Anda di halaman 1dari 21

TAFSIR LINGUISTIK

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Madzahib Tafsir

Yang diampu oleh Ibu Lizamah, M.Th.I

Oleh:

ERFAN FAJRI ILAHI

(20384011002)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

NOVEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah Saya panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah


melimpahkan rahmat-Nya serta hidayah-Nya sehingga Saya bisa menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Tafsir Linguistik”.

Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang
telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang
bendarang yakni agama Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas yakni mata kuliah
“Madzahib tafsir” yang diampu oleh Ibu Lizamah, M.Th.I. dalam proses
penyusunan makalah ini, Saya mendapatkan banyak sekali bantuan, bimbingan,
serta dukungan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini Saya juga
bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak.

Saya menyadari pentingnya akan sember bacaan sebagai refrensi dalam


memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah ini, Saya juga masih
menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga Saya
sebagai penulis mengharapkan kritik saran untuk membangun penyempurnaan
makalah ini, semoga makalah ini bisa menjadi bermanfaat bagi kita semua.

Pamekasan, 04 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Makalah ........................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan Makalah ........................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Linguistik................................................................. 3
B. Tinjauan Historis dan Ontologis Tafsir Linguistik.................... 5
C. Penafsiran Al-Qur’an dalam Bingkai Linguistik....................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 16
B. Saran .......................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Makalah


Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab (Q.S. al-
Syu`arâ`[26]: 195, Q.S. al-Zumar [39]: 28, dan Q.S. Yusuf[12]: 2), sebab
konteks sosio-geografis di mana al-Qur’an turun adalah Arab, dan Nabi
Muhammad Saw sendiri sebagai penerima wahyu juga orang Arab. Adalah
logis ketika Allah Swt menggunakan medium bahasa Arab untuk
mengkomunikasikan “ide-ide”-Nya, agar pesan yang hendak disampaikan
dapat dipahami dan diterima dengan baik.
Pada saat al-Qur’an turun, orang-orang Arab secara umum dapat
memahami bahasa al-Qur’an dengan baik, sebab mereka masih memiliki
cita rasa bahasa yang tinggi. Meski memang ada sebagian kata dalam al-
Qur’an yang sulit dimengerti maksudnya oleh sebagian para sahabat,
misalnya Abu Bakar tidak mengetahui makna abban, Ibnu Abbas awalnya
tidak tahu makna kata fâthir dan Umar bin Khathab tidak mengerti makna
kalimat aw ya’khudzahum `ala takhawwuf Ketika Nabi Saw masih hidup,
para sahabat dapat langsung bertanya kepada Rasulullah, bila mereka tidak
mengetahui maksud suatu ayat.
Namun pasca wafatnya beliau, dan Islam mulai tersebar ke luar
jazirah Arab, problem penafsiran semakin serius, sebab para sahabat tidak
lagi bisa bertanya langsung kepada Nabi Saw. Di samping itu, harus
dipahami bahwa al-Qur’an turun menggunakan dialek Quraish, sementara
sahabat yang diluar suku Quraish, tidak terbiasa menggunakan dialek
tersebut. Sebagian kata-kata bahasa Arab juga ada yang telah hilang dari
peredaraan, namun kemudian kata-kata itu dihidupkan kembali oleh al-
Qur’an, bahkan juga diberi pengertian yang baru. Ibnu Abbas misalnya,
ketika itu tidak mengerti makna kata “fâthir”.
Ia kemudian melacak melalui bahasa yang dipakai di kalangan
Arab Badui. Ketika itu ditemukan dua orang bertengkar mengenai masalah
sumur. Salah satunya mengatakan anâ fathartuhâ (saya yang membuatnya

1
pertama kali). Dari situ kemudian dipahami bahwa makna fathara adalah
khalaqa fî awwal marrah ‘ala ghayr mitsâl sabaq, yakni menciptakan
pertama kali tanpa contoh sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Linguistik?
2. Bagaimana Tinjauan Historis dan ontologis Tafsir Linguistik?
3. Bagaimana Penafsiran Al-qur’an dalam Bingkai Linguistik?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk Mengetahui Pengertian Linguistik
2. Untuk Mengetahui Tinjauan Historis dan Ontologis Tafsir
Linguistik
3. Untuk Mengetahui Penafsiran Al-qur’an dalam Bingkai Linguistik

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Linguistik
Kata linguistik berasal dari bahasa latin lingua yang berarti
’bahasa’. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang
menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Dalam bahasa Perancis ada
tiga istilah untuk menyebut bahasa yaitu:
1. Langue: suatu bahasa tertentu.
2. Langage: bahasa secara umum.
3. Parole: bahasa dalam wujud yang nyata yaitu berupa ujaran.
Ilmu linguistik sering juga disebut linguistik umum (general
linguistics). Artinya, ilmu linguistik tidak hanya mengkaji sebuah bahasa
saja, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya, yang dalam
peristilahan Perancis disebut langage. Pakar linguistik disebut linguis.
Bapak Linguistik modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Bukunya tentang bahasa berjudul Course de Linguistique Generale yang
diterbitkan pertama kali tahun 1916.
Dalam dunia keilmuan, tidak hanya linguistik saja yang mengambil
bahasa sebagai objek kajiannya. Ilmu atau disiplin lain yang juga mengkaji
bahasa diantaranya: ilmu susastra, ilmu sosial (sosiologi), psikologi, dan
fisika. Yang membedakan linguistik dengan ilmu-ilmu tersebut adalah
pendekatan terhadap objek kajiannya yaitu bahasa. Ilmu susastra
mendekati bahasa sebagai wadah seni. Ilmu sosial mendekati dan
memandang bahasa sebagai alat interaksi sosial di dalam masyarakat.
Psikologi mendekati dan memandang bahasa sebagai pelahiran kejiwaan.
Fisika mendekati dan memandang bahasa sebagai fenomena alam.
Sedangkan linguistik mendekati dan memandang bahasa sebagai bahasa
atau wujud bahasa itu sendiri.
Gaya bahasa atau uslub (style) al-Qur`an diyakini, terutama
menurut paham sunni, sebagai salah satu aspek i`jaz al-Qur`an, karena
kualitasnya yang tinggi dan keindahannya.mengenai keindahan gaya

3
bahasa al-Qur`an secara eksplisit telah disusun oleh Ibn Al-Ashbagh
dengan kitab yang berjudul badai`u l-qur`an yang menjelaskaan lebih
kurang seratus macam gaya bahasa al-Qur`an, seperti, majaz, istiarah,
kinayah, tamtsil tasybih.
Uslub al-Qur`an berarti gaya al-Qur`an yang unik dalam susunan
kalimat-kalimat dan pilihan katanya. Suatu gaya bahasa (uslub, style) tentu
saja tidak dimaksudkan sebagai kosakata atau kalimat yang disusun oleh
seorang pengarang, tetapi yang dimaksudkan adalah cara atau metode
yang digunakan oleh pengarang tersebut dalam memilih kosakata dalam
susunan kalimatnya.
Keunikan uslub al-Qur`an dapat dilihat antara lain pertama pada
keluwesan lafalnya, menarik dan menakjubkan, serta keindahan
bahasanya. Kedua sentuhannya baik kepada orang awam maupun kepada
orang khawash. Al-Qur`an bila dibacakan kepada orang awam, mereka
merasakan keagungannya, sebagaimana dibacakan kepada orang khawash,
mereka pun lebih lagi merasakan keagungan dan keindahannya. Ketiga
sentuhannya pada akal dan emosi, yakni bahwa gaya bahasa al-Qur`an
berdialog dengan akal dan hati sekaligus. Keempat keindahan dan
kehalusan jalinan al-Qur`an yang bagian-bagiannya saling terpaut, kata-
kata, kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surat-surat antar satu dengan lainnya
saling berjalin berkelindan. Kelima kecenderungannya dalam
mengeksekusi kata dan kekayaannya dalam seni kalimat, yakni seperti
menampilkan satu makna dengan berbagai kata dan dengan berbagai cara.
Keenam kombinasinya antara keindahan dan kejelasan, dan ketujuh
kesesuaian antara lafaz dan makna, yakni lafaz tidak lebih dari makna.
Untuk memberikan kesan yang lebih mendalam kepada para
pendengar atau pembaca, al-Qur`an menggunakan berbagai gaya bahasa
yang sebenarnya sudah akrab dengan kebiasaan dalam bahasa Arab,
seperti penggunaan gaya peribahasa dan sumpah. Gaya peribahasa al-
Qur`an disebut juga amtsal al Qur`an. Amtsal dari kata matsal berarti
perumpamaan atau peribahasa. Amtsal al-Qur`an yang ditulis secara
khusus oleh Abu al-Hasan al-Mawardi termasuk cabang ilmu al-Qur`an

4
yang cukup penting karena berkaitan dengan penekanan beberapa ayat al-
Qur`an.
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan
al-Qur`an dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti
suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu
harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut.
Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan
segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu at-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadika syair-syair
Arab pra-Islam (Jahiliyyah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan
arti kata-kata dalam ayat al-Qur`an.
Bila apa yang ditempuh at-Thabariy ini dikaitkan denga
perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat al-Qur`an
dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan
kata lain, kita yang hidup pada masa kini tidak terkait dengan penafsiran
mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa lebih baik memahami arti
kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan dengan memperhatikan
penggunaan al-Qur`an terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan
kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan
dalam al-Qur`an itu.1

B. Tinjauan Historis dan ontologis Tafsir Linguistik


1. Tinjauan Historis
Secara historis, embrio tafsir linguistik sebenarnya telah
muncul sejak era Nabi Muhammad Saw. Hal ini terlihat misalnya
ketika beliau menjelaskan sebagian kata yang kurang dipahami
oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah tentang makna wasat}
dalam firman Allah Swt: “‫… َو َك ٰذلِكَ َج َع ْل ٰن ُك ْم اُ َّمةً َّو َسطًا‬.”(Q.S. al-Baqarah
[2]: 143). Beliau menafsirkan kata ً‫ط‬f ‫َّس‬
َ ‫ و‬dengan al-`adl (tengah-
tengah, moderat).
1
M Amin, “Linguitisitas Al-qur’an dan Pendekatan Linguistik Dalam Tafsir,”
StainKudus, diakses dari http://eprints.stainkudus.ac.id diakses pada tahun 2017

5
Demikian pula ketika Nabi Saw. memberikan koreksi
terhadap kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh `Adi bin Hatim
ketika memahami firman Allah Swt. ُ‫َّن لَـ ُك ُم ْالخَـ ْيط‬fَ ‫َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َح ٰتّى يَتَبَي‬
‫ ِر‬fffْ‫ َو ِد ِمنَ ْالفَج‬fff‫… ااْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخـ ْي ِط ااْل َ ْس‬.” . (Q.S.al-Baqarah [2]:187).
Beliau memahaminya secara tekstual, yakni apa adanya; bahwa al-
khayt al-abyad adalah benang putih, dan al-khayt al-aswad benang
hitam. Nabi Saw lalu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
al-khayt al-abyad adalah bayadl al-nahar , yakni terangnya siang
dan al-khayt al-aswad adalah sawad al-layl, yakni gelapnya malam.
Demikian halnya ketika Ibnu Mas’ud pernah salah paham
ketika menafsirkan makna al-zhulm pada firman Allah Swt Q.S. al-
An’am [6]:82) yang dipahami sebagai kezaliman biasa. Lalu Nabi
Saw menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-zulm
(kezhaliman) di dalam ayat tersebut adalah al-syirk (menyekutukan
Allah) dengan mendasarkan pada firman Allah Q.S. Luqman [31]:
13. Contoh-contoh penafsiran Nabi Saw tersebut di atas
sesungguhnya mencerminkan corak tafsir linguistik, dalam arti
bahwa secara semantis beliau menjelaskan makna kosa kata
tertentu dalam al-Qur’an yang belum dimengerti, sehingga menjadi
lebih jelas pengertiannya.
Perkembangan tafsir linguistik sesungguhnya lahir dari satu
kenyataan bahwa al-Quran diturunkan dengan medium bahasa
Arab, yang meskipun dinyatakan bahwa al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab yang jelas, ‫( … بِلِ َسا ٍن َع َربِ ٍّي ُّمبِ ْي ٍن‬Q.S. al-Syu’arâ [26]:
195), namun tidak dapat dibantah bahwa di dalam al-Qur’an juga
terdapat kata-kata yang asing, metaforis, bahkan ada yang secara
lafadznya mufrad (tunggal) tetapi yang dimaksud adalah jamak
(plural), dan begitu pula sebaliknya (Abu ‘Ubaydah (t.t): 18).
Sehingga untuk memahaminya, diperlukan penguasaan yang sangat
baik terhadap aspek-aspek bahasa Arab.
Pengetahuan tentang bahasa Arab yang memadai adalah
syarat mutlak bagi mufassir, sehingga Mujahid pernah berkata:

6
”layahillu li ahadin yu’minu billah wal yawm al-akhir an
yatakallam fi kitabbillah iza lam yakun ‘aliman bi al-lugah al-arab.
Sebab sangat aneh jika sebuah penafsiran al-Qur’an tidak
berangkat dari pemahaman teks secara linguistik terlebih dahulu.
Sedemikian pentingnya analisis kebahasaan dalam memahami al-
Qur’an dan menjadi prasyarat awal, maka kemudian lahir kitab-
kitab tafsir linguistik yang diawali dengan menafsirkan kata-kata
yang asing, aspek sintaksis dan morfologi seperti kitab Ma‘anil
Qur`an, karya al-Farrâ’ (w. 207 H), Ma’ânil Qur`ân karya al-
Akhfasy (w.215 H), Ma’ânil Qur`ân karya al-Zajjâj (w. 311 H),
Majaz al-Qur’an, karya Abu Ubaydah (w. 211 H) dan lain
sebagainya. Muncul pula kitab tafsir yang khusus membahas kata-
kata yang asing dalam al-Qur’an, seperti kitab Garib al-Qur’an,
karya Abban bin Taglab Abu Sa’id, (w. 141 H), Garib al-Qur’an,
karya Muhammad bin Sa`id al-Kalbi (w. 146 H) dan lain
sebagainya.
Namun demikian, harus penulis tegaskan bahwa analisis
kebahasaan saja (mujarrad al-tahlil al-lugawi) tidak cukup untuk
memahami atau menafsirkan al-Qur’an secara baik, sebab di sana
ada perangkat metodologi lain yang mesti dipertimbangkan, seperti
aspek asbab nuzul, nasikh mansukh, al-makki-al-madani dan
bahkan konteks sosio-kultural Arab ketika itu. Sebagai contoh
adalah ketika memahami ayat: “wala tusalli ‘alaahadin minhum
mata abada…. “ (Q.S.al-Taubah[9]: 86). Jika hanya memakai
analisis kebahasaan, orang mungkin akan menyimpulkan bahwa
kata wala tusalli berarti janganlah kamu mendoakan, namun jika
melihat konteks asbab nuzul-nya, maka akan jelas bahwa yang
dimaksud wala tusalli dalam ayat tersebut adalah janganlah kamu
(Muhammad) menyalatkan jenazah kepada salah seoarang mereka,
yakni Abdullah bin Salul, salah tokoh munafik. Di sinilah
pentingnya memperhatikan konteks ketika menafsirkan al-Qur’an.

7
Secara genealogis tafsir linguistik (al-tafsir al-lughawi) pada
perkembangan awal sejarahnya dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu: Pertama, al-tafsir al-lughawi yang dimotori oleh
kelompok lugawiyun (para linguis) yang tertarik untuk
menafsirkan al-Qur’an. Seperti al-Kisa’i (w. 183 H.) dan al-Farra’
(w. 207 H.). Pada kelompok pertama ini, kecenderungan tafsir
linguistik adalah ingin menjadikan tafsir untuk membangun teori
linguistik, atau menjustifikasi teori linguistik berdasarkan al-
Qur’an. Kedua, al-tafsir al-lugawi yang dimotori oleh kelompok
teolog Mu’tazilah, seperti Abu Bakar Abdurrahman ibn Kaysan al-
Assamm (w. 206H) dan Yusuf ibn Abdullah al-Syahham (w. 233
H). Pada kelompok kedua inilah yang kemudian tafsir linguistik
sering dijadikan legitimasi untuk melakukan ta’wil ideologi untuk
membela kepentingan madzab mereka (li nusrah al-mazhab),
terutama ketika terjadi perbedaan penafsiran ayat yang terkait
dengan dasar-dasar teologi Mu’tazilah. Inilah yang oleh penulis
sebut dengan istilah nalar ideologis dalam penafsiran al-Qur’an,
yang marak terjadi pada abad pertengahan.
Memang dalam kajian madzahib al-tafsir dikenal berbagai
corak penafsiran al-Qur’an, mulai dari corak tafsir fikih (al-tafsir
al-fiqhi), tafsir linguistik (al-tafsir al-lugawi), tafsir sufi ( al-tafsir
al-sufi), tafsir filosofis (al-tafsir al-falsafi), tafsir ilmi (al-tafsir al-
ilmi), hingga yang muncul pula tafsir ekologis (al-tafsir al-bi’i).
Munculnya berbagai corak penafsiran tersebut tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan berbagai disiplin keilmuan yang
muncul dalam peradaban Islam ketika itu, tak terkecuali
perkembangan ilmu bahasa Arab. Bahkan disiplin ilmu bahasa
ketika itu termasuk muncul paling awal dan sering pula terjadi
diskusi dan perdebatan antara para linguis madzab Bashrah dan
madzab Kufah sebagaimana tampak dalam kitab-kitab tafsir
mereka.

8
Masing-masing ilmuan agaknya ingin mendedikasikan
ilmunya untuk menafsirkan al-Qur’an dari sudut pandang keilmuan
yang dimilikinya, di samping juga untuk mencari legitimasi
kebenaran teori-teori ilmu yang ditekuninya dari al-Qur’an.
Sedemikian besar bias idiologi mendominasi penafsiran, sampai
ada adagium yang populer ketika itu dari Abdullah al-Karakhi,
“Kullu ayah aw hadis yukhalif ma ‘alaih ashhabuna fahuwa
mua’wwal aw mansukh”. Artinya, setiap ayat atau hadis yang
menyalahi pendapat madzab atau kelompok kami, maka ia harus
ditakwil (agar cocok dengan madzab kami), (kalau setelah ditakwil
ternyata masih belum sesuai dengan madzab kami), maka harus
dinaskh (dihapus).
2. Tinjauan Ontologis
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan tafsir linguistik
atau al-tafsir al-lughawi? Bukankah hampir setiap tafsir pasti
berangkat dari analisis kebahasaan terlebih dahulu. Penjelasan
mengenai hakikat tafsir linguistik agaknya memang penting
dikemukakan agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang pengertian
tersebut. Sebab ada sebagian orang menyangka bahwa semua tafsir
itu dapat dikatakan bercorak lugawi, sebab yang namanya tafsir
pasti melibatkan analisis linguistik. Pandangan seperti itu menurut
hemat penulis kurang tepat, sebab penyebutan sebuah kitab tafsir
sebagai bercorak lugawi sesungguhnya lebih didasarkan pada
aspek dominasi uraian-uraian yang ada di dalamnya, atau
meminjam istilah Muhammad Husayn al-Zahabi, penyebutan
kategori corak sebuah tersebut lebih merupakan min bab al-taglib.
Berangkat dari logika tersebut, maka sebutan al-tafsir al-
lughawi sebenarnya hanya layak disematkan pada produk-produk
tafsir yang di dalamnya mufassir sangat dominan menjelaskan
aspek-aspek kebahasaan dalam menafsirkan al-Qur’an, mulai dari
makna semantis kata, asal-usul kata, derivasi, kedudukan kata
(i’rab), uslub (stilisika), termasuk istilah-istilah teknis dalam

9
linguistik, bahkan menyebutkan pula tentang polemik teori
linguistik antara madzab Kufah dan Bashrah.
Memang model penafsiran seperti itu kemudian dikritik
oleh Muhammad Abduh yang dinilainya bukan sebagai tafsir, tapi
lebih merupakan latihan praktis di bidang kebahasaan bagi para
mufassir untuk menjadikan al-Qur’an sebagai objek penerapan
teori linguistik. Tafsir model seperti ini dinilai Abduh justru
menjauhkan dari tujuan pokok penafsiran, yakni untuk
mengungkap pesan-pesan al-Qur’an dan menjadikannya sebagai
kitab petunjuk buat manusia atau hudan li al-nas Itu artinya bahwa
tafsir linguistik yang tadinya dimaksudkan sebagai sarana
(wasilah) agar bisa memahami al-Qur’an dengan baik, kemudian
malah menjadi tujuan (ghayah) penafsiran itu sendiri, karena
terlalu sibuk dalam diskusi kebahasaan yang terlalu bertele-tele.
Terlepas dari kritik Abduh di atas, apa yang disebut dengan
corak tafsir linguistik untuk membedakan dengan corak kitab tafsir
lainnya adalah kitab tafsir yang di dalamnya seorang penafsir
banyak mengeksplorasi berbagai aspek linguistik dalam al-Qur’an.
Berdasarkan pengamatan penulis melalui kitab-kitab al-tafsir al-
lugawi, dapat disimpulkan bahwa beberapa ciri khas yang
menonjol dalam tafsir linguistik antara lain adalah:
a. Banyak mengungkapkan aspek semantis atau makna sebuah
kata, yang biasanya didasarkan pada syair dan prosa jahili.
b. Banyak menguraikan aspek (morfologi) dan (derivasi).
c. Banyak menjelaskan aspek i’rab atau kedudukan kata dan
kalimat dengan memanfaatkan melalui teori nahwu atau
gramatika bahasa Arab.
d. Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al-
Qur’an). Hal ini karena memang al-Qur’an diyakini
memiliki stilistika yang khas yang berbeda stilistika Arab
pada umumnya baik dalam penulisan maupun berpidato.

10
e. Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk di dalamnya
masalah berbagai perbedaan qira’at yang ada.
f. Banyak menjelaskan aspek-aspek majaz, dan aspek lain
yang menyangkut kompleksitas teori-teori linguistik.
Selanjutnya, secara metodologi produk tafsir linguistik
dalam menjelaskan makna sebuah kata dalam al-Qur’an, paling
tidak menempuh dua cara: Pertama, menjelaskan makna sebuah
kosa kata tanpa menjelaskan argumentasinya, dari mana makna itu
diperoleh, baik dari syair maupun prosa Arab. Kedua, menjelaskan
makna sebuah kata dengan disertai argumentasinya, dari karya
syair jahili maupun prosa yang ada. (Hadi Ma’rifat, 1428 H: 925,
dan al-Tayyar, (tt): 398-399). Ketiga, dalam menafsirkan al-Qur’an
cenderung bersifat tahlili (analitis). Artinya bahwa aspek-aspek
linguistik yang ada dalam sebuah ayat diuraikan sedemikian rinci
untuk mendapatkan maksud sebuah ayat. Namun akibatnya,
seringkali kesimpulan-kesimpulan yang dideduksi bersifat
partikular. Agak sulit mendapatkan pandangan dunia al-Qur’an
secara utuh melalui model tafsir tahlili. Ini memang salah satu
problem metode tafsir tahlili, yang kemudian memunculkan kritik
dari para ulama, sehingga muncul tawaran metode baru yang
disebut dengan tafsir tematik (al-tafsir al-mawdu`i) untuk
melengkapi kekurangan metode tafsir tahlili.2

C. Penafsiran Al-Qur’an dalam Bingkai Lingusitik


Sesudah tahun 1970-an, salah satu model hermeneutika yang
dikembangkan kalangan intelektual muslim adalah hermeneutika dalam
kerangka linguistik modern dan kritik sastra yang diselaraskan dengan
perkembangan terakhir disiplin tersebut. Dari sinilah kemudian istilah
tafsir linguistik itu marak terdengar oleh telinga publik dengan arti yang
konotatif, dan menjadi istilah yang mengacu pada objek yang berbeda
dengan acuan awalnya. Istilah linguistik yang pada dasarnya menunjuk
2
Abdul Mustaqim, “Tafsir Linguistik (Studi atas Tafsir Ma’anil Qur’an Karya Al-Farra’),” Jurnal
QOF 3, no. 1 (1 Januari, 2019): 2

11
pada Sebuah disiplin Ilmu Bahasa, berubah mengacu pada hal-hal yang
berkaitan dan bersifat kebahasaan. Akhirnya, tafsir yang menggunakan
pendekatan dan analisis sastra, semiotika, atau hermeneutika sebagai
landasannya, sering disebutkan sebagai tafsir linguistik, atau lebih khusus
lagi tafsir yang menggunakan analisis (kebahasaan) secara umum, maka
tafsir yang analisanya menggunakan teori atau ilmu bahasa apapun bisa
masuk dalam kategori tafsir linguistik. Tiga tokoh utama yang disebut-
sebut sebagai pengembang model ini adalah:
Pertama, Nashr Hamid Abu Zaid berusaha menelaah teks al-Qur’an
dalam sinaran linguistik dan kritik sastra modern. Hermeneutika al-Qur’an
dan kritik al-Qur’an bertemu dalam pendekatannya atas teks al-Qur’an.
Menurut dia, studi al-Qur’an adalah sebuah bidang keilmuan
interdisipliner, yang berkembang karena kemajuan dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora, khususnya linguistik, semiotika, dan hermeneutika. Dia
yakin bahwa pendekatan sastra atas teks al-Qur’an akan menjadi
pendekatan masa depan dalam kajian al-Qur’an.
Di sini jelas sekali bahwa linguistiklah yang terbingkai dalam
analisis sastra, dan analisis sastra terbingkai dalam analisis semiotika.
Artinya, telaah linguistik harus dilakukan dengan sikap bahwa sistem
tanda bahasa objek yang dikaji linguistik itu merupakan bagian dari sistem
semiotika sosial. Sebagai sistem semiotika sosial, bahasa bukan terwujud
sebagai kalimat dan ujaran tetapi sebagai teks dan wacana. Karena
posisinya sebagai wacana, maka makna sistem tanda bahasa itu ditentukan
oleh ciri interpersonal dan konteks penggunaannya.
Dalam bingkai penafsiran hermeneutisnya, Nasr Abu Zaid
membedakan antara sistem tanda bahasa dalam teks dan sistem tanda
budaya, istilah dia adalah struktur linguistik teks dan sistem linguistik
budaya. Dalam hal ini, dia memanfaatkan temuan De Saussure mengenai
Langue dan Parole. Langue merupakan sistem bahasa yang bersifat sosial,
sementara Parole (ujaran) berupa tindak komunikasi yang bersifat
individual. Hubungan keduanya bersifat dialektis dan saling
mempengaruhi satu sama lain, meskipun Parole itu bersifat individual, ia

12
mampu menyingkap struktur sistem bahasa yang umum (langue). Dengan
kata lain, teks itu tidak dapat dipisahkan dari sistem bahasa umum dari
budaya di mana teks itu muncul.
Demikian, penafsiran terhadap al-Qur’an seharusnya melibatkan
analisis dua sistem tanda ini. Sistem tanda bahasa dianalisa dengan
menggunakan linguistik, dan sistem tanda budaya dianalisa dengan
menggunakan semiotika, lalu tersingkaplah makna yang tetap objektif.
Sayangnya, Abu Zaid lebih condong untuk mengupas teks al-Qur’an
sebagai bagian dari sistem tanda budaya daripada sistem tanda bahasa. Hal
ini berarti dia lebih banyak mengunakan pendekatan semiotika daripada
linguistik. Maka tidak heran jika dalam pembacaannya terhadap teks al-
Qur’an, ia lebih condong pada metodologi ta’wil dia pun kemudian begitu
bersemangat mengurai sistematika ta’wil. Namun, ta’wil menurutnya
bukanlah yang subjektif; Ta’wil harus tetap memperhatikan level-level
konteks agar tidak mengarah pada interpretasi ideologis. Ta’wil seperti ini
berarti menyerupai semiotika, karena mengungkap makna dibalik tanda-
tanda yang lebih luas dari tanda bahasa. Di titik ini berani saya tegaskan
bahwa Abu Zaid lebih banyak menekankan aspek semiotik daripada
linguistik.
Kedua, Arkoun adalah seorang post-strukturalis muslim terkemuka.
Dia menformulasikan fondasi baru untuk membaca ulang al-Qur’an.
Meskipun Arkoun tidak pernah menulis kitab tafsir secara spesifik, dalam
sejumlah artikelnya dia telah mengaplikasikan pendekatan semiotik atau
semiologi mutahir untuk menafsirkan surat-surat serta tema-tema tertentu
dalam al-Qur’an. Dalam pendekatan ini, dia menganalisis objek kajiannya
sebagai suatu himpunan atau sistem dari sejumlah tanda yang saling
merujuk menurut aturan tertentu. Gagasan-gagasan tafsir Arkoun ini bisa
dilihat dalam berbagai artikelnya yang terhimpun dalam sejumlah karya,
terutama Lectures duCoran.
Dibanding Abu Zaid, Arkoun lebih tegas dalam mendasarkan
pembacaan tafsirnya. Dia jelas-jelas menempatkan linguistik sebagai
bagian saja dalam pembacaannya. Bahkan lebih dari itu, analisis

13
semiotikanya pun tidak sebatas berbicara tentang tanda, petanda, dan
tinanda saja. Sebagaimana kebanyakan semiolog Perancis yang
mempengaruhinya, dia meletakkan semiotika itu seolah-olah menjadi
muara dari berbagai disiplin kajian humaniora. Demikian dalam membaca
al-Qur’an, dia mendasarkan diri pada titik wacana, lebih dari sekedar teks.
Oleh sebab itu, dia melibatkan berbagai disiplin terkait secara sinergis.
Sebagai sebuah wacana, al-Qur’an dibaca dengan bertumpu pada
semiotika, baik tanda bahasa maupun tanda budaya yang melingkupinya,
namun menjulurkan daya analitiknya pada faktor-faktor asemiotis, yakni
situasi-situasi dan wacana zaman al-Qur’an turun yang sudah musnah dan
tidak bisa diulang agar bisa disentuh bukan berarti mencapai seutuhnya.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Arkoun menyarankan sebuah
pembacaan secara sinkronis dan diakronis bukan dalam pengertian
linguistik. Pembacaan sinkronis melibatkan analisis terhadap status
linguistik dari wacana al-Qur’an, analisis semiotik mengenai bentuk-
bentuk isinya, serta analisis sosiokritis dan psikokritis. Sedangkan
pembacaan diakronis, ia melibatkan; pertama, penyelidikan mengenai
masyarakat kitab, tradisi kitab suci, dan tradisi etno-kultural. Hal ini
berarti membaca kehadiran Islam sebagai tradisi yang terbentuk oleh al-
Qur’an dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi lain, baik yang berhubungan
dengan kitab suci maupun tidak, Kedua, ia juga melibatkan penyelidikan
Antropologis, yakni mengenai segala hal yang berkaitan dengan tabiat
masyarakat Timur Tengah Kuno serta kebudayaan mereka.
Menurut hemat saya, pembacaan heuristik interdisipliner Arkoun
ini sebenarnya bertumpu pada pembacaan semiotik. Seperti yang telah
saya sebutkan tadi bahwa pembacaan semiotik secara menyeluruh itu akan
menghisap pengetahuan-pengetahuan lain ke dalam dirinya, terutama
adalah humaniora. Jika dikerucutkan, landasan metodologis Arkoun ini
hampir sama dengan Nasr Abu Zaid, yakni ada sistem tanda bahasa
(linguistik) dan sistem tanda di luar bahasa (semua yang tercakup dalam
kategori budaya). Keduanya bertumpu pada prinsip Parole dan Langue
serta linguistik dan semiotik. Adapun disiplin-disiplin lain yang Arkoun

14
masukkan sebagai parameter pembacaannya, itu hanya bersifat membantu
dalam menemukan makna di balik tanda-tanda. Sebab jika tanda bahasa al-
Qur’an dianggap menyejarah, maka urat-urat akarnya pasti akan sampai
pada ruang-ruang yang jauh melampaui teks, sosio-kultur yang
membentang jauh ke masa Nabi Muhammad. Bentangan masa inilah yang
dianggap Arkouan terputus secara semiotik sehingga harus disulam agar
bisa disentuh dan disinilah kajian sosiol, kultural, antropologis, dan
historis yang melingkupi al-Qur’an perlu dimasukkan dalam kerangka
semiotiknya.3

3
Abdullah Mu’afa, “Pendekatan Linguistik dalam Penafsiran Al-Qur’an:Upaya Menjernihkan
Konsep Linguistik Sebagai Teori dan Metode,” Jurnal Islamic Review 1, no. 2 (02 oktober 2012):
235

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pengertian awam, linguistik berarti hal-hal yang berkaitan
dengan bahasa atau ilmu bahasa. Padahal dalam pengertian ilmiah yang
sebenarnya, linguistik adalah nama salah satu ilmu bahasa, atau bentuk
modern dari ilmu bahasa yang jamak digunakan pada saat ini. Distorsi
acuan makna ini tentu berimplikasi pada istilah-istilah yang mengaitkan
linguistik dengan penafsiran. Banyak sekali wacana tentang tafsir yang
menyebutkan istilah linguistik namun tidak jelas apa yang diacu. Sehingga
saat kita berbicara mengenai linguistik dalam penafsiran al-Qur’an,
wacana ini kemudian menjadi kabur, apa yang dimaksud tafsir linguistik
itu, tafsir berdasar ilmu bahasa modern itu, tafsir berdasar ilmu bahasa
klasik, tafsir bahasa secara umum, tafsir filologis, tafsir retorik, atau tafsir
semiotik ?
Jika yang dimaksud dengan tafsir linguistik itu adalah tafsir yang
berkaitan dengan kebahasaan, maka sebenarnya ia telah ada sejak abad ke
satu hijriah. Jika yang dimaksud adalah tafsir yang menggunakan ilmu
bahasa secara umum, maka ia juga telah dilakukan sejak masa awal
perkembangan kebudayaan dan peradabam islam, yakni saat ilmu nahwu,
sarrof, dan balaghah mulai berkembang. Kemudian jika yang dimaksud
adalah tafsir yang menggunakan ilmu bahasa “linguistik”, maka sampai
detik inipun belum ada mufassir yang menggunakannya secara mutlak,
yakni satu-satunya yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Bahkan
para mufassir yang disebut-sebut menggunakan “linguistik” pun, semisal
Abu Zaid dan Arkoun, juga hanya menggunakan “linguistik” sebagai
bagian dari penafsirannya. Keduanya ternyata lebih melandaskan
penafsirannya pada semiotika atau semiotika-hermeneutis, dan “linguistik”
sebagai kunci pertamanya atau pintu masuk.
Terlepas dari “linguistik” itu dimaknai apa, yang jelas posisi bahasa
dalam ranah penafsiran al-Qur’an bisa dilihat dari dua segi, yakni bahasa

16
sebagai metodologi dan bahasa sebagai argumentasi teologis. Berkaitan
dengan yang pertama, bahasa biasanya mengejawentah dalam kaidah-
kaidah serta teori-teori di sinilah linguistik berperan. Sedangkan pada yang
kedua, bahasa mengejawentah sebagai sebuah kode berbalut nilai-nilai
yang dipertarungkan. Apakah bahasa al-Qur’an itu sistem kode Tuhan
Yang sakral, suci, dan agung, atau sistem kode manusia yang profan,
historis, dan kultural. wa-Allah a‘lam bi as-sawab
B. Saran
Saran untuk penulis dan pembaca sebaiknya kita sebagai umat
mukmin yang butuh ilmu tentang ”Tafsir Lingustik” maka dari itu
Dengan adanya penjelasan yang penulis buat, Saya mengharap untuk
membaca dan memahami secara betul. Dan untuk penjelasan dan
penulisan mohon maaf Jika terdapat banyak kesalahan dan Saya sebagai
pemakalah dengan senang hati menerima masukan dan kritik sebagai
pembelajaran bagi Saya untuk lebih baik lagi dalam pembuatan makalah
selanjutnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amin M, “Linguitisitas Al-qur’an dan Pendekatan Linguistik Dalam Tafsir,”


StainKudus, diakses dari http://eprints.stainkudus.ac.id diakses pada
tahun 2017

Mustaqim Abdul, “Tafsir Linguistik (Studi atas Tafsir Ma’anil Qur’an Karya
AlFarra’),” Jurnal QOF 3, no. 1 (1 Januari, 2019)

Mu’afa Abdullah, “Pendekatan Linguistik dalam Penafsiran Al-Qur’an:Upaya


Menjernihkan Konsep Linguistik Sebagai Teori dan Metode,” Jurnal
Islamic Review 1, no. 2 (02 oktober 2012)

18

Anda mungkin juga menyukai