Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU(PRESENTASI)

Nama: Moh Taufiq

NIM: 20384011009

Semester: 6

Matakuliah: Ilmu Maqasid Al-Qur’an

Beragam Perspektif Ulama Klasik tentang Maqāṣid al-Qur’ān Abu Hamid


Al-Ghazali dan al-Izz bin Abdissalam

A.) Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Abu Hamid al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-


Ghazali. Beliau dijuluki sebagai Hujjatul Islam, Zainuddin al-Thusi. Ia
seorang ulama fiqih syafi’iyyah. Lahir di kota Thus tahun 45 H.1
Ayah al-Ghazali dikenal saleh. Tidak pernah makan makanan kecuali
hasil jerih payahnya sendiri. Bekerja sebagai pemintal bulu domba (wol) yang
hasilnya dijual diwarungnya sendiri. Begitu sang ayah meninggal dunia, sang
sufi kemudian mendidik al-Ghazali dan Ahmad, hingga sedikit harta
peninggalan ayah mereka pun habis. Melihat kondisi itu, sang sufi berkata
kepada keduanya: “Ketahuilah aku telah menginfakkan harta peninggalan
ayahmu untuk kebutuhanmu. Sementara aku adalah seorang fakir. Tidak ada
harta apapun yang aku berikan kepada kalian. Menurutku, kalian harus
berangkat sekolah dan menuntut ilmu disana, sehingga kalian mendapatkan
bekal untuk melewatkan hari-hari kalian.”2
Akhirnya, al-Ghazali dan Ahmad melaksankan pesan sang Sufi. Dan
itulah yang menjadi sebab kebahagian dan keluhuran bagi mereka. Bahkan al-
Ghazali sendiri pernah mengisahkan hal itu, “semula kami menuntut ilmu
bukan karena Allah, namun Dia menolak kecuali karena-Nya.” Ketika
mendengar nasihat seorang ulama, sang ayah menangis dan langsung
memohon kepada Allah agar dirinya dikaruniai seorang anak ahli nasihat
sekaligus ahli fiqih. Ternyata Allah pun mengabulkan permohononannya. al-
Ghazali tampil sebagai anak paling cerdas diantara teman-temannya bahkan
menjadi imam terkemuka bagi para penduduk dizamannya. Sewaktu muda, al-
Ghazali juga pernah berguru fiqih kepada Syekh Ahmad Muhammad al-
Radzikani. Kemudian ia bertolak ke Naisabur dan berguru lama kepada Imam
al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaini. Disana beliau bersungguh sungguh
belajar hingga menguasai pandangan madzhab, masalah perbedaan,
perdebatan, logika, sufisme sampai filsafat. Beliau benar-benar menguasai
1
Ibn Khalkan, Wafiyāt al-A‘yān , jilid 4, hal. 216.
2
M. Tatam Wijaya, Jawāhirul Qur’ān: Selami Samudera Al-Qur’an dan Temukan Mutiaranya,
(PT Qaf Media Kreativa: Jakarta Selatan), Maret 2019, Hal. 9-10.
disiplin ilmu, mwmahami pandangan para ulamanya, mampu memberikan
bantahan dan mematahkan argumen lawan debatnya, bahkan dari sangat
disiplinnya itu beliau mampu menulis sederet buku yang sangat bagus.3
Setelah itu, al-Ghazali langsung bertolak ke Bagdad dan disambut
dengan antusiasme dan penghormatan tinggi oleh banyak warga. Disana, al-
Ghazali benar-benar mampu mengalahkan kharisma dan pamor para menteri
dan pejabat, mulai dari kefasihan berbicaranya, kesempurnaan akalnya,
kefasihan lisannya, hal tersebut membuat sosok al-Ghazali sangat dikagumi
dan digemari semua orang. Untuk sementara waktu, beliau mengabdikan
dirinya untuk mengajar, menyebarkan ilmu, berfatwa dan menulis karyanya.
Namun kemudian, semua kemuliaan itu beliau meninggalkannya ke Tanah
Suci, Mekah untuk berangkat menunaikan ibadah haji pada Dzulhijjah 488 H.
Sementara itu, tugas mengajarnya di Bagdad digantikan oleh saudaranya,
Ahmad. Sepulang dari haji, al-Ghazali berangkat ke Damaskus. Tak lama
kemudian, beliau berziarah ke Baital Maqdis dan mendekatkan diri kepada
Tuhannya disana. Kemudian beliau kembali lagi ke Damaskus dan beriktikaf
di menara Barat Masjid Jamik setempat dengan beberapa waktu yang lama
menetap.4
Ada salah satu doa al-Ghazali menakjubkan yang telah teruji oleh para
ahli makrifat, terutama saat menghadapi kekurangan dan kekafiran. Doa
tersebut berbunyi:
‫اللهم ياغني ياحميد يامبدئ يامعيد يارحيم ياودود أغنني بحاللك عن‬
‫حرامك وبفضلك عمن سواك‬
“Wahai Allah, Dzat yang maha kaya, Dzat yang maha terpuji, Dzat yang
maha mengembalikan, Dzat yang maha pemurah, Dzat yang maha pengasih,
cukuplah aku dengan perkara halalmu dari perkara harammu. (Cukuplah aku)
dengan karunia-Mu dari siapapun selain-Mu.”
B.) Kemampuan Abu Hamid Al-Ghazali
Ketika kita ingin berbicara tentang tujuan Al-Qur’an dalam kurun waktu
tertentu setelah abad ke-5 H, kita harus mengacu pada pemikiran Imam al-
Ghazali tentang hal itu, sebagai pendiri pertama dan pengarang yang
independen pada pokok bahasan tujuan Al-Qur’an. Dan sebagian besar dari
mereka yang berbicara tentang tujuan telah meraup semua kemampuannya,
termasuk Ibn Jazi al-Kalbi, meski tidak menyebutkan nama Imam al-Ghazali.5

3
Ibid., 11.
4
Ibid., 12-13.
5
Adam Balwi, “Kemampuan Ulama dalam Mengungkapkan Tujuan-tujuan dan Tema-tema Al-
Qur’an dari abad pertama Hijriyah sampai Abad Sembilan Hijriyah (Tafsir Center Qur’anic
Studies)”. Hal. 37.
Pertama: Al-Imam Ghazali membuka pintu penelitian dalam Al-Qur’an dan
topik-topik Al-Qur’an.

Sesungguhnya Imam al-Ghazali membagikan kitabnya dalam ilmu


Maqasid Al-Qur’an menjadi tiga bagian: Bagian pertama Imam al-Ghazali
menjadikannya pendahuluan-pendahuluan, dan dalam bagian tersebut terdapat
sembilan belas Fasal (pemisah). Bagian kedua Imam al-Ghazali
menjadikannya sebagai tujuan-tujuan. Bagian ketiga Imam al-Ghazali
menjadikannya sebagai Lawāhiq (Akhiran). Dan Imam al-Ghazali
membagikan tujuan itu menjadi dua bagian:

a. Jawāhir al-Qur’ān: ayat-ayat yang menjelaskan Dzat, sifat dan


kekuasaan Allah atau disebut juga bagian Alami .
b. Duror al-Qur’ān: ayat-ayat yang dinyatakan dalam penjelasan jalan
yang lurus dan anjurannya, atau disebut juga bagian Amali.6

Kedua: Maqāṣid al-Qur’ān dalam Pandangan Imam al-Ghazali

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya (Jawāhir al-


Qur’ān wa durorihi) dalam fasal yang kedua dari bagian yang pertama
yang berjudul (pemisah dalam seputar tujuan Al-Qur’an dan isinya).
Sesungguhnya tujuan Al-Qur’an yang paling maksimal adalah mengajak
hamba-hamba yang bertindak sewenang-wenang. Imam Ghazali
menyebutkan sesungguhnya surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an berputar
ditujuan yang di maksud dalam Al-Qur’an tersebut, dan cabangnya ada
enam yang mancabangkan kedalam tujuan yang sebenarnya (asli). Imam
Ghazali menyebutkan bahwa dalam cabang tersebut terbagi menjadi enam
bagian. Dan dari keenam bagian itu dibagi lagi menjadi dua:

a. Bagian pertama dari tujuan yang keenam yaitu pendahuluan-


pendahuluan dan dasar-dasar terpenting dimana terdapat tiga poin:
1. Tujuan pertama definisi sebagai penghambaan terhadap Allah (al-
Mad‘u ilaih)
2. Kedua: definisi sebagai jalan yang lurus yang wajib penetapan
jalannya kepada Allah.
3. Ketiga: definisi tingkah laku yang berhubungan kepada Allah.

6
Ibid., 39.
b. Bagian kedua dari tujuan yang keenam yaitu bagian belakang dan
pengikut yang saling melengkapi dan memperkaya.
A. Mengenal Allah
Bagian ini berisi penjelasan tentang makrifat atau mengenal Allah.
Inilah yang dikenal dengan kibrit atau belerang merah. Mengenal Allah
sendiri terbagi tiga tingkatan: 1) mengenal Dzat-Nya, 2)mengenal sifat-
sifat-Nya, 3) mengenal perbuatan-perbuatan-Nya. Tingkatan yang paling
tinggi adalah mengenal Dzat-Nya atau berada dalam tingkatan Yakut
merah.7
B. Mengetahui Jalan Menuju Allah
Caranya adalah tekun dan bersungguh-sungguh, sebagaimana firman
Allah, Dan beribadahlah kepada Allah dengan penuh ketekunan (al-
Muzammil (73): 8). Maksudnya adalah menghadap kepada-Nya dan berpaling
dari selain-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surah al-
Muzammil ayat 9 dimana mempunyai arti sebagai berikut:
“Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia (Allah), maka ambillah
Dia sebagai pelindung.”8
C. Mengetahui Keadaan Hamba Setelah Sampai Tujuan
Bagian ini mencakup penjelasan tentang ketenangan dan
kenikmatan yang ditemui mereka yang telah sampai pada tujuan. Bahkan
diantara kenikmatan yang didapatkannya adalah surga dimana kenikmatan
tertingginya adalah melihat wajah Allah swt. Disebutkan juga pada bagian
ini adalah bagaimana kehinaan dan kesiksaan yang akan diterima oleh
mereka yang terhalang akibat mengabaikan pendakian menuju-Nya.
Diantara sekian banyak siksaan yang ditimpakan kepada mereka adalah
neraka Jahim, yang siksaan terberatnya adalah dihalangi dan dijauhkan
dari segala nikmat. Na‘ūẓu Billāh. 9
D. Keadaan Orang Yang Menempuh dan Meninggalkan Jalan Allah
Untuk mengetahui keadaan para hamba yang telah menempuh jalan Allah
lihatlah para kisah Nabi dan para kekasih Allah seperti kisah Nabi Adam, Nabi
Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Yahya, Nabi Isa, Siti
7
M. Tatam Wijaya, Jawāhirul Qur’ān.........,36.
8
Ibid., 40-41.
9
Ibid., 44.
Maryam, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Nabi Luth, Nabi Idris,
Nabi Khidir, Nabi Syuaib, Nabi Ilyas dan Nabi Muhammad saw, Malaikat
Jibril, Malaikat Mikail, Malaikat-malaikat yang lainnya. Adapun keadaan
orang-orang yang kufur atau menyimpang dari jalan Allah, lihatlah kisah Raja
Namrud, Raja Fir’aun, Kaum ‘Ad, Kaum Nabi Luth, Kaum Tuba’, Ashabul
Aikah.10
E. Penolakan dan Penentangan Orang-orang Kafir: Penjelasan atas
Penghinaan mereka atas Dalil Allah: Pengungkapan atas Angan-
angan dan Kebatilan mereka.
Kekufuran mereka dibagi menjadi tiga bentuk:
1. Menyebut Allah dengan sebut-sebutan yang tidak layak, contohnya
menyebut para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah.
2. Mengata-ngatai Rasulullah saw sebagai penyihir, paranormal, dan
pembohong.
3. Mengingkari hari akhir, menolak konsep kebangkitan, dan
penghimpunan seluruh makhluk setelah kematian, tidak mengakui
surga dan neraka, mengingkari akibat ketaatan dan kemaksiatan.11

10
Ibid., 45-46.
11
Ibid., 46.

Anda mungkin juga menyukai