Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

” MEMAHAMI QIRA’ATUL QUR’AN”

OLEH :

 M. PIRDAUS
 NADYA ANASTASYA WIYANTO
 VEICHA SALSABILA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

JURUSAN S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA

2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkah rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya jugalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
“MEMAHAMI QIRA’ATUL QUR’AN”, ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga
tercurah ke haribaan Nabi Besar Muhammad SAW, juga kepada keluarga, para sahabat dan
segenap pengikut beliau hingga akhir zaman, Amin ya rabbal ‘alamin. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Quran dan
penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, demikian
makalah ini kami buat, kami mengucapkan terimakasih
BAB 1

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Salah satu kajian dalam Studi al Quran adalah Qiraat al Quran. Qiraat merupakan salah
satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al Quran. Qiraat adalah ilmu yang membahas tentang tata
cara pelafalan atau pengucapan Al-Qur’an, Qiraat ini penting sekali di bahas karena
banyak hal yang harus diketahui. Dalam ilmu ini yang terpenting adalah pengenalan al
Quran secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat
al Quran merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu.
            Di masyarakat tidak banyak yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu
saja. Masyarakat beranggapan bahwa faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya
adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia
sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan
berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu Qiraat tidak
mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau
hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
            Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali,
menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al Quran yang benar sesuai dengan
yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala
kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah
menjadikan al Quran terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al Quran. Dalam makalah ini penulis
memaparkan secara global tentang ilmu Qiraat al Quran, dapat dikatakan sebagai
pengenalan awal terhadap Ilmu Qiraat al Quran.
Al-Qur’an merupakan pedoman bagi hidup umat islam. al-Qur’an juga sebagai
sumber norma dan nilai normative yang mengatur seluruh kehidupan umat islam.
Menurut M. Ghalib, al-Qur’an merupakan hadiah sekaligus hidayah bagi umat islam.
bahkan menurutnya, al-Qur’an bisa menjadi sumber kajian ilmu pengethuan, bukan hanya
umat islam, tetapi juga bagi siapa saja termasuk non muslim yang memang secara serius
dan bersungguh-sungguh mengkajinya atau mendalaminya.
Sebagai pedoman hidup umat dalam menghadapi kehidupan, maka al-Qur’an diyakini
mengandung petunjuk bagi personal yang dihadapi oleh manusia serta arahan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. (lanjutin)

B.Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian qira’ah ?


2.      Apa saja macam-macam qira’ah?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu qira’ah?
4.      Apa saja kriteria qira’ah yang diterima & yang ditolak ?
5.      Apa pengaruh qira’ah terhadap istinbath hokum ?
6.      Apa faedah mempelajari qira’atul qur’an?

C.Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Qira’ah
2.      Untuk mengetahui Macam-Macam Qira’ah
3.      Untuk mengetahui Sejarah perkembangan ilmu Qira’ah
4.      Untuk mengetahui Kriteria Qira’ah yang diterima & yang ditolak.
5.      Untuk mengetahui Pengaruh Qira’ah terhadap istinbath hukum.
6.      Untuk mengetahui Faedah mempelajari Qira’atul Qur’an.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Qira’ah
Secara etimologi (bahasa) kata Qira’at ( ‫ ) قراءات‬adalah jamak dari kata Qira’ah ( ‫) قراءة‬
yang berarti bacaan, dan ia adalah mashdar dari qara’a ( ‫) قرأ‬.
Sedangkan menurut terminologi, Ada beberapa defenisi di antaranya:
a. Menurut Manna’ al-Qaththan:
Qirâ`at adalah salah satu mazhab pengucapan al-Qur`an yang dipilih oleh imam qurra`
sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
b. Menurut al-Zarqani:
Qirâ`at adalah suatu mazhab yang dianut oleh salah seorang imam qira`ah yang
berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur`an serta adanya kesepakatan dalam
riwayat-riwayatnya baik perbedaan tersebut dalam pengucapan huruf-huruf maupun
bentuk-bentuknya.
c. Menurut al-Jazari:
Qira`ah adalah ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi al-Qur`an dan
perbedaan-perbedaannya dengan menyandarkan kepada perawi-perawinya.
Qira’ah menurut para ahli dan konsep qira’ah dalam al-qur’an:
a. Menurut Az-Zarkasyi:

.‫إختالف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها‬

  Artinya:
  “Qira’ah adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-Quran, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan) tastqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.

b. Menurut As-Shabuni:

.‫مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من األئمة بأسا نيدها الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya:
“Qira’ah adalah suatu madzhab pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang  imam
berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.

c.  Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat, I’rab, itsbat, fashl, dan washal yang semuanya diperoleh
secara periwayatan.

Dari beberapa defenisi diatas disimpulkan bahwa focus dari ilmu ini adalah redaksi dalam
Al-Qur’an bukan maknanya yaitu bagaimana cara redaksi tersebut. dan ilmu Qira’ah al-
Qur’an itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql.

Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi Qira’ah dengan madzhab atau
imam Qira’ah tertentu, selaku pakar Qira’ah yang bersangkutan, dan atau yang
mengembangkan serta mempopulerkannya. terdapat beberapa istilah tertentu dalam
menisbatkan suatu Qira’ah al-Quran kepada salah seorang imam Qira’ah dan kepada
orang-orang sesudahnya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.

a. ‫القرأت‬ : Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang imam
tertentu seperti, Qira’ah Nafi.
b. ‫الرواية‬ : Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi
Qira’ah dan imamnya, seperti, riwayat Qalun dan Nafi’.
c. ‫الطريق‬: Suatu istilah,apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang perawi
Qira’ah dari perawi lainnya, seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
d. ‫الوجه‬ : Suatu istilah, apabila Qira’ah al-Quran dinisbatkan kepada salah seorang
pembaca al-Quran berdasarkan pilihannya terhadap versi Qira’ah tertentu.

Informasi tentang Qir’ah didapat melalui dua cara, yaitu sima’ dan naql dari nabi oleh para
sahabat mengenal bacaan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan
generasi-generasi sesudahnya smpai sekarang.
2. Menjelaskan macam-macam Qira’at
Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qira’at  dari segi
sanad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu :

a. Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak
orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara   mereka untuk berbuat
kebohongan.
Contoh untuk qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati jalan
perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah.

b. Q ira’at Masyhur
Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada
Rasulullah SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya,
serta qira’at -nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira’at itu dari para
imam qira’at sab’ah, atau imam Qiraat’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat
diterima qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at itu tidak salah
dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir.
Dua macam qira’at di atas, qira’at Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk
membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-
Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.

c. Q ira’at Ahad
Qira’at  Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam
Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di
kalangan imam qiraat. Qira’at  Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-
Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an. Misalnya qira`at yang
diriwayatkan oleh al-Hâkim dari Ashim al-Jahdari dari Abu Bakr bahwa Nabi Saw.
membaca surat al-Rahman ayat 76 : dengan ‫ رفارفا حضر‬dan ‫عباقري‬, dan diriwayatkan
oleh ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Saw. Membaca surat al-Taubah ayat 128 : dengan
fathah fa’ pada kata‫نفسكم أ‬
d. Q ira’at  Syazah
Qira’at  Syazah adalah qira’at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung  sampai
kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam
maupun di luar   sholat.
e. Qira`at Maudhu
yaitu qira`at yang tidak ada asalnya.Seperti qira`at al-Khuza’i yang dinisbahkan
kepada Imam Abu Hanifah dalam firman Allah surat Fathir ayat 28: yang dirafa’kan
lafadh ‫ هللا‬dan dinasabkan ‫العلماء‬
f. Qirâ`at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam ayat-ayat
al-Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abi Waqâs yang membaca firman Allah surat al-
Baqarah ayat 198: dengan menambahkan lafadh ‫ في مواسم الحج‬setelah lafadh ‫ من ربكم‬.
kalimat ‫ في مواسم الحج‬adalah penafsiran yang ditambahkan kedalam ayat.
Keempat macam yan terakhir ini tidak dapat diamalkan bacaannya. Jumhur
berpendapat bahwa qira`at tujuh itu mutawatir. Sedangkan qira`at yang syaz tidak
boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur`an,
sedangkan al-Qur`an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan
qira`at yang syaz tidak mutawatir.

Dari segi jumlah, macam-macam qira’at dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam qiraat yang
terkenal, yaitu :

a.  Qira’at Sab’ah, adalah qira’at yang dinisbahkan kepada para imam Qurra’ yang tujuh
yang termasyhur. Mereka adalah Nafi’, Ibn KAsir, Abu Amru, Ibn Amir, Ashim,
Hamzah dan Kisa’i.
b.  Qira’at ‘Asyarah, adalah qira’at Sab’ah di atas ditambah dengan tiga qiraat lagi, yang
disandarkan kepada Abu Ja’far, Ya’kub dan Khalaf  al-‘Asyir.
c. Qira’at Arba’ ‘Asyarah, adalah qira’at ‘Asyarah lalu ditambah dengan empat qiraat
lagi yang disandarkan kepada Ibn Muhaisin, Al-Yazidi, Hasan al-Bashri dam al-
A’masy.
3. Menjelaskan sejarah perkembangan ilmu Qira’ah

Yang kita ketahui bahwa sejarah perkembangan ilmu Qira’ah memiliki beberapa
pendapat yang berbeda, dari perbedaan kapan waktu turunnya. Ada yang mengatakan
Qira’ah mulai diturunkan di makkah bersamaan turunya Al-Qur’an. Dan ada juga yang
mengatakan Qir’ah mulai di turunkan di madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah
mulai banyak orang yang masuk islam dan saling berbeda ungkapan Bahasa Arab dan
dialeknya.
Terdapat beberapa versi dalam memperiodisasi “Qira’at”, sebut saja ‘Abd al-Qayyum al-
Sindi dalam kitab Shafahat fi ‘ilm al-Qira’at, ‘Abd al-Halim Qabah dalam Disertasinya
tentang al-Qira’at al-Qur’aniyyah, atau Arthur Jeffery (w. 1959) dalam pendahuluan
kitab al-Mashahif. Di sini sejarah ilmu qira’at akan dibagi dalam tiga periode:
a. Qira’at di masa Nabi dan Sahabat
b. Qira’at pasca kodifikasi mushaf di masa sahabat Utsman
c. Qira’at di masa kodifikasi dan penulisan ilmu qira’at.

Tiga masa ini terkait dengan perkembangan sikap dan respon masyarakat dalam
menerima suatu qira’at.

Pada masa Nabi saw., jika kita membaca riwayat-riwayat mengenai perbedaan qira’ah di
antara para sahabat, akan sering ditemukan pertanyaan: (kamu belajar/dapat bacaan ini
dari siapa?), lalu sahabat akan menjawab: (saya belajar dari Nabi saw.). Ini disebut
“isnad”, bacaanya disandarkan kepada Nabi saw.

Tapi muncul pertanyaan setelahnya, apakah posisi Nabi benar-benar membacanya


sedemikian rupa (iqraa’) atau Nabi hanya membenarkan bacaan sahabat (iqrar). Silahkan
membaca kitab karya Abd al-Shabur Syahin: Tarikh al-Qur’an (Mesir: Dar al Fikr, 1966).
Begitu pula pasca wafatnya Nabi saw, ketika tabi’in berbeda dalam bacaan Alquran
mereka akan berkata: (bacaanku, saya dapati dari sahabat A atau B).

Tolak ukur diterimanya suatu bacaan adalah “sanad”, atau sumber bacaan itu sendiri.
Tidak ada yang mengacu pada rasam mushaf  (belum ada mushaf yang utuh), tidak ada
yang mempertanyakan kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab (sebab bahasa Arab
sebagai disiplin ilmu belum muncul pada masa itu).

Setelah kodifikasi mushaf Al-Quran di masa sahabat Utsman, masyarakat Muslim mulai
mempertanyakan (apakah bacaan ini sesuai dengan rasam mushaf Utsmany atau tidak?),
perlu diingat bahwa mushaf yang ditulis pada masa Utsman lebih dari satu, bahkan di
antara mushaf-mushaf tersebut terdapat sedikit perbedaan.

Salah satu ungkapan tentang pentingnya suatu bacaan sesuai dengan rasam mushaf dapat
ditemukan di kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah (w. 276H). Bahkan
seorang peneliti mengatakan bahwa penilaian terhadap suatu Qira’at sebagai syadz itu
muncul pasca kodifikasi mushaf.

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) dianggap oleh sebagian Ulama sebagai
orang pertama yang menghimpun beberapa qira’at dalam satu buku. Sayangnya buku ini
tidak sampai ke kita. Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat karya Ibnu Mujahid (w. 324H) menjadi
di antara titik sentral dalam sejarah qira’at.

4. Menjelaskan kriteria Qira’ah yang diterima dan yang ditolak

Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak
menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling
fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang
lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam
dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf
Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh
panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada
masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang
shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna
menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.”
Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar
fi al-Qira’at al-‘Asyar..
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini
lemah karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan al-
Qur’an.
Akan tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk diterimanya
qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin.
Jadi, mungkin yang dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah
Mutawatir.
Menurut Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru,
bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an
menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah yang diriwayatkan
secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini pasti
mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian,
menurut para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan.
Banyak orang yang secara jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i,
Ibn ‘Athiyah, al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah
menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak sependapat kecuali al-
Makki dan beberapa orang lainnya.

Terdapat sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli qira’at dalam menetapkan
persyaratan bagi qira’at yang tergolong sahih , namun prinsipnya sama. Adapun persyaratan
tersebut adalah sebagai berikut adalah sebagai berikut:
Ibnu khalawayh (w. 370 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
b.      Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
c.       Qira’at tersebut bersambung periwayatannya.
Makki ibn Abi Thalib (w. 347 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang baku.
b. Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
c.   Qira’at tersebut disepakati oleh ahli qira’at pada umumnya.
Sementara itu, al-Kawasyi (w. 680 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
b.      Qira’at tersebut sesuai kaidah bahasa arab.
c.       Qira’at tersebut sesuai rasm al-Mushaf.
Sedangkan ibn al-Jaziri (w. 833 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
b.      Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
c.       Qira’at tersebut sesuai dengan rasm al-Mushaf meskipun tidak persis betul.1[1]
Dari keempat persyaratan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa ada tiga persyaratan bagi
qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at yang sahih, yaitu
1.      memiliki sanad yang sahih walaupun diterima dari qari yang selain dari yang 7 dan qari 10.
2.      sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf ustmani.
3.      Sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Ibnul Atsir al-Jaziri dalam kitab Munjidul Muqri’i mengatakan bahwa qira’at yang diterima
dengan sanad mutawatir adalah qira’at yang 10. Qira’at yang 4 yang selain dari 10, adalah sahih
sanadnya, tetapi dia ahadiah, mukan mutawatir, bukan al-Qur’an yang dapat dibaca ketika
sembahyang.2[2] Qira’at-qira’at yang mutawatirlah yang diterima oleh umat islam, hanya qira’at
yang 10 yang diterima oleh khalaf dan salaf, dari abad ke abad hingga sekarang. Dan tidak ada
qira’at yang mutawatir yang lain selain dari yang 10.3[3]
Setiap qira’at yang memenuhi kriteria tersebut adalah qiraat yang benar yang tidak boleh
ditolak dan harus diterima. sebaliknya qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat tersebut
disebut qira’at yang lemah atau aneh atau batal. Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih.
Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan
bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,
syadz atau batil.
As-syuyuti mengutib Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad
kepada enam macam.
1.    Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah
periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap
tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur ulama, qira’at yang ketujuh adalah mutawatir.
Menurut H. Ahmad Fathoni, para ulama Al-Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa
qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an. Qira’at

3
ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qur’an ini dijadikan sumber atau hujjah dalam
menetapkan hukum.
2.  Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai
sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf usmani.
Qira’at ini populer di kalangan para ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai salah
atau aneh. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan
masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3.   Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf
Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas.
Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-
Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4. Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at
nya. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.
5.      Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang
dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu
Hanifah.

Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarah Muhazzab bahwa tidak
sahmembaca qira’at yang syadzzah (aneh) didalam dan diluar shalat. Sebab, qira’at syazzah
(aneh) tidak mutawatir. Barangsiapa berpendapat tidak demikian maka orang itu salah dan jahil.
Sekiranya ia menyalahi pendapat itu dan membaca riwayat yang syadzz (aneh), qira’atnya
ditolak diluar dan didalam shalat. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk menyuruh orang-orang
yang membaca riwayat yang syadz untuk bertaubat. Abd al-Barr mengutip ijma’ kaum muslimin
atas ketidakbolehan membaca qira’at yang syadzzah dan tidak boleh shalat dibelakangnya.
Keterangan ini menegaskan kedudkan qira’at yang syazzah dalam hubungannya dengan al-
Qur’an. Qira’at ini tidak berstatus al-Qur’an dan karena itu membacanya tidak termasuk kedalam
ibadah. Namun, tentang penggunaannya sebagai hujjah atau argumen dalam menafsirkan al-
Qur’an , para ulama berbeda pendapat. Imam al-Haramain mengutip makna lahir dari madzhab
Syafi’i bahwa tidak boleh mengamalkan qira’at syazzah. Abu Nashral-Qusyairi mengikuti
pendapat ini kemudian ibnu al-Hajib menegaskannya. Sementara itu, al-Qadhi Abu Al-Thayyib,
al-Qadhi al-Husein, al-Rumani, al-Rifa’i menyebutkan boleh mengamalkannya denagn
menempatkannya sebagai khabar ahad. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu al-Subhi dalam kitab
Jam al-Jawami dsn Syarah al-Mukhtasar.
syarat diterimanya sebuah Qira’at ada tiga yaitu:
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih
maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan
menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja.
Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam
membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3.      Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan
pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan
atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas
pengingkaran mereka itu.

5. Menjelaskan pengaruh qira’ah terhadap istinbath


Istimbath hukum dapat diartikan sebagai uapaya untuk melahirkan ketentuan-ketentuan
hukum baik yang ada dalam al-Qur`an dan Hadits. Hal ini tidak terlepas dari ayat-ayat hukum
yang ada dalam al-Qur`an. Ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat Alquran yang mengatur dan
berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia secara lahir. Ada ayat-ayat hukum yang
termasuk ibadah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan ada ayat
hukum yang termasuk muamalah yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara
horizontal.
Perbedaan antara satu qira`at dengan qira`at yang lain bisa saja terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan, dan pengurangan kata. Perbedaan qira`at al-
Qur`an yang berkaitan dengan subtansi lafadh atau kalimat, ada kalanya mempengaruhi makna
dari lafadh tersebut dan adakalanya tidak. Perbedaan perbedaan ini sedikit banyaknya tentu
membawa kepada perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang di
istimbathkan darinya. Karena itu para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang
yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada ‫ ملستم‬dan ‫المستم‬
dalam ayat 43 surat al-Nisâ` yang berbunyi
‫ اَّل‬nِ‫ إ‬n‫ ا‬nnً‫ ب‬nُ‫ ن‬n‫ج‬nُ ‫ اَل‬n‫ َو‬n‫ َن‬n‫ و‬nnُ‫ل‬n‫ و‬nُ‫َ ق‬n‫ ت‬n‫َ ا‬n‫ م‬n‫ا‬n‫ و‬nn‫َ ُم‬n‫ ل‬n‫َ ْع‬n‫ ت‬n‫ى‬nٰ َّn‫َح ت‬n n‫ى‬ ُ n‫ ْم‬nُ‫ ت‬n‫َ ْن‬n‫َو أ‬n َn‫ اَل ة‬nَّ‫ص‬n‫ل‬n‫ ا‬n‫ا‬n‫ و‬nnُ‫ ب‬n‫ َر‬n‫َ ْق‬n‫ اَل ت‬n‫ا‬n‫ و‬nnُ‫ ن‬n‫ َم‬n‫ آ‬n‫ َن‬n‫ ي‬n‫َّ ِذ‬n‫ل‬n‫ ا‬n‫ ا‬nَ‫ ه‬n‫َ ُّي‬n‫ أ‬n‫َ ا‬n‫ي‬
nٰ n‫ َر‬n‫ ا‬nَ‫ ك‬n n‫س‬
n‫َ ْو‬n‫ أ‬n‫ ِط‬nnnِ‫ئ‬n‫ ا‬nَ‫ غ‬n‫ ْل‬n‫ ا‬n‫ َن‬n‫ ِم‬n‫ ْم‬n‫ ُك‬n‫ ْن‬n‫ ِم‬n‫َح ٌد‬n َn‫ أ‬n‫ َء‬n‫َج ا‬n n‫و‬nْ َn‫ أ‬n‫َ ٍر‬n‫ ف‬nَ‫ س‬n‫ى‬nٰ َn‫ ل‬n‫ع‬
َ n‫و‬nْ َn‫ أ‬n‫ى‬nٰ n‫ض‬َ n‫ر‬nْ n‫ َم‬n‫ ْم‬nُ‫ ت‬n‫ ْن‬n‫ ُك‬n‫ن‬nْ nِ‫ إ‬n‫ َو‬nۚ n‫ا‬n‫ و‬nُ‫ ل‬n‫س‬
ِ َn‫ ت‬n‫َ ْغ‬n‫ ت‬n‫ى‬nٰ َّn‫َح ت‬n n‫ ٍل‬n‫ ي‬nِ‫ ب‬nَ‫ س‬n‫ ي‬n‫ ِر‬nِ‫ب‬n‫ ا‬n‫ع‬َ
َ ‫ هَّللا‬n‫ن‬ َ n‫ا‬n‫ و‬nn‫َّ ُم‬n‫َ م‬n‫َ ي‬n‫َ ت‬n‫ ف‬n‫ ًء‬n‫َ ا‬n‫ م‬n‫ا‬n‫ و‬n‫ ُد‬n‫َ ِج‬n‫ ت‬n‫َ ْم‬n‫َ ل‬n‫ ف‬n‫ َء‬n‫ ا‬nَ‫ س‬nِّ‫ن‬n‫ل‬n‫ ا‬n‫ ُم‬nُ‫ ت‬n‫س‬
َّ nِ‫ إ‬nۗ n‫ ْم‬n‫ ُك‬n‫ ي‬n‫ ِد‬nn‫َ ْي‬n‫َو أ‬n n‫ ْم‬n‫ ُك‬n‫ ِه‬n‫ و‬n‫ ُج‬n‫و‬nُ nِ‫ ب‬n‫ا‬n‫ و‬n‫ح‬nُ n َ‫ س‬n‫ ْم‬n‫َ ا‬n‫ ف‬n‫ ا‬nnً‫ ب‬nِّ‫َ ي‬n‫ ط‬n‫ ا‬n‫ ًد‬n‫ ي‬n‫ع‬nِ n ‫ص‬ ْ n‫اَل َم‬
n‫ ا‬n‫ ًر‬n‫ و‬nُ‫ ف‬n‫غ‬
َ n‫ ا‬n‫ ًّو‬nُ‫ ف‬n‫ع‬َ n‫ َن‬n‫ ا‬nَ‫ك‬
Ada perbedaan cara membaca pada lafadh ‫ النساء المستم‬.Ibnu Katsîr, Nafi’, Ashim, Abu
‘Amr, dan Ibnu ‘Amir membaca ‫ النساء المستم‬, sedangkan Hamzah dan Kisai membaca ‫النساء‬
‫ ملستم‬. Perbedaan antara ‫ النساء المستم‬dan ‫تم‬y‫ النساء ملس‬akan mempengaruhi dalam istimbath
hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuh antara laki-laki dan
perempuan tidak membatalkan wudhu’. Sebab, menurut Hanafi, Ibnu Abbas, al-Hasan,
dan Qatadah kata ‫تم‬yy‫ المس‬di sini berarti jima’ (bersetubuh) dan menurut Maliki berarti
bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu. Sedangkan menurut Syafi’i, Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas al-Nakha`i bersentuhan kulit semata yang juga tetap akan
membatalkan wudhu‟.
Perbedaan qira`at dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qira`at
pertama mengandung interaksi antara pihak yang menyentuh dengan yang disentuh, baik
interaksinya sampai kepada jima’ sebagaimana yang dipahami oleh mazhab Hanafi
maupun hanya sampai batas perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami oleh mazhab
Maliki. Sebab kata ‫ المس‬termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf.
Sementara itu qira`at ‫ ملس‬adalah bentuk kata kerja muta’addi (transistif) yang tidak
mengandung unsur musyarakah. Karena itu qira`at pertama mendukung pendapat mazhab
Hanafi dan Maliki, dan qira`at kedua mendukung pendapat mazhab Syafi’i.

6. Menejlaskan faedah mempelajari Qira’atul Qur’an


Sebenarnya, terdapat banyak faedah apabila kita mempelajari ilmu qiraat.
Antaranya ialah Kita akan terpelihara dari kesalahan dalam menyebut kalimah-kalimah
al-Qur'an Kalimah al-Qur'an akan dapat dipelihara dari pemesongan dan penyelewengan.
Kita akan mengetahui sumber cara bacaan qiraat setiap imam dan imam-imam qiraat.
Kita akan dapat membezakan antara apa yang boleh dibaca dan apa yang tidak boleh
dibaca dengannya

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Sebagaimana lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang sama pun dapat ditafsirkan
secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang berbeda. Hanya saja pada
segi-segi tertentu perbedaan qira’at tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap penafsiran.
Sebagai kesimpulan akhir baik diulas kembali di sini bahwa perbedaan qira’at pada al-Qur’an
adakalanya menyebabkan terjadinya perbedaan makna dan adakalanya tidak. Perbedaan makna
pada qira’at itu akan berpengaruh terhadap penafsiran. Sebaliknya, tidak adanya perbedaan
makna tidak akan berpengaruh pada penafsiran.

DAFTAR PUSTAKA
 https://www.ilmusaudara.com/2017/04/pengertian-qiraah-qiraah-menurut-
para.html
 https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/mudarrisuna/article/viewFile/282/259
 https://www.almunawwir.com/pengantar-ilmu-qiraat-bagian-ii/
 https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/download/1589/1364

 https://kusuma-akf.blogspot.com/2011/10/ilmu-qiraat-macam-dan-
sejarahnya.html

Anda mungkin juga menyukai