Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Living Hadits

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosial dalam studi hadist yang
diampu oleh ibu Siti Quratul Aini, Lc,M.Hum.

Disusun Oleh :

Kelompok 10

1. Muhammad Farhan Fu’adi (U20182008)


2. Atik (U2018
3. Wahid Rahmatullah (U20182047)
4. Ahmad Agil Syiroj (U20182039)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

Maret 2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami Panjatkan Kehadiran Allah SWT Karena Atas Limpahan Rahmat,
Taufiq Serta Hidayah Nya Sehingga Makalah Kami Yang Berjudul “Teori Sosial Sigmund”
Dapat Terselesaikan Dengan Baik, Atas Dukungan Materi Yang Telah Diberikan, Kami
Mengucapkan Terima Kasih Kepada Dosen Pendamping Mata Kuliah Hadist Teori Sosial
Yang Diampu Olrh Ibu Siti Quratul Aini Lc,M.Hum.
Kami Menyadari Makalah Kami Belum Sempurna Oleh Karena Itu, Saran Dan Kritik
Yang Membngun Dari Rekan-Rekan Dan Dosen Pendamping Sangat Dibutuhkan Untuk
Menyempurnakan Makalah Kami.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1

C. Tujuan masalah.............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Living Hadits .............................................................. 2

B. Sejarah Living Hadits....................................................................... 3

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 9
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hadits bagi ummat islam merupakan suatu yang penting karena di dalamnya terungkap
berbagai tradisi yang berkembang pada masa Rosulullah saw. Tradisi tradisi tersebut yan
hidup masa kenabian tersebut mengacu kepada pribadi rosulullah saw. Di dalamnya syarat
akan berbagai ajaran islam karena keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang sampai
sekarang seiring dengan kebutuhan manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga
umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam dan melaksanakan tuntuna ajaran
islam yang sesuai dengan apa yang di contohkan Nabi Muhammad saw.

Jika mengacu kepada tradisi rosulullah , yang sekarang oleh ulama’ Hadits telah di
jadikan sebagai suatu yang terverbalkan sehingga muncul istilah hadits. Figure Nabi yang di
jadikan tokoh sentral dan diikuti oleh masyarakat sesudahnya. Sampai dsini istilah popular di
kalangan masyarakat adalah hadits. Terkait erat dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat yang semakin kompleks dan diiringi adanya keinginan untuk melaksanakan
ajaran islam yang sesuai dengan yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw , maka hdits
menjadi suatu yang hidup di masyarakat. Istilah yang lazim yang di pakai untuk memaknai
hal tersebut adalah Living Hadits.

Begitu juga dengan budaya nenek moyang merupakan tradisi yang tidak lekang oleh
zaman dan perubahan. Di banyak tempat negeri ini, budaya nenek moyang bereksistensi,
mulai dari tradisi nyekar di kuburan, upacara kematian, ataupun tradisi sungkem mudik saat
lebaran, dan lain sebagainya.Pada titik relasi antara agama, modernitas, dan budaya nenek
moyang inilah akulturasi dan sinkretisasi itu muncul dalam berbagai bentuknya. Dialektika
agama dan budaya nenek moyang menciptakan sebuah ajaran agama sebagaimana diajarkan
oleh Walisongo. Dalam konteks seperti ini pula kajian yang akan dilakukan oleh artikel ini
menemukan signifikansinya. Living hadis, sebuah frasa yang sebenarnya muncul belum
terlalu lama, menjadi isu yang menarik dalam konteks dialektika agama, modernitas, dan
warisan budaya nenek moyang ini. Kajian living Hadis menjadi satu hal yang menarik dalam
melihat fenomena dan praktik sosio-kultural yang kemunculannya diilhami oleh hadis-hadis
yang ada pada masa lalu dan menjadi satu praktik pada masa kini. Praktik mewarisi tradisi
nenek moyang dan menerima modernitas adalah dua hal dimana persinggungan dengan
praktik yang berlangsung pada masa Rasulullah terjadi, dan itu dilakukan melalui
pengetahuan tentang hadis-hadisnya

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan Living Hadits ?
2. Bagaimana Sejarah Living Hadits ?

1.2 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui devinisi Living Hadits.
2. Untuk mengetahui Sejarah Living Hadits.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Living Hadits.

Istilah living hadis pun secara implisit juga merupakan living sunnah. Meskipun
dalam sejarahnya living sunnah bisa dibedakan dengan living hadis, namun dalam konteks
sekarang, living hadis itu juga mencakup living sunnah. Arah living sunnah yang berkaitan
dengan dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu tulis, lisan, dan praktik. Ketiga model dan
bentuk living sunnah tersebut satu dengan yang lainnya sangat berhubungan. Pada awalnya
gagasan living sunnah banyak pada tempat praktik. Hal ini dikarenakan prektek langsung
masyarakat atas hadis masuk dalam wilayah ini dan dimensi fiqh yang lebih memasyarakat
ketimbang dimensi lain dalam ajaran Islam

Sebelum membahas living sunnah dalam konteks sekarang, maka ada catatan yang
perlu diperhatikan tentang definisi sunnah dan hadis. Fazlur Rahman, cendekiawan asal
Pakistan mempunyai pemikiran tentang hadis yang berbeda. Pemikiran Fazlur Rahman
tentang hadis dapat ditemukan dalam bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History.
Hadis dalam pandangan Fazlur Rahman adalah verbal tradition sedangkan sunnah adalah
practical tradition atau silent tradition. Di dalam hadis terdapat bagian-bagian terpenting
yaitu sanad atau rawi dan matan. Imam Malik memakai media fatwa sahabat dan fatwa
tabi’in serta ijma’ penduduk Madinah untuk mereprentasikan sunnah Nabi. Dengan demikian,
sunnah adalah informasi atau hadis yang secara khusus berasal dari Nabi. Berbeda dengan
Malik, al- Syafi’i tidak memandang ketiga media tersebut sebagai reprentasi dari sunnah.
Dengan demikian, sunnah adalah informasi atau hadis yang khusus dari Nabi, walaupun
dalam bentuk hadis ahad. Atas dasar itulah, menurut Muhammad Mussthafa Azami, sunnah
bermakna teladan kehidupan, sehingga sunnah Nabi bermakna teladan beliau, sedang hadis
mempunyai arti segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi.

Dikalangan ulama hadis terjadi perbedaan pendapat tentang istilah sunnah dan hadis,
khususnya di antara ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin. Menurut ulama
mutaqaddimin, hadis adalah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan
kepada Nabi pasca kenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang, diambil dari Nabi
tanpa membatasi waktu. Sedang ulama mutaakhirin berpendapat bahwa hadis dan sunnah
memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
Dikalangan Ulama Hadits terjadi perbedaan pendapat tentang istilah sunnah dan hadits,
khususnya ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akhirin. Menurut ulama mutaqaddimin,
hadits adalah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi pasca kenabian, sementara
Sunnah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, tanpa membatasi waktu. Namun ulama
muta’akhirin berpendapat bahwa hadits dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yaitu
segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi. i

Menurut M. Azami bahwa Sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW., sedangkan
Hadits adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi Saw. namun di sisi lain ada yang
menempatkan sunnah menjadi terbagi-bagi untuk Sunnah Nabi Saw. Dalam pengertian di
atas ada beberapa kesamaan menurut pandangan Fazlur Rahman tentang sunnah yang
mengarah menjadi Living Sunnah, Sunnah adalah informasi tentang apa yang dikatakan Nabi.
Dilakukan, disetujui atau tidak disetujui beliau, juga informasi yang sama mengenai sahabat,
terutama sahabat senior, dan lebih khusus lagi mengenai keempat khalifah yang pertama.
Dengan kata lain sunnah adalah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik
maupun kepada aksi-aksi mental yang terjadi berulang-ulang. Sehingga konsepnya berbeda
dengan pendapat pendapat dikalangan sarjana barat yang dominan sunnah adalah praktek
actual yang karena telah lama ditegakkan dari satu genersai ke genarasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi “Sunnah Setelah Nabi wafat, tetap merupakan
sebuah yang ideal hendak diikuti oleh para genarasi muslim sesudahnya, dengan menafsirkan
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka baru dan materi baru pula. Penafsiran kontinyu
dan progressif ini, didaerah daerah yang berbeda, misalnya daerah Hijaz, Mesir dan Irak di
sebut “Living Sunnah” atau sunnah yang hidup. Sunnah dengan pengertian sebagai praktek
yang disepakati secara bersama (Living Sunnah) sebenarnya relative identik dengan ijma’
kaum muslimin dan ke dalamnya termasuk pula ijtihad dari para ulama generasi awal dan
tokoh tokoh politik. Dengan demikian Living Sunnah adalah Sunnah Nabi yang secara bebas
ditafsirkan ulama, penguasa, hakim sesuai yang mereka hadapi. jadi mengenai Living
Sunnah yang menjadi sumber acuan adalah Sunnah Nabi, kemudian ditafsiri berbeda-beda
pada wilayah masing-masing yang disesuaikan pada kebutuhannya. Maka tepatlah jika Fazlur
Rahman mengilustrasikan bahwa “ketika kekuatan kekuatan masal baru di bidang sosio
ekonomi, kultur, moral dan politik menyergap suatu masyarakat, maka nasib masyarakat
tersebut secara alamiah akan bergantung pada sejauh mana ia bisa menemukan tantangan
baru yang kreatif. Jika masyarakat tersebut dapat menghindari dua kutub ekstrem yang
menggelikan, yaitu: mundur pada diri sendiri serta mencari perlindungan delusif pada masa
lalu di satu sisi, dan menceburkan diri serta mengikuti idealnya untuk bereaksi terhadap
kekuatan-kekuatan baru tersebut melalui asimilasi, penyerapan, penolakan dan kreativitas
positif yang lain, maka ia akan mengembangkan sebuah dimensi baru bagi aspirasi-dalamnya,
suatu makna dan muatan baru bagi idealnya.ii

Fazlur Rahman selanjutnya menyebut Hadits Nabi sebagai “Sunnah yang hidup”,
formulasi sunnah atau “verbalisasi Sunnah” dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Dia
memberikan tesis bahwa istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah sunnah dahulu baru
kemudian menjadi Hadits. Karena Hadits berkembang dan bersumber dalam tradisi
Rasulullah. Teladan Nabi diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek
keseharian mereka dengan menyebutnya menjadai Living Tradition atau Sunnah yang hidup.
Dari sinilah muncul penafsiran-penafsiran yang bersifat individual terhadap teladan Nabi.
Kemudian muncullah Sunnah Madinah, Sunnah Kufah dan sebagainnya. Bahwa sunnah dan
hadits merupakan perwujudan dalam fase permulaan setelah Muhammad, dan segala sesuatu
disandarkan kepadanya dan norma-norma ditarik kepadanya kemudian menjadi tradisi yang
berarti, yang hidup pada tiap generasi penerus. Jadi sunnah yang hidup dari berbagai
penafsiran, namun tetap yang dijadikan sandaran adalah Nabi.

Pemikiran Jalaluddin Rahmad berbeda dengan Fazlur Rahman karena ia tidak setuju
tentang pertama kali adalah hadits. Tesis ini dibuktikan dengan data empiris di mana para
sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi Muhammad Saw. Namun keduanya dapat
dikompromikan bahwa tradisi Hadits dan Sunnah sebenarnya terjadi bersamaan. Hadits yang
Rahmat menyebut sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Rasulullah Saw. Demikian
juga sunnah ada dan terus menerus dijaga oleh generasi sesudah Nabi setelah pemegang
otoritas wafat. Munculnya Sunnah setelah pasca Nabi bukan sebelum Nabi yang bergantung
pada tradisi masyarakat Arab sebelumnya seperti dikatakan oleh Schact. Maka jelas
berdasarkan kronologis historis dari keberadaan Sunnah setelah Rasul. Kemudian
berkembang sesuai kondisi setiap wilayah menjadi Sunnah yang hidup sebagai tradisibaru
dalam keislaman.

Living hadis adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial
terkait dengan kehadiran atau keberadaan hadis di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari
sana, maka akan terlihat respon sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan
menghidup-hidupkan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. Living
hadis dapat dimaknai juga sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola
perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw . Pola-pola perilaku di sini
merupakan bagian dari respons umat Islam dalam interaksi mereka dengan hadis-hadis Nabi.

Figur Nabi menjadi tokoh sentral dan diikuti oleh umat Islam sampai akhir zaman.
Maka dari sinilah muncul berbagai persoalan terkait dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat untuk mengaplikasikan ajaran Islam sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sehingga dengan adanya upaya
aplikasi hadits dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum yang berbeda
inilah dapat dikatakan hadits yang hidup dalam masyarakat, dengan istilah lain living hadits.
Dengan demikian, living hadis merupakan sebuah tulisan, bacaan dan praktik yang dilakukan
oleh komunitas masyarakat tertentu sebagai upaya untuk mengaplikasikan hadis Nabi.iii

Menurut M. Alfatih Suryadilaga ada tiga variant dalam living hadits yaitu tradisi tulis,
tradisi lisan dan tradisi praktik.

Tradisi Tulis
Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis. Tradisi tulis menulis
hadis terbukti dalam bentuk ungkapan yang sering ditempelkan pada tempat-tempat yang
strategis seperti masjid, sekolah dan lain sebagainya. Sebagai contoh kata ”kebersihan
sebagian dari iman”. Pandangan masyarakat Indonesia tulisan di atas adalah hadis dari Nabi,
akan tetapi setelah melakukan sebuah penelitian sebenarnya pernyataan tesebut bukanlah
hadis. Hal ini memiliki tujuan agar dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam
lingkungan.

Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang dijalankan
oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat subuh di hari Jum‟at. Khususnya
di kalangan Kyai hafiz al-Qur‟an, bacaan setiap rakaat dalam shalat relatif panjang karena di
dalam shalat tersebut di baca dua surat yang panjang seperti al-Sajdah dan al-Insan.
Begitupula ketika melaksanakan shalat jum‟at, kadang-kadang sang imam membaca surat al-
A‟la dan al-Gasiyah atau al-Jumu‟ah dan al-Munafiqun. Namun untuk kedua surat tersebut
kadang hanya dibaca tiga ayat terakhir dalam masing-masing surat.

Tradisi Praktik
Tradisi praktik dalam living hadis sudah banyak dilaksanakan oleh umat Islam. Hal ini
berdasarkan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Contohnya seperti adanya
tradisi khitan perempuan, dalam kasus ini sebenarnya ditemukan jauh sebelum Islam datang.
Berdasarkan penelitian etnolog menunjukkkan bahwa tradisi khitan perempuan sudah pernah
dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit (Yahudi dan
Arab) Pernyataan di atas didukung dengan adanya sabda Nabi Muhammad yang menyatakan
sudah adanya tradisi khitan perempuan di kota Madinah. Dari Ummu Athiyah Al Anshariyah,
bahwa ada seorang wanita melakukan khitan di Madinah, maka Rasulullah SAW berkata
kepadanya, “Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memotong organ kelamin perempuan,
karena hal itu lebih mempercantik wanita dan lebih disukai suami”. (HR. Abu Dawud).iv

Sejarah Living Hadits

living hadis -ataupun saudara kandungnya, living al-Qur’an- pada dasarnya adalah
frasa yang dipopulerkan oleh para dosen Tafsir Hadis (sekarang menjadi Prodi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir & Prodi Ilmu Hadis) . Akan tetapi jika dilihat ke belakang, istilah living
hadis sebenarnya telah dipopulerkan oleh Barbara Metcalf melalui artikelnya, “Living Hadits
in Tablighi Jamaah” Jika ditelusuri lebih jauh, tema ini sebenarnya merupakan kelanjutan
dari istilah living sunnah, dan lebih jauh lagi adalah praktik sahabat dan tabiin dengan tradisi
Madinah yang digagas oleh Imam Malik. Jadi pada dasarnya ini bukanlah barang baru.
Hanya saja, sisi kebaruannya adalah pada frasa kata yang digunakan. Secara lebih detail dan
terperinci, kemunculan living hadis ini akan di petakan menjadi empat bagian.

Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan, living hadis hanyalah satu terminologi
yang muncul di era sekarang ini. Secara kesejarahan sebenarnya ia telah eksis, misalnya
tradisi Madinah, ia menjadi living sunnah, lalu ketika sunnah diverbalisasi maka menjadi
living hadis. Tentu saja asumsi ini bersamaan dengan anggapan bahwa cakupan hadis disini
lebih luas daripada sunnah yang secara literal bermakna habitual practice. Pemahaman ini
adalah satu bentuk konsekuensi dari perjumpaan teks normatif (hadis) dengan realitas ruang
waktu dan lokal. Jauhnya jarak waktu antara lahirnya teks hadis ataupun al-Qur’an
menyebabkan ajaran yang ada pada keduanya terserap dalam berbagai literatur literatur
bacaan umat Islam, v

Kedua, Pada awalnya, kajian hadis bertumpu pada teks, baik sanad maupun matan. Di
kemudian hari, kajian living hadis bertitik tolak dari praktik (konteks), fokus kepada praktik
di masyarakat yang diilhami oleh teks hadis. Sampai pada titik ini, kajian hadis tidak dapat
terwakili, baik dalam ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ. Dari sini dapatlah ditarik
kesimpulan jika terdapat pertanyaan apa perbedaan ma’ānil ḥadīṡ, fahmil ḥadīṡ dengan living
hadis? Titik perbedaannya adalah pada teks dan praktik. Jika ma’ānil ḥadīṡ atau fahmil ḥadīṡ
lebih bertumpu pada teks, living hadis adalah praktik yang terjadi di masyarakat, jika pada
kajian ma’ānil ḥadīṡ ataupun fahmil ḥadīṡ, kajian lebih bertumpu pada matan dan sanad,
maka living hadis fokus pada bagaimana pemahaman masyarakat terhadap matan dan sanad
itu. Sehingga jelaslah perbedaannya, yakni perbedaan titik tolak. Yusuf Qardawi, Khatib al-
Baghdadi, Shalahuddin al-Adlabi, Syuhudi Ismail, Nurun Najwah, adalah sekian dari tokoh-
tokoh yang berkonsentrasi pada kajian-kajian ilmu ma’ānil ḥadīṡ. Secara keseluruhan, mereka
memberikan konsep konsep pemahaman mengenai kaidah-kaidah matan hadis. Namun,
kajian yang bertolak dari praktik memang tidak ada porsinya dalam buku para pendekar
ma’ānil ḥadīṡ tersebut

Ketiga, dalam kajian-kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis harus memiliki
standar kualitas hadis, seperti ṡaḥiḥ, hasan, daīf, maudu’. Berbeda dalam kajian living hadis,
sebuah praktik yang bersandar dari hadis tidak lagi mempermasalahkan apakah ia berasal dari
hadis sahih, hasan, daīf, yang penting ia hadis dan bukan hadis maudu’. Sehingga kaidah
kesahihan sanad dan matan tidak menjadi titik tekan di dalam kajian living hadis. Karena ia
sudah menjadi praktik yang hidup di masyarakat. Bahkan pada saat-saat dan situasi tertentu
menjadi menarik untuk mengetahui bagaimana teks-teks hadis dalam praktik shalat yang
dilakukan jamaah Nahdlatul Ulama (NU) misalnya- berbeda dengan teks hadis yang
dipraktikkan dalam bacaan jamaah Muhammadiyah. Dengan demikian, kajian tarjih atas
hadis yang tampak mukhtalif tidak bisa digunakan dalam ilmu living hadis (jika boleh
dikatakan sebagai salah satu cabang disiplin ilmu. Selain itu juga Karena . ia sudah menjadi
praktik yang hidup di masyarakat, maka sepanjang tidak menyalahi norma-norma, maka ia
akan dinilai satu bentuk keragaman praktik yang diakui di masyarakat. Praktik-praktik umat
Islam di masyarakat pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh agama, namun, kadang
masyarakat atau individu tidak lagi menyadari bahwa itu berasal dari teks, baik al-Qur’an
maupun hadis. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa masyarakat belajar melalui buku-
buku seperti fikih, muamalah, akhlak, dan kitab lainnya, sementara di kitab atau buku
tersebut tidak disebutkan lagi kalau hukum atau praktik itu berasal dari hadis.

Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis. Kajiankajian hadis banyak
mengalami kebekuan, terlebih lagi pada awal tahun 2000an kajian sanad hadis sudah sampai
pada titik jenuh, sementara kajian matan hadis masih juga bergantung pada kajian sanad
hadis. Akhirnya pada tahun 2007 muncullah buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis Dari sini berpendapat bahwa fokus kajian living hadis adalah pada satu bentuk kajian
atas fenomena praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memiliki
landasannya di hadis nabi.vi
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Living hadis adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial
terkait dengan kehadiran atau keberadaan hadis di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari
sana, maka akan terlihat respon sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan
menghidup-hidupkan teks agama melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. Menurut
M. Alfatih Suryadilaga ada tiga variant dalam living hadits yaitu tradisi tulis, tradisi lisan dan
tradisi praktik

Living Hadits Jika ditelusuri lebih jauh, tema ini sebenarnya merupakan kelanjutan
dari istilah living sunnah, dan lebih jauh lagi adalah praktik sahabat dan tabiin dengan tradisi
Madinah. Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan, living hadis hanyalah satu
terminologi yang muncul di era sekarang ini. Secara kesejarahan sebenarnya ia telah eksis,
misalnya tradisi Madinah, ia menjadi living sunnah, lalu ketika sunnah diverbalisasi maka
menjadi living hadis. Kedua, Pada awalnya, kajian hadis bertumpu pada teks, baik sanad
maupun matan. Di kemudian hari, kajian living hadis bertitik tolak dari praktik (konteks),
fokus kepada praktik di masyarakat yang diilhami oleh teks hadis. Ketiga, dalam kajian-
kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis harus memiliki standar kualitas hadis, seperti
ṡaḥiḥ, hasan, daīf, maudu’. Berbeda dalam kajian living hadis, sebuah praktik yang bersandar
dari hadis tidak lagi mempermasalahkan apakah ia berasal dari hadis sahih, hasan, daīf, yang
penting ia hadis dan bukan hadis maudu’. Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis.
Kajiankajian hadis banyak mengalami kebekuan, terlebih lagi pada awal tahun 2000an kajian
sanad hadis sudah sampai pada titik jenuh, sementara kajian matan hadis masih juga
bergantung pada kajian sanad hadis.

Istilah living hadis pun secara implisit juga merupakan living sunnah. Meskipun
dalam sejarahnya living sunnah bisa dibedakan dengan living hadis, namun dalam konteks
sekarang, living hadis itu juga mencakup living sunnah. Arah living sunnah yang berkaitan
dengan dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu tulis, lisan, dan praktik. Ketiga model dan
bentuk living sunnah tersebut satu dengan yang lainnya sangat berhubungan.
DAFT DAFTAR PUSTAKA

Alfatih suryadilaga. Living Hadits. Genealogi living hadits.journal vol 2 Yogyakarta. 2007.

Mahfudz Zain. Kajian living hadits. Journal vol 1. 3 februari 2010

http://.Article text. Ejournal. Iaiangorontalo.ac.id/index.. 2007

Mahfudz ahmad. Study ilmu hadits. Journal . Jakarta 2017

Zuhri syaifuddin. Living sunnah. Journal. Yogyakarta .1 Mei 2016


i
Romadhoni ,living sunnah. Hal 12
ii
Romadhoni ,living sunnah. Hal 15
iii
Syarifuddin zuhri .genealogi hadits .yogyakarta pdf. Hal 16
iv
Fathur rhohman.living hadits. Bandung pdf . hal 38
v
Abda billah .pengembangan living hadits. Hal 150
vi
Abda billah .pengembangan living hadits. Hal 152

Anda mungkin juga menyukai