir, atau jiwa cerdas, yang ditandai de-
ngan timbulnya rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan ini anak-anak
dapat merasakan serta membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai
ditanamkan pada anak-anak.21
Kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat,
syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama tersimpul dalam me-
numbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan
dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan dapat dilatih
dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk
cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua dapat dicapai dengan cara
memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan pergaulan dari
teman-temannya yang berperangai buruk. Sangat berfaedah menjauh-
kan anak-anak dari lingkungan keluarganya sehari-hari pada saat-saat
tertentu, dan memasukkan mereka ke lingkungan lain yang lebih

20
Ibid.
21
A.A Izzat, op. cit., h. 416.

40 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

kondusif dalam menumbuhkembangkan rasa percaya diri dalam diri-


nya.22
Nilai-nilai keutamaan pada anak-anak yang harus menjadi
perhatian adalah yang mencakup aspek jasmani dan rohaninya.
Mengenai keutamaan jasmani harus di perhatikan makanannya,
kegiatan-kegiatannya dan istirahatnya. Makanan hendaknya bertujuan
untuk kesehatan, bukan kenikmatan diutamakan makanan yang
sederhana tetapi memenuhi syarat kesehatan. Kegiatan-kegiatan itu
akan memupuk garizah (instink) memelihara kesehatan, menghilang-
kan kemalasan mencegah kebodohan, menumbuhkan semangat dan
membersihkan jiwa. Istirahat perlu perhatian pula dengan membi-
asakan anak tidak banyak tidur dan tidak menggunakan tempat tidur
yang mewah dan cenderung kepada kenikmatan. Nilai-nilai keuta-
maan rohani juga perlu mendapat perhatian ekstra. Mula-mula harus
ditumbuhkan rasa cinta kepada kehormatan, percaya pada diri sendiri
dan mempercerdas diri dengan banyak hafalan cerita-cerita yang baik
dan puisi-puisi yang dapat memotivasi menuju hidup utama. Anak-
anak harus dijauhkan dari bacaan-bacaan yang destruktif yang dapat
mempengaruhi perkembangan kejiwaan. Miskawaih juga memandang
diam, tidak banyak bicara pada anak suatu hal yang positif,
dan supaya senantiasa dijauhkan dari kebiasaan berkata kotor dan
tidak pantas.23
Keutamaan-keutamaan dalam pergaulan sesama anak-anak
yang harus ditanamkan ialah kejujuran, agar tidak mempunyai kebia-
saan berdusta, tidak mempunyai permintaan yang berlebihan, pemurah
suka mengalahkan diri sendiri untuk mengutamakan kepentingan ora-
ng lain yang lebih mendesak dan yang terakhir adalah hendaknya
ditanamkan rasa wajib taat, yang melahirkan rasa wajib hormat kepa-
da orang lain terutama kepada kedua orangtua dan para gurunya.
Menanamkan rasa wajib taat seperti itu akan berpengaruh positif pada
anak-anak. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa menahan diri,
menjauhkan diri dari kenikmatan-kenikmatan hidup yang buruk, suka
mendengarkan nasihat, rajin belajar, dan menghormati ajaran syariat
Allah.24

22
Ibid., h. 342.
23
Ibid., h. 342.
24
Ibid., h. 346.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 41


Tita Rostitawati

Menurut Hasyimsyah Nasution dalam bukunya Filsafat Is-


lam bahwa Miskawaih menekankan pendidikan akhlak dengan me-
nyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada
pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, daya berpikir.
Dengan daya keinginan anak-anak dididik dalam hal adab makan,
minum, dan berpakaian serta lainnya. Lalu sifat berani, kendali diri
diterapkan untuk mengarahkan daya marah, kemudian daya berpikir
dilatih untuk menalar sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai
segala tingkah laku.25

C. PENUTUP
Setelah mencermati bahasan dalam tulisan ini, penulis me-
ngambil kesimpulan bahwa Miskawaih membagi kitabnya itu menjadi
tujuh bagian, bagian pertama membicarakan perihal jiwa yang meru-
pakan dasar pembahasan akhlak. Bagian kedua membicarakan perihal
manusia dalam hubungannya dengan akhlak. Bagian ketiga mem-
bicarakan perihal kebajikan dan kebahagiaan yang merupakan inti
pembahasan tentang akhlak. Bagian keempat membicarakan perihal
keadilan. Bagian kelima membicarakan perihal cinta dan persa-
habatan. Bagian keenam dan ketujuh membicarakan perihal pengo-
batan penyakit-penyakit jiwa.

25
Hasyimsyah Nasution, op. cit., h. 66

42 Irfani, Vol. 5 No. 1 Oktober 2010


Pendidikan Akhlak Pada Anak

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Dhuha Al-Islam. Cairo: An-Nadhhah Mishriyah, 1956.

Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar


Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Bandung: Mizan,
1993.

Boer, De. History of Philosophy in Islam, terj. Arab Abu Riddah.


Cairo, 1957.

Izzat, Abdul Aziz. Ibn Miskawaih. Mesir: Musthafa Al-Halabi, 1946.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet.VI. Jakarta: Gaya Media


Pratama, 2005.

Qordhawi, Yusuf, ed., Wahid Ahmad. Islam Agama Peradaban. Solo:


Era Intermedia, 2004.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas


Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 43


AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

Oleh : Momy A. Hunowu

Abstrak

Tulisan ini mengkaji tentang pertautan antara Islam dan


budaya lokal, mengurai secara sederhana tentang hakikat
akulturasi Islam dan budaya lokal serta bentuk akulturasi
Islam dan budaya lokal. Sebagai kajian pustaka, tulisan ini
lebih banyak memberi contoh akulturasi Islam dan budaya
lokal Jawa. Meski demikian, pada akhir tulisan berusaha me-
nampilkan budaya lokal Gorontalo, baik berdasarkan hasil
penelitian di masa lalu maupun ulasan penulis mengenai
fakta-fakta kekinian.

Kata Kunci: Akulturasi, Islam, Budaya lokal

A. PENDAHULUAN
Tidak sedikit pertentangan yang terjadi di kalangan kaum
Muslim berkaitan dengan praktek-praktek kegamaan. Satu kalangan
memandang bahwa dalam menjalankan aktivitas kehidupan apalagi
praktek-praktek ibadah, semestinya merujuk kepada ajaran nabi
Muhammad sebagaimana yang sedang dilaksanakan di tanah kela-
hiran Islam. Kalangan lain menilai bahwa praktek-praktek ibadah
dalam aktivitas hidup manusia tidak harus menyesuaikan dengan
kebudayaan-kebudayaan Arab. KH. Abdurrahman Wahid dengan cer-
das menjelaskan kedua pertentangan ini dengan konsep Islam murni
dan Islam pribumi. Bahwa Islam yang diajarkan oleh nabi Muhammad
adalah Islam murni yang hanya bisa berlaku di daerah kelahiran Islam.
Sementara Islam pribumi adalah Islam yang telah menyesuaikan
dengan budaya lokal, sehingga tidak sedikit praktek-praktek ibadah
dan produk-produk kebudayaan yang nampaknya sangat jauh dari
syari’at Islam yang original, asalkan tidak kehilangan ruhnya.
Pertentangan ini menarik untuk dikaji, dan untuk dapat mem-
pertemukan pertentangan sengit tersebut dapat dijelaskan dengan
konsep akulturasi budaya, bisa jadi, praktek-praktek ajaran Islam akan
bernuansa Gorontalo, sekiranya Islam diturunkan di daerah ini.

44 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Akulturasi Islam dan Budaya lokal

Masalah pokok yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana


pemikiran Islam tentang akulturasi Islam dan budaya lokal, yang diba-
tasi pada dua sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat akulturasi Islam dan budaya lokal?
2. Bagaimana bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal?

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Akulturasi Islam dan Budaya Lokal

Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, de-


ngan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, ke-
adilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep
teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari
seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.1
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep
langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan
akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Islam sebagai agama tidak datang ke
dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu
masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-
praktik kehidupan.
Dengan kata lain bahwa Islam sebagai agama tidak sekedar
rangkaian teologi, tetapi merupakan suatu aturan yang lengkap
mencakup nilai-nilai budaya.2 Aspek-aspek keagamaan yang bersifat
spiritual, bukanlah budaya, sedangkan aspek-aspek agama yang ber-
sifat material termasuk budaya. Atas dasar itu, bidang kajian dalam
makalah ini adalah akulturasi Islam dan budaya lokal. Akulturasi
Islam dan budaya lokal merupakan salah satu bidang kajian Islam
yang secara intens dilakukan pengkajian oleh kalangan akademisi,
ilmuwan, dan pemerhati Islam.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam
dengan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar
dalam ilmu ushul fiqh, bahwa “al- ‘adah muhakkamah,” adat itu dihu-
kumkan, atau lebih lengkapnya, “adat adalah syariat yang dihu-

1
Kuntowijoyo, Paridigma Islam (Bandung: Mizan, cet. III, 1991), h. 229.
2
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb (ed), Whither Islam? A Survey of
Modern Movement in The Moslem World (London: Victor Gollanz Ltd, 1932), h. 12.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 45


Momy A. Hunowu

kumkan” (al-‘adat syari’ah muhakkamah), artinya adat dan kebiasaan


suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya adalah sumber hukum dalam
Islam.3 Konsep ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama wahyu
yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani,
juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat ter-
tentu.
Karenanya, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus
dijadikan sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip
Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Inilah makna
kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri dan perlunya umat Islam
melihatnya secara kritis dan tidak dibenarkan sikap yang hanya
membenarkan semata. Budaya merupakan jawaban terhadap tantangan
yang dihadapi manusia di dalam masyarakat, yang dikarenakan
adanya batasan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul karena hubu-
ngan-hubungannya dengan kekuatan supranatural, alam, hubungan
antar sesama, maupun hubungannya dengan dirinya sendiri. Oleh
sebab itu, kebudayaan sangat terkait erat dengan pandangan hidup,
cara-cara hidup bersama, pola-pola dalam menanggapi atau menjawab
kekuatan-kekuatan di sekelilingnya, pola-pola nilai, sikap, pola pikir,
maupun pola perilaku yang termus menerus berubah-ubah dan ber-
kembang.4
Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan
yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh
kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li
kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Is-
lam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keane-
karagaman konteks. Fakta yang tak bisa dipungkiri, kehadiran Islam

3
Lihat dalam al-Faraid al-Bahiyyah, oleh Abu Bakar al-Ahdalial-Yamani as-
Syafi’i (Kudus: Menara Kudus, t.th.), h. 63. Lihat juga dalam Nurcholis Madjid,
Islam, Doktrin dan Peradaban (Cet. IV; Jakarta: Paramadina, 2000), h. 550.
4
Budaya dapat berwujud dalam berbagai dimensi: dapat berupa simbol
(contoh: agama dan mitos, bentuk-bentuk seni, cerita, bahasa); dalam bentuk social
(contoh: cara orang mengorganisir komunitasnya, hubungan-hubungan ekonomi
maupun antara pribadi); dapat berupa teknologi (contoh: alat-alat yang digunakan
dalam melaksanakan pola-pola perilaku pertanian, artistektur, obat-obatan dan
sebagainya. Lihat Yvon Ambroise, Culture: “Liberating or Alianiting” dalam Jurnal
Jeevadhara (New Delhi: Jeevada, 1992), h. 26-30.

46 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Akulturasi Islam dan Budaya lokal

tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan


lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Dalam ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke se-
buah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini,
hubungan antara Islam dengan anasir-anasir lokal mengikuti model
keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang
turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara
Islam dengan muatan-muatan lokal.
Sementara itu, kehadiran Islam yang senantiasa berdialog
dengan persoalan yang dihadapi masyarakat selanjutnya mengan-
tarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya dan
masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Sela-
ma nilai tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh
Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis. Kondisi
ini menyebabkan Islam dan pemikiran yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat di wilayah tertentu bisa berlainan bentuk ekspresi dan
karakteristiknya dari masyarakat di wilayah yang lain.
Daru uraian ini dapat ditegaskan bahwa Islam senantiasa mela-
kukan perkawinan dengan budaya lokal dan akhirnya melahirkan
pemikiran dan kebudayaan baru yang masih memiliki gen yang jelas,
yaitu Islam.

2. Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal


Di masa sekarang, sulit untuk menemukan bentuk Islam yang
asli dan orisinil. Ini dikarenakan, sebelum Islam masuk ke Indonesia,
di Jawa sudah berkembang tradisi Hindu dan kejawen yang angat
mengakar kuat di masyarakat5. Hal ini kemudian sangat memengaruhi
pekembangan penyebaran Islam. Model dakwah kultural dengan cara
damai yang dikembangkan oleh para penyebar agama Islam sangat
berpengaruh pada eksistensi Islam saat ini. Dengan cara mengisi sel-
uruh elemen budaya dam kehidupan dengan nilai-nilai Islam tanpa
harus mengilangkan dan merubah budaya tersebut, menyebabkan
Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Implikasi logis
dari model dakwah tersebut, yakni terjadinya akulturasi Islam dengan
budaya lokal.
Saling sapa Islam dengan budaya lokal pertama dilakukan oleh
para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Pedagang menyapa

5
Ridin Sofwan, et. al., Islam Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h.12

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 47


Momy A. Hunowu

untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyaki-


nan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan
dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialek-
tikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan
Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-
dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa ma-
syarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa
Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap
pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai
budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.6
Asimilasi budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan
berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang
berbeda dengan Islam dalam great tradition. Fenomena demikian bagi
sebagian pengamat memandangnya sebagai penyimpangan terhadap
kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam sinkretis. Meskipun
demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan
menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah
akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam
memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka
sendiri sekaligus akan memberikan kontribusi untuk memperkaya
mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran Islam dalam bu-
daya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat
Minangkabau 7 yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di
Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan
lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduis-
me dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun
lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya.
Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya
Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.

6
Ibid., h.18.
7
Sri Denti, Mumarasat al-Suluk bi Minangkabau: Tatbiq al-Ta’lim al-
Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah, dalam STUDIA ISLAMIKA Volume 11,
Number 2, 2004 h. 345 – 360.

48 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Akulturasi Islam dan Budaya lokal

Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat


Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para dai agama
Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan ma-
syarakat pedesaan, terutama daerah pesisir dan diterima secara penuh
oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual
mereka.8 Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga
merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya ter-
sebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.9
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara ter-
sebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan
Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun.
Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tena-
ng. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan
kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyara-
kat Jawa.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didomi-
nasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut keja-
wen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam
melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir Utara belum
mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam
kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan
berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan,
dan nilai-nilai budaya 10 yang berbeda dengan para santri yang
mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam berkualitas rendah
atau semi-Islam karena simbol Jawa lebih dominan daripada simbol
Arab, mencampuradukan Islam dengan berbagai keyakinan dan eks-
presi lokal, serta orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan
panteistik.11 Islam istana juga memiliki gambaran yang hampir sama
berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang dalam perilaku

8
Ridin Sofwan, op.cit., h. 32-33.
9
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. IV; (Jakarta:
Paramadina, 2000), h. 542.
10
Ridin Sofwan, op.cit., h. 32-33
11
Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago and London:
University of Chicago Press, 1960).

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 49


Momy A. Hunowu

dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian


dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Dari uraian ini dapat ditegaskan bahwa Islam sebagai entitas
yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan
usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan
tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu
sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika
yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-
normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup.
Jika kita melihat lebih praktis meleburnya Islam yang murni
berpadu dengan budaya lokal yang terakomodasi secara harmonis
dalam kehidupan muslim lokal. Sebut saja tradisi khitanan, semula ia
merupakan tuntunan Nabi saw. serta terdahulu, dan dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh kaum lelaki serta merupakan perbuatan terhormat
bila dilakukan oleh kaum perempuan, sebagaimana pernyataan Nabi
saw. alkhitan sunnatun li alrijal wa makramatun li al-nisa’, namun
dalam praktiknya telah terjadi sebuah proses di kalangan umat Islam
Indonesia, di mana pelaksanaan khitan dilakukan dengan berbagai
upacara adat setempat. Di Banyuwangi misalnya, tradisi khitanan
dilakukan dengan arak-arakan, tabur uang di jalanan, prosesi yang
diiringi dengan barongsai dan disambut dengan hadrah kuntulan. Di
Tuban, kesenian tayub ikut menghiasi acara semacam. Sedang di Jawa
Tengah dikenal dengan tradisi mitoni, prosotan, adat tedak sinten,
ngruwat, dan lain-lain untuk mendandai suatu peristiwa penting dalam
sebuah keluarga, mulai dari perkawinan, kehamilan, kelahiran, sampai
khitanan. Bahkan bagi keluarga tertentu, waktu pelaksanaan upacara
tersebut dihitung berdasarkan penanggalan dan perhitungan waktu
(weton).12
Begitu pula halnya dengan pola bangunan masjid di Indonesia
yang di beberapa tempat menunjukkan terjadinya akulturasi Islam dan
budaya lokal. Bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal ini tampak
dalam berbagai arsitektur bangunan, terutama masjid. Sebelum Islam
masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam

12
Memang kadangkala beberapa tradisi dan adat istiadat yang dipraktekkan
itu meskipun diselenggarakan demi syi’ar Islam, tetapi tak jarang pula dibumbuhi
dengan unsur mitos, sesajen, dan perilaku khurafat dan tahayyul. Jadi, masuknya
berbagai unsur tersebut perlu dicermati secara mendalam dan bersikap arif, agar
ajaran Islam dapat diamalkan secara murni oleh pemeluknya.

50 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Akulturasi Islam dan Budaya lokal

melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa
maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Hal itu ditun-
jukkan di mana telah berdiri berbagai jenis bangunan di Jawa seperti
candi, keratin, banteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada
bangunan gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki konsep men-
capat, hiasan tokoh wayang pada rumah, kuburan dan padepokan.
Ternyata, perkawinan Islam murni dengan adat dan budaya
lokal terjadi di mana ada masyarakat yang menerima Islam dan mem-
pertahankan tradisi lokalnya. Di Gorontalo misalnya, banyak istilah-
istilah budaya bahkan menjadi konsep peradatan dan pemerintahan
kebudayaan Gorontalo, yang mendapat pengaruh dari Islam. Misalnya
taqowa dari kata taqwa, pakaian adat resmi pimpinan di Gorontalo
tertutama dipakai pada upacara resmi peradatan; halifa; dari kata
khalifa panggilan untuk raja atau pimpinan misalnya kepada daerah
atau gubernur. Hal ini terlihat pula dalam upacara-upacara sosial
seperti peringatan maulid atau mauludu di Gorontalo.13
Produk-produk budaya lain yang menunjukkan kekhasan Islam
di Gorontalo dapat dilihat pada aktivitas, artefak dan hari raya. Dalam
bentuk aktivitas dapat dilihat pada aktivitas daur hidup (kelahiran,
pernikahan, kematian) yang senantiasa berbalut nuansa Islam dalam
pelaksanaannya. Kekhasan dalam bentuk artefak dapat dilihat pada
bentuk bangunan masjid yang bertiang penyanggah empat serta
konstruksi atap yang bersusun tiga. Secara lokal, empat tiang dalam
mesjid tersebut adalah simbol dari empat sahabat nabi, sementara
konstruksi atap yang bersusun tiga merupakan gambaran adanya 3
pijakan dalam Islam yaitu rukun Islam, rukun iman dan rukun ikhsan.
Sementara dalam perayaan hari raya, jika di Mekah dan Madinah, hari
raya yang paling ramai adalah hari raya idul adha pada bulan haji,
tetapi di Indonesia, dan Gorontalo khususnya, hari raya yang paling
ramai adalah hari raya idul fitri pada bulan syawal. Perayaan ini secara
lokalitas, telah membetuk tradisi Islam lokal dengan merayakan hari
raya sunat, yang dilaksanakan pada hari ketujuh bulan Syawal. Hari
raya idul fitri untuk merayakan kemenangan setelah puasa sebulan

13
Nani Tuloli, “Sastra Lisan Gorontalo dalam Konteks Kebudayaan Islam”
dalam Seminar Nasional, Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur
Indonesia (Gorontalo: Grafika Karya, 2004), h. 70.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 51


Momy A. Hunowu

Ramadhan, hari raya sunat ditujukan bagi yang telah melaksanakan


puasa sunat selama seminggu setelah 1 syawal.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam dan budaya
Nusantara, justru saling terbuka untuk berinteraksi dalam praktek
kehidupan masyarakat. Sikap toleran terhadap budaya lama yang dila-
kukan para pendakwah dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara
ternyata cukup berhasil. Dengan semangat tur wuri handayani,
pendakwah Islam tetap membiarkan budaya lama tetap hidup namun
diisi dengan nilai-nilai keislaman. Pendekatan akulturatif yang dila-
kukan para penyebar Islam pertama di Nusantara tersebut, akhirnya
diteruskan oleh generasi berikutnya.14
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa agak sulit
menemukan demarkasih yang jelas Islam Indonesia yang murni tanpa
terpengaruh dengan budaya lokal begitu pula sebaliknya lokalitas
budaya Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam,
sehingga yang terpenting adalah tidak mempersoalkan saling keter-
pengaruan antara keduanya tetapi lebih pada wilayah mempersoalkan
produk budayanya yang bermanfaat bagi kedua segmen tersebut
sehingga bisa saling mengisi dan melengakapi antara Islam dan
Budaya lokal Indonesia.
Perpaduan Islam dengan budaya Nusantara yang telah dilaku-
kan oleh para penyebar agama Islam pada masa lampau, ternyata
memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan
budaya Nusantara. Budaya Nusantara semakin diperkaya dengan nilai-
nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan pedoman
kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Dengan semangat akultu-
ratif tersebut ajaran Islam semakin lama semakin berkembang serta
mewarnai budaya lokal. Akulturasi Islam dan budaya lokal, tidak saja
dalam acara ritual keagamaan tetapi juga dalam kebudayaan material
yang lain, seperti dalam kesenian, tradisi, arsitektur dan sebagainya.15
Dengan kata lain bahwa di samping penciptaan ritus-ritus
keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol
kebudayaan. Ritual keagamaan itu terdapat nuansa yang dapat dilihat,

14
Maharsi, Pola-pola Perpaduan Islam dan Budaya Nusantara, dalam Islam
dan Budaya Lokal, Ali Sodikin dkk (Yogyakarta: Pusat Kajian Sejarah dan Budaya
Islam (PKSBI), 2009), h. 29.
15
Ibid., h. 30.

52 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Akulturasi Islam dan Budaya lokal

yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal seperti


dalam acara ritual selamatan. Sedangkan contoh dari simbol ini adalah
bentuk arsitektur bangunan masjid yang masih berbentuk pure atau
candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah “gapura” na-
ma yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal yang mengahasilkan
budaya sintesis yang merupakan suatu keniscayaan.
Berbagai bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal di atas
merupakan manivestasi dari rasa dan sikap keberagamaan umat yang
diapresiasikan lewat berbagai perilaku dan kebiasaan. Tujuannya
sebagai sarana syiar agama. Selama praktek tradisi yang dilakukan itu
tidak mengandung unsur mitos, khurafat, dan takhayyul, maka hal ini
on the right track. Sejauh ini, praktek budaya lokal tidak sampai
menghilangkan fungsi utama dari masjid sebagai tempat ibadah.
Berbagai bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal tersebut makin
memeriahkan dan memakmurkan masjid, sehingga menjadi daya tarik
tersendiri bagi anak-anak dan jama’ah untuk datang ke masjid.

C. PENUTUP
Sebagai sebuah agama, Islam bukan hanya merupakan kum-
pulan doktrin Ilahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga terwujud
dalam realitas sosial. Karena itu, dalam proses akomodasi kultural
dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi
dan adat lokal serta pada kemampuan untuk mempertahankan nilai-
nilai pokok keislaman. Ajaran Islam diterima dengan baik di berbagai
tempat, terutama karena proses islamisasi yang bersifat asimilatif. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya persentuhan Islam dan budaya lokal,
dan hal ini pulalah yang membuat Islam mudah diterima dan
membawa dampak pada pesatnya perkembangan Islam di Nusantara.
Dari berbagai bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal, paling
tidak terdapat dua pola yang dikembangkan para penyebar agama
Islam di Nusantara, yaitu pertama, meneruskan dan menambah buda-
ya yang ada dengan memberi makna dan nama baru sesuai dengan
nilai-nilai Islam, seperti dalam kesenian dan upacara tradisional.
Kedua, memunculkan budaya baru tetapi tetap mengadopsi unsur-
unsur lokal, seperti dalam arsitektur masjid. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan,
akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 53


Momy A. Hunowu

DAFTAR PUSTAKA

Ambroise, Yvon, Cultur: “Liberating or Alianiting” dalam Jurnal


Jeevadhara, New Delhi: Jeevada, 1992.

Denti, Sri, Mumarasat al-Suluk bi Minangkabau: Tatbiq al-Ta’lim al-


Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah, dalam STUDIA
ISLAMIKA Volume 11, Number 2, 2004.

Geertz, Clifford, The Religion of Java, Chicago and London:


University of Chicago Press, 1960.

Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen, (ed), Whither Islam? A Survey


of Modern Movement in The Moslem World, London: Victor
Gollanz Ltd, 1932.

Kuntowijoyo, Paridigma Islam, Bandung: Mizan, cet. III, 1991.

Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Cet. IV; Jakarta:


Paramadina, 2000.

Maharsi, Pola-pola Perpaduan Islam dan Budaya Nusantara, dalam


Islam dan Budaya Lokal, Ali Sodikin dkk., Yogyakarta: Pusat
Kajian Sejarah dan Budaya Islam (PKSBI), 2009.

Sofwan, Ridin, et. al., Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.

as-Syafi’i, Abu Bakar al-Ahdalial-Yamani, al-Faraid al-Bahiyyah,


Kudus: Menara Kudus, t.th.

Tuloli, Nani, “Sastra Lisan Gorontalo dalam Konteks Kebudayaan


Islam” dalam Seminar Nasional, Pengembangan Kebudayaan Islam
Kawasan Timur Indonesia, Gorontalo: Grafika Karya, 2004.

54 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


KECERDASAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA

Oleh: Yuwin R. Saleh

Abstrak

Pemahaman dan pengetahuan serta perhatian pengajar ba-


hasa terhadap pemaksimalan berbagai kecerdasan yang
relevan yang dituangkan dalam proses pembelajaran pada
semua ketrampilan berbahasa sangatlah penting sebab
dengan demikian akan memudahkan pencapaian tujuan pem-
belajaran serta memberikan peluang bagi peserta didik
untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang mereka
miliki.

Kata kunci : Kecerdasan, Pembelajaran Bahasa

A. PENDAHULUAN
Dalam setiap proses pendidikan, peserta didik merupakan kom-
ponen masukan yang mempunyai kedudukan sentral. Tidak ada proses
pendidikan yang berlangsung tanpa kehadiran peserta didik. Ketika
memasuki proses pembelajaran di sekolah, peserta didik mempunyai
latar belakang yang tertentu yang turut memberikan pengaruh terha-
dap kesuksesannya dalam belajar, latar belakang yang dimaksud dapat
berupa umur, jenis kelamin, pengalaman, kemampuan sosial-ekonomi
orang tua, tingkat kecerdasan, kreativitas, bakat dan minat, motivasi
belajar dan sebagainya, karenanya agar proses pembelajaran berhasil
sesuai harapan maka hal tersebut tidak bisa diabaikan oleh seorang
pengajar mengingat bahwa proses pembelajaran mengarah pada pe-
ningkatan kualitas manusia secara utuh, meliputi dimensi kognitif-
intelektual, ketrampilan dan lain-lain1.
Kecerdasan sebagai salah satu komponen penting yang tidak
bisa diabaikan oleh seorang pengajar merupakan alat untuk belajar,

1
Iskandarwassid & Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa,
(Jakarta: PT Remaja Rosdakarya), 2008, h.2

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 55


Yuwin R. Saleh

menyelesaikan masalah dan menciptakan semua hal yang bisa digu-


nakan manusia2.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan berbagai penelitian
pengertian kecerdasan saat ini tidak hanya menitik beratkan pada
kemampuan intelek manusia berupa kemampuan aritmetis, logis dan
verbal yang biasa disebut dengan Intelligence Quotient (IQ) yang ha-
nya bisa diamati dari kemampuan belajarnya berupa cepat, tepat dan
akurat namun jauh lebih luas mempunyai dimensi-dimensi yang tak
terhingga yang meliputi kecerdasan logis-matematis, kecerdasan li-
nguistik verbal, kecerdasan visual-spatial, kecerdasan musical, kecer-
dasan kinestetik, kecerdasan emosional (intrapersonal dan inter-
personal), kecerdasan naturalist, kecerdasan intuisi, kecerdasan moral,
kecerdasan eksistensial, kecerdasan spritual dan lain-lain yang oleh
karena kecerdasan itu maka manusia sering di sebut makhluk multiple
inteligences3.
Mempelajari bahasa bukanlah serangkaian langkah mudah teru-
tama dalam mempelajari bahasa kedua, hal ini memerlukan sebuah
perjuangan panjang yang menuntut keterlibatan total, respon fisik,
intelektual dan seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik
apalagi kecakapan bahasa sebagai sebuah tujuan dalam pembelajaran
bahasa seringkali membawa kita pada penggunaan kata “kecerdasan”,
olehnya dibutuhkan pemahaman seorang pengajar bahasa terhadap ke-
cerdasan yang dimiliki oleh peserta didik dan memaksimalkan fungsi
kecerdasan itu dalam proses pembelajaran, lalu jenis kecerdasan apa
yang terkait dengan pembelajaran bahasa dan bagaimana memak-
simalkan jenis kecerdasan itu. Hal inilah yang di ulas dalam tulisan
ini.

2
Linda Campbell,Bruce Campbell & Dee Dickinson,Metode Praktis
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, (Jakarta: Intuisi Press, 2004), h.2
3
Agus Nggermanto, Quantum Quotient Kecerdasan Quantum, (Jakarta:
Nuansa, 2003), h.49

56 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa

B. PEMBAHASAN
1. Definisi Dan Jenis – Jenis Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menen-
tukan sukses-tidaknya peserta didik dalam belajar. Selama ini penger-
tian kecerdasan hanya menitik beratkan pada kemampuan IQ yang ha-
nya mengukur prestasi anak didik dari kemampuan matematika dan
bahasa yang notabene kemampuan intelek tersebut diukur melalui tes
IQ akibatnya pemberian penghargaan lebih kepada orang-orang yang
memang ahli dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa tan-
pa memberikan perhatian yang seimbang terhadap orang-orang yang
memiliki talenta di dalam kemampuan seperti arsitek, musikus, ahli
alam, designer, terapis, entrepreneurs dan sebagainya. Padahal sebagai
konsekuensi dari yang namanya makhluk hidup yang selalu saja ada
persoalan dalam menjalani kehidupan ini setiap orang mempunyai
cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, oleh
karena itu, menurut Gardner dalam Douglas Brown Kecerdasan bukan
hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang4. Kecerdasan meru-
pakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu
masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu
yang dapat berguna bagi orang lain, menurutnya kecerdasan tidak ha-
nya diukur melalui tes standar semata, namun lebih dari itu, kecer-
dasan adalah : a) kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi dalam kehidupan manusia, b) kemampuan untuk menghasilkan
persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan, c) kemampuan untuk
menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan
penghargaan dalam budaya seseorang5.
Dari konsep Gadrner tentang kecerdasan di atas, dapat dipa-
hami bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang dalam me-
mahami, menyikapi dan menyelesaikan persoalan yang terjadi da-lam
4
H. Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran & Pengajaran Bahasa,
(Pearson: Education Inc, 2007), h.116
5
Linda Camppbell, Bruce Campbell, Dee Dickinson, op.cit, h. 3

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 57


Yuwin R. Saleh

kehidupan manusia atau kemampuan di dalam menciptakan sesuatu


yang berguna bagi orang lain sehingga mendapatkan peng-hargaan.
Konsep kecerdasan Gadrner yang begitu kompleks ini meliputi
tujuh kemampuan:
a. Linguistic Intelligence (kecerdasan Linguistik)
Bentuk kecerdasan ini dinampakkan oleh kepekaan akan makna
dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan
bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks,
sebagai contoh para penyair, jurnalis, pembicara dan penyiar
berita memiliki tingkat kecerdasan linguistik yang tinggi.
b. Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika mate-
matika)
Merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mem-
pertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan ope-
rasi-operasi matematis. Para ilmuwan, ahli matematika, akuntan,
insinyur dan pemrogram komputer termasuk yang memiliki ke-
cerdasan ini.
c. Spatial intelligence (kecerdasan spasial)
Membangkitkan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi
seperti pada pelaut, pemahat, pelukis dan arsitek. Kecerdasan ini
memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal
dan internal, melukiskan kembali, merubah atau memodifikasi
bayangan, mengemudikan diri sendiri dan objek melalui ruangan
dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik.
d. Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik tubuh)
Memungkinkan seseorang untuk menggerakkan objek dan
ketrampilan – ketrampilan fisik yang halus memungkinkan terja-
dinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk
berhasil dalam aktivitas - aktivitas . Kecerdasan ini bisa dilihat
jelas pada diri atlet, penari, ahli bedah dan seniman yang mem-
punyai ketrampilan tehnik.
e. Musical intelligence (kecerdasan musik) jelas nampak pada
seseorang yang memiliki sensitivitas pada pola titinada, melodi,
ritme dan nada atau dengan kata lain bentuk kecerdasan ini
mendengarkan pola musik dan ritmik secara natural dan kemu-
dian dapat memproduksinya. Bentuk kecerdasan ini sangat me-
nyenangkan, karena musik memiliki kapasitas untuk mengubah
kesadaran kita, menghilangkan stress dan meningkatkan fungsi

58 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa

otak. Kecerdasan ini dimiliki oleh komposer, konduktor, musisi,


kritikus dan pembuat alat musik.
f. Interpersonal intelligence (Kecerdasan interpersonal); Merupakan
kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain
secara efektif. Hal ini dapat terlihat pada guru, pekerja sosial, artis
atau politisi yang sukses.
g. Intrapersonal intelligence (Kecerdasan intrapersonal); Adalah
kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri
sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam me-
rencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang dapat dipan-
dang sebagai sebuah kombinasi dan kesadaran interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal dengan sebuah komponen “nilai” yang
ditambahkan padanya contohnya kecerdasan spiritual yang meru-
pakan kecerdasan rohaniah, yang menuntun diri kita menjadi ma-
nusia yang utuh, berada pada bagian yang paling dalam diri kita,
kecerdasan ini ada pada ahli agama, ahli psikolog dan ahli
filsafat6.
Dengan beragamnya kecerdasan manusia, menjadikan peran
guru amat penting untuk memberikan arahan pada apa yang cocok dan
sesuai bagi para siswanya termasuk guru bahasa, hal ini hanya akan
tercapai bila guru memahami tentang konsep kecerdasan itu sendiri
dan bagaimana memaksimalkan kecerdasan itu dalam pembelajaran
sebab kehidupan manusia akan diperkaya melalui perkembangan
bermacam-macam kecerdasan di tingkat yang paling memungkinkan
jika individu memiliki peluang untuk belajar melalui kelebihannya,
maka akan muncul perubahan-perubahan kognitif, emosional, sosial
bahkan perubahan fisik yang menakjubkan.

2. Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa


Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa mempelajari
bahasa memerlukan sebuah perjuangan panjang yang menuntut
keterlibatan total, respon fisik, intelektual dan seluruh kecerdasan ya-
ng dimiliki oleh peserta didik apalagi kecakapan bahasa sebagai
sebuah tujuan dalam pembelajaran bahasa seringkali membawa kita
pada penggunaan kata “kecerdasan”, oleh karenanya pemahaman akan
kecerdasan dalam hal ini sekaligus bagaimana memaksimalkan kecer-

6
Ibid, h.3

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 59


Yuwin R. Saleh

dasan itu dalam proses pembelajaran menjadi bagian yang sangat


penting yang perlu mendapat perhatian dari seorang guru bahasa
apalagi tujuan pembelajaran bahasa memang menuntut hampir keselu-
ruhan jenis kecerdasan yang disebutkan sebelumnya.
Tujuan utama pembelajaran bahasa adalah mengembangkan
kemampuan berkomunikasi atau kompetensi wacana yakni ke-
mampuan memahami dan menghasilkan berbagai teks baik lisan mau-
pun tertulis sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
Kompetensi wacana ini hanya akan dikuasai oleh peserta didik
jika didukung oleh penguasaan kompetensi-kompetensi lain yang
meliputi kompetensi pembentuk wacana yang mengacu pada kemam-
puan menerapkan berbagai unsur pembentuk wacana seperti piranti
kohesi, piranti koherensi, piranti penunjuk konteks situasi, kompetensi
kebahasaan yang mengacu pada pemahaman dan kemampuan mene-
rapkan unsur-unsur tata bahasa, kosakata, lafal dan ejaan dalam teks
yang benar, kompetensi tindak bahasa mengacu pada kemampuan
menggunakan bahasa untuk mengungkapkan fungsi komunikatif,
kompetensi sosio budaya mengacu pada kemampuan menyatakan
pesan dengan benar dan terterima menurut konteks sosial budaya dan
kompetensi strategi mengacu pada kemampuan dan keterampilan
menerapkan berbagai strategi berkomunikasi7.
Pencapaian seluruh kompetensi di atas dalam mencapai tujuan
pembelajaran bahasa, sudah tentu membutuhkan kelihaian seorang
guru pengajar bahasa untuk meramu pembelajaran dengan memak-
simalkan jenis-jenis kecerdasan yang relevan yang dimiliki oleh
peserta didik.
Kemampuan peserta didik dalam mengingat daftar kata, kapa-
sitas bahasa dalam menerangkan konsep dan penggunaan bahasa un-
tuk merefleksikan bahasa adalah sebuah cara yang dapat diterapkan
seorang pengajar bahasa dalam memaksimalkan kecerdasan lingusitik.
Cara ini dapat diterapkan pada empat keterampilan (mendengar,
membaca, menulis dan berbicara) bahasa.
Untuk ketrampilan mendengar, guru memperdengarkan cerita,
puisi atau lagu, re-telling, listening guide atau meminta peserta didik

7
Herena I.R Agustien, Fathur Rohim, Maskur,Mutiara O.Pandjaitan, Materi
Pelatihan Terintegrasi Bahasa Inggris, (Jakarta: DepDikNas, 2004), h.40

60 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa

untuk mendengarkan ceramah singkat tanpa membuat catatan atau


peta pikiran. Latihan-latihan ini berguna dalam pengembangan ke-
trampilan mendengar dan mengingat Untuk ketrampilan berbicara
guru menciptakan lingkungan yang mendukung peserta didik untuk
menggunakan kosa kata lebih banyak, dengan permainan kata, dialog,
diskusi, debat dan sebagainya yang bertujuan untuk merangsang pe-
serta didik dalam mengingat kosa kata dan kemudian mengguna-
kannya.
Untuk ketrampilan membaca, guru bahasa dapat memak-
simalkan kecerdasan lingusitik peserta didik dengan meminta peserta
didik untuk membaca, mengingat isinya dan menarik kesimpulan. Un-
tuk ketrampilan menulis, kecerdasan linguistik peserta didik dapat di-
rangsang dengan meminta mereka menulis dengan atau tanpa musik,
menandai catatan dengan pena, curah gagasan dan sebagainya.
Dalam pembelajaran bahasa, bahasa tubuh juga sering ber-
peran dan membawa pengaruh besar bagi suksesnya pencapaian tuju-
an pembelajaran. Di sinilah kecerdasan kinestetik peserta didik bisa
dimaksimalkan misalnya dalam pembelajaran fonologi dengan
meminta peserta didik untuk mengekspresikan bunyi bahasa atau
dengan meminta peserta didik untuk merancang sebuah simulasi dan
sebagainya.
Penggunaan gambar pada saat proses belajar mengajar
berlangsung, juga dapat berfungsi untuk memaksimalkan kecerdasan
spasial, dengan gambar tersebut peserta didik diminta untuk mempre-
sentasikan, menginterpretasi, menunjukkan data dan sebagainya baik
dalam bahasa tulis atau bahasa lisan.
Keberhasilan peserta didik dalam belajar bahasa juga dapat
dilakukan melalui musik, biasanya ini diterapkan dalam pembelajaran
mendengar, bahkan tak sedikit peserta didik berhasil atau mencapai
sukses dengan belajar sambil mendengarkan musik baik itu mengajar
pada ketrampilan membaca, mendengar, menulis maupun ketrampilan
berbicara.
Kecerdasan interpersonal memungkinkan peserta didik untuk
bisa saling memahami dan berkomunikasi dengan orang lain, hal ini

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 61


Yuwin R. Saleh

dapat dimaksimalkan dengan menciptakan suasana kelas yang hangat,


terbuka dan penekanan pada pembelajaran kolaboratif misalnya pada
pembelajaran membaca dalam sebuah diskusi; dengan membagikan
sebuah potongan cerita pada peserta didik untuk dibaca, dengan me-
nyiapkan potongan plastik untuk kritik dan pendapat, buat pertanyaan
untuk diskusi yang mendukung pada interpretasi individu tentang
karakter, tema dan peristiwa yang terjadi di dalam cerita
Untuk memaksimalkan kecerdasan intrapersonal sebagai
sebuah kekuatan untuk memahami diri sendiri dan orang lain, memba-
yangkan, merencanakan dan memecahkan persoalan maka perlu dicip-
takan lingkungan belajar yang dapat menopang penghargaan diri pe-
serta didik, memberikan tugas dalam bentuk perencanaan dan perenu-
ngan, menulis jurnal tentang perjalanan hidup, meminta siswa untuk
memperkenalkan diri dengan memasukan deskripsi diri, kegiatan,
minat, harapan serta impian mereka dan sebagainya.

C. PENUTUP
Sebagai usaha menciptakan sistem lingkungan yang terdiri
atas pengajar, peserta didik, materi pembelajaran, metode dan media
yang memungkinkan terjadinya proses belajar secara optimal maka
dalam proses pengajaran seyogyanya dapat membantu menumbuhkan
dan mentransformasikan nilai-nilai positif dengan memberdayakan
serta mengembangkan potensi-potensi kepribadian dan seluruh kecer-
dasan yang dimiliki peserta didik.
Sebagai sosok yang memegang peranan strategis dalam
pembelajaran bahasa, guru bahasa seyogyanya memahami, menge-
tahui dan turut memberikan perhatian terhadap pengembangan kecer-
dasan-kecerdasan yang relevan (kecedasan linguistik, kecerdasan
kinestetik, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan inter-
personal dan kecerdasan intrapersonal) yang dimiliki peserta didik da-
lam meramu proses pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai dan peserta didik memiliki peluang untuk mengembangkan
kecerdasan-kecerdasan yang relevan yang mereka miliki.

62 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Kecerdasan dan Pembelajaran Bahasa

DAFTAR PUSTAKA

Agustien, I.R Herena, Rohim Fathur, Maskur, Pandjaitan O. Mutiara,


Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Inggris, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar
Dan Menengah, 2004.

Brown, H. Douglas, Principles of Language Learning and Teaching,


Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hill,Inc, 1987.

-------------, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa edisi


kelima, Pearson: Education, Inc, 2007.

Campbell, Linda, Campbell Bruce, Dickinson Dee, Metode Praktis


Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligencies, Jakrat: Intuisi
Press, 2004

Dawn Quist, Primary Teaching Methods, Afrika: Macmillan, 2000

Djiwandono Soenardi, Tes Bahasa Pegangan Bagi Pengajar Bahasa,


Jakarta: PT.Indeks, 2008.

Hermer, Jeremy, The Practice of English Language Teaching Fourth


edition, Pearson: Longman, t.th.

Iskandarwassid, Sunendar Dadang, Strategi Pembelajaran Bahasa,


Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Johnson, LouAnne, Pengajaran Yang Kreatif Dan Menarik, Jakarta:


PT Indeks, 2008.

Nggermanto, Agus, Quantum Quetiont; Kecerdasan Quantum,


Bandung: Nuansa, 2003.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 63


METODE ANALISIS KESILAPAN DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Ž‡ŠǣƒŠ—”‹

Abstrak

Kesalahan dalam berbahasa, baik bahasa lisan maupun tuli-


san merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari
bagi pembelajar, khususnya para pemula. Bahkan kesalahan-
kesalahan berbahasa pembelajar pada hakikatnya meru-
pakan sebuah input yang berharga bagi pengajar bahasa.
Dari kesalahan-kesalahan tersebut seorang pengajar bahasa
dapat mengetahui dan mengklasifikasikan aspek-aspek pen-
ting dan mendesak yang harus diberikan kepada pembelajar.
Klasifikasi masalah kebahasaan pembelajar tersebut selan-
jutnya dimanfaatkan untuk menempuh langkah-langkah pem-
belajaran yang efektif dan tepat sasaran dan langsung
menyentuh sisi kebutuhan pembelajar. Selanjutnya, secara
timbal balik, koreksi-koreksi yang tajam terhadap kesalahan
berbahasa pembelajar dapat menjadi insfirasi bagi mereka
untuk mengetahui letak-letak kesalahan yang selama ini
mereka lakukan. Dengan kesadaran tersebut, maka pembe-
lajar akan melakukan perbaikan internal secara sadar. Atas
dasar tersebut, maka penerapan metode analisis kesalahan
berbahasa dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa
Arab perlu dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan pem-
belajar.

Kata Kunci: Analisis Kesilapan, Pembelajaran Bahasa Arab

AǤPENDAHULUAN
Belajar merupakan proses ke arah suatu perubahan pada diri
pembelajar secara berencana, baik dari segi tingkat pengetahuan, kete-
rampilan ataupun sikap. 1 Hal tersebut berarti bahwa belajar adalah
suatu usaha berdasarkan kesadaran untuk melakukan perubahan pada
diri pembelajar. Pada sisi lain, lahirnya kesadaran untuk merubah diri
dalam berbagai aspeknya, mengandung suatu indikasi bahwa orang
yang belajar tersebut, sadar tentang kekurangan-kekurangan yang

1
Azhar Arsyad, Media Pengajaran (Edisi I, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persda, 1997), h. 1.

64 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

dimilikinya. Oleh sebab itu, terjadinya kesalahan-kesalahan dalam


proses belajar merupakan hal yang lumrah dan berada dalam koridor
yang dapat ditolerir.
Hubungan antara pengajaran bahasa dengan kesalahan berba-
hasa, ibarat hubungan antara air dan ikan. Sebagaimana halnya ikan
yang hanya dapat hidup dan ada di dalam air, maka demikian pula
halnya kesalahan berbahasa sering terjadi dan terdapat dalam penga-
jaran bahasa. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, maka dalam
proses pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing, kesalahan-kesa-
lahan yang dibuat oleh pembelajar, bukanlah merupakan sebuah feno-
mena yang perlu diherankan.
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik dalam
berbahasa, sangat terkait dengan beberapa faktor. Salah satu faktor
yang sangat dominan adalah karena bahasa yang dipelajarinya meru-
pakan bahasa kedua setelah bahasa ibu atau bahasa asing.2 Hal ter-
sebut membawa pengertian bahwa orang yang belajar bahasa Arab
sebagai bahasa asing, pernah memiliki pengalaman bahasa lain seperti
bahasa ibu atau bahasa nasional. Pengalaman seseorang dalam hal
pengalaman bahasa, mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Se-
seorang yang hanya belajar satu bahasa sejak kecil, tentu akan mem-
punyai kebiasaan berpikir yang terikat oleh kebiasaan menggunakan
bahasa yang diketahuinya.3
Meskipun demikian, para pakar linguistik dan guru bahasa
sependapat bahwa kesalahan berbahasa, sangat mengganggu penca-
paian tujuan dari pengajaran bahasa. Bahkan ada statemen yang berna-
da ekstrem mengatakan bahwa “kesalahan berbahasa yang dibuat oleh
siswa, menandakan bahwa pengajaran bahasa tersebut tidak berhasil

2
Bambang Yudi Cahyono membedakan antara bahasa kedua dan bahasa
asing. Menurutnya, bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu
(bahasa pertama dikuasai), sedangkan bahasa asing adalah bahasa yang dipelajari
setelah bahasa kedua.Sebagai contoh, bahasa Inggris bagi warga Malaysia, Filifina
dan Singapura merupakan bahasa kedua, tetapi di Indonesia merupakan bahasa
asing, karena kebanyakan warga Indonesia terlebih dahulu belajar bahasa Indonesia
setelah bahasa ibu. Setelah itu baru belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Lihat Bambang Yudi Cahyono, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa ( Cet. I ; Surabaya :
Airlangga University Press, 1995), h. 308.
3
Departemen Agama R.I, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada
Perguruan Tinggi Agama/IAIN (Jakarta : Proyek Pengembangan Sistim Pendidikan
Agama, 1975), h. 129.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 65


Damhuri

atau gagal”. Oleh sebab itu, kesalahan berbahasa yang sering dibuat
oleh siswa harus dikurangi, dan kalau perlu dihapuskan sama sekali.4
Untuk mencapai harapan tersebut di atas, maka seluk beluk
kesalahan berbahasa pembelajar, harus dikaji secara mendalam. Hasil
dari pengkajian tersebut sangat bermanfaat untuk evaluasi dan penyu-
sunan materi serta strategi pengajaran yang akan diterapkan dalam
kelas.5
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing, tidak sepi dari
fenomena tersebut di atas dan mempunyai kesamaan dengan penga-
jaran bahasa asing lainnya. Keluhan-keluhan para guru pengajar baha-
sa Arab tentang kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh siswa,
terdengar nyaring di amana-mana. Kesalahan-kesalahan tersebut se-
ring diatributkan sepenuhnya kepada si pembelajar. Oleh sebab itu,
fenomena-fenomena yang bersifat kasuistik tersebut, harus mendapat
perhatian serius para tenaga pengajar bahasa. Perhatian yang dimak-
sudkan ialah mengadakan analisis terhadap aspek-aspek kesalahan,
faktor-faktor yang mempengaruhinya serta cara mengatasinya.

B. PEMBAHASAN

1. Konsep Analisis Kesalahan Berbahasa


Ada dua pandangan yang bertolak belakang mengenai kesala-
han berbahasa. yakni pandangan dari sudut guru dan pandangan dari
sudut siswa . Dari sudut guru, kesalahan itu adalah suatu aib atau cacat
cela bagi pengajaran bahasa. Kesalahan berbahasa yang dibuat oleh
siswa itu menandakan bahwa pengajaran bahasa tidak berhasil atau
gagal. Karena itu kesalahan berbahasa itu harus dihindari agar
pengajaran bahasa berhasil. Sementara dari sudut pandang siswa,
kesalahan berbahasa merupakan bagian integral dari proses belajar
bahasa. Kesalahan itu tentunya dapat diperkecil atau bahkan dihi-
langkan dengan menata lebih sempurna komponen proses belajar-
mengajar bahasa.
Lalu akan timbul perntanyaan, apa yang dimaksud kesalahan
berbahasa? Istilah “kesilapan” berakar dari kata “silap”, yang mengan-

4
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa (Cet. X ; Bandung : Penerbit Angkasa, 1988), h. 67.
5
Ibid., h. 69.

66 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

dung pengertian salah atau khilaf.6 Untuk menjawab pertanyaan ini,


menurut Djago Tarigan 7 dapat dilihat dengan berpedoman pada
semboyan “Pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Dalam
semboyan itu, ada dua ukuran yang dapat dijadikan dasar.
Ukuran pertama berkaitan dengan faktor-faktor penentu dalam
berkomunikasi. Faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi itu ialah:
siapa berbahasa dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa
(tempat dan waktu), dalam konteks apa (peserta lain, kebudayaan, dan
suasana), dengan jalur mana (lisan atau tulisan), media apa (tatap
muka, telepon, surat, kawat, buku, koran, dan sebagainya), dan dalam
peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, lamaran
kerja, pernyataan cinta dan sebagainya). Sementara ukuran kedua
berkaitan dengan aturan kebahassaan yang dikenal dengan istilah
tatabahasa.
Dengan demikian bahasa yang baik dan benar adalah bahasa
yang sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomunikasi dan benar
dalam penerapan aturan kebahasaannya. Penggunaan bahasa yang ti-
dak sesuai dengan faktror-faktor penentu berkomunikasi bukanlah
bahasa yang baik. Bahasa yang menyimpang dari kaidah bahasa jelas
pula bukan bahasa yang benar.
Kesimpulannya, kesalahan berbahasa adalah penggunaan
bahasa, secara lisan maupun tertulis yang menyimpang dari faktor-
faktor penentu berkomunikasi dan kaidah bahasa. Kesalahan berba-
hasa itu dikaitkan dengan kaidah bahasa atau tata bahasa saja. Karena
itu kesalahan berbahasa didefinisikan berdasarkan penyimpangan
kaidah bahasa. Kesalahan berbahasa adalah pengguanan bahasa yang
menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku dalam bahasa itu.
Penyimpangan kaidah bahasa dapat disebabkan oleh menerapkan
kaidah bahasa dan keliru dalam menerapkan kaidah bahasa.
Di samping itu, pakar linguistik membedakan antara kesalahan
(error) dan kekeliruan (mistake). Kekeliruan pada umumnya dise-
babkan oleh keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau kelupaan,
sehingga menyebabkan kekeliruan dalam melafalkan bunyi bahasa,
kata, urutan kata, tekanan kata atau kalimat dan sebagainya. Keke-
liruan sifatnya berbentuk acak dalam pengertian, dapat terjadi pada se-
mua tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri

6
Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Edisi II, Cet. III ; Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 940.
7
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, op.cit., h. 29.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 67


Damhuri

oleh siswa jika ia mawas dan memusatkan perhatian. Siswa sebe-


narnya sudah mengetahui sistem linguistik yang dipelajarinya, akan
tetapi karena suatu hal, sehingga ia lupa.8
Dengan demikian, kekeliruan berbahasa terjadi bukan karena
siswa belum menguasai kaidah bahasa namun dalam menggunakan
bahasa yang sedang dipelajari mereka lupa atau keliru dalam mene-
rapkan kaidah bahasa itu. Kekeliruan bersifat acak dan individual.
Kekeliruan berbahasa dapat terjadi dalam setiap tataran lingusitik,
tidak sistematis, tidak ada pola yang sama dalam kekeliruan berbahasa
yang diperbuat. Kekeliruan bahasa tidak bersifat permanen. Artinya,
bila siswa sudah menyadari kekeliruannya, dia akan memperbaiki
sendiri kekeliruan itu. Kekeliruan berbahasa sering diabaikan dalam
analisis kesalahan berbahasa karena sifatnya individual, tidak siste-
matis dan bersifat sementara.
Adapun kesalahan, disebabkan karena faktor kompetensi, da-
lam pengertian bahwa siswa memang belum mengetahui sistem
linguistik bahasa yang digunakannya Kesalahan biasanya terjadi
secara konsisten dan sistematis. Kesalahan tersebut biasanya berlang-
sung lama bila tidak diperbaiki.9 Hal ini berlaku umum, artinya terjadi
pada beberapa siswa. Kesalahan berbahasa dapat diperbaiki oleh guru
melalui pengajaran remedial, latihan, dan praktik berbahasa.
Meskipun kedua istilah tersebut tampak berbeda dari segi
pengertian, namun indikasi dari kedua hal tersebut merujuk kepada
terjadinya penyimpangan dalam pemakaian bahasa. Namun, penge-
tahuan tentang tipologi tersebut, sangat membantu guru bahasa dalam
mengambil langkah-langkah perbaikan.

2. Tujuan Kajian Kesilapan dalam Pembelajaran Bahasa Arab


Kesalahan dalam hubungannya dengan pembelajaran bahasa
secara umum dan bahasa Arab secara khusus, adalah terjadinya cacat
pada ujaran atau tulisan pembelajar. Kesalahan tersebut merupakan
bentuk yang menyimpang dari norma baku atau norma terpilih dari
performansi bahasa orang dewasa. Para guru dan orang tua yang
sekian lama bersabar terhadap kesalahan berbahasa murid dan anak-
anak mereka, pada akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa ber-
buat kesalahan merupakan suatu bagian belajar yang tak terhindarkan.
Seorang guru tidak perlu merasa risih dan menghindar dari kesalahan

8
Ibid., h. 75.
9
Ibid., h. 76.

68 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

yang dilakukan oleh pembelajar dalam proses pembelajaran, tetapi


justru harus menghadapinya dengan besar hati dan secara kreatif
memperbaiki kesalahan mereka. Suatu hal yang harus disadari, bahwa
orang tidak dapat belajar berbahasa tanpa pertama kali berbuat
kesalahan-kesalahan secara sistematis.10
Kesadaran akan hal tersebut di atas, selanjutnya akan
mengundang pertanyaan, untuk apa mengadakan telaah atau analisis
kesalahan berbahasa pada pelajar, jika kenyataan seperti itu meru-
pakan hal yang bersifat alamiah?. Bagi seorang tenaga edukasi, jawa-
ban dari pertanyaan tersebut mempunyai arti yang sangat besar,
karena jawaban tersebut akan dijadikan titik berangkat dalam menga-
dakan perbaikan-perbaikan dan inovasi-inovasi pembelajaran secara
berencana.
Menurut Henry Guntur Tarigan dan Jago Tarigan, menelaah
kesalahan berbahasa para pelajar, mengandung dua maksud utama yai-
tu:
a. Untuk memperoleh data yang dapat dipergunakan dalam mem-
buat atau menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai hakekat
belajar mengajar.
b. Untuk memberikan indikasi atau petunjuk kepada para guru
dan para pengembang kurikulum, bagian mana dari bahasa sa-
saran yang sukar diproduksi oleh para pembelajar secara baik
dan benar, serta tipe kesalahan mana yang paling menyukarkan
atau mengurangi kemampuan pembelajar untuk berkomunikasi
secara efektif.11
Bila ditinjau dari aspek operasional, maka pengetahuan tentang
kesalahan berbahasa pembelajar mengandung beberapa keuntungan
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penyebab dan latar belakang kesalahan
pembelajar.
b. Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pembelajar.
c. Untuk mencegah atau menghindari kesalahan yang sejenis
pada waktu yang akan datang, agar para pembelajar dapat
menggunakan bahasa dengan baik dan benar.12
Dalam mengadakan analisis kesalahan berbahasa, seorang
tenaga pengajar hendaknya mampu mengklasifikasikan kesalahan-

10
Ibid., h. 141-142.
11
Ibid., h. 142.
12
Ibid.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 69


Damhuri

kesalahan yang dilakukan oleh sang pembelajar. Data kesalahan ber-


bahasa inilah yang perlu dianalisis. Dalam analisis kesalahan ini, me-
nurut Parera dapat dilakukan dengan analisis kontrastif yang dida-
sarkan pada tataran analisis bahasa. Kesalahan-kesalahan pembelajar
diklasifikasi berdasarkan tataran linguistik, seperti tataran fonologi,
morfologi, kelompk kata, frasa, klausa, kalinat, wacana dan semantik.
Selanjutnya, dicari penyebabnya dan ditetapkan cara memperbaiki-
nya13
Menurut Tarigan, kesalahan berbahasa dianggap sebagai ba-
gian dari proses belajar mengajar. Langkah kerja analisis kesalahan
berbahasa menurut Ellis dan Sridhar sebagaimana dikutip oleh
Tarigan, dapat dilakuan melalui lima langkah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data
2. Mengidentifikasikan kesalahan
3. Mengklasifikasikan kesalahan
4. Menjelaskan frekuensi kesalahan
5. Mengoreksi kesalahan.
Sementara menurut Parera,14 analisis kesalahan dapat dilaku-
kan dengan langkah-langkah:
1. Pengumpulan data,
2. Identifikasi kesalahan, baik secara khusus maupun umum,
3. Klasifikasi atau pengelompokan kesalahan,
4. Pernyataan tentang frekuensi tipe kesalahan,
5. Identifikasi lingkup tipe kesalahan, dan
6. Usaha perbaikan.
Dari paparan di atas diartikan analisis kesalahan berbahasa
adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan peneliti atau guru
bahasa yang meliputi kegiatan mengumpulkan sampel kesalahan,
mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan
kesalahan tersebut, mengklasifikasikan kesalahan itu dan mengeva-
luasi taraf kesalahan, serta melakukan perbaikan. Secara lebih detail,
metode analisis kesalahan berbahasa itu dilakukan dengan mengum-
pulkan sampel kesalahan yang diperbuat siswa baik dalam karangan
atau bentuk lainnya secara cermat dan detail. Kesalahan berbahasa
yang sudah terkumpul ini dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut:

13
Jos Daniel Parera, Lingusitik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1997), h. 143.
14
Ibid., h. 145.

70 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

Pertama, mengklasifikasikan kesalahan berbahasa itu berdasarkan


tataran kebahasaan misalnya kesalahan bidang fonologi, morfologi,
sintaksis, wacana atau semantik.
Kedua, mengurutkan kesalahan itu berdasarkan frekuensinya.
Ketiga, mengambarkan letak kesalahan dan memperkirakan penyebab
kesalahan.
Keempat, memperkirakan atau memprediksi daerah atau butir
kebahasaan yang rawan kesalahan.
Kelima, mengoreksi kesalahan atau memperbaiki kesalahan.

3. Kesalahan Berbahasa Pembelajar Bahasa Arab dan Lang-


kah- langkah Pemecahannya

a. Jenis-jenis Kesalahan Pembelajar Bahasa Arab

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa tujuan dari


pada kajian kesilapan dalam pengajaran bahasa adalah untuk menge-
tahui aspek-aspek kesalahan berbahasa di satu sisi dan untuk tujuan
perbaikan di sisi lain.
Analisis kesalahan berbahasa, merupakan suatu proses. Seba-
gai suatu proses, maka ada prosedur yang harus ditempuh selaku pe-
doman kerja. Dalam proses pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa
Asing, suatu hal yang sangat penting dalam melakukan analisis kesa-
lahan adalah mengadakan klasifikasi kesalahan berbahasa anak didik.
Seorang pengajara harus mampu membedakan kelompok-kelompok
jenis kesalahan.
Secara garis besarnya, kesalahan-kesalahan tersebut harus
mampu dibedakan antara kesalahan di bidang fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik. 15 Kemampuan untuk menangkap jenis-jenis
kesalahan, akan membantu dalam melakukan koreksi pada langkah
selanjutnya.
Di samping itu, penemuan jenis-jenis kesalahan, belumlah cu-
kup untuk mengadakan koreksi berencana secara maksimal. Akan
tetapi, di samping mengetahui jenis-jenis kesalahan, seorang pengajar
juga harus mampu mendeskripsikan tentang latar belakang terjadinya
kesalahan-kesalahan tersebut. Pengetahuan akan hal tersebut, sangat
membantu untuk merencanakan model pengajaran pada tahap selan-
jutnya.

15
E. Zaenal Arifin dan Farid hadi, 1001 Kesalahan Berbahasa, (Edisi II, Cet.
II ; Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), h. 15-183.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 71


Damhuri

Sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesala-


han berbahasa, Hendry Guntur Taringan merumuskan lima hal sebagai
berikut: 16

b. Penyamarataan yang berlebihan


Penyamarataan yang dimaksud adalah bahwa pembelajar me-
nyusun kalimat dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman baha-
sa yang dipelajarinya. Pada umumnya, penyamarataan yang berle-
bihan (over geralisasition), melibatkan penciptaan suatu struktur yang
menyimpang. Hal ini terjadi khususnya bagi pembelajar yang belum
atau tidak mengetahui aspek-aspek tertentu yang dikecualikan dalam
kaidah yang bersifat umum. Dalam merangkai jumlah fi’liyah (kalimat
verbal) misalnya, kaidah umum mengatakan bahwa “dalam struktur
jumlah fi’liyah, harus ada keselarasan antara fi’il dan fa’il dari segi
muzakkar dan muannats. Jika fa’il (pelaku) adalah muzakkar, maka
fi’ilnya pun harus muzakkar, dan demikian pula sebaliknya”.17 Oleh
sebab itu, jika kaidah seperti ini sudah melekat dalam benak pem-
belajar, sementara belum pernah menemukan kaidah-kaidah penge-
cualian, maka akan lahirlah bentuk kesalahan, seperti pada contoh
berikut:
# # Ô]
æ ¾ö 
ô ##S
è ×æ EX
æ
Kesalahan seperti itu akibat dari penyamaratan dari penga-
laman yang ditemukannya bahwa Ta Marbuta adalah tanda mua-
nnats. Sementara kata “ Ôæ]¾ö 
ô ” di lingkungan masyarakat Arab,
adalah nama yang digunakan untuk jenis laki-laki, meskipun
melekat padanya ta marbuthah. Oleh sebab itu, para pakar Nahwu
memasukkannya dalam kelompok muannats ladzi, 18 dalam
pengertian bahwa meskipun lafadznya mengindikasikan muannats,
namun dalam kenyataannya harus diperlakukan sebagaimana
memperlakukan isim muzakkar.

c. Ketidaktahuan akan pembatasan kaidah


Faktor ini, erat kaitannya dengan penyamarataan atau gene-
ralisasi struktur-struktur yang menyimpang yang diketengahkan di

16
Ibid., h. 86- 89.
17
Ibnu Rawandhy N. Hula dan Damhuri, Bahasa Arab Untuk Para Pemula,
(Cet. II; Gorontalo, 2010), h. 136.
18
Fuad Ni’mah, Mulakhkhash Qawaid al-Lugah al-Arabiyyah, Juz II, (Cet.
IX; Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), h. 16.

72 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

atas. Hal tersebut terkait dengan kegagalan dalam mengamati


pembatasan-pembatasan struktur-struktur yang ada, yaitu pene-
rapan kaidah pada konteks-konteks yang tidak menerima pe-
nerapan tersebut.#
Contoh :
ËLEQº½D#hŒ#¿
Pada contoh di atas, tampak terjadi kesalahan karena adaya
penambahan alif lam ta’rif pada idhfah yang semestinya digu-
gurkan. Memang betul bahwa maf’ul bih boleh saja berbentu ma’-
rifah. Akan tetapi terdapat kaidah lain, bahwa isim yang didha-
fahkan (disandarkan) kepada kata lain atau kata ganti, maka alif
lam ta’rif harus digugurkan. Namun dalam proses pembelajaran,
kasus-kasus seperti di atas tidak jarang dijumpai, khususnya bagi
para pembelajar bahasa Arab tingkat pemula.

d. Penerapan kaidah yang tidak sempurna


Dalam kategori ini, pengajar menganalisa perkembangan
kaidah-kaidah yang diperlukan untuk menghasilkan ucapan yang
berterima. Kesalahan dalam hal ini, bisa saja karena pengalaman
bahasa yang telah diterima siswa sebelumnya (bahasa pertama),
sehingga ia melakukan generalisasi yang menghasilkan peng-
gunaan struktur yang tidak sempurna.
Sebagai contoh, seorang siswa yang mempunyai pengalaman
bahasa Indonesia misalnya mengatakan: # ÕPkEëÐo# ÓkEëÐo# ÌjÉ dan
yang dimaksudkan adalah mobil mainan. Sebab dalam bahasa
Indonesia, sesuatu yang sifatnya mainan (bukan wujud sebe-
narnya), bisanya diungkapkan dalam bentuk kata majemuk. Sehi-
ngga mobil mainan biasa diungkapkan dengan “mobil-mobilan”.
Selanjutnya pembelajar tanpa sadar langsung menerjemahkan pola
bahasa tersebut ke dalam bahasa Arab, tanpa memperhatikan
adanya bentuk khusus yang digunakan dalam bahasa Arab dalam
mengungkapkan kalimat mejemuk semacam itu. Dalam kaidah
bahasa Arab, penyebutan ungkapan seperti itu, dilakukan dengan
mempergunakan bentuk tashghir, yaitu mengikuti wazan fu’ail.
Hal tersebut dilatar belakangi oleh pengalaman bahasa Indonesia
yang menyebutkan mobil main-mainan sebagai mobil-mobilan
atau oto-oto. Sedang dalam bahasa Arab bentuk seperti itu
mempergunakan bentuk tashgir.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 73


Damhuri

e. Salah menghipotesakan konsep


Bentuk kesalahan lain yang sering terjadi adalah kesalahan
yang diturunkan dari pemahaman yang salah terhadap pembedaan-
pembedaan dalam bahasa target. Hal ini, kadang berkaitan erat
dengan pemilihan butir-butir pengajaran yang tidak selaras. Seba-
gai contoh, kata ÈE¹ dalam bahasa Arab, dapat diinterpretasikan
sebagai penanda atau ciri kala lalu. Sehingga ketika pembelajar
diperintahkan untuk menerjemahkan EÂк\# EÂо©# D# ÈE¹# #
maka ia memahaminya sebagai peristiwa yang telah lampau.#
Analisis mengenai tipe-tipe utama kesalahan berbahasa siswa,
dapat membimbing pengajar bahasa untuk menguji bahan-bahan
pengajaran beserta metode dan urut-urutan penyampaian materi
pelajaran bahasa.

4. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Kesalahan Berbahasa


dalam Proses Belajar Mengajar

Secara garis besarnya, bahasa ditinjau dari aspek pengguna-


annya, dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu bahasa
lisan dan bahasa tulisan.

a. Bahasa lisan
Dalam telaah terhadap konsep-konsep yang ditawarkan oleh
para pakar metodologi pembelajaran dalam melakukan koreksi terha-
dap kesalahan berbahasa lisan peserta didik, ditemukan adanya perbe-
daan-perbedaan konsep. Ada yang beranggapan bahwa kesalahan
yang dilakukan oleh pembelajar dalam berbahasa lisan, hendaknya
segera dikoreksi, agar tidak terbiasa bagi mereka melakukan kesa-
lahan yang serupa pada waktu yang lain. Sementara yang lain menga-
takan bahwa, berilah kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan
konsep mereka dalam bahasa sasaran (bahasa asing yang dipelajari),
meskipun salah. Sebab menurutnya, kesalahan-kesalahan tersebut
pada akhirnya akan disadarinya sendiri oleh pembelajar setelah pen-
getahuan mereka matang.
Tindakan korektif terhadap kesalahan berbahasa lisan, hen-
daknya dilakukan secara bijaksana. Berdasarkan data temuan lapa-
ngan, bahwa koreksi secara langsung terhadap kesalahan berbahasa
pembelajar pada saat sedang berbicara, mempunyai cacat yang sangat
serius. Tindakan seperti itu akan berimplikasi terhadap hilangnya
keberanian dan menurunnya minat pembelajar dalam melakukan ba-
hasa lisan. Kekhawatiran akan mendapat teguran secara langsung

74 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

membuat mereka memilih sikap diam dan cenderung menghindar dari


praktek langsung dan terbuka. Sebaliknya, mengabaikan atau tidak
mengindahkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar
tanpa ada koreksi dari guru, akan mengakibatkan sulitnya diperbaiki
di masa-masa yang akan datang.19
Untuk menghindari akibat yang fatal sebagaimana disebutkan
di atas, kesalahan berbahasa lisan pembelajar sebaiknya dilakukan da-
lam langkah-langkah sebagai berikut:
1) Memperbaiki kesalahan setelah siswa menyelesaikan kalimat
yang akan dikatakannya.
2) Menghindari menegur siswa secara langsung jika melakukan
kesalahan yang tidak terlalu berarti, khusunya jika tidak mem-
pengaruhi makna kalimat atau merubah maksud dari ung-
kapan.
3) Teguran-teguran yang dilakukan hendaknya disesuaikan
dengan tingkatan materi pelajaran si pembelajar.
4) Perbaikan untuk tingkat advance dilakukan dengan memper-
hatikan semua aspek yang membangun suatu ungkapan yang
benar, agar pembelajar terhindar dari bahasa yang tidak baku
dan dialek lokal.
5) Jika pembelajar tampak kesulitan mengungkapkan sebuah ide
yang hendak diungkapkannya, hendaknya pengajar membantu
mereka menyusun ide-ide yang hendak diungkapkannya de-
ngan bijaksana.20
Berdasarkan tawaran-tawaran di atas, tampak bahwa seorang
guru bahasa (khususnya bahasa Arab), hendaknya senantiasa mem-
berikan kebebasan kepada siswa untuk berbicara dengan struktur ba-
hasa yang dimilikinya, dan di sisi lain, memberikan teguran pada
aspek-aspek yang dianggap sangat penting dengan menuntun mereka
mengungkapkannya.

b. Bahasa tulisan
Dalam kegiatan koreksi kesalahan bahasa tulis para pembe-
lajar, guru dapat menggunakan berbagai teknik. Teknik-teknik yang
biasa dimanfaatkan antara lain sebagai berikut:

19
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Thuruq Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah,
(Cet. I; Mishr: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979), h. 247.
20
H. Tayyar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan
Bahasa Arab (Edisi I, Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 199-
200.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 75


Damhuri

a. Koreksi langsung (direct correction techniques)


b. Teknik koreksi tidak langsung (inderect corection techniques)
Dalam teknik koreksi langsung, guru memperbaiki kesalahan
yang terdapat pada karangan atau komposisi yang dibuat oleh para
siswa, lalu menyuruh mereka menulis kembali latihannya dengan me-
masukkan semua perbaikan tersebut. Dengan kata lain, dalam teknik
ini, lokasi kesalahan pembelajar ditunjukkan serta ditambahkan pula
petunjuk-petunjuk bagaimana cara memperbaikinya. Petunjuk tersebut
bisa beranjak dari yang kurang langsung hingga yang paling langsung.
Teknik-teknik koreksi mencakup:
1. Penggarisbawahan kata serta memberikan suatu petunjuk
2. Mengurung kata atau frasa yang salah tempat
3. Memberi tanda silang pada kata yang terasa berlebihan
4. Memberikan bentuk yang tepat atau struktur yang benar dalam
keseluruhannya.21
Teknik-teknik tersebut di atas sifatnya sangat relatif dan
bersifat tawaran-tawaran, sehingga dapat dikembangkan berdasarkan
kondisi riil di lapangan. Langkah-langkah korektif dari guru, efekti-
fitasnya sangat tergantung dari kemampuan seorang guru menangkap
kebutuhan-kebutuhan pembelajar dan mengetahui tingkat kemampuan
pembelajar dalam aspek-aspek kebahasaan tertentu. Oleh sebab itu,
pemetaan permasalahan sebagaimana dikemukakan sebelumnya meru-
pakan sebuah keharusan, agar perbaikan-perbaikan pembelajaran yang
dilakukan dapat tepat guna dan berdayaguna.

C. KESIMPULAN
Kesalahan yang dilakukan pembelajar dalam mempergunakan
bahasa kedua atau bahasa asing, merupakan fenomena yang sulit
dihindari. Hal tersebut mengingat bahwa para pembelajar yang belajar
bahasa, sudah terlebih dahulu mempunyai pengalaman bahasa seb-lum
belajar bahasa kedua atau bahasa asing. Pengalaman tersebut sangat
berpengaruh dalam dalam cara pembelajar dalam menggunakan baha-
sa kedua.
Untuk memudahkan perbaikan dan koreksi terhadap kesalahan
berbahasa pembelajar, maka seorang guru terlebih dahulu harus
mampu mendeteksi kesalahan-kesalahan siswa dan membuat tipologi
kesalahan-kesalahan tersebut. Kemampuan guru dalam mengelom-

21
Hendry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, op. cit., h. 188-189; Bandingkan
dengan Fahmi Ali Yunus et.al., Asasiyat Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah wa al-
Tarbiyah al-Diniyah, (al-Qahirah: Dar al-Tsaqafah, 1981),h. 264-265.

76 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Metode Analisis Kesilapan

pokkan kesalahan berbahasa pembelajar sangat membantu dalam


langkah perbaikan dan perencanaan pengajaran selanjutnya.
Setelah seorang guru mengetahui tipologi-tipologi kesalahan
pembelajar dalam mempergunakan bahasa kedua, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan koreksi-koreksi dengan memilih lang-
kah-langkah yang dianggap efektif demi tercapainya tujuan dari
pengajaran bahasa.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 77


Damhuri

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir, Thuruq Ta’lim al-Lughah al-


Arabiyah. Cet. I; Mishr: Maktabah al-Nahdhah al-
Mishriyah, 1979.

Ali Yunus, Fahmi et.al., Asasiyat Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah wa


al-Tarbiyah al-Diniyah. al-Qahirah: Dar al-Tsaqafah,
1981.

Arifin, E. Zaenal dan Farid hadi, 1001 Kesalahan Berbahasa. Edisi


II, Cet. II; Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.

Arsyad, Azhar, Media Pengajaran. Edisi I, Cet. I; Jakarta: Raja


Grafindo Persda, 1997.

Cahyono, Bambang Yudi, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Cet. I ;


Surabaya: Airlangga University Press, 1995.

Departemen Agama R.I, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada


Perguruan Tinggi Agama/IAIN. Jakarta: Proyek
Pengembangan Sistim Pendidikan Agama, 1975.

Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Edisi II, Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Hula, Ibnu Rawandhy N. dan Damhuri, Bahasa Arab Untuk Para


Pemula. Cet. II; Gorontalo, 2010.

Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawaid al-Lugah al-Arabiyyah, Juz II.


Cet. IX; Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.

Tarigan, Hendry Guntur dan Djago Tarigan, Pengajaran Analisis


Kesalahan Berbahasa. Cet. X; Bandung: Penerbit
Angkasa, 1988.

Yusuf, H. Tayyar dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama


dan Bahasa Arab. Edisi I, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.

78 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


PENGARUH PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA TERHADAP
KEMAMPUAN BERBAHASA LISAN MAHASISWA
(Survei pada Mahasiswa Fakultas Tarbiyah,
IAIN Sultan Amai Gorontalo)

Oleh: Lamsike Pateda

Abstrak

Pemakaian bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sudah


menjadi hal yang tidak asing lagi bagi setiap orang, karena
bahasa merupakan suatu media yang digunakan untuk me-
nyampaikan pesan kepada orang lain. Namun terkadang
karena kemampuan berbahasa Indonesia lisan seseorang
kurang baik menyebabkan informasi yang disampaikan tidak
diterima dengan baik oleh pendengar, sehingga menye-
babkan terjadinya kesalahpahaman. Adapun tujuan peneli-
tian ini adalah untuk (1) Mengetahui dan memaparkan se-
cara jelas akan penggunaan bahasa Indonesia lisan di kala-
ngan mahasiswa, (2) Mendeskripsikan tentang pembelajaran
bahasa Indonesia yang diterapkan di kalangan mahasiswa
dan (3) Menjelaskan tentang pengaruh pembelajaran bahasa
Indonesia terhadap kemampuan berbahasa Indonesia lisan
bagi mahasiswa. Metode yang digunakan dalam menghimpun
data penelitian adalah metode deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lisan
yang baik dan benar pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan
Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo masih sering dijumpai
cara penggunaan yang keliru atau bahkan dicampuradukkan
antara bahasa Indonesia baku dengan bahasa daerah atau
bahasa gaul.

Kata Kunci: Pembelajaran, Kemampuan Berbahasa Lisan.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 79


Lamsike Pateda

A. PENDAHULUAN

Dewasa ini, kedudukan bahasa Indonesia sebagai alat ko-


munikasi semakin kokoh, baik dalam hubungan sosial maupun dalam
hubungan formal. Penggunaan Bahasa Indonesia sejak tingkat Sekolah
Dasar sampai tingkat Perguruan Tinggi menunjukan kemantapan se-
bagai bahasa nasional, bahasa persatuan dan kesatuan sebagaimana te-
lah dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dilihat dari tujuan penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi formal di lembaga pendidikan yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari tujuan pendidikan Nasional. Bahasa merupakan alat
utama dan pertama untuk membangun arus pemikiran yang jelas dan
teliti. Jadi Bahasa Indonesia tidak semata-mata alat komunikasi, tapi
juga alat pokok fundamental dalam proses pendidikan khususnya di
lembaga pendidikan formal. Secara implisit tujuan pendidikan Bahasa
Indonesia adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, sikap dan
motivasi penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi sudah menjadi hal
yang tidak asing lagi bagi setiap orang, karena bahasa merupakan
suatu media yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain. Namun tidak menutup kemungkinan, bahwa masih banyak
orang yang belum paham tentang pentingnya berbahasa dengan
menggunakan kaidah yang baik dan benar. Hampir setiap saat dijum-
pai pengguna bahasa berulang kali melakukan kesalahan yang sama
dalam berbahasa sehingga mengakibatkan kesalahpahaman pada pihak
kedua. Hal ini membuktikan akan kurangnya kemampuan seseorang
memilih dan memilah kata atau kalimat yang sesuai dengan kondisi
atau konteks pembicaraan.
Dewasa ini, setiap orang sudah dibekali dengan pendidikan
bahasa karena begitu pentingnya bahasa sehingga setiap orang wajib
untuk mempelajarinya. Baik itu di lembaga formal maupun informal,
setiap orang yang pernah duduk di bangku sekolah pasti mengala-
minya, tidak terkecuali mahasiswa yang telah menempuh bangku
kuliah. Mahasiswa merupakan tingkatan pelajar berlevel tinggi, seba-
gai seorang mahasiswa mereka tidak hanya dituntut untuk mengerti
tapi juga dituntut untuk berbahasa yang berkaidah, baik dan benar,
baik itu tulis maupun lisan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan bahasa Indonesia
lisan yang baik dan benar sangatlah berhubungan dengan kesesuaian
80 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

kaidah ejaan yang disempurnakan (EYD). Karena bahasa tanpa me-


ngacu pada kaidah tentu akan menyebabkan kerancuan atau bahkan
banyak kesalahan pada penuturan dan pemahaman. Hal tersebut juga
mempengaruhi akan kebenaran apa yang disampaikan oleh si penutur.
Di dalam bahasa lisan tentunya sangat terlihat apakah seseorang
tersebut menggunakan kaidah atau tidak.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentu tidak terlepas dari
penggunaan bahasa Indonesia lisan, baik saat berada di rumah, di
kantor, di perkuliahan dan lain sebagainya, semuanya tidak pernah
lekang dari penggunaan bahasa. Sungguh besar kegunaan bahasa
sehingga turut berpengaruh pada komunikasi sehingga dapat mempe-
ngaruhi kemampuan setiap orang dalam bersosialisasi dengan masya-
rakat. Seorang yang cakap dalam berbahasa Indonesia lisan tentulah
cakap pula dalam melakukan interaksi dengan orang lain maupun
masyarakat.
Sayangnya, dalam kenyataan yang ada saat ini, masih terlihat
tidak sedikit mahasiswa terutama di IAIN Sultan Amai Gorontalo
yang masih belum mampu untuk berbahasa yang baik dan benar,
khususnya pada bahasa lisan mereka yang sering digunakan. Secara
empiris, fakta menunjukkan bahwa di kalangan masayarakat terutama
masyarakat ilmiah seperti mahasiswa sangat jarang menggunakan
bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah
ditetapkan. Memang praktek penggunaan bahasa yang tidak baku
sudah tidak bisa dibendung lagi. Mulai dari media yang menjadi
tonggak pengarah masyarakat, apa yang tertera dalam media itulah
yang menjadi acuan masyarakat. Terutama masalah kebahasaan yang
digunakan, terkadang bercampur baur antara penggunaan bahasa
Indonesia dan bahasa asing ataupun bahasa gaul untuk menarik per-
hatian masyarakat. Tapi sebagai pelajar yang berlevel tinggi seperti
mahasiswa dituntut untuk memiliki intelektual tinggi tidak hanya
dalam bidangnya namun juga di bidang bahasa Indonesia. Mereka
diharapkan mampu berkomunikasi dengan baik di bidang formal
maupun informal.
Oleh karena itu, melihat dari semua permasalahan tersebut, pe-
nulis melakukan penelitian “Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia
terhadap Kemampuan Bahasa Lisan Mahasiswa (Survei pada Maha-
siswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Sultan Amai Gorontalo)”, yang me-
ngupas tentang pengaruh pembelajaran bahasa Indonesia terhadap
kemampuan bahasa Indonesia lisan mahasiswa di Fakultas Tarbiyah,
Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 81
Lamsike Pateda

IAIN Sultan Amai Gorontalo. Penelitian ini diangkat dalam rangka


mengukur kemampuan mahasiswa yang telah memprogramkan atau
mengambil mata kuliah bahasa Indonesia.
Penelitian tersebut berusaha menjawab rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penggunaan bahasa Indonesia lisan di kalangan
mahasiswa?
2. Bagaimanakah pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan
mahasiswa?
3. Bagaimanakah pengaruh pembelajaran bahasa Indonesia terhadap
kemampuan berbahasa Indonesia lisan bagi mahasiswa?
Adapun tujuan yang akan dicapai yaitu,
1. Mengetahui dan memaparkan secara jelas akan penggunaan
bahasa Indonesia lisan di kalangan mahasiswa,
2. Mendeskripsikan tentang pembelajaran bahasa Indonesia yang
diterapkan di kalangan mahasiswa dan
3. Menjelaskan tentang pengaruh pembelajaran bahasa Indonesia
terhadap kemampuan berbahasa indonesia lisan bagi mahasiswa.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Populasi dan sampel


penelitian adalah seluruh mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Tadris,
IAIN Sultan Amai Gorontalo. Data yang dikumpulkan dideskripsikan
sebagaimana adanya kemudian dianalisis dan akhirnya diambil sim-
pulan dari hasil analisis terhadap data yang ada. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan angket yang disusun oleh
peneliti, sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis deskriptif persentase. Langkah-langkah analisis data deskriptif
sebagai berikut: Pertama, mengumpulkan data penelitian di lapangan,
Kedua, reduksi data penelitian, Ketiga, tabulasi dan pendeskripsian
data, Keempat analisis data, dan Kelima interpretasi data.

C. ACUAN TEORI
1. Hakikat Kemampuan Berbahasa
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam ke-
hidupan manusia. Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh
manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan bahasa,
manusia dapat mengungkapkan gagasan atau pendapatnya sehingga
82 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

terjadi komunikasi antara satu dengan yang lain dalam kehidupan


bermasyarakat.
Pertumbuhan kecerdasan anak dapat dilihat dari kemampuan
berbahasana 1 Bila perkembangan bahasanya baik, biasanya intelek-
tualnya pun akan baik. Sebaliknya, bila lambat maka intelektualnya
pun akan lambat.
Sebagaimana sudah diketahui, ada empat kemampuan ber-
bahasa, meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Secara
normal, seseorang sudah akan dapat mendengarkan bunyi-bunyian
yang dihasilkan oleh apa pun yang ada di sekitarnya. Namun, sebagai
individu yang baru saja mulai bertumbuh, apa yang didengarkan tidak
dapat langsung dikenali. Ada proses pengenalan terhadap apa dan
siapa yang mengeluarkan bunyi. Hal ini, secara luar biasa, ter-asa
dengan baik di sepanjang hidup manusia sehingga kita dapat membe-
dakan siapa atau apa yang mengeluarkan bebunyian itu. Dengan cara
seperti inilah kiranya seorang bayi dapat mengenali suara ibunya atau
ayahnya.
Kemampuan berbicara menjadi kemampuan berikut yang
dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini diperolehnya sebagai bentuk
peniruan bunyi bahasa sebagaimana dijelaskan di atas. Itulah sebab-
nya, seorang yang dalam masa kecilnya, atau yang terlahir dengan
kecacatan dalam pendengaran akan menjadi orang yang tidak mampu
berbicara.
Meski demikian, dari sudut bahasa nonverbal, kemampuan
berbicara tampaknya sudah melekat dalam diri seseorang sejak ia
lahir. Hal ini diwujudkan dalam bentuk tangisan. Ketika lahir, jerit
tangisnya mulai mengarahkan dirinya untuk berbicara secara
nonverbal. Itulah bahasa lisan pertama umat manusia. Selanjutnya, ke-
mampuan membaca menjadi kemampuan ketiga sekaligus kemam-
puan tingkat tinggi pertama sebelum menulis.

2. Penggunaan Bahasa Indonesia Lisan sebagai Alat Komuni-


kasi di Kalangan Mahasiswa
Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang kehi-
dupan sosial, perlu ditingkatkan mutunya agar seluruh aktivitas komu-
nikasi dapat menggambarkan penggunaan bahasa Indonesia yang taat

1
Kompas, 20 Februari 2010

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 83


Lamsike Pateda

pada sistem/kaidah bahasa. Peningkatan mutu penggunaan bahasa


Indonesia itu meliputi bidang ilmu dan teknologi serta kebudayaan.
Pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan
benar, selain melalui jalur penyuluhan, dilakukan pula melalui media
cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti iklan layanan
imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam
upaya penyiapan generasi ke depan penanaman kecintaan terhadap ba-
hasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaran bahasa
yang lebih menekankan aspek kemampuan menggunakan bahasa
Indonesia secara baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekaan
terhadap estetika dan etika dalam berbahasa Indonesia. Upaya itu juga
harus dibarengi dengan penciptaan calon guru profesional yang memi-
liki kompetensi mengajar di kelas dengan baik.
Minat penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar
tersebut dikembangkan pula melalui penyelenggaraan sayembara me-
nulis, baik menulis kreatif maupun menulis ilmiah terutama ditujukan
pada mahasiswa. Di kalangan media cetak dan elektronik, melalui
Forum Bahasa Media Massa, setiap bulan diadakan diskusi ihwal
penggunaan bahasa Indonesia di dalam media cetak ataupun elek-
tronik yang selain diikuti kalangan jurnalistik juga diikuti pakar
bahasa.
Upaya meningkatkan martabat penggunaan bahasa Indonesia
dilakukan juga melalui pemberian penghargaan terhadap pengguna
bahasa terbaik para tokoh pemerintahan ataupun tokoh masyarakat.
Pengembangan kreativitas dan daya apresiasi terhadap bahasa di
kalangan generasi ke depan dilakukan melalui penyelenggaraan
bengkel-bengkel bahasa dan sastra di sekolah-sekolah dengan meng-
hadirkan para penulis nasional ataupun penulis lokal di sejumlah
provinsi di Indonesia. Dalam upaya mengukuhkan komitmen bangsa
yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928, setiap bulan Oktober
diadakan Bulan Bahasa dan Sastra yang kini diselenggarakan di
seluruh Indonesia melalui Balai/Kantor Bahasa ataupun di perguruan
tinggi dan bahkan di sekolah.

3. Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah


Kepribadian (MPK)
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan
84 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis2.


Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999)
adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi.
Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran,
daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Ke-
semuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan
penggunaan3.
Untuk mencapai tujuan di atas, pembelajaran bahasa harus
mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan
dalam kegiatan pembelajarannya, serta menjadikan aspek-aspek terse-
but sebagai petunjuk dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip
belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut. Pebelajar akan belajar
bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai individu yang
memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan berapstisipasi
dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam berbagai macam
aktivitas, (3) bila ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya
kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk mendukung proses
pemerolehan bahasa, (4) ia disebarkan dalam data sosiokultural dan
pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari bahasa
sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan
budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan
mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran
mereka sendiri4.
Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia sebagai
mata kuliah kepribadian (MKP) merupakan suatu wadah untuk meni-
ngkatkan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi baik secara li-
san maupun tertulis.

D. PEMBAHASAN
1. Keadaan Mahasiswa
Latar belakang atau asal usul mahasiswa yang diterima di
IAIN Sultan Amai Gorontalo bukan hanya berasal dari SMU/-

2
Depdikbud. Pedoman Proses Belajar Mengajar di SD. (Jakarta: Proyek
Pembinaan Sekolah Dasar, 1995).
3
Mokh. Basiran. Apakah yang Dituntut GBPP Bahasa Indonesia
Kurikulum 1994. (Yogyakarta: Depdikbud. 1999).
4
Aminuddin, 1994.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 85


Lamsike Pateda

SMK/MA di Provinsi Gorontalo melainkan juga berasal dari luar


Gorontalo seperti Bolaang Mongondow, Luwuk Banggai, Moutong,
Makasar, Ternate bahkan berasal dari pulau Jawa dan Sumatera.
Jumlah mahasiswa yang terdaftar di IAIN Sultan Amai
Gorontalo tahun akademik 2009/2010 sebagai berikut:
Tabel 1
Keadaan Jumlah Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo
Tahun Akademik 2009/2010
No Fakultas LK PR Jumlah
1 Tarbiyah dan Tadris 909 833 1.742
2 Syari’ah dan Ekonomi Islam 417 810 1.227
3 Ushuluddin dan Dakwah 267 239 506
JUMLAH 1593 1882 3.475
Sumber: http://kemahasiswaan-iaingorontalo.net/main/page.php?dir=alumni

2. Penggunaan bahasa Indonesia Lisan di Kalangan


Mahasiswa
Bahasa merupakan suatu pengantar manusia untuk berkomu-
nikasi dengan orang lain. Sejak lahir hingga dewasa manusia sudah
dikenalkan dengan yang namanya bahasa. Tentu saja seiring dengan
berjalannya waktu, kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa
semakin meningkat, tidak terkecuali mahasiswa.
Mahasiswa yang dituntut untuk mampu berbahasa dengan baik
dan benar, baik lisan maupun tulis, baik dalam keadaan formal mau-
pun informal, penggunaan bahasa lisan mereka mencakup keseharian
yang bersifat informal dan juga perkuliahan yang sejumlah besar ber-
sifat formal. Formal seperti ketika dalam acara diskusi, presentasi dan
lain sebagainya.
Dalam keseharian, mahasiswa mengaku belum mampu berbi-
cara dengan menggunakan bahasa Indonesia secara penuh atau bahkan
tidak sama sekali. Jarang sekali dijumpai seorang mahasiswa yang
berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Mereka cenderung menggunakan bahasa yang banyak diguna-
kan oleh lingkungan tempat hidup mereka. Seperti mahasiswa yang
tinggal di kota yang biasa menggunakan bahasa Indonesia gaul atau
prokem, serta mahasiswa di lingkungan kedaerahan yang biasa meng-
gunakan bahasa daerah mereka. Hal ini sesuai dengan ungkapan
Leonard Bloomfield bahwasanya perbedaan-perbedaan bahasa yang

86 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

digunakan oleh seseorang disebabkan oleh perbedaan dalam


kepadatan komunikasi5.
Jadi bahasa yang mereka gunakan sesuai dengan bahasa yang
sering mereka gunakan dalam komunikasi sehari-hari. Namun selain
itu, bisa juga didapati mahasiswa yang menggunakan bahasa Indo-
nesia di luar perkuliahan, seperti ketika bertemu dengan orang yang
memiliki derajat lebih tinggi ataupun orang yang lebih tua.
Di lingkungan perkuliahan yang bersifat formal, mahasiswa
lebih memilih untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia karena
mereka dituntut untuk hal itu. Seperti ketika dalam acara diskusi
kelompok, presentasi, forum seminar dan kegiatan lain yang mengha-
ruskan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini terlihat jelas
terutama pada mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi,
bahkan mereka juga sering menggunakan kata-kata ilmiah dalam
penggunaannya untuk alasan tertentu. Namun ketika di luar area
pembelajaran atau kegiatan formal, mereka masih juga tidak meng-
gunakan bahasa Indonesia.
Di sisi lain, kemampuan bahasa Indonesia lisan yang bersifat
reseptif atau kemampuan mendengar, sering digunakan dalam
berbagai kesempatan baik formal maupun informal,seperti mende-
ngarkan penjelasan dosen, pemateri seminar sampai mendengarkan
pembicaraan teman. Kemampuan ini berbeda-beda pada setiap diri
mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki kemampuan mendengar lebih,
ia akan lebih mudah dan cepat dalam menangkap pembicaraan. Ber-
beda dengan mahasiswa yang kurang cakap dalam hal mendengar, ia
akan kesulitan dan butuh untuk berpikir dua kali guna menangkap apa
yang ia dengar.

3. Kemampuan Berbahasa Indonesia Lisan


Dalam berbahasa dikenal empat macam keterampilan atau
kemampuan dasar, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Membaca yang mana merupakan kemampuan untuk memahami
bahasa tulis dan mendengar yang mana merupakan kemampuan untuk
memahami bahasa lisan, keduanya merupakan kemampuan berbahasa
yang bersifat reseptif. Sedangkan kemampuan yang bersifat produ-
ktif dalam bahasa tulis adalah kemampuan menulis. Dengan kata lain,

5
Leonard Bloomfield, Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
1995), h.44.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 87


Lamsike Pateda

kemampuan berbicara merupakan kemampuan bahasa lisan yang


bersifat produktif.
Sehubungan dengan kemampuan berbicara, sebagaimana
dikemukakan oleh Guntur Tarigan (dalam Isah Cahyani dkk 1985)
bahwa, kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menga-
takan, serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan6. Dengan
kata lain tujuan berbicara adalah untuk melakukan interaksi ataupun
komunikasi demi tujuan tertentu yang dituju oleh si pembicara.
Selain itu, seseorang dikatakan mampu atau terampil dalam
berbicara bila yang bersangkutan terampil memilih bunyi-bunyi
bahasa secara tepat pula guna menyampaikan pikiran, perasaan,
gagasan, fakta, perbuatan dalam suatu konteks komunika-
si7. Tentunya, dalam pencapaiannya tidak hanya dibutuhkan latihan
dari yang bersangkutan melainkan juga diperlukan sebuah pembelaja-
ran yang baik.
Menyimak atau mendengarkan yang dimaksud di sini bukan
sekedar mendengar bunyi-bunyi bahasa melainkan juga memaha-
minya. Kemampuan ini berhubungan dengan kemampuan untuk me-
mahami kata-kata yang didengarkan juga untuk membedakan bentuk-
bentuk tekanan dan nada yang didengar serta untuk mengenali dan
mendeteksi kata-kata khusus yang mengidentifikasi gagasan pokok,
topik dan tema yang didengar.
Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap dari kita selalu menggu-
nakan kemampuan bahasa lisan pada setiap kesempatan. Tidak dapat
dibayangkan jika kita, terutama mahasiswa, kurang cakap dalam
kemampuan ini, tentu kita akan kesulitan dalam menjalani kegiatan
keseharian. Namun betapa menguntungkannya jika mahir dalam
kemampuan bahasa lisan. Setiap dari apa yang baik kita dengarkan
maupun kita bicarakan tentu terasa semakin berarti. Namun, dalam
pencapaiannya sudah pasti tidak hanya membutuhkan latihan dari
pribadi diri sendiri tapi juga membutuhkan pembelajaran yang baik.

6
Isah Cahyani dkk. 2007. Kemampuan Berbahasa Indonesia di Sekolah
Dasar. (Bandung: UPI Press.1985), h.15.
7
Guntur Tarigan dalam ibid. h.5

88 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

4. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kalangan Mahasiswa


Dalam pengajaran bahasa terdapat tiga hal yang saling
berkaitan dan saling bertautan, yaitu pendekatan, metode dan teknik.
Pendekatan berada di tingkat yang paling tinggi, yang kemudian ditu-
runkan dalam bentuk metode dan selanjutnya diterapkan dalam teknik.
Teknik inilah yang paling berpengaruh karena berada pada tahap
operasi atau pelaksanaan.
Pendekatan merupakan sikap atau pandangan tentang sesuatu
yang biasa berupa asumsi-asumsi yang saling berkaitan8. Pendekatan
lebih mengarah pada pandangan awal kita dalam melaksanakan
pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan bisa bersifat formal, fungsi-
onal, komunikatif ataupun yang lainnya tergantung pada arah yang
dituju dalam pembelajaran. Adapun dalam perguruan tinggi secara
mayoritas pembelajaran bahasa Indonesianya berpendekatan komu-
nikatif, karena memang pembelajarannya diorientasikan pada tujuan
untuk mengembangkan kompetensi komunikatif. Hal itu disebabkan
karena dengan kompetensi tersebut mahasiswa diharapkan mampu
untuk mengemukakan gagasan keilmuan sesuai dengan bidangnya
(Leni Syafyahya, Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Baha-
sa Indonesia di Perguruan Tinggi, http://lenisyafyahya. Word-
press.com /2010/01/28/pendekatan-komunikatif/ diakses 16 Agustus
2011).
Metode ialah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang te-
lah ditentukan 9 . Metode lebih bersifat prosedural karena memang
bertujuan untuk mempermudah pengerjaan suatu pekerjaan. Sama
halnya dengan pendekatan, penggunaan metode bergantung pada
tujuan si pengajar dalam melakukan pembelajaran. Metode bisa
berupa metode komunikatif, tematik, kuantum, partisipatori ataupun
metode yang lainnya.
Hal lainnya yang sangat berpengaruh dalam pembelajaran
adalah teknik. Menurut Iskandarwassid, teknik merupakan suatu kiat
atau siasat untuk menyelesaikan sesuatu tujuan. Teknik tidak harus

8
Iskandarwassid dan H. Dadang Sunendar. Strategi pembelajaran Bahasa.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008), h.40.
9
Ibid.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 89


Lamsike Pateda

konsisten dengan metode, melainkan harus selaras dengan pendekatan


yang digunakan10.
Di perguruan tinggi, umumnya beberapa teknik yang paling
sering disajikan dalam proses pembelajaran, diantaranya yaitu:
a) Teknik penyajian diskusi
Dalam teknik ini pengajar berusaha untuk menciptakan suatu kelas
yang komunikatif dan saling berinteraksi satu sama lain. Tujuan
utamanya yaitu agar mahasiswa dapat berinteraksi dan bertukar pi-
kiran guna memecahkan suatu persoalan. Dalam diskusi keturut-
sertaan dan antusias dari mahasiswa sangatlah berpengaruh ter-hadap
hasil pembelajaran. Oleh karena itu dibutuhkan pengajar yang benar-
benar mampu untuk membuat suasana kelas yang aktif dan lebih
hidup. Diskusi dapat dibentuk berupa diskusi panel, simposium,
seminar dan sebagainya.
b) Teknik penyajian kerja kelompok
Dalam teknik ini mahasiswa diberi tugas untuk dikerjakan secara
berkelompok. Mereka saling bekerja sama dalam menyelesaikan tugas
demi mencapai hasil yang maksimal 11 . Baik pendekatan, metode
maupun teknik, semua merupakan suatu langkah dalam pelaksanaan
pembelajaran. Keberhasilan pengajar dalam mencapai tujuan bergan-
tung pada seberapa kemampuannya dalam meramu ketiga unsur
tersebut dan menerapkannya dalam pembelajaran.
Namun, yang didapati saat ini, seberapa baikpun strategi yang
digunakan, masih belum bisa untuk mewujudkan hasil seperti yang di-
harapkan. Terbukti dari adanya sejumlah mahasiswa yang dapat dini-
lai kurang mampu dalam berbahasa Indonesia lisan dengan baik dan
benar. Mungkin ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran mahasiswa
dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Akibatnya, masih bisa dite-
mui mahasiswa yang kurang serius pada saat proses pembelajaran dan
tidak begitu perduli dengan tugas-tugas yang diberikan. Atau bisa juga
disebabkan adanya dosen yang kurang cakap dalam proses pem-
belajaran, baik dari strategi yang digunakan maupun kurang antu-
siasnya dalam memahamkan mahasiswa.

10
Ibid.
11
Endah Ariani Madusari T., Suplemen Pendidikan BERMUTU:
Metodologi Pembelajaran, dari http://www.docstoc.com.docs/25352982 METO-
DOLOGI-PEMBELAJARAN-BAHASA-INDONESIA/ diakses 15 Agusts 2011)

90 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

5. Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia terhadap


Kemampuan Berbahasa Lisan Mmahasiswa
Setelah diketahui tentang apa yang terjadi seputar bahasa
Indonesia di kalangan mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Tadris, IAIN
Sultan Amai Gorontalo, baik itu mengenai penggunaannya maupun
pembelajarannya. Dapat dianalisis mengenai pengaruh yang terja-
di akibat pembelajaran terhadap kemampuan berbahasa Indonesia li-
san mahasiswa.
Pembelajaran bahasa Indonesia secara jelas berpengaruh pada
kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa, tidak hanya tulis tapi
juga lisan. Tentunya juga akan turut mempengaruhi terhadap kebe-
naran apa yang disampaikan oleh mahasiswa. Dilatarbelakangi oleh
kemampuan mereka dalam berbahasa lisan yang walaupun hanya me-
reka gunakan pada saat-saat yang formal saja tapi hal itu sudah
menunjukkan bahwa seluruh pembelajaran bahasa yang telah mereka
peroleh baik sebelum menjadi mahasiswa maupun sesudahnya memi-
liki peran yang cukup besar dalam bahasa Indonesia lisan mereka.
Seperti kegiatan diskusi, presentasi, seminar dan kegiatan formal lain
tentu tidak akan berjalan dengan lancar jika mahasiswanya tidak ber-
kemampuan bahasa Indonesia lisan. Dengan adanya pembelajaran
yang efektif tentu dapat menciptakan kemampuan berbicara mahasis-
wa yang lancar dalam pelafalanya, sesuai kaidah dalam penggu-
naannya serta sesuai dengan etika dalam berkomunikasi seperti berba-
hasa dengan baik, ramah, dan sopan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran bahasa Indonesia sangatlah berpengaruh dan berguna
bagi kemampuan bahasa Indonesia lisan mahasiswa, mengingat pen-
tingnya kemampuan bahasa Indonesia lisan mahasiswa guna lancar-
nya kegiatan formal yang mereka lakukan.
Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia juga berpengaruh
pada kemampuan bahasa Indonesia lisan mahasiswa, terutama yang
berkaitan dengan kemampuan bahasa lisan yang baik sehingga dapat
membantu mahasiswa dalam melakukan hubungan sosial dengan
masyarakat sekitar. Dapat dibayangkan jika mahasiswa tidak cakap
dalam berbahasa Indonesia lisan, tentu mereka akan kesulitan untuk
berinteraksi dengan sesama.
Di samping itu kemampuan bahasa Indonesia lisan yang baik
juga berpengaruh pada kemampuan mahasiswa dalam memperoleh
ilmu serta informasi. Karena dengan adanya kemampuan bahasa
Indonesia lisan yang baik mahasiswa akan lebih mudah dalam
Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 91
Lamsike Pateda

menerima pembelajaran dan apa yang disampaikan padanya. Hal ini


berhubungan dengan kemampuan mendengar mahasiswa. Mahasiswa
yang terampil dalam mendengar akan dapat lebih mudah menangkap
inti dari apa yang disampaikan padanya dan apa yang didengarkannya
sehingga mempercepat proses penambahan keilmuannya.

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun dari pembahasan yang dilakukan di atas, dapat
disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a) Mahasiswa mayoritas hanya menggunakan bahasa Indo-
nesia lisan pada kesempatan formal saja. Seperti ketika da-
lam kegiatan diskusi, presentasi, seminar serta digunakan
ketika bertemu dengan orang yang memiliki derajat lebih
tinggi.
b) Dalam bahasa lisan terdapat dua macam keterampilan atau
kemampuan. Yaitu, kemampuan berbicara (produktif) dan
kemampuan mendengar (reseptif).
c) Pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan komunika-
tif dan metode komunikatif. Selain itu teknik yang diguna-
kan adalah teknik penyajian diskusi dan teknik penyaji-
an kerja kelompok.
d) Pembelajaran yang diterapkan di kalangan mahasiswa
sangatlah berpengaruh terhadap kemampuan mahasis-
wa dalam berbahasa Indonesia lisan dan sangatlah dibutuh-
kan mengingat bahwa mahasiswa sangatlah dituntut untuk
menggunakannya.

2. Saran
a) Bagi mahasiswa sebaiknya mereka lebih sering dalam
menggunakan bahasa Indonesia lisan baik dalam kegiatan
formal maupun informal. Mengingat kedudukan mahasis-
wa sebagai pelajar level tinggi yang dituntut untuk mampu
dalam berbahasa Indonesia lisan.
b) Dalam pembelajaran sebaiknya baik dosen maupun
mahasiswa lebih giat dalam proses pembelajaran agar ter-
cipta mahasiswa yang benar-benar mampu dan terampil
dalam berbahasa Indonesia
92 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pengaruh Pembelajaran Bahasa Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ariani Madusari, Endah, T. Suplemen pendidikan BERMUTU:


Metodologi Pembelajaran, (online), http://www.docs-
toc.com.docs/25352982 METODOLOGI-PEMBELAJARAN-
BAHASA-INDONESIA/, diakses 15 Agustus 2011.

Basiran, Mokh. Apakah yang Dituntut GBPP Bahasa Indonesia


Kurikulum 1994?. Yogyakarta: Depdikbud. 1999.

Bloomfield, leonard. Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


1993.

Cahyani, Isah dkk. kemampuan berbahasa Indonesia di sekolah dasar.


Bandung: UPI Press. 2007.

Daniel Parera, Jos. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga. 1997.

Depdikbud. Pedoman Proses Belajar Mengajar di SD. Jakarta: Proyek


Pembinaan Sekolah Dasar. 1995.

Hartati, Tatat dkk. Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia si kelas


rendah. Bandung: UPI Press. 2006.

Iskandarwassid dan H. Dadang Sunendar. Strategi Pembelajaran


Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2008.

Syafyahya, Leni. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa


Indonesia di Perguruan Tinggi, (online), http://lenisyafyahya.
wordpress.com/2010 /01/28/pendekatan-komunikatif/, diakses
16 Agustus 2011.

Tarigan, Djago. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia 1.


Jakarta: Universitas Terbuka. 1992.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 93


MENGKONVERSI SKOR MENTAH
MENJADI SKOR STANDAR
DALAM PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA

Oleh: Lian G. Otaya

Abstrak

Kegiatan penskoran (scoring) dan penilaian merupakan satu


rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Penskoran
merupakan kegiatan mengumpulkan data melalui tes maupun
non-tes sehingga diperoleh skor mentah (raw store) untuk
kemudian diolah atau dikonversi (diubah). Sementara nilai
pada dasarnya adalah angka atau huruf yang melambangkan
seberapa jauh atau seberapa besar kemampuan yang telah
ditunjukkan oleh testee terhadap materi atau bahan yang
diteskan, sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang
telah ditentukan. Nilai, pada dasarnya juga melambangkan
penghargaan yang diberikan oleh tester kepada testee atas
jawaban betul yang diberikan oleh testee dalam tes hasil
belajar. Itulah sebabnya mengapa nilai sering disebut skor
standar (standar score). Untuk dapat disebut nilai, skor-skor
mentah hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan
pengubahan. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk sampai
kepada skor standar, maka skor-skor hasil tes yang pada
hakikatnya masih merupakan skor-skor mentah itu perlu
diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah (dikonversi)
menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (Standard
Score).

A. PENDAHULUAN

Pernahkah anda mendengar kata konversi? Apa yang pertama


kali terbersit dalam pikiran kita saat mendengarnya? Lalu kira-kira apa
jadinya jika kata konversi digunakan dalam dunia pendidikan (khu-
susnya pembelajaran)? Dari pertanyaan ini, ternyata timbulah jawaban
yang hampir senada dalam pikiran kita bahwa konversi adalah sebuah

94 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

kata yang biasa kita sebut jika ingin berbicara tentang pengubahan
suatu hal/nilai.
Tidak sedikit dari kita yang masih merasa bingung bila telah
melihat banyak angka hasil dari penskoran yang telah dilakukan da-
lam penilaian hasil belajar siswa. Harus dibuat atau diolah seperti
apakah, agar skor-skor yang telah didapat oleh siswa tersebut tidak
berhenti hanya sampai kumpulan angka saja, tetapi juga dapat “berbu-
nyi”, bermanfaat, dan bermakna.
Salah satu unsur yang harus dipahami agar dapat melakukan
konversi skor dengan benar adalah mengetahui apa yang dimaksud
dengan mengkonversi skor. Tanpa adanya pemahaman tentang apa itu
konversi skor, maka sangat mustahil seseorang dapat melakukan
mengkonversi skor mentah menjadi skor standar dalam penilaian hasil
belajar siswa dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam ke-
sempatan ini akan dibahas mengenai bagaimana mengubah dan
memberikan pemaknaan pada angka-angka mentah yang telah didapat
oleh siswa sebagai peserta tes menjadi skor standar. Bila semua proses
mempelajari materi ini telah selesai, maka diharapkan dapat dengan
baik memahami macam-macam teknik konversi skor dan dapat
mengkonversi skor mentah menjadi skor standar.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Konversi dan Skor dalam Penilaian Hasil Belajar

Konversi adalah tekhnik pengolahan dan pengubahan skor


mentah hasil tes menjadi nilai standar, skor adalah hasil pekerjaan
(memberikan angka) yang diperoleh dengan jalan menjumlahkan
angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee dijawab dengan
betul, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya.
Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diproleh dengan
menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang di jawab betul
oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan
menggunakan acuan tertentu, yakni acuan norma atau acuan standar.1
Skor juga merupakan hasil pekerajaan memberi angka yang diperoleh
dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang di

1
Suharsimi, Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), h.235

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 95


Lian G. Otaya

peroleh testee telah dijawab dengan betul, dengan memperhitungkan


jawaban betulnya. Sedangkan nilai adalah angka (bisa juga huruf),
yang merupakan hasil ubahan dari skor.2
Skor dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu: skor yang
diperoleh (obtained score), skor sebenarnya (true score), dan skor
kesalahan (error score). Skor sebenarnya (true score) seringkali juga
disebut dengan istilah skor universe – skor alam (universe score),
adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari perbedaan individu
berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap. Sebagai
contoh, apabila seseorang diminta untuk mengerjakan sebuah tes
berulang-ulang, maka rata-rata dari hasil tersebut menggambarkan
resultan dari variasi hasil yang tidak ajek. Inilah gambaran mengenai
skor sebenarnya. Akan tetapi, di dalam praktek tentu tidak mungkin
bahwa penilai minta kepada peserta tes untuk mengerjakan sebuah tes
secara berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan
contoh saja dalam menjelaskan pengertian skor sebenarnya. Perbedaan
antara skor yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan
istilah kesalahan dalam pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik
skor kesalahan.3
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan
penskoran (scoring) dan penilaian merupakan satu rangkaian kegiatan
yang tidak dapat dipisahkan. Penskoran merupakan kegiatan mengum-
pulkan data melalui tes maupun non-tes sehingga diperoleh skor
mentah (raw store) untuk kemudian diolah atau dikonversi (diubah).
Contoh berikut ini kiranya akan memperjelas pernyataan di
atas.
Misalkan tes hasil belajar dalam bidang studi bahasa Inggris me-
nyajikan lima butir soal tes uraian dimana untuk setiap butir soal yang
dijawab dengan betul diberikan bobot 10. Siswa bernama Aisyah,
untuk kelima butir soal tes uraian tersebut memberikan jawaban
sebagai berikut :

2
Anas Soedijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2008), h.309
3
Surapranata, Sumarna. Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi
Hasil Tes: Implementasi Kurikulum 2004. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
h.54

96 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

1. Untuk butir soal nomor 1 dapat dijawab dengan sempurna, sehing-


ga kepadanya diberikan skor 10;
2. Untuk butir soal nomor 2 hanya dijawab betul separohnya, sehing-
ga skor yang diberikan kepada siswa tersebut adalah 5;
3. Untuk butir soal nomor 3, hanya sekitar seperempat bagian saja ya-
ng dapat dijawab dengan betul, sehingga diberikan skor 2,5;
4. Untuk butir soal nomor 4 dijawab betul sekitar separohnya, sehing-
ga diberikan skor 5;
5. Untuk butir soal nomor 5 dijawab betul sekitar tiga perempatnya,
sehingga diberikan skor 7,5;
Dengan demikian untuk kelima butir soal tes uraian tersebut,
siswa bernama Aisyah tersebut mendapatkan skor sebesar = 10 + 5 +
2,5 + 5 + 7,5 = 30. Angka 30 disini belum dapat disebut nilai, sebab
angka 30 itu masih merupakan skor mentah (raw score), yang untuk
dapat disebut nilai masih memerlukan pengolahan atau pengubahan
(konversi). Karena itu untuk dapat disebut nilai, skor-skor mentah
hasil tes itu masih memerlukan pengolahan dan pengubahan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa untuk sampai kepada skor
standar, maka skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih
merupakan skor-skor mentah itu perlu diolah lebih dahulu sehingga
dapat diubah (dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau
standar (Standard Score).

2. Faktor Yang Mempengaruhi Skor Yang Diperoleh Siswa

Banyak faktor yang mempengaruhi suatu skor yang diperoleh


siswa, karena terkadang hasil yang diperoleh tidak menggambarkan
kompetensi siswa sebenarnya. Faktor yang mempengaruhi skor terse-
but antara lain sebagai berikut.4
1. Karakteristik umum yang permanen peserta tes:
a. Kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam menghadapi tes;
b. Kemampuan umum dan teknik yang digunakan ketika me-
ngambil tes;
c. Kemampuan umum untuk memahami petunjuk tes;

2. Karakteristik khusus yang permanen peserta tes:

4
Ibid, h. 54

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 97


Lian G. Otaya

a. Khusus yang berkaitan dengan tes secara keseluruhan diantara-


nya yaitu: (1) Kemampuan peserta didik yang berkai-tan de-
ngan atribut yang diukur dalam sebuah tes; (2) Pengetahuan
dan kemampuan khusus yang berkaitan dengan soal; (3)
Keajegan respon peserta didik terhadap pilihan jawaban
(misalnya mereka cenderung member jawaban A dari empat
alternative yang disediakan atau cenderung memilih B dari soal
benar salah yang disajikan)
b. Khusus yang berkaitan dengan soal: (1) Pengetahuan khusus
yang berkaitan dengan fakta atau konsep khusus; (2) Pengeta-
huan dan kemampuan khusus yang berkaitan dengan soal.
3. Karakteristik umum yang temporer, seperti:
a. Kesehatan;
b. Kelelahan;
c. Motivasi;
d. Gangguan emosi;
e. Kemampuan umum dan teknik yang digunakan ketika
mengambil tes;
f. Pemahaman mekanisme tes;
g. Faktor panas, cahaya, ventilasi, dan sebagainya;
4. Karakteristik khusus yang temporer:
a. Khusus yang berkaitan dengan tes secara keseluruhan: (1) Pe-
mahaman terhadap petunjuk khusus; (2) Trik atau teknik-teknik
mengatasi tes; (3) Pengalaman/latihan menghadapi tes terlebih
lagi dalam tes psikomotor; (4) Kebiasaan menghadapi sebuah
tes.
b. Khusus yang berkaitan dengan soal: (1) Fluktuasi ingatan yang
dimiliki peserta didik; (2) Hal-hal yang berkaitan dengan per-
hatian dan keakuratan.
5. Faktor penyelenggaraan:
a. Waktu, bebas dari gangguan, dan petunjuk yang jelas;
b. Pengawasan;
c. Penskoran
6. Faktor yang tidak pernah diperhitungkan:
a. Keberuntungan karena faktor menebak;
b. Mengingat soal yang telah dilihatnya
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara
umum faktor yang mempengaruhi skor adalah hal yang permanen

98 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

dalam diri siswa, hal yang temporer dalam diri siswa, penyeleng-
garaan, dan hal yang tidak pernah diperhitungkan lainnya.

3. Macam-Macam Teknik dan Cara Konversi Skor Mentah


Menjadi Skor Standar

Untuk mendapatkan skor standar, maka skor-skor yang telah


didapat masih merupakan skor mentah dan perlu diolah dan dikon-
versikan sehingga skor dapat berubah menjadi nilai (menjadi skor
yang sifatnya baku atau standar (Standard Score). Ada dua hal yang
perlu diperhatikan dalam pengolahan dan pengubahan skor mentah
menjadi skor standar atau nilai yaitu sebagai berikut.5
a. Dalam pengolahan dan pengubahan skor menjadi skor standar atau
nilai terdapat dua cara yang dapat ditempuh yaitu: 1) Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan
mengacu pada kriterium (Criterion) atau sering juga disebut
dengan patokan. Cara pertama ini sering dikenal dengan istilah
criterion referenced evaluation. Di dunia pendidikan Indonesia
dikenal dengan istilah Penilain Acuan Patokan (PAP) ada juga
yang mengatakan dengan istilah Standar Mutlak; 2) Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan mengacu pada
norma atau kelompok. Cara kedua ini dikenal dengan istilah norm
referenced evaluation. Di dalam dunia pendidikan Indonesia di-
kenal dengan istilah Penilaian Acuan Norma (PAN).
PAP adalah singkatan dari Penilaian Acuan Patokan. Suatu
penilaian disebut PAP jika dalam melakukan penilaian itu kita
mengacu kepada suatu kriteria pencapaian tujuan (instruksional)
yang telah dirumuskan sebelumnya. Nilai-nilai yang diperoleh
siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan (mas-
tery) siswa tentang pengajaran sesuai dengan tujuan (instruksional)
yang telah ditetapkan. Kriteria yang digunakanpun bersifat mutlak.
Artinya, kriteria itu bersifat tetap dan berlaku bagi semua siswa
yang mengikuti tes di lembaga terkait. Selain itu, nilai dari hasil
PAP dapat dijadikan indikator untuk mengetahui sampai dimana
tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi penga-

5
Mali, Gayo Akhir. Pemberian Skor, Verifikasi dan Standar Penilaian.
(http://arminaven.blogspot.com/2011/06/pemberian-score-verifikasi-dan-
standar.html. Diakses: 28 September 2011), h. 3

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 99


Lian G. Otaya

jaran tertentu. Sebagai contoh, untuk dapat diterima sebagai calon


penerbang setiap calon harus memenuhi syarat antara lain tinggi
badan sekurang-kurangnya 170 cm. Berdasarkan kriteria tersebut,
maka siapaun yang tidak memenuhi syarat akan dinyatakan gagal
dalam tes dan tidak diterima sebagai siswa calon penerbang.6
PAN adalah singkatan dari Penilaian Acuan Norma.
Penilaian dikatakan menggunakan pendekatan PAN apabila nilai-
nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai sis-
wa lain yang termasuk dalam kelompok itu. Yang dimaksud de-
ngan norma dalam hal ini adalah kapasitas atau prestasi kelompok,
sedangkan yang dimaksud kelompok adalah semua siswa yang me-
ngikuti tes tersebut. Selain itu, nilai dari hasil PAN tidak mencer-
minkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi
pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjukkan kedudukan
siswa di dalam peringkat kelompoknya.
Pedoman Konversi PAN didasarkan pada Mean dan Standar
Deviasi (SD) yang dihitung dari hasil tes yang diperoleh. Oleh
karena itu untuk membuat standar penilaian atau pedoman kon-
versi, terlebih dahulu kita harus menghitung Mean dan SD-nya.
Jika dihubungkan dengan skala penilaian, maka pedoman konversi
untuk PAN dapat mempergunakan berbagai skala, misalnya skala
lima, sembilan, sepuluh, dan seratus.
Sebagai contoh, pada pelajaran bahasa Indonesia, siswa
yang mendapat skor 80 di kelas B akan mendapat nilai A, sedang-
kan di kelas C siswa yang mendapat skor 65 akan mendapat nilai A
juga. Mengapa bisa demikian? karena nilai yang didapat siswa
hanya dihubungkan dengan norma kelompoknya. Pada kelas C,
norma kelompoknya rendah, maka skor 65 saja sudah mendapat
nilai A, dan pada kelas B 88 norma kelompoknya tinggi, maka skor
80 baru bisa mendapat nilai A, sehingga skor 65 bisa bernilai C.
b. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dengan
berbagai macam skala, misalnya: skala 5 (Stanfive), yaitu nilai
standar berskala lima yang dikenal dengan istilah nilai huruf A, B,
C, D dan F. Skala sembilan (Stanine) yaitu nilai standar berskala
sembilan dimana rentang nilainya mulai dari 1 sampai dengan 9
(tidak ada nilai =0 dan >10), skala sebelas (standard eleven/eleven

6
Ibid, h. 4

100 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

points scale) rentang nilai mulai dari 0 sampai dengan 10, z score
(nilai standar z), dan T score (nilai standar T).7
Dengan demikian teknik konversi skor mentah menjadi skor
standar ada 2 (dua) macam, yaitu: yang mengacu pada PAP dan
PAN. Konversi nilai yang mengacu pada PAN terbagi menjadi 5
(lima), yaitu: stanfive, stannine, stanel, z score, dan T score.

4. Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar Dalam


Penilaian Hasil Belajar Siswa

Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan


menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab betul
oleh siswa. Pengubahan skor mentah menjadi skor standar dapat dila-
kukan untuk skor tunggal, misalnya sesudah memperoleh skor ulan-
gan harian atau untuk skor gabungan dari beberapa ulangan dalam
rangka memperoleh nilai akhir untuk rapor. Skor maksimum tidak
selalu tetap, karena ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot
soal-soal tesnya. Seorang siswa yang memperoleh skor 40 bagi tes
yang menghendaki skor maksimum 40, mempunyai arti bahwa siswa
tersebut sudah menguasai 100% dari tujuan instruksional khusus yang
dirancang oleh guru. Akan tetapi jika skor 40 tersebut diperoleh dari
pengerjaan soal tes yang menghendaki skor maksimum 100, maka
skor 40 mencerminkan 40% penguasaan tujuan saja. Dengan demikian
maka angka 40 yang diperoleh oleh seorang siswa setelah ia selesai
mengikuti sebuah tes, belum berbicara apa-apa sebelum diketahui
berapa skor maksimum yang diharapkan jika siswa tersebut dapat
mengerjakannya dengan sempurna. Angka 40 ini disebut skor mentah.
Atas dasar itulah maka untuk dapat dicatat sebagai suatu
prestasi belajar, guru diwajibkan untuk mengubah skor mentah yang
diperoleh langsung dari mengerjakan tes, menjadi skor berstandar 100.
Sebagai contoh: skor maksimum yang diharapkan 40 dan Ali mem-
peroleh skor 25. Ini berarti bahwa sebenarnya A tersebut hanya
menguasai: tujuan instruksional khusus tersebut atau hanya 62,5%
dari tujuan instruksional khusus tersebut. Dalam daftar nilai, ditulis-
kan Ali mendapat nilai 62,5. Jadi di sini tampak perbedaannya: 25
adalah skor dan 62,5 adalah nilai.

7
Ibid, h. 4-5

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 101


Lian G. Otaya

Mengkonversi skor mentah menjadi skor standar adalah proses


pengubahan dari skor mentah menjadi nilai standar (huruf) dengan
mengacu pada parameter atau pendekatan penilaian tertentu. Konversi
yang akan dijabarkan di sini terkait 2 pendekatan penilaian yang su-
dah disebutkan sebelumnya.

a. Konversi mengacu pada PAP (criterion referenced evaluation)


Telah kita pahami bersama bahwa penentuan nilai pada
pendekatan ini, dilakukan dengan jalan membandingkan skor men-
tah hasil tes seorang peserta didik dengan skor maksimum idealnya,
maka penentuan nilai yang beracuan pada kriterium ini juga sering
dikenal dengan istilah penentuan nilai secara ideal, atau penilaian
secara teoritik, atau penentuan nilai secara das sollen. Dengan
istilah “teoritik” dimaksudkan di sini bahwa secara teoritik seorang
peserta didik berhak atas nilai 100.
Sebagai contoh: seorang peserta tes hanya dapat diberikan
nilai 40, sebab hanya 40% saja dari keseluruhan butir soal yang
dapat dijawab dengan benar. Dengan demikian, maka dalam penen-
tuan nilai yang beracuan pada kriterium, sebelum tes hasil belajar
dilaksanakan, patokan itu sudah dapat disusun (tanpa menunggu
selesainya pelaksanaan tes).
Skor Mentah
Nilai = x 100%
Skor Maksimum Ideal

Contoh : Skor maksimum ideal (jika semua soal dijawab


dengan benar) tes Bahasa Jepang adalah 140, dan
Bayu mendapat skor mentah sebesar 85. Berapakah
skor Bayu setelah dikonversi?
Diketahui : Skor mentah: 85, skor maksimum ideal: 140
Ditanya : Skor setelah dikonversi

102 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

Skor Mentah
Nilai = x 100%
Skor Maksimum Ideal

= 85 x 100% = 60.71 Skor Bayu setelah dikonversi 60.71


140

Setelahnya diterjemahkan menjadi nilai huruf dengan patokan


(misal): A = >80, B = 66 – 79, C = 56 – 65, D = 46 – 55, dan E = <
45. Dengan demikian Bayu mendapat nilai C untuk tes Bahasa
Jepang yang telah diikutinya.

b. Konversi mengacu pada PAN (norm referenced evaluation)

Ada 5 (lima) jenis nilai standar yang dapat digunakan untuk


mengkonversi skor mentah menjadi nilai standar:
1) Nilai standar berskala lima (stanfive), yang sering dikenal
dengan istilah nilai huruf, yaitu nilai A, B, C, D, dan E

Pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar


berskala lima atau nilai huruf, menggunakan patokan sebagai
berikut:

Rumus stanfive:

• Mean + 1.5 SD = A
Mean + 0.5 SD = B
Mean – 0.5 SD = C
Mean – 1.5 SD = D
” Mean – 1.5 SD = E

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 103


Lian G. Otaya

Contoh: Di bawah ini adalah hasil tes mata kuliah Evaluasi


Pendidikan Dasar, kemudian konversikanlah ke dalam nilai
standar berskala lima

No Nama Skor Mentah Hasil Konversi


1 Adit 80 B
2 Surya 75 B
3 Yanti 60 C
4 Teguh 65 C
5 Bona 40 D
6 Benu 35 D
7 Yuli 75 B
8 Endah 45 D
9 Feni 35 D
10 Dona 60 C

Jawab:
¦x 80  75  60  65  40  35  75  45  35  60 570
Mean 57
n 10 10
F2 (80  57) 2  2(75  57) 2  2(60  57) 2  2(65  57) 2  (40  57) 2
SD
n 10
 2(35  57)2  (45  57)2
17.19
10
• Mean + 1.5 SD = A 57 + (1.5) 17.19 = 84
Mean + 0.5 SD = B 57 + (0.5) 17.19 = 66
Mean – 0.5 SD = C 57 - (0.5) 17.19 = 48
Mean – 1.5 SD = D 57 - (1.5) 17.19 = 31
” Mean – 1.5 SD = D 57 - (1.5) 17.19 = 31
Skor mentah setelah dikonversi menjadi skor standar berskala
lima adalah sebagai berikut:
A • 84
B = 66 – 83
C = 48 – 65
D = 31 – 47
E ” 30

104 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

2) Nilai standar berskala sembilan (stannine), yaitu ren-


tangan atau skala nilai yang bergerak mulai dari 1 sampai
dengan 9
Jika skor-skor mentah hasil tes itu akan diubah menjadi
nilai standar berskala Sembilan, maka patokan yang
dipergunakan adalah sebagai berikut:
Rumus Stannine:
M + 1.75 SD = 9
M + 1.25 SD = 8
M + 0.75 SD = 7
M + 0.25 SD = 6
M – 0.25 SD = 5
M – 0.75 SD = 4
M – 1.25 SD = 3
M – 1.75 SD = 2
< M – 1.75 SD = 1

Sebagai catatan tambahan, stannine ini nilai standar yang


meniadakan nilai dari 10. Nilai standar tersebut tidak lazim
digunakan di Indonesia. Berhubungan dengan itu, jadi dirasa
tidak perlu untuk menyajikan contoh penggunaan praktisnya.

3) Nilai standar berskala sebelas (standar eleven/stanel/eleven


points scales), yaitu skala nilai yang bergerak mulai dari 0
sampai dengan nilai 10

Nilai standar berskala sebelas adalah rentangan nilai


standar mulai dari 0 sampai dengan 10. Jadi di sini akan kita
dapati 11 butir nilai standar, yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Di Indonesia, stanel umumnya digunakan pada lembaga pen-
didikan tingkat dasar dan menengah. Pengubahan skor mentah
menjadi stanel itu menggunakan patokan sebagai berikut:

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 105


Lian G. Otaya

Rumus Stanel

M + 2.25 SD = 10
M + 1.75 SD = 9
M + 1.25 SD = 8
M + 0.75 SD = 7
M + 0.25 SD = 6
M – 0.25 SD = 5
M – 0.75 SD = 4
M – 1.25 SD = 3
M – 1.75 SD = 2
M – 2.25 SD = 1

Contoh: Dengan menggunakan data di atas M = 57 dan SD =


17.19. berapa hasil konversi nilai tes tersebut dengan
menggunakan stanel?

Jawab:

57 + 2.25 x 17.19 = 96 • 96 = 10

57 + 1.75 x 17.19 = 87 87 – 95 = 9

57 + 1.25 x 17.19 = 78 78 – 86 = 8

57 + 0.75 x 17.19 = 70 70 – 77 = 7

57 + 0.25 x 17.19 = 61 61 – 69 =6

57 – 0.25 x 17.19 = 53 87 – 95 = 5

57 – 0.75 x 17.19 = 44 44 – 52 = 4

57 – 1.25 x 17.19 = 36 36 – 43 = 3

57 – 1.75 x 17.19 = 27 27 – 35 = 2

57 – 2.25 x 17.19 = 18 18 – 26= 1

106 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

4) Nilai standar z (Z score)


Z score umumnya digunakan untuk mengubah skor-skor
mentah yang diperoleh dari berbagai jenis pengukuran yang
berbeda-beda. Dengan menggunakan z score, maka peserta
yang memiliki kemampuan lebih tinggi adalah peserta didik
yang z scorenya bertanda positif (+). Sebaliknya, yang ber-
tanda (-) adalah peserta didik yang memiliki kemampuan lebih
lemah dari lainnya.
Misalnya dalam tes seleksi penerimaan mahasiswa baru
diisyaratkan lima jenis tes: bahasa inggris (X1), IQ (X2), tes
kepribadian (X3), tes sikap (X4), dan tes kesehatan jasmani
(X5). Skor yang diperoleh para testee adalah sebagai berikut:

Testee Skor Mentah


Skor Mentah Hasil Tes
No Nama Bahasa
IQ Kepribadian Sikap Kesehatan
Inggris
1 Adit 72 128 48 180 211
2 Surya 65 125 51 163 205
3 Yanti 76 115 44 175 178
4 Teguh 64 130 42 179 198
5 Bona 71 100 55 167 210
6 Benu 73 120 56 153 222
7 Yuli 75 125 57 153 127
8 Endah 68 114 49 203 200
9 Feni 70 103 51 167 224
10 Dona 66 109 47 153 211

Rumus umumnya adalah: Z = X/SDx, dimana: Z = z skor,


x= deviasi skor X, SD = standar deviasi dari skor x. Dalam
rangka menkonversi z skor menjadi nilai standar z, langkah-
langkah yang mesti di lakukan adalah sebagai berikut:
1. Menjumlahkan skor variabel XI sampai dengan X5 (™X1,
™X2....dst)
2. Mencari skor rata-rata hitung (mean) dari masing-masing
varibel dengan rumus M X1= (™X1)/N (satu persatu untuk
masing-masing variabel);

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 107


Lian G. Otaya

3. Mencari deviasi X1, X2, dan seterusnya. Dengan rumus:


X1 =X1- M x1, dst.
4. Menguadratkan deviasi X 1 sampai X5 kemudian di
jumlahkan sehingga diperoleh ™X1, ™X2,...dst
5. Mencari deviasi standar untuk kelima variabel tersebut.
Lalu, menghitung z skor sesuai dengnan rumus yang telah
tertera di atas.
Z skor yang di peroleh oleh masing-masing testee di jum-
lahkan, maka kemudian akan diketahui testee yang memilih z
skor yang fositif dan yang negatif.
Berikut penerapannya,. Dari data sebelumnya maka
dapat diuraikan sebagai berikut:
¾ Langkah I, II, dan III.
Kuadarat Deviasi (x) Deviasi (x)
Testee
X1 X2 X3 X4 X5 X1 X2 X3 X4 X5
Adit 72 128 48 180 211 +2 +3 -2 +1 -4
Surya 65 125 51 163 205 -5 -6 +1 -8 -10
Yanti 76 115 44 175 178 6 +4 -6 -2 +9
Teguh 64 130 42 179 198 -6 +4 -8 +8 -17
Bona 71 100 55 167 210 +1 -10 +5 +10 -8
Benu 73 120 56 153 222 +3 +9 +6 +4 +4
Yuli 75 125 57 153 127 +5 +14 +7 +12 +10
Endah 68 114 49 203 200 -2 -2 -1 -3 +1
Feni 70 103 51 167 224 0 -8 +1 -4 +9
Dona 66 109 47 153 211 -4 0 -3 -18 +6
N=10 700 111 500 1710 2150 0 0 0 0 0
0
MX 70 111 50 171 215 0 0 0 0 0
¾ Langkah IV, dan V:
2
Standar Deviasi ( F ) Z score Total
Testee
Z Score
X1 X2 X3 X4 X5 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5
Adit 4 9 4 1 16 +0.51 +0.41 -0.42 +0.21 -0.45 +0.17
Surya 25 36 1 64 100 -1.27 -0.83 +0.21 -0.93 -1.13 -3.95
Yanti 36 16 36 4 81 +1.52 +0.55 -1.26 -0.23 +1.02 +1.60
Teguh 36 16 64 64 289 -1.52 -0.55 -1.68 +0.93 -1.92 -4.74
Bona 1 100 25 100 64 +0.25 -1.38 +1.05 +1.16 0.90 +0.18
Benu 9 81 36 16 16 +0.76 +1.25 +1.26 +0.46 +0.45 +4.18
Yuli 25 196 49 144 100 +1.27 +1.94 +1.47 +1.39 +1.13 +7.20
Endah 4 4 1 9 1 -0.51 -0.28 -0.21 -0.35 +0.11 -1.24
Feni 0 64 1 16 81 0 -1.11 +0.21 -0.46 +1.02 -0.34
Dona 16 0 0 324 36 -1.01 0 -0.63 -2.09 +0.67 -3.06
N=10 156 522 226 742 784 0 0 0 0 0
SDX 3,95 7,22 4,75 8,16 8,85

108 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

Dari tabel di atas diperoleh semua yang bertanda positif


menunjukkan nilai z skor tinggi dan negatif rendah. Kalau saja
dalam tes seleksi itu hanya akan diterima atau diluluskan satu
orang saja, maka yang dapat dinyatakan lulus adalah Yuli
dengan Z score bertanda positif (+) sebesar 7.20, dan begitu
seterusnya diurutkan dari yang mendapat skor tertinggi sampai
terendah.

5) Nilai standar T (T score)


Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang
menggunakan mean sebesar 50 (M = 50) dan standar deviasi
sebesar 10 (SD = 10). T score dapat diperoleh dengan jalan
memperkalikan z score dengan angka 10, kemudian ditambah
dengan 50. T score dicari dengan maksud untuk meniadakan
tanda minus yang terdepan di depan nilai z score, sehingga
lebih mudah dipahami oleh mereka yang masih asing atau
awam terhadap ukuran-ukuran statistik.

T score = 10z + 5 atau

T score = 50 + 10 z

Contoh: Ubahlah Z score pada data sebelumnya menjadi T


Score

Total T Score
No Nama
Z score (50 + 10 z)
1 Adit +0.17 51.7
2 Surya -3.95 10.5
3 Yanti +1.60 66.0
4 Teguh -4.74 2.6
5 Bona +0.18 51.8
6 Benu +4.18 91.8
7 Yuli +7.20 112.0
8 Endah -1.24 37.6
9 Feni -0.34 46.6
10 Dona -3.06 19.4

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 109


Lian G. Otaya

Demikianlah beberapa contoh tentang bagaimana cara mengu-


bah atau mengonversi skor-skor mentah hasil tes menjadi skor standar
relatif. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes menjadi
nilai standar relatif yang mendasarkan diri pada prestasi kelompok ini
sangat cocok diterapkan pada tes-tes sumatif (ulangan umum dalam
rangka kenaikan kelas, ujian akhir semester, ujian seleksi penerimaan
calon siswa, dan sebagainya) yang pada kebiasaannya skor-skor yang
diraih oleh siswa adalah sangat rendah sehingga kebanyakan siswa
“tidak lulus” dalam tes tersebut.

C. KESIMPULAN
Konversi adalah pengubahan atau pengolahan skor mentah
hasil tes belajar menjadi nilai standar. Skor adalah hasil pekerjaan
menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dengan jalan menjum-
lahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah dija-
wab dengan betul, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya.
Skor-skor hasil tes yang pada hakikatnya masih merupakan skor-skor
mentah yang perlu diolah lebih dahulu sehingga dapat diubah
(dikonversi) menjadi skor yang sifatnya baku atau standar (standard
score).
Teknik konversi skor mentah menjadi skor standar ada 2 (dua)
macam, yaitu: yang mengacu pada PAP dan PAN. Konversi nilai yang
mengacu pada PAN terbagi menjadi 5 (lima), yaitu: stanfive, stannine,
stanel, z score, dan T score.

110 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Mengkonversi Skor Mentah Menjadi Skor Standar

DAFTAR PUSTAKA

Anas Soedijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja


Gravindo Persada. 2008.

Madhakomala. Pengembangan Alat Evaluasi: Desain Pembelajaran.


Jakarta: Universitas Terbuka. 1998.

Mali, Gayo Akhir. Pemberian Skor, Verifikasi dan Standar Penilaian.


2011.
(online)http://arminaven.blogspot.com/2011/06/pemberian-
score-verifikasi- dan-standar.html. Diakses: 28 September
2011

Purwanto, M. Ngalim. Prinsip-Prinisp dan Teknik Evaluasi


Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.

Sugiyono. Statistika untuk Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2002.

Suharsimi, Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


Bumi Aksara. 2006.

Surapranata, Sumarna. Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan


Interpretasi Hasil Tes: Implementasi Kurikulum 2004.
Bandung: Remaja Rosdakarya 2005.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 111


PENDEKATAN PERILAKU KOMUNIKASI DALAM
MEMAHAMI KONFLIK ORGANISASI

Oleh:
Abd. Razak Mozin., S.Ag., M.Si *
Abstrak
Dalam pandangan tradisonal kehidupan atau hidup yang
baik bagi seseorang adalah tidak suka protes, membantah,
melawan, dan sterusnya, merupakan sebuah ungkapan yang se-
ringkali terdengar dalam percakapan sehari-hari. Ungkapan ini se-
akan-akan ingin membenarkan berbagai mithos tentang konflik
yang telah berkembang lama. Bahwa konflik harus dihindarkan;
konflik terjadi karena salah pengertian; konflik merupakan isyarat
memudarnya hubungan antarpribadi; konflik dapat selalu dipe-
cahkan; Konflik adalah sesuatu yang buruk (Beebe, 1996: 301).Ter-
lepas dari berbagai mithos tersebut, muncul pertanyaan; me-
ngapa konflik senantiasa muncul dalam aktivitas manusia, termasuk
aktivitas organisasi? Apakah konflik dapat dihilangkan begitu saja?

Kata Kunci: Organisasi. Dampak konflik, Sumber-sumber


Konflik

Pandangan Tradisional dan Kontemporer


Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, “Com” yang berarti
“bersama” dan “Fligere” yang berarti melanggar, menabrak, mene-
mukan, membentur. Dengan demikian, konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan ke-
lompok lain, karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, “perti-
kaian” menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu,
yang diekspresikan, diingat dan dialami (Pace & Faules, 1994
:249). Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan mela-lui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). Kon-flik
senantisa berpusat pada beberapa sebab utama: tujuan yang ingin
dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,

112 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pendekatan perilaku komunikasi dalam memahami konflik organisasi

1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341). Interaksi yang


disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya,
tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda-beda (Devito, 1995:381).
Berbagai mithos tentang konflik dipahami berdasarkan dua su-
dut pandang, yaitu: tradisional maupun kontemporer (Myers,
1993:234). Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai
sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Bahkan seringkali konflik
dikait-kan dengan kemarahan, agresivitas, pertentangan baik secara
fisik maupun dengan kata-kata kasar. Sebaliknya, pandangan kon-
temporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan, konflik ada-
lah sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis
interaksi manusia. Persoalannya, bukan bagaimana meredam kon-
flik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat, sehingga tidak me-
rusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi.
Berdasarkan pemahaman diatas, ada dua hal penting yang bisa
disorot mengenai konflik. Pertama, konflik terjadi karena adanya
interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini berarti pula, bila kita ingin
mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan
perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi,
tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers. Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi, yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama
untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada
konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk
raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart
& Logan, 1993:341)1. Point kedua, konflik tidak selamanya berkono-
tasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart-
&Logan, 1993:342).

Konflik Dalam Organisasi


Setiap organisasi, terlepas dari ukuran, struktur, tujuan, dan
sebagainya melibatkan individu-individu yang senantiasa dan selalu be-
rinteraksi mencapai tujuan. Ketika interaksi yang disebut komu-
nikasi berperan sebagai jiwa penggerak organisasi, konflik pun ten-
tunya tidak mungkin dielakkan. Konflik dalam organisasi muncul pa-
da berbagai level sesuai dengan struktur organisasi. Myers (19-
82:238) membagi tiga bentuk konflik dalam organisasi. Pertama, kon-
Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 113
Abd. Razak Mozin

flik pribadi (personal conflict), merupakan konflik yang terjadi da-


lam diri setiap individu yang mengalami pertentangan menyangkut
keinginan, harapan dan nilai-nilai yang dianut; bingung memutuskan
sesuatu; kecewa karena mendapat halangan untuk memenuhi kebu-
tuhan; menghadapi kesulitan menghadapi kelompok lain. Kedua,
konflik antar pribadi (interpersonal conflict), merupakan konflik yang
terjadi antara individu yang satu dengan yang lain karena dua hal;
perbedaan latar belakang individu (usia, jenis kelamin, kebiasaan, keper-
cayaan). Menurut Edward T. Hall, individu yang terlibat dalam komu-
nikasi memiliki perbedaan, ada yang termasuk dalam kategori high-
co-ntext communication, dan ada pula yang masuk dalam kategori
low context communication (Samovar & Porter, 1994:362;
Gudykunst & Toomey, 1988:153).
Konflik antar pribadi pun terjadi karena terbatasnya sum-
berdaya perusahaan: modal, tenaga kerja, teknologi, adalah sesuatu yang
seringkali terbatas bagi setiap perusahaan. Ketiga, konflik organ i sasi
(organizational conflict). Konflik organisasi merupakan perilaku
yang terjadi antara kelompok-kelompok dalam organisasi dimana
anggota kelompok mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-
nya, dan merasa bahwa kelompok lain menghalangi pencapaian
tujuan maupun harapan harapannya (Myers, 1982:237; Kreps,
1986:186). Konflik seperti ini dapat terjadi baik pada level hori-
zontal maupun pada level vertikal organisasi (Daft, 1992: 429).
Pada level horizontal, konflik bisa terjadi antara grup atau bagian
pada pada level yang sama dalam suatu hirarki. Misalnya, bagian
produksi mempersoalkan penerapan quality control, karena
prosedurnya cendrung mengurangi efisiensi produksi. Sedang-
kan konflik vertikal bisa terjadi pada setiap level secara vertikal.
Konflik dalam tingkat vertikal muncul menyangkut isu-isu mengenai:
pengawasan, kewenangan, tujuan, upah serta keuntungan. Ketika
terjadi konflik, muncul berbagai perubahan perilaku; pertama, orang-
orang akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya dan
menganggap seakan-akan terpisah dari kelompok lainnya dalam
organisasi. Kedua, kehadiran kelompok lain akan mengundang
perbandingan antara “kelompok kami” dan “kelompok mereka”.
Ketiga, jika suatu kelompok terlibat yang terjadi antara kelompok-
kelompok konflik dengan kelompok lain maka anggota kelom-
poknya akan cepat membaur, bersatu dengan anggota kelom-
poknya. Keempat, anggota kelompok cendrung melihat kelompok
114 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pendekatan perilaku komunikasi dalam memahami konflik organisasi

lain sebagai “ lawan”, bukan sebagai pihak netral. Kelima, anggota


kelompok cendrung arogan dan penuh percaya diri atas keunggulan
maupun terhadap hal-hal yang telah diraihnya dan meremehkan
keberhasilan maupun kesuksesan kelompoklainnya.Keenam, komuni-
kasi antara kelompok yang bersaing semakin menurun. Atau kalaupun
terjadi komunikasi, yang muncul kemudian lebih banyak yang
bersifat “basa-basi” dan penuh kecurigaan. Ketujuh, ketikasatu ke-
lompoktenggelam dalam konflik, anggota-anggotanya cepat bersatu,
dan segala kesalahan dilemparkan kepada kelompok lain. Kedela
pan, konflik antar kelompok yang diikuti perubahan pada persepsi dan
permusuhan terjadi secara alamiah, dalam situasi normal (Daft,-
1992: 432).

Gambar : Model Konflik dalam organisasi

Management of
Group Interface

Contextual and Attributes of Consequences of


Intergroup
Organizational Factors Specific Conflict Behavioral
Determining Potential of Intergroup Changes for Organizational
Intergroup Conflict Relationships Effectiveness

Triggers: Specific
Incidents and
Frustrations

Sumber: Model dikembangkan Richard E.Walton & John Dulton dalam Richard L. Daft (1992).
Organization Theory and Design, West Publishing Company, USA, p. 434.

Sumber-sumber Konflik
Berdasarkan model teoritis sebagaimana terlihat pada gambar
di atas dapat dilihat bahwa pada kotak paling kiri (konteks dan fak-
tor-faktor organisasi) terdapat elemen-elemen yang dapat menjadi
sumber-sumber konflik horizontal antar kelompok. Berbagai
elemen ini dapat mendorong munculnya konflik horizontal tatkala
dipicu oleh adanya kejadian kecil, maupun perasaan kecewa yang
melanda kelompok.
Faktor-faktor organisasi yang dapat mendorong konflik
adalah: Pertama, Environment. Lingkungan eksternal yang senantiasa
berkembang pesat dan penuh ketidakpastian, menuntut tanggapan
anggota organisasi untuk memiliki kemampuan, sikap dan
kekuatan mencapai tujuan organisasi. Kedua, Size (ukuran). Ketika
ukuran organisasi makin meningkat maka organisasi akan dibagi dalam

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 115


Abd. Razak Mozin

divisi maupun sub divisi. Dalam konteks ini, anggota dari


setiap departemen akan mulai berpikir bahwa dirinya merupakan
bagian yang terpisah dari kelompok lainnya. Ketiga, Technology
(teknologi). Penerapan teknologi turut meningkatkan interaksi
antarsetiap bagian organisasi. Dalam proses interaksi pasti
akan terjadi konflik. Keempat, Goals (tujuan): Tujuan orga-
nisasi diimplemetasikan dan menjadi panduan dari setiap
bagian dalam bekerja. Dalam proses pencapaian tujuan, konflik pasti saja
terjadi . Kelima, Structure (struktur). Struktur organisasi idealnya un-
tuk memudahkan koordinasi dan proses kontrol. Kadangkala struktur
organisasi yang dibuat mendorong pekerja hanya setia kepada
kelompoknya bukan kepada organisasi secara keseluruhan.
Berbagai elemen dalam konteks dan lingkungan organisasi
menjelma menjadi tanda-tanda hubungan antara bagian yang mem-
pengaruhi frekuensi, eksistensi konflik horizontal, yang me-
nyangkut hal-hal sebagai berikut: perbedaan pemahaman mengenai
operasionalisasi tujuan organisasi, perbedaan pengetahuan dan
emosi bagi setiap manajer bagian, keterkaitan antara satu bagian
dengan bagian lainnya, keterbatasan sumber daya, pembagian kewe-
nangan, kemampuan memprediksi ketidakpastian, sistem pengupahan
yang semuanya dapat menjelma menjadi konflik (Daft,
1992:435-436). Di samping konflik horizontal, yang terjadi antar
kelompok dalam bagian organisasi, konflik pun bisa muncul secara
vertikal. Konflik seperti ini terjadi antar individu-individu atau
kelompok-kelompok pada tingkat yang berbeda sepanjang jalur
vertikal. Misalnya, konflik antara pemilik saham dengan direksi, kon-
flik antara manajer dengan kelompok pekerja, antara direksi dengan
tim manajer, dan sebagainya. Konflik vertikal nampak seringkali ter-
jadi misalnya dalam bentuk pemogokkan tenaga kerja, seperti yang
sering terjadi akhir-akhirini, karena merasa tidak puas dengan
kebijakan pimpinan perusahaan, atau hengkangnya pekerja profe-
sional sebagai protes atas ketidakpuasan terhadap pimpinan adalah
contoh-contoh konflik secara vertikal. Sumber penyebab konflik vertikal
antara lain: Psychological distance: Bahwa pekerja merasa kurang
dilibatkan, atau diakomodasi kepentingannya dalam organisasi; Po-
wer and status: bahwa pekerja merasa tidak memiliki kewenangan
sehingga hanya menjadi penerima keputusan pimpinan pada level
yang paling tinggi; Ideology; menyangkut perbedaan pemahaman
mengenai tujuan organisasi. Dalam hal ini, kelompok pekerja tidak
116 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011
Pendekatan perilaku komunikasi dalam memahami konflik organisasi

pernah disosialisasikan mengenai apa yang menjadi tujuan


organisasi. Scarce Resources: yaitu adanya keterbatasan dalam hal
sumber daya; keuangan, gaji, suasana kerja.

Dampak Konflik
Konflik tidak mungkin dihindarkan, sebagai konsekuensi inte-
raksi manusia. Mengikuti pandangan kontemporer, konflik bisa
destruktif bisa pula konstruktif, tergantung penanganannya
(Kreps,1982;187 & Stewart & Logan, 1993:343; Devito, 1995:382;
Daft, 1992: 443 & Beebe,1996: 303). Konflik bisa menimbulkan
dampak negatif misalnya, melemahnya hubungan antarpribadi, tim-
bulnya sikap marah, perasaan terluka, keterasingan (Kreps, 1986:187).
Pada tahap dini, konflik ditandai dengan sikap tidak saling per-
caya antara satu kelompok dengan kelompok lain yang lambat laun
ditunjukkan secara verbal maupun nonverbal: raut wajah tidak
senang, bersikap diam atau mungkin menghindari kelompok lain
(Pace & Faules, 1994: 250). Pada level organisasi, konflik
membawa dampak negatif; pemborosan energi/tenaga (hilangnya
konsentrasi untuk pekerjaan), menurunnya rasa saling pengertian
terhadap kelompok lain, kurangnya kerjasama antara kelompok bahkan
yang terjadi justru saling salah menyalahkan, koordinasi menjadi sangat
buruk (Daft, 1982: 444).
Sebaliknya, konflik bila dikelola secara tepat maka hal itu akan
membawa dampak konstruktif bagi pihak yang terlibat termasuk
organisasi. Pertama, sebagai tanda peringatan dini. Konflik bisa men-
jadi semacam detector untuk mengidentifikasi masalah yang timbul.
Kedua, sebagai katup pengaman. Konflik bisa menjadi katup penga-
man agar tidak menimbulkan kemarahan yang lebih besar. Keti-
ga, meningkatkan interaksi. Konflik bisa meningkatkan interaksi
dan keterlibatan anggota organisasi dalam mendiskusikan isuisu
mengenai hubungan antara dua pihak, antar kelompok atau organi-
sasi. Keempat, menumbuhkan kreativitas. Kelima, menjembatani
penyelesaian masalah. Keenam, mendorong penyampaian informasi
antara kelompok. Ketujuh, menguji kekuatan ide dari anggota
organisasi, dan solusi yang ditawarkan atas masalah yang terjadi
(Kreps, 1982:187-189).
Sejalan dengan pemikiran Kreps, menurut Stewart & Logan
(1993: 343- 347) bahwa konflik bisa membantu kelompok-kelompok
yang terlibat untuk membuat keputusan yang lebih baik dan bukan

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 117


Abd. Razak Mozin

keputusan yang sifatnya adopsi dari atas; konflik pun bisa membantu
seseorang untuk mencari solusi atas masalah yang melanda individu
atau kelompok; konflik pun dapat membantu mengemukakan keyakinan
dalam suatu hubungan; konflik mampu menyampaikan kontak inter-
personal yang sesungguhnya.
Persoalan yang dihadapi setiap pemimpin organisasi adalah
bagaimana menangani konflik sehingga tidak menimbulkan dampak
buruk bagi kelangsungan hidup organisasi. Dalam rangka ini, teknik-
teknik yang bisa dilakukan adalah: Pertama, Structural sepa-
ration: Kelompok yang tidak suka bekerja sama yang berada dalam
satu bagian, dipisahkan secara stuktural. Kedua, Bureaucratic au-
thority: Bahwa ketika terjadi konflik maka dibutuhkan otoritas
pimpinan yang lebih tinggi dari organisasi, menangani konflik antara
kelompok dalam level horizontal. Ketiga, Limited communication:
Mendorong upaya meningkatkan komunikasi antara setiap bagian. Ko-
munikasi yang terus menerus difokuskan pada isu-isu utama or-
ganisasi misalnya menyangkut tujuan yang dicapai. Keempat, Inte-
grating Devices: Ketika terjadi konflik antara kelompok maka
diperlukan adanya team khusus dari masing-masing pihak yang ber-
tikai, yang bersama-sama membahas masalah dan mencari ja-
lan keluar. Kelima, Confrontation and negotiation Pihak-pihak ya-
ng terlibat konflik dipertemukan dan melakukan negosiasi guna
mendapat jalan keluar atas masalahnya. Yang terpenting, ne-
gosiasi yang dilakukan harus mengarah kepada penyelesaian
yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Keenam,
Third party Consultant: Langkah ini dilakukan dengan cara
menghadirkan pihak ketiga manakala terjadinya konflik antar
kelompok. Pihak ketiga, bisa konsultan dari luar perusahaan yang
memang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Ketujuh, Member
Rotation: Memindahkan individu ke bagian lain, baik secara temporer
maupun secara permanen. Tujuannya agar individu tersebut bisa
memahami nilai-nilai, kebiasaan, masalah, yang dihadapi kelom-
pok lain. Kedelapan, Superordinate goals: Pimpinan puncak
organisasi harus sesering mungkin menyampaikan, mensosialisa-
sikan apa yang menjadi tujuan bersama dan utama organ isasi.
Kesembilan, Intergroup training: Melakukan pelatihan-pela-
tihan reguler antar kelompok. Masing-masing pihak dari kelompok
yang terlibat konflik diikutsertakan dalam pelatihan reguler di luar

118 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pendekatan perilaku komunikasi dalam memahami konflik organisasi

organisasi. Walaupun mahal, teknik ini dapat membantu mengem-


bangkan sikap kerjasama antara kelompok.
Sedangkan penyelesaian konflik vertikal antara manajemen
dengan pekerja dapat diatasi antara lain dengan cara: Pertama, Gain
sharing: Bahwa pekerja mendapat bonus atau pembagian keuntungan,
ketimbang menaikkan upah rata-rata. Hal ini dirancang untuk menun-
jukkan adanya suatu hubungan antara kinerja perusahaan dengan
kompensasi bagi pekerja. Kedua, Labor- management teams: yang
merupakan suatu wadah yang dibentuk untuk meningkatkan parti-
sipasi pekerja sekaligus sebagai model kerjasama dalam rangka
memecahkan masalah pekerja. Ketiga, Employment security: Pe-
kerja akan kehilangan pekerjaan bilamana organisasi menga-
lami kegagalan/kebangkrutan. Dalam kaitan ini, meningkatkan rasa
aman bagi pekerja akan jauh lebih penting dari tugas itu sendiri.
Pekerja harus diberikan informasi mengenai performance perusahaan.
Berbagai teknik penanganan konflik baik yang terjadi pada
level horizontal maupun vertikal bisa menjadi alternatif yang bisa
dipilih bagi setiap pengelola organisasi. Suatu yang lebih penting,
apa pun alternatif yang diambil, hal itu harus memberikan solusi ya-
ng bersifat “menang-menang” antara kedua belah pihak yang terlibat
konflik pada level horizontal maupun vertikal.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa konflik me-


rupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dari interaksi manusia.
Masalahnya bukan bagaimana melenyapkan konflik, tapi bagaimana
menangani konflik sehingga bisa memberikan dampak kons-
truktif bagi kelangsungan hiduporganisasi. Konflik dalam organisasi
terjadi pada setiap tingkatan, mulai dari tingkat pribadi, antara-
pribadi, hingga kepada tingkat kelompok. Konflik dalam ting-
kat kelompok bisa terjadi secara horizontal maupun secara vertikal.
Ketika konflik pada level horizontal maupun vertikal melanda
kelompok-kelompok dalam organisasi, ada berbagai upaya yang bisa
dilakukan. Namun, sehebat apapun solusi yang ditawarkan, yang jelas,
penanganannya harus mampu merubah sikap dan perilaku individu-
individu dalam kelompok yang terlibat konflik. Tentu hal ini bukan
tugas yang mudah, bagi pemimpin setiap organisasi.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 119


Abd. Razak Mozin

DAFTAR PUSTAKA

Adler, B. Ronald, (1986). Communicating At Work: Principles and


Practices for Business and the Professions, Second
Edition, Random House, New York.
Beebe, A. Steven, Beebe J., Susan, Redmon.V.Mark (1996).
Interpersonal Communication: Relating to Others
Company, Allyn & Bacon, A Simon & Schuster,
Needham Heights,MA.
Berger,R., Charles, Chaffe, H., Steven (1987). Handbook of
Communication Science, Sage Publications, Newbury
Park, California.
Daft, L., Richard (1992). Organization Theory and Design, Fourth
Edition, West Publishing Company, United States of
America
Devito, A.,Joseph (1995). The Interpersonal Communication Book,
Seventh Edition, Harper Collins College Publishers, New
York
Faules, F.Don, Alexander, C., Dennis(1978). Communication and
Social Behaviour: A Symbolic Interaction Perspective,
Addison Wesley Publishing Company, Inc., Philipina.
Fisher, B. Aubrey (1987). Interpersonal Communication:
Pragmatics of Human Relationships, First Edition,
Random House, Inc.,New York, USA.
Goldhaber, M., Gerald (1990). Organizational Communication,
Fifth Edition, Wm.C. Brown Publishers, United States of
America.
Griffin, EM (1997). A First Look At Communication Theory,
Third Edition, The Mc Graw-Hill Companies, Inc., New
York.
Gudykunst, B.,William (1983). Intercultural Communication
Theory: Current Perspectives, Sage Publication, Inc.,South
Beverly Drive, Beverly Hill, California

120 Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011


Pendekatan perilaku komunikasi dalam memahami konflik organisasi

Gudykunst, B., William, Ting-Toomey,Stella (1988). Culture and


Interpersonal Communication, Sage Publication, New
bury Park, California.
Higgins, M., James (1982). Human Relations: Concepts and
Skills,First Edition, Random House,Inc.
Kreps, L., Gary, (1986). Organizational Communication: Theory
and Practice, Longman, Inc. New York.
Matsumoto,David (1996).Culture and Psychology,
Brooks\Cole Publishing Company, United States of
America.
Morgan, Gareth (1986). Images of Organization, Sage
Publication, Inc., Beverly Hill, California
Myers,Tolela, Michele, Myers, E., Gail (1982). Managing By
Communication: An Organizational Approachs,
McGraw-Hill Inc.Pace,
Wayne,R., Faules,F.Don (1994). Organizational
Communication, Third Edition, Prentice
Hall,Englewood Cliffs,New Jersey.
Roloff, E.,Michael, Miller, R.,Gerald (1987). Interpersonal
Processes: New Directions in Communication Research,
Sage Publications, Inc., California
Ross, S., Raymond, Ross,G.Mark (1 982).Relating and
Interacting: An Introduction to Interpersonal
Communication, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey
Samovar, A., Larry, Porter,E., Richard (1994). Intercultural
Communication: A Reader, Seventh Edition,
Wadsworth, Publishing Company Belmont, California
Stewart, John & Logan, Carole (1993). Together:
Communicating Interpersonally, Fourth Edition,
McGraw-Hill, Inc.

Irfani, Vol. 7 No. 1 Oktober 2011 121


Syarat-Syarat Penulisan untuk Jurnal Irfani

A. Tulisan berupa hasil kajian dan penelitian, pemikiran di bidang


pendidikan islam dan atau tinjauan buku (Book Review), yang terkait
dengan pendidikan. Tulisan tersebut belum pernah dipublikasikan di
media lain.
B. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris maksimal 20
halaman kuarto spasi 1.5, dilengkapi dengan abstrak antara 200-250
kata.
C. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak (baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (Sub
judul-sub judul, sesuai dengan kebutuhan), Penutup (kesimpulan),
Catatan-Catatan dan Daftar Rujukan.
D. Kata atau istilah asing yang belum diubah mejadi kata Indonesia atau
belum menjadi istilah teknis, diketik/ditulis dengan huruf miring.
E. Penulis artikel menyertakan biodata singkat dalam bentuk esai.
F. Tulisan ditulis dalam bentuk file dalam disket disertai dengan print
outnya.
G. Catatan-catatan berupa referensi ditulis sebagai foot note (catatan kaki).
Teknik penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut:
Buku:
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), 43.
Buku Terjemahan:
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), 316.
Artikel dalam Buku:
Achmad Satori Ismail, “Gender Perspektif Fikih”, dalam Membincang
Feminisme, ed. Nanang Kosasi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 135-
137.
Artikel dalam Jurnal:
Fathurrahman Djamil, "Muhammad Quraish Shihab wa Arauhu al-
Fiqhhiyyah", dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, 1999, 171-
190.
Artikel dalam Surat Kabar:
Rumadi, “Epistemologi Islam Liberal”, Media Indonesia, Jum’at, 28
April 2000, 4.
Skripsi, Tesis, Disertasi
Ahmad Qorib, "Metode Ijtihad Ibn Hazam al-Zhahiri", Disertasi
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 45.
H. Tulisan dikirimkan ke alamat: Redaksi Irfani, Jln. Gelatik No. 1 Kampus
I Kota Gorontalo Tlp. (0435) 827031

122

Anda mungkin juga menyukai