PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah pedoman ummat petunjuk dari Alloh SWT dan undang-undang
Alloh untuk kepentingan penduduk bumi. Al-Qur’an adalah pancaran Illahy dan petunjuk
samawi serta undang-undang yang integral serta menyeluruh lagi kekal abadi yang dapat
menutupi seluruh aspek kehidupan manusia baik urusan agama maupun urusan dunia.
Tidaklah aneh lagi kalau Al-Qur’an adalah suatu kitab yang lengkap dan fleksibel dan
mencakup segala segi kehidupan manusia seutuhnya: segi akidah, ibadah, akhlak, muamalah,
politik dan hukum, untuk situasi damai atau perang, disamping masalah-masalah
perekonmian dan hubungan internasiaonal/antara negara. Al-Qur’an adalah kitab yang
integral diturunkan oleh Alloh sebagai penjelasan apa saja serta sebagai petunjuk rakhmat
untuk orang-orang yang beriman. Yang seluruh isinya tidak terdapat pertentangan ataupun
kekurangan. Tidaklah asing lagi bahwa kebahagiaan hidup tak akan tercapai kecuali dengan
petunjuk-Nya, serta mematuhi apa yang digariskan oleh-Nya. Dia adalah obat penyakit yang
bersemayam dalam hati dan pemberantas penyakit yang meradang pada masyarakat. Firman
Allah Q.S. Al-Isra ayat 82:
ْ َاجلَ ًةَ ا َل ُهعَ َّج ْلنًَ َمافِي َها نَشَاء ِل َمن نُّ ِري ًد ُ ث ُ ًَّم َجعَ ْلنَا لَ ًهُ َج َهنَّ ًَم ي
ً صالهَا َّمدْ ُحورا ً َمذْ ُمومًا ِ ََّمن كَانًَ ي ُِري ًد ُ ْالع
Artinya: “Dan Kami turunkan ddari Al-Quran suatu yang menjadi obat dan rakhmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah mnambah kepada orang-orang
yang zalim kecuali kerugian.”
Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi
manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam Al-Qur'an sendiri
menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat
transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-
kegelapan, Zhulumat (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada
sebuah cahaya, Nur petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup
manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia
muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal
mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Nah dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-
nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan.
Tafsir merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita, bahkan di Indonesia sendiri
kitab-kitab tafsir telah dikaji di banyak pondok pesantren, ini merupakan satu tanda bahwa
keilmuan tafsir dalan Negara kita cukup membanggakan, selain itu Tafsir sendiri merupakan
salah satu cara dimana kita bias memahami Al-Qur’an, keberadaan tafsir ini begitu popular
dimasyarakat mulai dari zaman Nabi saw sendiri dan sampai sekarang, maka ini merupakan
salah satu warisan ilmu yang perlu mendapatkan perhatian serius demi kemashlahatan umat
Islam dan perlu dikembangkan sesuai dengan tuntutan ilmu pengethuan dan teknologi zaman.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir( ) تفسيرmenurut bahasa adalah penjelasan dan menerangkan, Tafsir berasal dari
kata Al-Fasr’yang berarti membuka dan menjelaskan sesuatu yang tertutup. Oleh karena itu
dalam bahsa arab kata tafsir berarti membuka secara maknawi dengan menjelaskan arti yang
tertangkap dari redaksional yang eksplisit (tersurat). Kata fassara merupakan tsulasi mazid
biharf (kata dasar tiga kemudian mendapat tambahan satu huruf; yaitu tasydid atau huruf
sejenis ain fi-ilnya). Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna yaitu taksir
(banyak). Maka dengan demikian asecara harfiah tafsir dapat diartikan kepada banyak
memberikan penjelasan”. Maka menafsirkan Al-Quran berarti memberikan banyak komentar
terhadap ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan pengertian atau makna yang dapat dijangkau oleh
seorang mufassir.1 kata tafsir yang terambil dari kata fasara mengandung makna
kesungguhan membuka diri atau berulang ulang melakukan upaya membuka, Sehingga itu
berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang
tertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit dari makna sesuatu. Antara lain kosa kata.
Tafsir juga diambil dari kata fassara(ً ) فَس ََّرyang berarti keterangan atau uraian, Al-
jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar yang
artinya menyingkap dan melahirkan. Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan
bahwa tafsir adalah menyingkapkan maksud dari lafadz yang sulit dalam Al-Qur’an, didalam
Al-Qur’an disebutkan tentangmakna tafsir :
َ ِْير َاوأَح
ًَسن ً ق تَ ْفس ً َّ ّل يَأْتُونَكًَ بِ َمثَلً ِإ
ًِ ّل ِجئْ َٰنَكًَ بِ ْٱل َح ً َ َو
Berdasarkan Firman Allah tersebut, Ibnu Abbas berpendapat bahwa makna lafadz
tafsir diatas adalah perincian.Hal ini mengacu pada istilah tafsir yang berarti keterangan dan
perincian.
1
Kadar M. Yusuf , Studi Alquran, (Jakarta: Amzah,2012) edisi II, h. 121
2
Menurut al Kilbi dalam at-tashil disampaikan bahwa yang dimaksud dengan tafsir
adalah:
ً ًًأوًنجْ َواه َ ص ِهًأ َ ًْوًإش
ًْ َارتِ ِه ْ َصا ُحً ِب َماً َي ْقتَضًْيحًبن
َ ًاإل ْف
ِ ًو َ ًُش َْر ُحًالقُ ْرأن:ًالت َ ْف ِسي ُْر
َ ًُوبَيَانً َم ْعنَاه
“tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan maknannya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya”.2
Salah satu defenisi yang singkat tetapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang
maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir itu lahir dari upaya
sungguh sungguh dan berulang ulang sang penafsir untuk beristinbath/menarik dan
menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat Al-Qur’an serta menjelaskan apa yang
musykil/samar dari ayat –ayat tersebut sesuai kemampuan dan kecendrungan sang penafsir.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari defenisi diatas menurut Quraish Shihab 3
Sedangkan Kata Takwil ( )تأويلdiambil dari kata ( )اولaul/kembali dan ma’âl yakni
kesudahan. Men-ta’wilkan sesuatu berarti menjadikannya berbeda dari semua, dengan kata
lain takwil adalah mengemballikan makna kata/kalimat kearah yang bukan arah makna
harfiahnya yang dikenal secara umum.4
2
As-shiddieqey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran (Jakarta: PT. Bulang Bintang, 1994) h. 178
3
M. Quraish Shihab, op.cit h. 10
4
M. Quraish Shihab, op.cit h. 10
3
Takwil menurut Husain Adz Dzhabi dalam kitabnya at tafsir wal mufassirun mengatakan
takwil menurut ulama mutaakhiriin adalah memalingkan makna suatu lafal dari yang tarjih
kepada yang marju, karena ada dalil yang menunjukkan perlunya makna itu dipalingkan5
Pertama: Pengembalian kata atau kalimat kedalam benak untuk mengetahui maknanya yang
populer, lalu terjadi pengembalian.
Kedua, yaitu makna yang telah tergambar dalam benak itu dikembalikan lagi ke makna lain.
Sehingga lahir makna kedua yang bersumber dari makna pertama.
Dari sini takwil dipahami juga sebagai “mengungkap makna yang tersembunyi”.
Sebuah contoh bisa penulis diskripsikan disini seperti sebuah kalimat “dia duduk
dikursi yang basah” ketika anda mendengar kalimat terebut maka dalam benak anda akan
tergambar pemahaman bahwasanya ada seseorang dalam keadaan tertentu yang duduk
ditempat yang terkena air, akan tetapi ketika anda memamahi kalimat tersebut kembali maka
timbul pemahaman makna kalimat yang lebih jauh lagi, yaitu memaknainya sebagai suatu
kondisi yang berada dalam satu jabatan yang menyenangkan, ada yang memahami dalam
arti awal bahwa si pengucap sebenarnya sudah bermaksud dari kata-katanya tersebut dengan
pemahaman berada dalam suatu jabatan yang menyenangkan, akan tetapi karena terlintas
dibenak anda pertama kali bahwa berada ditempat duduk yang terkena air maka dengan
mentakwilkannya telah mengembalikan makna lafazh susunan kata yang pertama kali
terlintas dalam benak anda itu kemakna yag dimaksud oleh pembicara, yaitu berada dalam
suatu jabatan yang menyenangkan.
Takwil sebenarnya telah dikenal oleh sementara sahabat nabi SAW karena memang
bahasa arab sejak dahulu kala tidak jarang menggunakannya, tetapi penggunaannya terhadap
ayat-ayat Al-Quran secara berlebihan menjadikan takwil tidak berkenan dihati dan pikiran
sebagian ulama, khususnya mereka yang hidup sebelum abad ke 3 H. Atau kelompok yang
berusaha melakukan pemurnian agama dari segala yang baru.6
Para ulama membagi terjemahan itu kepada dua macam yaitu sebagai berikut.
Satu, terjemah harfiah yaitu memindahkan suatu ungkapan dari sautu bahasa kebahasa lain
dimana dalam pemindahan itu tetap terjaga dan terpelihara susunan, tertib dan semua makna
bahasa yang diterjemahkan. Terjemahan harfiah ini bisa dikategorikan kedapa dua bentuk
yaitu kandungan terjemahan persis sama dengan kandungan ungkapan yang diterjemahkan
dan kandungan terjemahan tidak persis sama dengan kandungan bahasa yang diterjemahkan,
5
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Attafsir Wal Al-Mufassirun, Jilid I h.20
6
M. Quraish shihab, op.cit h.221
7
Kadar M. Yusuf, op.cit h. 124
4
dan untuk bentuk pertama tidak mungkin dilakukan terhadap al-Quran yang merupakan
mukjizat dan memiliki makna yang tidak bisa diwakilkan oleh semua bahasa yang ada.
Dan Kedua terjemah tafsiriah yaitu menjelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang
terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain tanpa menjaga atau
memelihara susunan serta tata-tertib bahasa aslinya. Dan juga tidak mengungkapkan semua
makna yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.
Jadi jika kita melihat dari tiga defenisi dan penjelasan dari tafsir, takwil dan terjemah diatas
sudah jelas tentunya perbedaan satu sama lain yang akhirnya perlu kita pahami dan kita
dalami agar tidak ada kesalahpahaman dan tumpang tindih dalam pemakaian kata maupun
kalimat dalam mempelajari dan memahami Al-Quran tersebut.
Ada ulama yang mempersamakan antara tafsir dan takwil ada juga yang
membedakannya dengan menyatakan tafsir berkaitan dengan lafazh/kosakata sedang takwil
berkaitan dengan kalimat susunan kata, ada lagi yang menyatakan bahwa tafsir berkaitan
dengan riwayat sedang takwil berkaitan dengan dirayat yakni pengetahuan nalar dan analisis.
Tafsir adalah mendengar dan mengikuti sedangkan takwil adalah ber-Istinbath yakni
menggunakan nalar untuk mencapai kesimpulan.
Dari penjelasan diatas analisa pemakalah menunjukkan bahwa ada aspek yang
membuat sama pemahaman antara tafsir dan takwil dan ada pula aspek yang
membedakannya. Aspek yang menyamakannya adalah makna harfiah dan tujuan keduanya
dilaksanakan. Yaitu sama-sama mencari maksud yang terkandung dalam ayat Al-Quran. Dan
aspek pembedanya adalah cara atau materi penjelasan itu.
Tafsir menjelaskan makna ayat berdasarkan makna lafal secara dzahir atau
berdasarkan sunnah nabi. Sedangkan takwil melampaui semua itu. Yaitu keluar dari makna
dzahir ayat seperti yang pemakalah terangkan sebelumnya dengan contoh yaitu mengungkap
makna yang tersembunyi. Karena ada dalil yang menunjukkan tidak memungkinkannya suatu
lafal dimaknai secara dzahir saja atau tidak ada penjelasan nabi mengenai makna ayat
tersebut. Selain itu , takwil juga merupakan usaha seseorang mufasir dalam menentunkan
makna ganda yang dikandung oleh suatu lafal. Karena dimasa sahabat Rasulullah SAW
hidup mereka pasti mendapatkan keterangan yang jelas dari Rasulullah SAW lansung tentang
ayat tertentu yang ketika itu mereka butuh penjelasan namun ketika Rasulullah SAW
meninggal maka timbul persoalan baru yang sebelumnya belum ada terdapat penjelasan yang
konkrit dari Rasulullah SAW. Yang akhirnya memerlukan penjelasan melalui tafsir dan
takwil.
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa
berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa
Al-Qur’an yang aslinya bahasa Arab ke bahasa non Arab.
5
- Menurut Abu Ubaidah: “Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh
para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury
- Menurut Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai
mengenai kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan
susunan kalimat.
- Menurut setengah ulama : “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima
selain dari satu arti. Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh
yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya.8
- Menurut Manna al Quthan bahwa tafsir yaitu menerangkan dan menjelaskan kata
kata. Wujudnya itu berada dalam perasaan, yang diucapkan itu hanya merupakan dalil dari
apa yang dimaksud adapun takwil yaitu jiwa hal yang berada diluar. Bila dikatakan terbit
matahari, manurut takwil, marteri matahari itu sudah muncul.9
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan takwil
yaitu:
1. Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya,
sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
2. Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan
takwil pada umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
3. Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat
(ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan
demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan
riwayah, dan takwil berdasarkan dirayah.10
8
Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987) h. 171
9
Mannaul Quthan, Pembahasan Ilmu Alquran II, (Jakarta: Rineka Cipta,1995) terj. h.167
10
Kadar M. Yusuf, study Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010) h. 133
11
Muhammad bin Makram bin Manz}ur al-Ifriki al-Masri>, Lisan al-‘Arab, Vol. 13, (Bairut: Dar S{adir, Cet. Ke-
I, t.t), 393.
6
sifat (paham, macam, bentuk) tertentu, contohnya kalimat “Perkumpulan itu tidak tentu
coraknya”.
Jadi, corak tafsir secara umum menurut pengertian di atas adalah kekhususan suatu
tafsir yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan
maksud-maksud ayat-ayat al-Qur’an.
Akan tetapi, pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak lantas menutup
kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang menjadi acuan adalah
corak dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena kita tidak bisa memungkiri dalam satu
tafsir memiliki beberapa kecenderungan, seperti halnya yang terjadi pada tafsir al-Kashshaf
karya Zamakhshari yang memiliki dua corak sekaligus, yaitu corak I’tiqadi dan adabi.
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini,
antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah,
[d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad
Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju
pada penjelasan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat yang dikenal dengan corak sastra budaya kemasyarakatan.12
Berbagai corak penafsiran dalam tulisan ini tidak diuraikan secara rinci. namun secara
global agaknya tetap dipandang perlu mengenai berbagai corak penafsiran dimaksud terutama
terkait dengan orientasi nya.
1. Tafsir fiqh
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-hukum fikih
di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam mencari ayat-ayat yang
secara tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum fikih.
Kemunculan corak tafsir semacam ini adalah munculnya permasalahan yang berkenaan
dengan hukum-hukum fikih, sementara Nabi Muhammad sudah meninggal dunia dan hukum
yang dihasilkan ijma’ ulama sangat terbatas, maka mau tidak mau para ulama yang mumpuni
dari segi keilmuan dan ketakwaan melakukan ijtihad dalam mencari hukum hukum-hukum
dari berbagai persoalan yang ada.
Dari sinilah kemudian muncul para Imam Madzhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik,
al-Shafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, yang lantas diikuti oleh para pengikutnya yang
memiliki konsentrasi dalam bidang tafsir, sehingga berdampak pada penafsirannya yang
memiliki kecenderungan pada pencarian hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Di antara karya para mufassir yang memiliki kecenderungan tafsir fiqhi>
adalah:
12
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. op.cit h. 107
7
a. Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas yang memiliki corak fikih madzhab
Hanafi
Tafsir fiqh yang kemudian lebih popular dengan sebutan tafsir ayat al-ahkam atau
tafsir ahkam saja; adalah tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-
Quran .
Berlainan dengan tafsir-tafsir yang lain semisal tafsir ilmi dan tafsir falsafi yang
eksistensi dan pengembangannya diperdebatkan pakar-pakar tafsir, keberadaan tafsir ahkam
dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin.
Tafsir ahkam memiliki usia yag sangat tua karena lahir bersamaan dengan kelahiran
tafsir Al-Quran pada umumnya teramat banyak. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir
fiqhī adalah Ahkam al-Quran karya al-Jassas (w. 370 H); dan Ahkam al-Quran karya Ibn al-
‘Arabi (w. 543 H)
2. Tafsir Falsafi
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi adalah penafsiran dengan ayat ayat alquaran
berdasrkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat atau bersifat leiberal dan radikal.
Muhammad husein alzahabi ketika mengomentari perihal tafsir falsafi antara lain menyatakan
bahwa menurut peneyelidikannya banyak kedalam segi pembahasan-pembahasan filsafat
bercampur dengan penafsiran ayat-ayat Al-Quran .
Penafsiran secara filsafat memang relative banyak dijumpai dalam sejumlah kitab
tafsir yang membahas, ayat-ayat tertentu yang melakukan pendekatan penafsiran secara
keseluruhan terhadap semua ayat Al-Quran relative tidak begitu banyak.
Sementara karya-karya para ulama dalam bidang tafsir falsafi ini diantaranya adalah
rasail ikhwan al-Safa, Fusus al-Hikam dan Rasail Ibnu Sina.
3. Tafsir ilmi
8
melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-
pemikiran filsafat .
Jika ditilik dalam sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa, maka kita akan
menemukan kecenderungan ini (tafsir ilmi) sudah dimulai sejak masa keemasan Dinasti
Abbasyiah sampai pada masa kita sekarang ini. Awalnya hanya berupa usaha untuk
memadukan hasil penelitian ilmiah dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, kemudian menjadi
gagasan yang mulai mengkristal pada karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, al-Mursi, al-Suyuti, baru
kemudian muncul dalam tataran praktek pada karya tafsirnya al-Razi, dan akhirnya mejadi
sebuah kajian khusus yang diambil dari al-Qur’an berupa karya yang memuat beberapa ayat
al-Qur’an mengenai beberapa disiplin ilmu pengetahuan.13
4. Tafsir shufi
Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua
bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang
didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini
tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si
13
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. 2, (Kairo: Dar al-
Hadith, 2005), 425.
9
penulis seperti tafsir al-Qur`an al-Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami
dan Arais al-Bayan fî Haqaiq al-Qur`an karya al-Syairazi.
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Quran pada Aspek ketelitian redaksinya lalu
menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk
al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,
dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan
corak ini adalah Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H). Tafsir Al-Maraghi, oleh
Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M). Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh
Mahmud Syaltut . dan Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
6. Tafsir tarbawi
Tafsir tarbawi adalah tafsir yang berorientasi kepada ayat-ayat tentang pendidikan.
Dibandingkan dengan corak-corak tafsir yang lain terutama tafsir ahkam yang akan kita
singgung nanti, kitab tafsir yang khusus membahas tertang tarbawi relative masih amat
sedikit . diantara contoh kita tafsir tarbawi adalah. Namadzij tarbawiyah min Al-Quran
alkarim buah tangan ahmad zaki tafahah.
7. Tafsir akhlaqi
Yaitu penafsiran yang lebih cenderung kepada ayat-ayat tentang akhlak dan menurut
pendekatan ilmu-ilmu akhlak penafsiran ayat-ayat akhlak hampir dijumpai pada berbagai
kitab tafsir dalam hal ini terutama aliran tafsir bi matsur dan kitab tafsir tahlili dan tafsir al-
isyari namun demikian tidak berarti tidak ada kitab tafsir yang secara khusus menggarap ayat
tentang akhlak.
Kitab tafsir yang secara khusus hanya membahas ayat-ayat akhlak agaknya relative langka.
Tetapi penafsiran ayat-ayat akhlak dalam kitab-kitab tafsir tahlili teramat banyak. Satu
diantaranya adalah tafsir Annasafi . (4 jilid 1374 halaman) karya al imam al jalil al alamah
ali al barakat Abdullah bin ahmad bin mahmud an nasafi,
10
BAB III
PENUTUPAN
3.1.KESIMPULAN
Terjemah adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa
‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti
bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Corak penafsiran:
1. Tafsir Fiqhi
2. Tafsir Falsafi
3. Tafsir Ilmi
4. Tafsir shufi
5. Tafsir Adabi Ijtimai
6. Tafsir Tarbawi
7. Tafsir Akhlaqi
Adanya corak tafsir yang sangat beragam memberikan kemudahan bagi kita dalam
menentukan mana tafsir yang akan kita pilih, tafsir yang memiliki corak tertentu juga
memberikan semacam pesan tersirat bagi kita mengenai kondisi penafsirnya, apa aliran atau
madzhab yang dianut oleh penafsir tersebut.
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qatthan, Manna Khalil, Studi Ilmu- Ilmu Al-Quran (Jakarta : Litera Antar Nusa, 1994)
As-Shiddieqey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994)
Hasbi, Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987)
Muhammad bin Makram bin Manzur al-Ifriki al-Masri, Lisan al-‘Arab, Vol. 13, (Bairut: Dar
Sadir, Cet. Ke- I, t.t)
Quthan, Mannaul, Pembahasan Ilmu Al-Quran II, (Jakarta: Rineka Cipta,1995) terj.
12