Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH INHIRAF (DEVIASI)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Uslub

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Nurul Musyafa’ah S.S., M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
Zunita Indah Liana (220601009)
Husnul Khotimah (220601016)

BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’ SUNAN GIRI
BOJONEGORO
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-
Nya, Sehingga penulisan makalah ini yang berjudul “Inhiraf” ini dapat kami selesaikan.
Pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat Bapak/Ibu :
1. K. M. Jauharul Ma’arif, M.Pd.I., selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama’ Sunan
Giri Bojonegoro.
2. Agus Sholahuddin Shidiq, M.H.I., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Adab,
Universitas Nahdlatul Ulama’ Sunan Giri Bojonegoro.
3. Dr. Nurul Musyafa’ah, S.S., M.Pd.I., selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ilmu
Uslub, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sampai selesainya
penulisan makalah ini.
Kami menyadari dan mengucapkan terima kasih, bahwa dalam penulisan makalah ini
tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, kritik dan saran
dari pembaca sangatlah kami harapkan, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Bojonegoro, 07 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang..................................................................................................4
B. Rumusan masalah.............................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Inhiraf..................................................... .......................................5
2. Contoh Inhiraf dalam Al-Qur’an......................................................................6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .....................................................................................................10
B. Saran ...............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................11

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stilistika merupakan disiplin ilmu modern yang hadir untuk memenuhi kebutuhan
linguistik dan sastra. Meski terkesan modern, namun embrio dari stilistika Arab telah ada
sejak zaman dulu. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, stilistika juga tidak terlepas dari
ilmu-ilmu kebahasaan lainnya. Namun kajian stilistika tetap memiliki karakteristik
tersendiri , begitu juga dalam kajian stilistika Al-Qur’an.
Menurut Az-Zarqani, karena al-Qur'an sebagai mukjizat dan pedoman hidup umat
manusia, maka karakteristik uslub al-Quran meliputi: 1) keindahan aspek fonologinya, 2)
memuaskan kalangan ilmuan dan orang-orang awam, 3) Sekaligus memuaskan akal dan
rasa, 4) keindahan susunan al-Quran dan hukum yang dikandungnya, 5) keindahan
memalingkan ungkapan dan kaya dalam variasinya, 6) ungkapan al-Quran adakalanya
bersifat global dan terinci, dan 7) kesesuaian lafaz dan makna. 1 Pada poin kelima tersebut
dapat diringkas dengan istilah al-inhiraf (deviasi).
Al-Inhiraf (deviasi) ini merupakan salah satu objek atau level analisis stilistika al-
Qur’an yang harus penring untuk diketahui ketika mengkaji bahasa al-Qur’an, sebab ia
mempunyai pengaruh pada makna yang ditimbulkan petutur yang akan membawa
bahasan keluar konteks kebahasaan. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis akan
memaparkan tentang al-inhiraf (deviasi).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian al-Inhiraf (deviasi)?
2. Apa saja macam al-inhiraf (deviasi) dan contohnya?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian al-Inhiraf (deviasi).
2. Mengetahui macam-macam al-Inhiraf (deviasi) beseerta contohnya.

1
Muhammad Abd al-Azim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihya' al-Kutub al-
Ilmiyyah, tt.,) h. 115.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INHIRAF ( DEVIASI)


Dalam Kamus Arab-Indonesia, Inhiraf (‫ )اإلنحراف‬memiliki arti menyimpang,
miring, berpaling.2 Sedangkan menurut al-Umari, al-Inhirāf atau dikenal dengan
al-'Udûl atau al-Inziyah adalah kreatifitas penutur atau sastrawan keluar dari pola
aturan yang diapakai secara umum dengan cara mengekploitasi berbagai macam opsi
yang ada pada bahasa. Inhirâf tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang
diperbolehkan kaidah-kaidah bahasa, dan inhiráf dilakukan atas dasar kegunaan yang
akan diperoleh yaitu menimbulkan daya tarik pembaca atau petutur agar mau
menerima pesan yang ada pada teks.3
Istilah al-inhiraf ini juga disebut dengan deviasi. Secara etimologis, deviasi
adalah penyimpangan ragam atau struktur bahasa” 4. Pengaruh atau efek yang
ditimbulkan dari deviasi ini adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga
kalimat-kalimat itu terasa baru dan tidak menjemukan. Deviasi sendiri merupakan
sebuah konsep dalam stilistika yang merujuk pada “penyimpangan” unit-unit bahasa
atas norma-norma kelaziman gramatikal bahasa tersebut. Artinya, unit-unit bahasa
sengaja untuk tidak mematuhi norma-norma gramatikal yang ada dalam bahasa
tersebut dengan memiliki maksud tertentu. Bentuk “penyimpangan” itu tidak harus
berarti salah secara gramatikal, namun lebih berarti ketidaksesuaian unit-unit tersebut
dengan kelaziman berbahasa yang ada pada umumnya.
Kasus deviasi sebenarnya banyak ditemukan sekaligus dipraktikkan di dalam
penggunaan bahasa secara umum. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ditemukan
kalimat “Saya telah mengerjakan tugas di kelas” dengan “Di kelas, saya telah

2
Kamus Arab-Indonesia. Diakses melalui Aplikasi.
3
Abdullah bin Abdul Wahab al-Umari, al-Uslubiyyah Dirasah Tatbiq, h. 8.
4
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang,
2009, hlm 71

5
mengerjakan tugas.” Kedua kalimat tersebut tidak memiliki cacat (kesalahan) secara
gramatikal. Hanya saja, jika kalimat pertama telah memenuhi norma kelaziman
penggunaan struktur dalam bahasa Indonesia, yang biasa menggunakan rangkaian
struktur Subjek (Saya) + Prediket (telah mengerjakan) + Objek (tugas) + Ket. (di
kelas), maka kalimat kedua telah mengalami “penyimpangan”, yaitu dengan menukar
Ket. (di kelas) untuk diletakkan di depan, sebelum Subjek. Dengan kata lain, terdapat
deviasi di kalimat kedua. Dalam perspektif stilistika, penukaran ini tidak hanya terkait
dengan aspek struktural dari kalimat itu saja, tapi lebih jauh lagi, penukaran tersebut
dapat berimplikasi terhadap perubahan makna. Dalam bahasa Arab juga demikian.
Banyak kasus reposisi yang bisa ditemukan di berbagai objek. Salah satu yang perlu
diperhatikan tentu saja bahasa al-Qur’an dengan pertimbangan bahwa al-Qur’an
merupakan pedoman pokok orang Islam, selain juga aspek i’jaz lughawi 5yang banyak
dibahas oleh para mufassir, linguis, maupun akademisi di bidang terkait lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inhiraf (deviasi) adalah
penyimpangan unit-unit bahasa yang disengaja untuk tidak mematuhi norma-norma
gramatikal yang ada dalam bahasa tersebut dengan memiliki maksud tertentu atau
dapat dikatakan ketidaksesuaian unit-unit bahasa tersebut dengan kelaziman
berbahasa yang ada pada umumnya.

B. MACAM-MACAM INHIRAF DAN CONTOHNYA DALAM AL-QUR’AN


Inhiraf (deviasi) memiliki cakupan yang sangat luas. Berikut ini adalah
beberapa macam inhiraf (deviasi) dan contohnya dalam ayat-ayat al-Qur'an, yaitu:
a) Menempatkan kata mufrad di tempat mutsanna. Salah satu contohnya adalah :

{..... ‫[ }َع ِن اْلَيِم يِن َو َع ِن الِّش َم اِل َقِع يٌد‬17 : ‫]ق‬


“.... seseorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri."
(Q.S. Qaf : 17)
Kata ‫ قعيد‬bentuk katanya mufrad, sedangkan tuntutan struktur kalimat
menghendaki bentuk kata mutsanna (dual), yaitu kata ‫دان‬gg‫ قعي‬supaya sesuai
dengan: ‫عن اليمين وعن الشمال‬. Hal ini menunjukkan bahwa ayat di atas
menggunakan gaya bahasa inhiraf (deviasi) dengan menempatkan kata mufrad
di tempat yang seharusnya mutsanna menurut tuntutan tata bahasa Arab.
Adapun rahasia menempatkan kata mufrad di tempat yang seharusnya
mutsanna, menurut Abdul Qadir Husen adalah untuk menunjukkan betapa
lengketnya yang dua macam itu sehingga tidak dapat dipisahkan. Lebih
lengkapnya Abdul Qadir Husen mengatakan bahwa nilai sastra dalam
penempatan mufrad di tempat mutsanna adalah bahwa yang dua macam itu
sangat membutuhkan satu sama lainnya, sangat kuat hubungan keduanya

5
Fathurrahman Rauf, “I’jaz al-Qur’an al-Lughawi”, di Jurnal al-Turas, Vol. 12, No. 3 (September 2006), h. 199-
210.

6
sampai tak terpisahkan, seolah-olah keduanya adalah satu, sehingga pantas
sekali untuk diungkapkan dengan kata mufrad, bukan dengan kata mutsanna.6
b) Menempatkan kata mufrad di tempat Jamak. Salah satu contohnya dalam
Surah An-Nisa' ayat 69 :

]69 : ‫َو َح ُسَن ُأوَٰل ِئَك َرِفيًقا [النساء‬

“ ...Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ : 69)

Kata, ‫ رفيقا‬bentuk katanya mufrad, sedangkan tuntutan struktur kalimat


menghendaki bentuk kata jamak, yaitu kata ‫ رفقاء‬supaya sesuai dengan kata
‫أولئك‬. Adapun nilai sastra yang terkandung dalam penempatan mufrad untuk
jamak mirip dengan penempatan mufrod pada mutsanna, yaitu untuk
menunjukkan betapa lengketnya yang banyak (Jamak) itu sehingga tidak dapat
dipisahkan bagaikan satu diri. Lebih lanjut Abdul Qadir Husen berkata:
Nilai sastra dalam penempatan mufrad di tempat jamak adalah bahwa
pembicara telah menjadikan yang banyak itu saking berpegangan dan
berhubungan satu sama lainnya bagaikan satu diri, bukanlah aneka ragam
yang terpisah satu sama lain dengan perbedaan dan keistimewaan masing-
masing, bahkan semuanya adalah satu ikatan yang saling mendukung.
Pendapat lain dari Ibn Jinni tentang nilai sastra dalam penempatan mufrad di
tempat jamak, kadang-kadang terjadi untuk menghinakan.7
c) Menempatkan kata mutsanna di tempat mufrad. Contohnya adalah :

{ ‫[ }َيْخ ُرُج ِم ْنُهَم ا الُّلْؤ ُلُؤ َو اْلَم ْر َج اُن‬22 : ‫]الرحمن‬

"Dari keduanya keluar mutiara dan marjan"


Dhamir pada kata ‫ منهما‬menunjukkan mutsanna, sedangkan tuntutan
struktur kalimat menghendaki dhamir mufrad, yaitu ‫منه‬. Karena mutiara dan
marjan hanya keluar dari air asin, tidak pernah ada yang keluar dari air tawar.
Jika diasalkan, maka kalimat itu berbunyi. ‫َيْخ ُرُج ِم ْن ُه الُّلْؤ ُل ُؤ َو اْلَم ْر َج اُن‬
Adapun nilai sastra yang terkandung dalam penempatan mutsannâ untuk
mufrad, menurut Abdul Qadir Husen adalah untuk taukid. Lebih lanjut Abdul
Qadir Husen berkata:
Nilai sastra dalam penempatan mutsannâ di tempat mufrad menurut
para ahli Balâghah adalah untuk taukid (penekânan), yaitu memecah satu
perkara menjadi dua objek pembicaraan. Di sini terjadi penekânan yang tidak
terdapat pada saat diungkapkan dengan kata mufrad.8
d) Menempatkan mutsannâ di tempat jamak. Contoh :

6
Abdul Qadir Husen, Fann al-Balaghah, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984), h. 301.
7
Ibid., h. 303.
8
Ibid.

7
]10 : ‫اآلية [الحجرات‬... ‫َفَأْص ِلُحوا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم‬
“… karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu …”
Pada ayat kedua menempatkan kata mutsannâ ‫ أخويكم‬di tempat yang
seharusnya jamak, yakni lafadznya mutsannâ tetapi maknanya jamak, maka
ayat itu mengandung arti “jika dua orang muslimin atau lebih”.
Adapun nilai sastra yang terkandung dalam penempatan mutsannâ
untuk jamak, Abdul Qadir Husen merujuk pendapat Ibn Jinni yang
berpendapat bahwa nilai sastra model ini adalah untuk taukid. Lebih lanjut
Abdul Qadir Husen berkata:
Model gaya bahasa bahasa Arab yang seperti ini sudah dikenal sejak al-Khalil,
hanya saja menurut sumber-sumber yang sampai kepada kita nilai sastranya
belum muncul sebelum Ibn Jinni. Adapun rahasia menempatkan kata
mutsannâ di tempat jamak adalah bahwa sesuatu itu berulang-ulang dalam
rangka taukid (penekânan) yang tidak kita temukan ungkapan dengan jamak
sekaligus.9
e) Menempatkan kata jamak di tempat mufrad. Salah satu contohnya adalah :

]2 : ‫ اآلية} [النحل‬... ‫ُيَنِّز ُل اْلَم اَل ِئَكَة ِبالُّر وِح ِم ْن َأْم ِر ِه‬

"Dia menurunkan para malaikat (membawa) wahyu dengan perintah-Nya..."


Yang dimaksud para malaikat adalah Jibril. Seharusnya memakai
lafadz mufrod ‫ الملك‬jika sesuai struktur tatanan bahasa, namun disitu
menggunakan kata Jamak, yakni ‫المالئكة‬. Adapun nilai sastra yang terkandung
dalam penempatan jamak di tempat mufrad, menurut Abdul Qadir Husen
adalah untuk ta'dzim (mengagungkan) atau mubalaghah.10
f) Menempatkan kata jamak di tempat mutsanna. Contohnya adalah :
]26 : ‫ُأوَٰل ِئَك ُمَبَّرُءوَن ِمَّم ا َيُقوُلوَن ۖ } [النور‬

“... mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu)...".

Yang dimaksud adalah dua orang, yaitu Aisyah dan Sofyan. Adapun rahasia
menempatkan kata jamak di tempat yang seharusnya mutsanna, menurut
Abdul Qadir Husen adalah untuk ta'zhim atau mubalaghah.11
g) Menjadikan kalam khabar di tempat kalâm insya'. Contoh :

‫) ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه َو ُتَج اِهُد وَن ِفي َس ِبيِل ِهَّللا ِبَأْم َو اِلُك ْم‬10( ‫َهْل َأُد ُّلُك ْم َع َلٰى ِتَج اَر ٍة ُتنِج يُك م ِّم ْن َع َذ اٍب َأِليٍم‬
]11-10 : ‫)} [الصف‬11( ‫َو َأنُفِس ُك ْم ۚ َٰذ ِلُك ْم َخْيٌر َّلُك ْم ِإن ُك نُتْم َتْع َلُم وَن‬

9
Ibid., 307.
10
Ibid., 309.
11
Ibid.

8
"...Tahukah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kumu dari azab yang pedih? (vaita) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan berjihad di jalan Allah...”
Dalam Qiraat Ibnu Mas'ud berbunyi : ‫ أمنوا باهلل ورسوله وجاهدوا‬.12
Termasuk kategori penyimpangan dalam kalimat bahasa Arab adalah
menjadikan kalimat khabar di tempat kalam insya' seperti ungkapan ‫غفرهللا لك‬.
Tujuan sastranya adalah (tafaul) memberikan rasa optimis kepada mukhathab
(persona II). Secara realistis, ungkapan di atas adalah kalam khabar, tapi
maknanya adalah do'a (semoga Allah mengampuni Anda). Do'a adalah
ungkapan perintah (Amr) kepada yang tinggi kedudukannya, yang mana
termasuk kalam Insya'.
Menurut ilmu Balaghah, ungkapan ‫ك‬gg‫ غفر هللا ل‬lebih memiliki nilai
Balaghah dari pada ungkapan ‫رب اغفر له‬. Hal itu disebabkan karena ungkapan
dengan menggunakan fi'il madli memberi kesan telah terjadi (pada konteks ini
berarti telah terampuni). Tujuan lain dengan menggunakan model ini adalah
menunjukkan kesopanan terhadap mukhathab, mendorong mukhathab untuk
melaksanakan yang diperintahkan kepadanya dengan cara lembut, mendorong
mukhathab untuk segera melaksanakan perintah.
h) Menjadikan kalam insya di tempat kalam khabar. Contoh:

{‫اآلية‬... ‫[ }ُقْل َأَم َر َر ِّبي ِباْلِقْس ِط ۖ َو َأِقيُم وا ُوُجوَهُك ْم ِع نَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد‬29 : ‫]األعراف‬

"Katakanlah Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Dan (katakanlah):


Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat”

Termasuk kategori penyimpanan dalam kalimat bahasa Arab adalah


menjadikan kalam insya' di tempat kalam khabar. Adapun rahasia
menempatkan kalam insya di tempat kalam khabar Abdul Qadir Husen
berkata:
"Perubahan gaya bahasa dari khabari kepada insyai adalah untuk membuang
kebosanan, membangkitkan semangat dan menggerakkan perasaan.
Sedangkan perubahan dari gaya bahasa insya ke gaya bahasa khabar adalah
untuk menghilangkan kebimbangan, mengembalikan ketentraman dan
melembutkan perasaan. Maka perpindahan dari satu bentuk kepada bentuk lain
ke dalam kalam Insya' dan perpindahan kalam Khabar ke kalam Insya'
membuat teks itu selalu hidup yang jarang ditemukan bandingannya dalam
teks-teks yang tidak menggunakan pergantian dan perpindahan."13
i) Menempatkan dhamir di tempat dzahir. Contoh :

{ ‫[ }ُقْل َم ن َك اَن َع ُدًّو ا ِّلِج ْبِريَل َفِإَّنُه َنَّزَلُه َع َلٰى َقْلِبَك ِبِإْذ ِن ِهَّللا ُمَص ِّد ًقا ِّلَم ا َبْيَن َيَد ْيِه َو ُهًدى َو ُبْش َر ٰى ِلْلُم ْؤ ِمِنيَن‬
97 : ‫]البقرة‬

12
Mamat Zaenuddin, "Deviasi dalam Kalimat Bahasa Arab," Jurnal Pendidikan Bahasa Arab (t.t.), h. 20
13
Abdul Qadur Husen., Op.cit., 269.

9
"Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril in telah
menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatinya dengan seizin Allah:
membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi penjuk serta
berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Dhamir pada kata ‫ه‬gg‫ نزل‬adalah Al-Qur'an. Dhamir tersebut tidak
didahului oleh isim dhahir sebagai rujukannya. Menurut tata bahasa Arab di
sana wajib isim dhahir. Akan tetapi Allah swt menempatkan dhamir sebagai
pengganti isim dhahir di sana, sebagai isyarat bahwa yang dimaksud itu sudah
ma'lum dan sangat terkenal. Kemudian Allah menyebutkan sifat-sifat yang
terkandung di dalamnya tanpa menyebutkan namanya dengan tegas karena
kebesarannya, mengungkapkan kebenarannya, hidayahnya dan kabar
gembiranya. Penempatan dhamir yang diikuti dengan penuturan sifatnya
sebagai pengganti dari menyebutkan namanya memberi kesan mendalam bagi
pendengar dan membuat jiwanya penuh dengan sifat-sifatnya.
Adapun nilai sastra yang terkandung dalam penempatan dhamir di
tempat yang seharusnya ism dzahir menurut Abdul Kadir Husen adalah agar
pendengar dapat menelusuri apa yang ada di balik dhamir itu, merasa
penasaran untuk mengetahuinya, sehinggga memberi kesan lebih
keberadaannya di hati dan tidak terlupakan. Apa yang dihasilkan dengan susah
payah akan lebih berkesan dari pada yang dihasilkan dengan mudah.14
j) Menggunakan isim dzahir di tempat dhamir. Contohnya adalah:

]282 : ‫َو اَّتُقوا َهَّللاۖ َو ُيَع ِّلُم ُك ُم ُهَّللاۗ َو ُهَّللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم } [البقرة‬

"Dan bertakwalah kepada Allah, Allah yang mengajarimu: dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu"

Tujuan menggunakan isim dzahir di tempat dhamir pada ayat di atas adalah
untuk mengagungkan. .15
k) Menempatkan fi'il madli untuk yang akan datang.
Menurut Abdul Qadir Husen menggunakan fi'il madli untuk masa yang akan
datang dengan tujuan , yaitu meyakinkan mukhathab akan terjadinya sesuatu
yang dianggap besar, yang membuat mukhāthab ragu-ragu terhadap kebenaran
terjadinya.16 Contoh:
{ ‫[ }َو َيْو َم ُنَس ِّيُر اْلِج َباَل َو َتَر ى اَأْلْر َض َباِر َز ًة َو َح َشْر َناُهْم‬47 : ‫]الكهف‬

"Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung
dan kamu akan melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh
manusia.”

14
Ibid., h. 272.
15
Ibid., h. 270.
16
Ibid., h. 288

10
Ungkapan ‫ وحشرناهم‬dengan fi'il madli sebagai pengganti ‫ ونحشرهم‬,
karena sebelumnya ada dua fi'il mudlari'. Akan tetapi yang terjadi adalah
penyimpangan dari fi'il mudlari' kepada fi'il madli untuk menunjukkan benar-
benar akan terjadinya hasyr. Kebenaran terjadinya hasyr sangat pantas untuk
diungkapkan dengan fi'il madli yang menunjukkan benar-benar terjadi pada
waktu lampau.
l) Menempatkan fi’il mudhari untuk masa lampau. Contoh :
]102 : ‫ِإِّني َأَر ٰى ِفي اْلَم َناِم َأِّني َأْذ َبُحَك } [الصافات‬
"sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu..."

Adapun nilai sastra yang terkandung dalam penempatan fi'il mudhari di


tempat yang seharusnya fi'il madli menurut Abdul Qadir Husen adalah
memberi kesan terhadap peristiwa yang sudah terjadi seolah-olah masih
berlangsung. Lebih lanjut Abdul Qadir Husen berkata:
Penggunaan kata ‫ام‬gggg‫ أرى في المن‬dengan menggunakan fi'il
mudlori' menunjukkan waktu sedang, padahal tuntutan kalam
menunjukkan sudah terjadi, jadi harus menggunakan ‫ رأيت‬karena
mimpi Nabi Ibrahim as. terjadi sebelum waktu berbicara. Maka
tuntutan kalam, hendaknya diungkapkan dengan fi'il madli, akan tetapi
ia menyimpang untuk menggambarkan bahwa mimpinya itu selalu
hadir, selalu berada di depan matanya, sehingga ungkapan yang tepat
untuk ini adalah fi'il mudhāri', karena fi'il madli tidak dapat
menunjukkan gambaran ini.17
m) Iltifat
Definisi iltifat menurut kebanyakan buku-buku Balaghah ialah
suatu gaya bahasa dengan menggunakan perpindahan dari satu dhamir
(pronomina) kepada dhamir lain di antara dhamir-dhamir yang tiga;
mutakallim (persona I), mukhathab (persona II), dan ghaib (persona
III), dengan catatan bahwa dhamir baru itu kembali kepada dhamir
yang sudah ada dalam materi yang sama.18Macam Iltifat :
• Dari mutakalim ke mukhatab
• Dari mutakalim ke ghoib
• Dari mukhatab ke mutakalim
• Dari mukhatab ke ghoib
• Dari ghoib ke mukhatab
• Dari ghoib ke mutakalim

Contoh :
• Dari mutakalim ke ghoib
{)2( ‫) َفَص ِّل ِلَر ِّبَك َو اْنَح ْر‬1( ‫[ }ِإَّنا َأْع َطْيَناَك اْلَك ْو َثَر‬2-1 : ‫]الكوثر‬

17
Ibid., h. 290.
18
Mamat Zaenuddin., Op.cit., h. 38.

11
Artinya:
Sesungguhnya Aku (Allah) telah memberikan kepadamu nikmat yang
sangat banyak (telaga kautsar), maka sholatlah kamu pada Tuhanmu
dan berkurbanlah (QS.Al-kautsar 1-2).

Dari bentuk mutakallim ‫ إنا‬berpindah ke bentuk ghaib ‫ فصل لربك‬yang


secara tuntutan gramatikal adalah ‫فصل لنا‬. Iltifat memiliki tujuan umum
dan tujuan khusus. Adapun tujuan umum iltifat ialah:19
1. Menarik perhatian pendengar kepada materi pembicaraan.
2 Mencegah kebosanan.
3. Memperbaharui semangat.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Membuat suasana lembut kepada yang diajak bicara.
2. Memberikan keistimewaan.
3. Memberikan kecaman.
4. Menunjukkan keheranan terhadap keadaan yang diajak bicara.

19
Ibid.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Inhiraf (deviasi) adalah penyimpangan unit-unit bahasa yang disengaja


untuk tidak mematuhi norma-norma gramatikal yang ada dalam bahasa
tersebut dengan memiliki maksud tertentu atau dapat dikatakan
ketidaksesuaian unit-unit bahasa tersebut dengan kelaziman berbahasa yang
ada pada umumnya.
Macam-macam Inhiraf tertera berikut ini
1. Menempatkan kata mufrad di tempat mutsanna
2. Menempatkan kata mufrad di tempat Jamak
3. Menempatkan kata mutsanna di tempat mufrad
4. Menempatkan mutsannâ di tempat jamak
5. Menempatkan kata jamak di tempat mufrad
6. Menempatkan kata jamak di tempat mutsanna
7. Menjadikan kalam khabar di tempat kalâm insya’
8. Menjadikan kalam insya di tempat kalam khabar
9. Menempatkan dhamir di tempat dzahir
10. Menggunakan isim dzahir di tempat dhamir
11. Menempatkan fi’il madli untuk yang akan datang
12. Menempatkan fi’il mudhari untuk masa lampau
13. Iltifat

B. SARAN

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
sebagai penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan
masukan dari pembaca dan bapak dosen pengampu mata kuliah, agar makalah
ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi kami dan
para pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim. Tanpa tahun. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an,

(Beirut: Dar Ihya' al-Kutub al-Ilmiyyah).

Kamus Arab-Indonesia. Diakses melalui Aplikasi Android.

Al-Umari, Abdullah bin Abd al-Wahhab. 1428 H. al-Uslubiyyah ar-Ru’yah wa Tatbiq (Kairo

: Dar al-Masiroh)

14
Muzakki, Akhmad. 2009. Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks

Komunikasi. (Malang: UIN-Malang Press)

Rauf, Fathurrahman. 2006. “I’jaz al-Qur’an al-Lughawi”, di Jurnal al-Turas, Vol. 12, No. 3.

Husen, Abdul Qadir. 1984. Fann al-Balaghah, (Beirut : ‘Alam al-Kutub)

Zaenuddin, Mamat. Tanpa tahun. "Deviasi dalam Kalimat Bahasa Arab," UPI: Jurnal

Pendidikan Bahasa Arab.

15

Anda mungkin juga menyukai