Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS MAKNA KOSAKATA AL-QUR’AN DENGAN PISAU BEDAH

ILMU BALAGAH DAN URGENSINYA DALAM PENAFSIRAN


Oleh: Damhuri, M.Ag
(Dosen Bahasa Arab Pada IAIN Sultan Amai Gorontalo)

ABSTRAK

Dalam referensi-referensi ilmu balagah klasik, tergambar sebuah asumsi yang


nyaris menjadi sebuah kesimpulan yang tidak dapat digugat, bahwa atribut balagah
hanya ada pada tataran kalimat dan tidak terdapat dalam tataran kata. Asumsi ini
merupakan kesepakatan yang berlangsung turun temurun, dan bahkan tetap menjadi
teori primadona sampai saat ini. Pernyatan ini berangkat dari sebuah teori yang
menyatakan bahwa ”kata” adalah unsur kalimat yang bebas konteks, sehingga tidak
dapat memberikan makna yang sesungguhnya kecuali ia berada dalam rangkaian
kalimat atau teks. Dalam tradisi kajian kebahasaan modern, lahir kecenderungan
yang bernada menggugat. Menurut sejumlah pakar, pada dasarnya kosa kata
memiliki nilai-nilai balaghah yang merupakan makna bawaan dan melekat pada kata
itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan sehingga sejumlah kata dalam Alqur’an
yang tampak sinonim, namun pada hakikatnya memiliki makna yang berbeda, dan
tidak dapat digantikan dengan kata lain yang diklaim sebagai sinonim. Hal inilah
merupakan isyarat bahwa pada dasarnya, kosa kata itu sendiri mengandung nilai-nilai
balagah, yang hanya dapat diketahui melalui bedah konsep yang terdapat dalam kata.
Hasil dari bedah konsep tersebut, tanpa disangsikan memiliki peran yang sangat
besar dalam menyingkap makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alqur’an.

A. Pendahuluan

Tradisi pengkajian terhadap Alquran telah berlangsung secara turun temurun


sejak generasi Islam angkatan pertama hingga hari ini. Dalam tradisi akademik
modern, Alquran tidak hanya menjadi perhatian umat Islam, lebih dari itu juga telah
menjadi menu utama dalam kajian-kajian para akademisi di Barat. Faktor yang
memotivasi semaraknya kajian-kajian terhadap Alquran antara lain karena ia
merupakan kitab suci umat Islam. Disamping posisinya sebagai kitab suci, motivasi
tersebut lahir karena Alquran memilki daya tarik tersendiri dan dirasakan adanya
faktor-faktor yang unik dan kemukjizatan yang inheren dalam Alquran.

1
2
Masalah i’jazul Qur’an telah menjadi perbincangan serius kalangan bangsa
Arab sejak masa awal turunnya Alqur’an. Perbincangan tersebut selanjutnya menjadi
sebuah wacana dan berlangsung hingga hari ini. Kesadaran seperti itu selanjutnya
berimplikasi terhadap pemikiran-pemikiran yang dituangkan oleh para pengkaji
Alquran dalam karya-karya yang mereka tulis. Meskipun demikian, harus diakui
bahwa kesadaran tentang adanya keunikan-keunikan tersendiri di balik pernyataan-
pernyataan Qur’ani masih lebih dominan bermain pada wilayah, tataran dan koridor
iman dan cukup diterima sebagai sesuatu yang inheren pada ayat-ayat Alquran
sekaligus sebagai bukti transendensi sumbernya.
Memasuki abad ketiga Hijriyah pasca pengkotak-kotakan umat Islam ke
dalam beberapa aliran teologis dan abad-abad selanjutnya, perbincangan
kontroversial seputar i’jazul Qur’an semakin mengambil porsi yang cukup besar di
kalangan para ulama dan akademisi, baik di Barat maupun di Timur. Dalam
hubungan tersebut berbagai pandangan lahir tentang aspek-aspek yang menjadi unsur
kemukjizatan al-Qur'an.1 Perbedaan sudut pandang tersebut merupakan khazanah
intelektual umat Islam yang dituangkan dalam sederetan karya.
Meskipun terjadi silang pendapat sehubungan dengan aspek-aspek yang
menjadikan Alquran itu mu’jiz, namun secara umum para ulama mengakui bahwa
aspek balagah (retorika) dalam struktur ayat-ayat Qur’ani merupakan salah satu
aspek terpenting dari kemukjizatan Alquran. Oleh sebab itu, pada fase-fase
selanjutnya sejumlah mufassir memandang perlu untuk membedah aspek-aspek
kemukjizatan yang terdapat dalam pernyataan-pernyataan Qur’ani dengan
mempergunakan pisau bedah ilmu Balagah. Upaya tersebut dimaksudkan untuk
menyingkap aspek kemukjizatan yang terkandung dalam bahasa Alquran. Upaya
penelusuran tersebut sangat mungkin untuk dilakukan karena Alquran sendiri

1
‘Aisyah ‘Abd. Al-Rahman Bin al-Syathi’, Al-I’jaz al-Bayaniy li al-Qur’an wa Masail ibnu
al-Azraq: Dirasat Qur’aniyah Lughawiyah wa Bayaniyah, (Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1984),
h. 80-97.
3
mempergunakan bahasa sebagai medium dalam mengkomunikasikan pesan-pesan
ilahiyah.
Salah satu aspek yang menjadi fokus para pengkaji bahasa modern adalah
persoalan nilai-nilai balagah dalam kosa kata Alqur’an. Menurut mereka, tidak
mungkin Tuhan menggunakan kata yang berbeda sementara yang dimaksudkan
adalah sama. Oleh sebab itu, diyakini bahwa ada nilai-nilai balagah dalam kosa kata
Alqur’an, yang hanya dapat dimaknai dengan menggunakan kaca mata ilmu balagah.
Meskipun teori ini tampak menyimpang dari teori balagah klasik, namun setidaknya
hal ini menjadi sebuah kritik untuk kembali menata ulang teori-teori balaghah klasik,
khususnya yang terkait dengan atribut balagah dalam kosa kata.

B. Konsep Kosa Kata

Menyinggung masalah kosakata dan mengaitkannya dengan atribut balagah


secara teoritis kedengaran agak aneh. Keganjilan tersebut karena dalam teori balagah
klasik yang dianut adalah bahwa kosakata tidak berhak menyandang atribut
balaghah, sehingga istilah balaghah hanya ada pada tataran kalimat. Oleh sebab itu,
pada bagian ini akan diketengahkan pengertian kosakata dan balaghah serta ruang
lingkup kajiannya untuk selanjutnya melihat posisi kosakata dalam perspektif
balagah.
Dalam bahasa Arab, paling tidak ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk
merujuk kepada pengertian kosakata, yaitu al-mufradat, al-lafdz dan al-kalimah.
Secara leksikal, para ahli leksikografi memiliki pandangan yang tidak sepakat
tentang pengertian ketiga istilah tersebut. Hans Wehr cenderung menyamakan ketiga
istilah tersebut dalam pengertian bahwa baik istilah mufradat, lafadz dan kalimah,
disejajarkan dengan pengertian vocable dan word dalam bahasa Inggris.2 Pandangan
yang berbeda dikemukakan oleh ibn Faris dan Ibrahim Anis. Dalam hal ini, istilah al-

2
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Cet. III; London: MacDonald and
Evans Ltd., 1980), h. 704, 838, 873.
4
3
mufradat diartikan sebagai unsur bahasa yang tidak dapat diurai, sedangkan istilah
al-lafdz mengandung indikasi makna yang bersifat umum dalam pengertian segala
yang dilafalkan.4 Adapun istilah al-kalimah oleh ibn Faris diartikan sebagai nuthqun
mufahham 5 (ucapan yang memberikan pemahaman).
Secara terminologi, para pakar gramatika bahasa Arab cenderung
membedakan ketiga istilah tersebut meskipun pengertian-pengertian yang
diketengahkan tampak tidak menemui titik kesepakatan. Ahmad al-Hasyimiy
misalnya memandang bahwa istilah al-mufrad atau al-mufradat merujuk kepada
pengertian leksikal yang merupakan ruang lingkup kajian leksikografi (perkamusan).
Istilah al-mufradat dalam pengertian ini merujuk kepada deretan kata-kata yang
terdaftar dalam kamus. Kata dalam hal ini cenderung memiliki makna yang sangat
relatif. Sedangkan istilah lafadz sifatnya sangat umum yaitu segala yang dilafalkan,
mulai dari unsur terbesar (kalimat) hingga unsur bahasa terkecil (kata). Adapun
istilah al-kalimah lebih banyak merujuk kepada kata yang berfungsi dalam kalimat.6
Lain halnya dengan Jamaluddin ibn Hisyam (w. 761 H.) yang menggunakan
istilah al-mufradat dalam pengertian yang sangat umum. Dalam hal ini ia
memandang bahwa al-mufradat mencakup seluruh huruf ma’ani (huruf-huruf yang
mempunyai makna secara fungsional) dan segala kata yang mengandung makna
serupa dengan huruf ma’ani.7
Tammam Hasan dalam mengulas seputar terminologi tersebut juga memiliki
kecenderungan yang sama dengan pandangan yang dianut oleh Ahmad al-Hasyimi.

3
Ibrahim Anis et. al., al-Mu’jam al-Wasith, jilid II, (Cet. II; Istambul: al-Maktab al-Islamiy,
1972), h. 680.
4
Abi al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lughah, jilid II
(Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), h. 482.
5
Ibrahim Anis et. al., op.cit.,h. 425.
6
Ahmad al-Hasyimiy, al-Qawaid al-Asasiyah li al-Lugah al-‘Arabiyah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 8-9.
7
Jamaluddin ibn Hisyam al-Anshriy, Mughni al-Labib, ditahqiq oleh DR. Mazin Mubarak
dan Muhammad Ali Hamdallah, (Cet. VI; Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 17.
5
Menurutnya ketiga terma tersebut (al-mufradat, al-lafadz dan al-kalimah) memiliki
aspek penekanan yang berbeda. Istilah al-mufradat merujuk kepada pengertian kata
yang terdaftar dalam kamus-kamus bahasa. Kata dalam pengertian ini baru
merupakan bagian dari bahasa dan bukan bahasa itu sendiri karena belum terangkai
secara fungsional. Apabila kata dalam pengertian al-mufradat tersebut dirangkai
dalam bentuk penuturan, maka dalam hal ini al-mufradat berubah menjadi lafadz.
Sedangkan istilah al-kalimah menurutnya merujuk kepada pengertian kata yang
berfungsi, meskipun kata tersebut pada dasarnya memiliki makna di luar makna
fungsional.8
Sehubungan dengan hal di atas, David Crystal merasa kesulitan untuk
membuat batasan-batasan yang merujuk kepada pengertian kosakata. Namun
demikian, ia tampak sejalan dengan pandangan Tammam Hasan di atas. Menurutnya,
makna-makna yang tercatat dalam kamus memiliki sifat yang relatif. Kata barulah
membawa makna spesifik ketika berada dalam struktur kalimat. Istilah yang
dipergunakannya untuk merujuk kepada pengertian kosakata adalah word. 9
Meskipun sejumlah definisi ditemukan secara tegas membedakan ketiga
istilah di atas, namun secara operasional tampak lemahnya konsistensi para pakar
bahasa dalam penggunaan ketiga istilah itu. Oleh sebab itu, pembedaan-pembedaan
yang ada tampak hanya dalam kerangka definisi dan tidak dalam kerangka
operasional. Dalam sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Arab ditemukan
mempergunakan ketiga istilah di atas secara acak. Namun demikian, berdasarkan
pengertian-pengertian terdahulu tampak bahwa istilah al-mufradat bukanlah istilah
yang menjadi rujukan penulis untuk menyebut kosakata, sebab makna yang
dikandungnya sangat relatif. Kata-kata yang terdapat dalam kamus menurut pakar
semiotika, baru merupakan lambang yang mengandung kemungkinan untuk

8
Tammam Hasan, Al-Lughah al-‘Arabiyah Ma’naha wa Mabnaha, (Cet. II; Mishr: al-Haiat
al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kutub, 1979), h. 312-317.
9
David Crystal, A Dictionary of Linguistics and Phonetics, (Edisi II, New York: Basil
Blacwell Ltd., 1984), h. 332-335.
6
diinterpretasi. Ia seakan-akan merupakan simbol yang sedang tidur dan menunggu
untuk dibangunkan lalu dibawa keluar dari sifatnya yang potensial menjadi nyata.10
Demikian pula halnya istilah lafadz memiliki makna yang tidak terbatas pada
salah satu unsur bahasa, sehingga dengan demikian, al-kalimah merupakan istilah
yang tepat untuk menunjukkan makna kosakata yang dimaksudkan dalam penelitian
ini. Hal tersebut didasarkan pada suatu paradigma bahwa kosakata Alquran bukanlah
kumpulan kata-kata yang hanya terdaftar dalam mu’jam (kamus), akan tetapi
merupakan sederetan kata-kata hidup dan berfungsi dalam membentuk makna-makna
tertentu dalam ayat-ayat Alquran. Meskipun demikian, kata-kata tersebut dapat
dicabut dari rangkaian kalimat (ayat-ayat Alquran) untuk dianalisis konsepsi makna
yang dikandungnya. Pengertian kosakata seperti itu sejalan dengan maksud yang
akan dicapai dalam penelitian.
Suatu hal yang menarik dicermati adalah bahwa dalam buku-buku balagah
ditemukan bahwa istilah kosakata dikeluarkan dari ruang lingkup kajiannya. Ahmad
al-Hasyimi misalnya dengan tegas mengatakan bahwa istilah balaghah tidak identik
dengan al-kalimah (kosakata) akan tetapi hanya berada dalam tataran kalimat
(al-kalam).11 Pernyataan Ahmad al-Hasyimi di atas secara lahiriyah mengisyaratkan
bahwa ia memandang tidak adanya unsur balagah dalam kata. Sehingga dengan
demikian, kata tidak berhak menyandang atribut balagah.

C. Konsep balagah dan ruang lingkup kajiannya

Dalam melacak pengertian istilah balagah, ditemukan sederetan definisi yang


diketengahkan oleh para pakar. Sejumlah definisi yang lahir merupakan akibat dari
perbedaan sudut pandang yang dipergunakan dalam melihat balagah. Sebelum
pembakuan balagah sebagai suatu disiplin ilmu di tangan Abdul Qahir al-Jurjani,

10
Aart Van Zoest, Peranan Konteks, Kebudayaan dan Ideologi di dalam Semiotika dalam
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (penyunting), Serba-serbi Semiotika, (Cet. II; Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 89-92.
11
Ahmad al-Hasyimi, Jawahir, loc.cit.
7
istilah balagah melahirkan perseteruan definisi kalangan pakar bahasa. Fenomena
tersebut lahir dari perbedaan dalam memandang aspek yang menentukan
kebalagahan suatu kalimat, apakah terletak pada aspek lafadz ataukan pada aspek
makna.
Di satu sisi al-Jahidz memberikan porsi besar terhadap lafadz sebagai aspek
penentu kriteria balaghah dalam kalimat, sehingga ia tampak memandang aspek
makna sebagai unsur sekunder. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa Makna-makna
berserakan di jalanan, diketahui baik oleh orang Asing maupun orang Arab, orang
pedesaan maupun pedalaman, akan tetapi yang terpenting adalah konsistensi wazan,
pemilihan lafadz, kemudahan makhraj.12
Pernyataan al-Jahidz di atas sangat jelas bahwa ia cenderung memposisikan
unsur lafadz sebagai aspek penentu lahirnya nilai artistik pada suatu kalimat. Teori
al-Jahidz tersebut selanjutnya dianut oleh sejumlah pakar seperti Abu Hilal al-
‘Askariy, Qudamah ibn Ja’far, al-²midiy dan ibn Khaldun.13
Di sisi lain muncul pula sekelompok pakar yang menganggap persoalan
makna sebagai usur utama dalam membentuk nilai artistik (balaghah) suatu kalimat.
Menurut penganut teori ini, lafadz hanyalah merupakan unsur sekunder yang
keindahannya tergantung kepada keindahan makna yang dibawanya. Di antara pakar
yang menggaungkan teori ini ialah Ibnu Jinni dalam karyanya al-Kha¡ai¡
sebagaimana dikutip Dr. Abdul Karim Mujahid. Dalam hal ini ia berkata bahwa
Lafadz orang-orang Arab hanya dapat dikategorikan baik dan artistik jika ia
memperhatikan aspek makna yang terkandung di balik lafadz-lafadz tersebut.
Dengan demikian, lafadz hanyalah pelayan makna dan pastilah yang dilayani lebih
mulia dari pelayan.14

12
Al-Khatib al-Quzwainiy, al-Idhah fi ‘Ulum al-Balagah, ditahqiq oleh Jalaluddin
Muhammad bin Abdurrahman, (Maidan al-Awberat: Maktabat al-Adab, t.th.), h. 33.
13
Abdul Qahir al-Jurjaniy, Dalail al-I’jaz fi ‘Ilmi al-Ma’aniy, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1998), h. 45-46.
14
Abdul Karim Mujahid, al-Dilalat al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab (t.d.), h. 74-75.
8
Tanpa mengukuhkan salah satu pandangan dari kedua kubuh tersebut, yang
jelas bahwa kedua sudut pandang itu merupakan cikal bakal lahirnya disiplin ilmu
balagah dalam bentuk formal yang dibakukan. Pandangan yang memandang aspek
lafadz sebagai unsur penentu dalam balagah merupakan cikal bakal lahirnya ilmu
al-Ma’ani, dan sebaliknya pandangan yang menjadikan aspek makna sebagai unsur
utama dalam balaghah merupakan bibit dari lahirnya ilmu al-Bayan.
Kehadiran kedua kubuh yang disebutkan terdahulu memicu lahirnya
kelompok ketiga yang mencoba membenahi dan mengisi celah-celah dari kelemahan
kedua teori terdahulu. Kelompok ini memandang adanya keseimbangan antara lafadz
dan makna dalam membentuk kriteria balagah dalam suatu kalimat. Kedua aspek
tersebut merupakan dua unsur yang saling jalin-menjalin satu sama lain dalam
membangun keindahan kalimat. Ibnu Thabathabaiy misalnya sebagai salah seorang
yang menganut teori ini mengatakan bahwa “Kalimat memiliki jasad dan roh,
jasadnya adalah ucapan sedangkan rohnya adalah maknanya. Kalimat yang tidak
memiliki makna ibarat jasad tanpa roh”.15
Pernyataan tersebut di atas tampak jelas tidak berpihak kepada salah satu
kelompok terdahulu, akan tetapi berusaha mendudukkan lafadz dan makna dalam
posisi yang sama sehingga tidak ada satupun di antara keduanya yang utama dari
yang lain. Lafadz dan makna ibarat dua sisi mata uang yang secara lahiriyah dapat
dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. Cara pandang tentang balaghah seperti
disebutkan di atas selanjutnya berkembang dan melahirkan kriteria-kriteria teoritis
yang menjadi unsur-unsur dalam balagah.
Dari keragaman definisi yang ada sehubungan dengan balaghah, ‘Abdul
‘Adz³m Ibrahim Muhammad al-Marthaiy mengakomodir dan meramunya dalam
sebuah pengertian bahwa “Sebuah kalimat tidak memenuhi kriteria balagah kecuali
jika mempunyai keserasian dengan kondisi yang menuntut (nya) disertai dengan
kefasihan kata-kata yang dipergunakannya. Setiap konteks mempunyai bentuk

15
Ibid., h. 78.
9
penyampaian yang serasi. Seorang yang berbicara hendaknya memiliki pengetahuan
dengan kondisi penerima informasi dan memiliki kecerdasan dalam metode
penyampaian sehingga informasi yang disampaikan mempunyai pengaruh. 16
Pengertian yang disebutkan di atas mengisyaratkan bahwa ruang lingkup
kajian balaghah tidak hanya mencakup aspek lafadz dan makna, akan tetapi ada
unsur ketiga yang turut menentukan yaitu konteks.
Meskipun dalam pengertian di atas, istilah kata tidak berhak menyandang
predikat balagah, namun mereka tetap menjadikan kata atau kosakata sebagai
pertimbangan untuk mencapai tingkat kebalagahan suatu kalimat. Sehingga dengan
demikian, predikat yang diberikan kepada kosakata hanya dalam tataran fasahah
(kefasihan) dan bukan balaghah. Di samping itu, definisi tersebut memberikan
gambaran tentang ruang lingkup kajian balaghah yang mencakup keindahan lafaz
dan keindahan makna plus konteks.

D. Posisi kosakata dalam balagah

Persoalan lafadz mendapatkan perhatian cukup dalam kajian balagah.


Meskipun – seperti telah disebutkan - bahwa para pakar tidak memberikan hak
kepada kata untuk menyandang predikat balaghah, namun tak dapat dipungkiri
bahwa struktur kalimat dan pesan yang dibawa oleh kata sebagai wadah dari makna
tak dapat terpenuhi tanpa kehadiran kata. Oleh sebab itu kefasihan (untuk
menghindari istilah balagah) suatu kata sangatlah mempunyai arti penting dalam
balagah. Hal tersebut mengingat bahwa lafaz memiliki peran penting dalam
memberikan keindahan pada struktur kalimat, sehingga sebelum melihat kalimat
secara keseluruhan, terlebih dahulu melihat sejauhmana persyaratan kefasihan
terpenuhi dalam sebuah kata.

16
‘Abdul ‘Alim Ibrahim Muhammad al-Martha’iy, Khashaish al-Ta’bir al-Qur’aniy wa
Simatuh- al-Balaghiyah, jilid I, (Cet. I; al-Qahirah: Maktabat Wahbah, 1992), h. 103.
10
Sehubungan dengan hal itu berbagai persyaratan diketengahkan oleh para
pakar untuk memenuhi kriteria kefasihan kata, meskipun kriteria-kriteria yang
ditetapkan masih membutuhkan telaah dan penilaian secara cermat. Contoh-contoh
yang ditampilkan untuk menguatkan alasan mereka tampak terlalu diada-ada dan
pada dasarnya jarang atau bahkan tidak pernah ditemukan secara nyata dalam
penggunaan.
Meskipun pada dasarnya kosakata itu memiliki wujud dan makna tersendiri
di luar dari struktur, akan tetapi kata tidaklah diciptakan untuk sekedar menjadi
simbol suatu makna, akan tetapi untuk dirangkai dalam kalimat sehingga melahirkan
makna yang lebih mendatangkan manfaat. Kosakata tidaklah berarti apa-apa ketika
hanya berdiri sendiri, akan tetapi kebermaknaan kata berada dalam keterkaitannya
dengan unsur-unsur bahasa lainnya.17
Di sisi lain, jika merujuk kepada definisi balagah yang diketengahkan di atas,
maka predikat balagah suatu teks tidak hanya terbatas pada keindahan lafadz dan
makna semata, tetapi sangat terkait dengan persoalan konteks penyampaian suatu ide
melalui medium bahasa, baik yang terkait dengan konteks linguistik (linguistik
context)18 maupun yang terkait dengan konteks non liguistik.19
Secara sederhana, kriteria balaghah dapat dilihat pada bagan berikut:

17
Tammam Hasan, Al-Ushul: Dirasatun Efistimolojiyatun li Ushul al-Fikri al-‘Arabiy (t.tp.:
Dar al-Tsaqafah, 1991), h. 300.
18
Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingusitik (Edisi III, Cet. V; Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), h. 120.
19
John Lyons, Semantics, Volume 2 (First publish; Cambridge: Cambridge University Press,
1977), h. 570-573; Bandingkan M.A.K. Halliday dan Ruqaiyah Hasan Bahasa, Konteks dan Teks :
Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial (Cet. II; Yogyakarta: Gaja Mada University,
1994), h. 63-64.
11

BALAGAH

LAFADZ MAKNA KONTEKS

NON
LINGUISTIK
LINGUSTIK

Bagan tersebut di atas menggambarkan berbagai aspek yang saling terkait


dalam membentuk kriteria balagah pada suatu teks. Jika persoalan konteks ikut
memainkan peranan dan menentukan nilai balaghah dalam suatu teks, maka hal
tersebut berarti bahwa masalah balagah sangat terkait dengan ketepatan dalam
memilih kata yang dipergunakan dalam membangun suatu teks, atau yang dikenal
dalam lingusitik dengan istilah diksi.
Suatu kekhilapan besar jika menganggap bahwa masalah pemilihan kata
merupakan masalah sederhana dan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada setiap
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya dijumpai orang yang sangat sulit
mengungkapkan maksudnya dan sangat miskin variasi bahasanya. Di sisi lain
dijumpai orang yang sangat boros mengobral perbendaharaan katanya namun tidak
ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Untuk tidak sampai terseret ke dalam dua
ekstrim itu, maka seseorang harus mengetahui bagaimana pentingnya peranan kata
dalam komunikasi. Mereka yang memiliki perbendaharaan kata yang luas akan
memiliki kemampuan yang tinggi dalam memilih setepat-tepatnya kata mana yang
paling harmonis untuk mewakili maksud atau gagasannya.20

20
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Cet. III; Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 23-24.
12
Dalam perspektif bahasa Arab, secara populer orang dapat mengatakan
bahwa kata ‫ ا م‬memiliki arti yang sama dengan ‫ ا‬sehingga dianggap sebagai
kata yang bersinonim. Akan tetapi orang yang memiliki perbendaharaan kata yang
memadai akan menolak anggapan tersebut. Karena tidak menerima anggapan itu,
maka akan berusaha menetapkan secara cermat kata mana yang harus dipakai dalam
sebuah konteks tertentu. Sedangkan orang yang memiliki wawasan sempit tentang
kosakata akan sulit menemukan kata yang tepat karena tidak mengetahui bahwa ada
kata lain yang lebih tepat dan tidak memahami bahwa ada perbedaan makna dari dua
kata yang dianggapnya bersinonim.
Di pihak lain, semata-semata memperhatikan ketepatan kata dalam konteks
linguistik tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Pilihan kata tidak hanya
mempersoalkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata
yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Sebuah
kata yang tepat untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu dapat diterima
oleh pendengar atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang diikat oleh berbagai
norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan harus cocok atau
serasi dengan norma-norma masyarakat dan situasi yang dihadapi.
Berdasarkan penjelasan terdahulu, tampak bahwa meskipun kosakata selama
ini dikeluarkan dari kriteria balaghah dan hanya diberi hak menyandang predikat
fa¡ahah, akan tetapi jika ditilik dari aspek ketepatan pemilihan dan penggunaan,
maka tidak dapat diabaikan adanya nilai balaghah pada kata itu sendiri. Jika dilihat
dari perspektif ini, maka Alquran yang menjadikan bahasa sebagai medium dalam
menyampaikan pesan-pesan ilahiyah mempergunakan sejumlah kosakata yang
lumrah dipergunakan oleh masyarakat umum, akan tetapi ketepatan pemilihan kata
untuk konsep tertentu membuatnya unik dan menjadi perhatian masyarakat
sepanjang masa. Aspek ketepatan dalam hal ini merupakan hal yang mengandung
nilai artistik yang membentuk keindahan bahasa Alquran.
Atas dasar pemikiran seperti dikemukakan di atas, tidaklah heran jika akhir-
akhir ini ditemukan sebagian ahli ilmu balaghah memiliki kecenderungan untuk
13
menata kembali ilmu balaghah sebagaimana yang diusulkan oleh Ahmad asy-Syayib,
mantan guru besar pada Universitas Cairo. Ia tidak mau terikat dengan pembagian
balaghah kepada ma’ani, bayan dan bad³’. Topik balaghah seharusnya dikembalikan
kepada topiknya yang penting yaitu mu¯ abaqat al-kalam li muqta«a al-hal
(kesesuaian ucapan dengan tuntutan keadaan).21 Hal tersebut karena aspek terpenting
dari balaghah terletak pada sejauhmana suatu kata atau kalimat sesuai dengan
konteks penyampaian. Jadi esensi balaghah adalah terletak dari ketepatan
penggunaan kata dan keserasian antara kata yang dipergunakan dengan konteks
yang menuntutnya.

E. Urgensi Analisis Kosakata dalam Penafsiran Alquran

Ayat-ayat Alquran ditinjau dari sudut pandang analisis bahasa, secara


struktural merupakan rangkaian sejumlah unsur-unsur bahasa yang terjalin satu sama
lain dengan sangat apik. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa ayat-ayat
Alquran secara struktural terdiri atas partikel, kosakata, frasa, klausa. Keempat unsur
tersebut terangkai dalam membentuk suatu kalimat (baca : ayat Alquran).
Kosakata sebagai unsur ujaran terkecil dalam bahasa memainkan peranan
penting dalam membentuk makna suatu ayat Alquran. Hal tersebut mengingat bahwa
kosakata dalam kalimat memiliki pertalian semantik yang sangat erat satu sama lain.
Mengingat pentingnya analisis kosakata dalam suatu upaya penafsiran, maka dalam
sejarah awal penafsiran Alquran tampak bahwa analisis kosakata sangat mewarnai
aktivitas penafsiran.
Dalam melacak akar sejarah penafsiran Alquran, ditemukan merujuk kepada
Rasulullah saw. Beliau adalah mufassir pertama terhadap Alquran setelah
mendapatkan pemahaman langsung oleh Allah swt. (QS. al-Qiyamah: 17-19).
Sehingga dengan demikian, Nabi memahami betul seluruh maksud ayat Alquran
secara komprehensif. Pemahaman tersebut merupakan anugerah spesifik diberikan

21
Syihabuddin Qalyubi, Stilstika Alqura: Pengantar Orientasi Sudi Alquran (Cet. I;
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 31-32.
14
oleh Allah kepada Rasul-Nya yang mengemban tugas sebagai mubayyin (penjelas)
terhadap risalah yang dipikulnya. Adapun para sahabat Rasulullah, tidak ada jaminan
pemahaman secara komprehensif terhadap kandungan makna Alquran.22 Sehingga
dengan demikian, statemen yang diungkapkan oleh ibn Khaldun tentang pemahaman
semua sahabat terhadap maksud ayat-ayat Alquran, perlu dipertanyakan
kebenarannya.23
Meskipun terjadi kontroversi tentang kemampuan puisi Arab klasik
membedah kandungan makna di balik kosakata Alquran, namun bagaimanapun, puisi
Arab juga merupakan bahasa Arab murni yang dapat menjernihkan kesulitan kosa
kata Alquran. Puisi Arab pra Islam tidak pernah kehilangan relevansinya dalam
penafsiran Alquran. Sekarang ini kebiasaan menggunakan puisi Arab klasik dalam
menafsirkan Alquran masih berjalan. Fenomena seperti itu masih ditemukan dalam
tafsir yang ditulis oleh Bintu Syati’, al-Zamakhsyariy dan lain-lain.
Kesadaran akan pentingnya analisa makna kosakata Alquran dalam
penafsiran, selanjutnya melahirkan sejumlah karya yang memberikan porsi besar
terhadap analisa kosakata Alquran. Karya tafsir populer yang tampak bertumpu pada
analisis kosakata adalah tafsir Jalalain karya Jalaludd³n al-Mahalliy (w. 1459) dan
Jalal al-Din al-Suyuthy (w. 1505). Tafsir tersebut sepenuhnya mempergunakan
penafsiran-penafsiran singkat, sehingga tampak seolah-olah hanya menafsirkan
kosakata Alquran. Karya yang lebih spesifik dalam menganalisa makna kosakata
Alquran adalah Mufrad al-Qur'an karya al-Raghib al-A¡fahaniy. Model penafsiran
yang dilakukannya mempunyai model penyuguhan yang unik. Keunikannya adalah
karena ia merangkum kosakata Alquran kemudian menyusunnya secara alfabetis.
Dalam analisa yang dilakukannya ia berawal dari analisa bentuk leksikal kemudian
mengetengahkan pemaknaan kata berdasarkan konteksnya dalam ayat Alquran.

22
Rosihan Anwar, Menyingkap Penafsiran al-Qur'an dalam Kitab-kitab Hadis, (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 14-15.
23
Abdurrahman ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun (Al-Iskandariyah: Dar ibn Khaldun,
t.th.), h. 307-308.
15
Dalam sejumlah kasus, ia mengetengahkan pemaknaannya terhadap kosakata dengan
merujuk kepada kata serupa dalam ayat yang lain.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut, Abu Abdullah al-Husain bin
Muhammad al-Damghaniy (w. 487 H.) memiliki kesadaran yang serupa tentang
besarnya arti pemahaman kosakata Alquran dalam penafsiran. Oleh sebab itu, ia
mengetengahkan sebuah karya yang bertumpu pada analisis kosakata Alquran
meskipun tampak ia menempuh pola yang agak berbeda dari yang disebutkan
sebelumnya. Ia memegang prinsip bahwa Alquran adakalanya mempergunakan suatu
kata tertentu tetapi memiliki makna yang variatif sesuai dengan konteksnya dalam
ayat. Meskipun diakui bahwa karya tersebut bukanlah merupakan karya satu-satunya
dalam hal ini, akan tetapi merupakan pelengkap dan terlengkap dari karya-karya
serupa yang ada sebelumnya.24 Yang istimewa dari kitab ini adalah bahwa disusun
berdasarkan alfabetis sehingga sangat mempermudah pembaca dalam melacak
kosakata tertentu.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa dalam sejarah perjalanan aktivitas
penafsiran terhadap Alquran, sejak zaman Nabi hingga periode modern, analisis
kosakata telah mengambil porsi besar dalam perhatian para mufassir. Pada periode
modern, kecenderungan seperti itu kembali semarak. Pola penelusuran konsepsi
Qur’ani tentang sesuatu dilakukan dengan menganalisa makna dasar yang
terkandung dalam kosakata. Bintu Syathi’ misalnya mencoba menelusuri hakekat
manusia dengan menelusuri makna dasar setiap istilah yang dipergunakan Alquran
untuk merujuk kepada pengertian manusia.25
Dalam konteks Indonesia, M. Quraish Shihab dalam sejumlah analisa yang
dilakukannya bertumpu pada penelusuran makna dasar suatu kata Alquran.
Fenomena seperti itu sangat tercermin dalam sejumlah karyanya. Kecenderungan

24
Abu Abdillah al-Husain bin Muhammad al-Damganiy, al-Wujuh wa al-Nadzair li Alfadzi
Kitabillah al-‘Aziz wa Ma’aniha, editorial Fatimah Yusuf al-Kahimiy dan Sa’diy Abu Habib (Cet. I;
Dimasyq: Maktabat al-Farabiy, 1998), h. 1.
25
‘Aisyah ‘Abd. Al-Rahman Bint al-Syati’, Maqal fi al-Insan, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif,
1969), h. 1-13.
16
seperti itu sangat menonjol dalam karyanya yang terbaru yaitu Tafsir Mishbah.
Model yang serupa juga tercermin dalam analisis terminologis terhadap konsep
manusia dalam Alquran yang dilakukan oleh Abd. Muin Salim dalam karyanya
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran. Ia mencoba menelusuri esensi makna
dan perbedaan penekanan antara istilah al-ins, al-basyar dan baniy Adam atau
zurriyatu Adam.26
Jika diakui bahwa dalam kosakata Alquran terdapat nilai-nilai balaghah,
maka pada saat bersamaan akan disadari betapa besar peranan analisis kosakata
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan menjadi aspek yang tidak dapat
diabaikan. Sejumlah kosakata yang secara dangkal dapat dipahami sebagai kata yang
bersinonim, akan tetapi jika dikaji secara mendalam akan ditemukan karakter-
karakter tersendiri yang dibawa oleh setiap kata tertentu. Kesadaran akan hal itulah
yang mendorong pakar-pakar bahasa untuk melakukan penelitian terhadap kosakata
Alquran untuk menemukan konsep yang dibawa oleh suatu kata tertentu dalam
Alquran.
Bersadarkan penelitian yang dilakukan Bintu Syati’ tentang kata ahlam dan
ru’ya misalnya yang sering diidentikkan sebagai sinonim dan berarti mimpi, ternyata
menemukan konsep yang sangat menarik dan dijadikan pola dalam melakukan
penelitian terhadap kosakata Alquran. Kata ahlam dipergunakan dalam Alquran
sebanyak tiga kali dalam bentuk plural dan didahului kata adgas (membingungkan).
Ayat-ayat tersebut ditemui dalam QS. Yusuf (12): 44 dan al-Anbiya (21) : 5.27
Adapun kata ru’ya ditampilkan sebanyak tujuh kali dalam bentuk tunggal,
dan semuanya dalam konteks mimpi yang benar. Lima kali di antaranya merujuk
kepada mimpi para nabi, dan dua kali untuk mimpi al-‘Aziz yang kemudian ternyata
benar. Kata-kata tersebut dapat dijumpai dalam QS. as-Shaffat (37) : 105, Yusuf (12)
: 5, 43-44, 100, al-Isra (17) : 60, al-Fath (48) : 27.

26
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran (Cet. II;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 81-92.
27
Syihabuddin Qalyubi, op. cit., h. 48.
17
Jika konsep-konsep seperti yang ditawarkan Bintu Syati’ dapat diterima maka
hal tersebut menunjukkan bahwa analisa kosakata Alquran dalam penafsiran
merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Analisis-analisis seperti itu pula akan
mengantar seorang peneliti menemukan keunikan bahasa Alquran dan membantu
dalam menemukan pemaknaan yang lebih bertanggungjawab.
Kosakata yang dipergunakan Alquran bukan hanya berfungsi sebagai media
komunikasi, akan tetapi pada waktu bersamaan ia juga merupakan konsep. Setiap
kata mengandung konsep tertentu yang akan disampaikan kepada manusia. Oleh
sebab itu Alquran sangat selektif dalam mempergunakan kata untuk menyampaikan
suatu pesan, sehingga kata yang dipilihnya tepat dengan konsep yang dibawanya.
Telaah atas asma al-husna misalnya yang menjadi penutup ayat tertentu,
ditemukan bahwa asma Allah yang dipergunakan sangat serasi dengan konsep yang
disampaikan sebelumnya. Dalam Q.S al-Baqarah (2) : 37 misalnya yang ditutup
dengan attawwab arrahim adalah sesuai dengan konteks pembicaraan sebelumnya
yang mengetengahkan tentang kisah taubat nabi Adam setelah melakukan
pelanggaran dengan memakan buah terlarang. Demikian pula ayat tentang
pengalihan kiblat (QS. 2 : 115) dari Masjidil Aq¡a ke Masjidil Haram ditutup
dengan asma Allah al-wasi’ al-‘alim adalah sangat sesuai dengan pesan yang
terkandung dalam ayat tersebut. Pemindahan tersebut sepenuhnya diketahui oleh
Allah maslahat yang terdapat di dalamnya sebab Allah Maha Luas pengetahuan-Nya.
Alquran tidaklah secara acak mempergunakan kata, akan tetapi kata yang
dipergunakannya sepadan dengan konsep yang ingin disampaikannya. Oleh sebab
itu, diperlukan analisa yang cermat yang didukung oleh penguasaan bahasa Arab.
Kecermatan dalam menganalisa rahasia penggunaan sebuah kata akan mengantar
kepada pemahaman yang lebih bertanggungjawab.
Dalam telaah terhadap Q.S. al-Mu’minun (23): 14 misalnya, akan ditemukan
pemilihan kata yang sangat efektif dalam penggunaan Alquran. Rangkaian Ayat
sebelumnya berbicara tentang proses penciptaan manusia dari sulalah (saripati)
hingga terbentuk dalam wujud manusia. Akan tetapi meskipun Allah dalam ayat
18
tersebut pada dasarnya ingin menyampaikan penciptaan manusia, namun proses
penciptaan yang diketengahkan diakhiri dengan ungkapan ‫آ‬ ‫ه‬ ‫أ‬ dan

tidak mengatakan ‫ه إ‬ ‫أ‬ atau ‫ آد‬atau ‫ا‬ agar serasi dengan konteks
pembicaraan ayat.
Sehubungan dengan kasus tersebut di atas, Mushthafa Shadiq al-Rafi’iy
memiliki analisis yang sangat cerdas dan cermat. Menurutnya, setelah bentuk
manusia utuh dan Allah memberikan potensi kepada mereka, sehingga dengan
demikian untuk proses selanjutnya, manusia memiliki andil besar dalam membentuk
dirinya. Manusia adakalanya berwatak suci sehingga ia menjadi orang suci, adapula
kalanya berwatak binatang sehingga ia tidak lebih dari binatang serta adakalanya
berwatak batu sehingga ia ibarat batu. Oleh sebab itu, Allah tidak lagi menggunakan
kata manusia tetapi menggunakan istilah ciptaan yang lain. Pembentukan wataknya
tergantung dari proses yang dijalaninya selanjutnya.28
Penulis tidak bermaksud mengetenghakan satu persatu bentuk ketepatan
penggunaan Alquran terhadap kata tertentu, akan tetapi contoh-contoh yang telah
diketengahkan cukup membangun kesadaran tentang urgensi penelusuran konsepsi-
konsepsi makna setiap kosakata yang dipergunakan Alquran dalam proses
penafsiran.

F. Penutup

Dalam referensi bahasa Arab, sedikitnya ada tiga istilah yang sering
digunakan untuk pengertian kosakata, yaitu al-mufradat, al-lafdz dan al-kalimah.
Terlepas dari silang pendapat para pakat bahasa tantang kesamaan makna ketiga
istilah tersebut, namun secara umum dipahami bahwa kosa kata adalah unsur terkecil
dari bahasa yang mengandung arti. Suatu hal yang menarik dicermati adalah bahwa
dalam berbagai kitab balagah ditemukan bahwa istilah kosakata dikeluarkan dari

28
Musthafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur'an wa al-Balaghat al-Nabawiyah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Arabiy, t.th.), h. 134-138.
19
ruang lingkup kajiannya, dengan asumsi istilah balaghah tidak identik dengan
kosakata, tetapi hanya berada dalam tataran kalimat.
Suatu kekhilafan besar jika menganggap bahwa masalah pemilihan kata
merupakan masalah sederhana dan terjadi dengan sendirinya secara wajar pada setiap
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya dijumpai orang yang sangat sulit
mengungkapkan maksudnya dan sangat miskin variasi bahasanya. Di sisi lain
dijumpai orang yang sangat boros mengobral perbendaharaan katanya namun tidak
ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Untuk tidak sampai terseret ke dalam dua
ekstrim itu, maka seseorang harus mengetahui bagaimana pentingnya peranan kata
dalam komunikasi. Mereka yang memiliki perbendaharaan kata yang luas akan
memiliki kemampuan yang tinggi dalam memilih setepat-tepatnya kata mana yang
paling harmonis untuk mewakili maksud atau gagasannya.
Kosakata sebagai unsur ujaran terkecil dalam bahasa memainkan peranan
penting dalam membentuk makna suatu ayat Alquran. Hal tersebut mengingat bahwa
kosakata dalam kalimat memiliki pertalian semantik yang sangat erat satu sama lain.
Mengingat pentingnya analisis kosakata dalam suatu upaya penafsiran, maka dalam
sejarah awal penafsiran Alquran tampak bahwa analisis kosakata sangat mewarnai
aktivitas penafsiran.
Jika diakui bahwa dalam kosakata Alquran terdapat nilai-nilai balaghah,
maka pada saat bersamaan akan disadari betapa besar peranan analisis kosakata
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an. Sejumlah kosakata yang secara dangkal
dapat dipahami sebagai kata bersinonim, tetapi jika dikaji secara mendalam
ditemukan karakter-karakter tersendiri yang dibawa oleh setiap kata. Kesadaran akan
hal itulah yang mendorong pakar-pakar bahasa untuk melakukan penelitian terhadap
kosakata Alquran.
20
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun. Al-Iskandariyah: Dar ibn


Khaldun, t.th.

Anis, Ibrahim et. al., al-Mu’jam al-Wasith, jilid II. Cet. II; Istambul: al-Maktab al-
Islamiy, 1972.

Anwar, Rosihan, Menyingkap Penafsiran al-Qur'an dalam Kitab-kitab Hadis. Cet. I;


Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Bint al-Syathi’, Aisyah ‘Abd. Al-Rahman. Al-I’jaz al-Bayaniy li al-Qur’an wa
Masail ibnu al-Azraq: Dirasat Qur’aniyah Lughawiyah wa Bayaniyah. Cet.
II; al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1984.

---------. Maqal fi al-Insan. al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1969.

Crystal, David, A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Edisi II, New York: Basil
Blacwell Ltd., 1984.

Al-Damganiy, Abu Abdillah al-Husain bin Muhammad, al-Wujuh wa al-Nadzair li


Alfadzi Kitabillah al-‘Aziz wa Ma’aniha, editorial Fatimah Yusuf al-
Kahimiy dan Sa’diy Abu Habib. Cet. I; Dimasyq: Maktabat al-Farabiy,
1998.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiyah Hasan Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek
Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Cet. II; Yogyakarta: Gaja Mada
University, 1994.

Hasan, Tammam, Al-Lughah al-‘Arabiyah Ma’naha wa Mabnaha. Cet. II; Mishr: al-
Haiat al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kutub, 1979.

---------. Al-Ushul: Dirasatun Efistimolojiyatun li Ushul al-Fikri al-‘Arabiy. t.tp.: Dar


al-Tsaqafah, 1991.

Al-Hasyimiy, Ahmad, al-Qawaid al-Asasiyah li al-Lugah al-‘Arabiyah. Beirut: Dar


al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Ibn Faris ibn Zakariya al-Raziy, Abi al-Husain Ahmad, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
jilid II. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999.

Ibn Hisyam al-Anshriy, Jamaluddin, Mughni al-Labib, ditahqiq oleh DR. Mazin
Mubarak dan Muhammad Ali Hamdallah. Cet. VI; Beirut: Dar al-Fikr,
1985.

Al-Jurjaniy, Abdul Qahir, Dalail al-I’jaz fi ‘Ilmi al-Ma’aniy. Cet. I; Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1998.
Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa. Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1986.
21
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Lingusitik. Edisi III, Cet. V; Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Lyons, John, Semantics, Volume 2. First publish; Cambridge: Cambridge University
Press, 1977.

Al-Martha’iy, Abdul ‘Alim Ibrahim Muhammad, Khashaish al-Ta’bir al-Qur’aniy


wa Simatuh- al-Balaghiyah, jilid I. Cet. I; al-Qahirah: Maktabat Wahbah,
1992.

Mujahid, Abdul Karim, al-Dilalat al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab (t.d.).

Qalyubi, Syihabuddin, Stilstika Alqura: Pengantar Orientasi Sudi Alquran. Cet. I;


Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

Al-Quzwainiy, Al-Khatib, al-Idhah fi ‘Ulum al-Balagah, ditahqiq oleh Jalaluddin


Muhammad bin Abdurrahman. Maidan al-Awberat: Maktabat al-Adab, t.th.

Rafi’i, Musthafa Shadiq, I’jaz al-Qur'an wa al-Balaghat al-Nabawiyah. Beirut: Dar


al-Kutub al-‘Arabiy, t.th.

Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran. Cet.
II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic. Cet. III; London: MacDonald
and Evans Ltd., 1980.

Zoest, Aart Van, Peranan Konteks, Kebudayaan dan Ideologi di dalam Semiotika
dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (penyunting), Serba-serbi
Semiotika. Cet. II; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Anda mungkin juga menyukai