Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang sudah kita ketahui ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan
tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan, baik dalil-dalil merupakan dalil naqli, dalil aqli, ataupun dalil wijdni
(perasaan halus). Dalam ilmu kalam pun dibahas tentang qadha dan qadar yang
menjadi masalah pokok pembahasan tentang ilmu kalam.

Pada masa permulaan Islam dimasa Rasulullah SAW masih hidup, orang
telah mulai mempersoalkan tentang qadha dan qadar , tetapi semuanya dapat
dijawab oleh Nabi Muhammad SAW dengan tegas1.

Pada akhir abad kedua Hijriayah, timbulah persoalan qadha dan qadar ini
dalam bentuk baru yang meningkat menjadi aliran dan paham tersendiri yang
menyimpang dari ajaran Islam 2 . Akan tetapi pada akhir abad pertama hijriyah
sudah muncul sebuah aliran bernama aliran Qadariyah, yang dalam perkembangan
selanjutnya ajaran aliran Qadariyah itu tertampung dalam aliran Mu’tazilah.

Itulah sebabnya pada makalah ini akan mencoba menjelaskan tentang aliran
Qadariyah. Dalam makalah ini penyusun hanya menjelaskan secara singkat dan
umum tentang aliran Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah pengertian aliran
Qadariayah, sejarah dan perkembangan aliran Qadariyah dan pokok - pokok
ajaran-ajarannya secara umum.

1 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 1966), hlm.9
2 Taib Thahir Abdul Mu’in, loc.cit

1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Qadariyah ?
2. Bagaimana sejarah muncul dan perkembangan Qadariyah?
3. Apa saja pokok – pokok ajaran Qadariyah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Qadariyah
2. Mengetahui bagaimana sejarah munculn dan perkembangan Qadariyah
3. Untuk mengetahui pokok – pokok ajaran Qadariyah

2
BAB II
PEMBAHASAN

QADARIYAH

1. Pengertian Qadariyah

Kata ‘Qadariyah’ berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘qadara’, yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, Qadariyah dimaknai
sebagai suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Setiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya.
Ia dapat berbuat sesuatu, atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri 3. Dalam
istilah Inggris paham ini dikenal dengan istilah free will dan free act4.

Menurut paham Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri.


Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik ataas kehendak dan
kekuasaannya. Manusia melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat, atas
kemauan dan dayanya sendiri. Karenanya, manusia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya. Dalil-dalil yang bersifat aqli
maupun naqli, menunjukan bahwa, manusia bebas dalam menentukann sikap dan
perbuatannya sesuai dengan kodrat yang ia miliki. Manusia sendiri yang
menentukan perbuatannya dengan kemauannya. Manusia dapat berbuat baik dan
meninggalkan yang buruk tanpa campur tangan Tuhan. Manusia bebas dalam
tindak-tanduknya, apa yang mereka perbuat atas kehendak kemaunnya sendiri5.

Menurut Ahmad Amin (1884-1954 M) pun, sebagaimana dikutip oleh


Dr.Hardiyansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan.
Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik

3 Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam, (Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 67. Diakses dari
https://books.google.co.id/books?id=9cFKDwAAQBAJ&pg=PA102&dq=ilmu+kalam+qadariyah&hl
=id&sa=X&ved=0ahUKEwj67rri7_DdAhXJPI8KHTYzBpgQ6AEICTAA#v=onepage&q=ilmu%20kalam
%20qadariyah&f=false. 18 Oktober 2018
4 Ahmad Rifa’i Zen, Ilmu Kalam, (Depok: CV Arya Duta, 2011), hlm. 77
5 Elmansyah, op. cit. hlm. 68

3
dan buruk. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Qadariyah di pakai oleh
suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya6.

2. Sejarah Timbul dan Perkembangan Qadariyah

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali di
munculkan oleh Ma’bad al-Jauhani (w. 699 M/80 H) dan Ghilan ad- Dimasyqi
sekitar tahun 70 H/689 M 7 . Ma’bad al-Juhani adalah seorang tabi’in, yaitu
generasi yang kedua sesudah Nabi Muhammad SAW . Ia pernah belajar dengan
Wahsil bin Atha (Imam Kaum Mu’tazilah) kepada Syeikh Hasan Basri di Basrah.
Ia dihukum mati oleh Hajaj seorang penguasa Basrah ketikaitu, karena fatwa-
fatwanya yang salah8. Ia adalah orang yang pertama mengemukakan kebebasan
berkehendak. Menurutnya Alquran adalah makhluk9.

Sampai sekarang, walaupun Ma’bad sudah dihukum mati pada sekitar


permulaan abad ke II H, tetapi pahamnya masih ada yang menganutnya, juga di
Indonesia ada gejala-gejala penganut paham Qadariyah itu. Adapun Gailani ad-
Dimasyqi (Syiria). Bapaknya seorang yang pernah bekerja pada Khalifah Utsman
bin ‘Affan. Ia datang ke Dimsyaq pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk,
salah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 105 H sampai
125 H10.

6 Muchotob Hamzah, dkk, Pengantar Studi Aswaja An-Nadliyah, (Yogyakarta: LkiS, 2017), hlm.29.
Di akses dari
https://books.google.co.id/books?id=HgxgDwAAQBAJ&pg=PA29&dq=QADARIYAH&hl=en&sa=X&
ved=0ahUKEwjK2_HBy43eAhWHsI8KHbM6A7AQ6AEIMzAB#v=onepage&q=QADARIYAH&f=false.
18 Oktober 2018
7 Ibid.
8 Sirodjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jamaah, (Jakarta Selatan: CV Pustaka Tarbiyah
2006), hlm. 259
9 Ahmad Rifa’i Zen, op. cit., hlm. 78
10 Sirodjuddin Abbas, loc. cit.

4
Ghailan berpendapat juga bahwa Quran adalah makhluk. Menurutnya,
Quran adalah kalam Allah yang bersifat baru, tidak qadim. Oleh karenanya tidak
mungkin sesuatu yang bersifat Qadim, dan tidak mungkin sesuatu yang
diciptakan-Nya memiliki kesamaan zat. Selanjutnya, Ghailan juga berpendapat,
bahwa makrifat yang pertama adalah keterpaksaan, bukan keimanan. Menurutnya
iman adalah makrifat yang kedua kepada Allah SWT, dan iman adalah pengakuan
dengan lisan 11 . Kedua-duanya, Ma’bad al-Juhani dan Gailan ad-Dimasyqi di
hukum mati karena menganut paham yang salah itu12.

Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa yang mula- mula
mengembangkan paham Qadariyah bukan orang yang berdua ini. Ibnu Nabatah,
mengarang buku ‘Syahrul Uyun’, menerangkan bahwa orang yang mula-mula
mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang penduduk Iraq, pada mulanya
ia Nasrani kemudian masuk Islam dan kemudian menjadi Nasrani lagi. Dari orang
inilah Ma’bad al-Juhani dan Gailan ad-Dimasyqi mengambil paham Qadariyah13.

Ada dua pendapat tentang tempat (markas) bergolaknya paham Qadariyah


ini pada mulanya. Ada yang mengatakn di Iraq, ada yang mengatakn di Damskus,
tetapi melihat jalannya sejarah kemungkinan pada kedua-dua kota itu ada, karena
Bagdad dan Damsyik dulunya pada abad-abad ke I, II dan III penuh dengan
pergolakan-pergolakan paham14.

Imam paham Qadariyah ini yang besar ialah Imam Mu’tazilah Ibrahim Bin
Sayar an Nazham (meninggal 211 H), yang menfatwakan juga bahwa “Ijma”
sahabat atau “Ijma” Imam-imam Mujtahid tidak dapat menjadi dalil dan Qur’an
suci dipandang dari segi susunanny, lafaznya, hurufnya, tidaklah mujizat Nabi,
tetapi mu’jizatnya terletak karena Qur’an itu hanya mengabarkan hal-hal gaib15.

11 Ahmad Rifa’i Zen, op. cit., hlm. 78


12 Sirodjuddin Abbas, loc. cit.
13 Ibid.
14 Ibid.
15 Ibid.

5
Ditinjau dari segi politik kehadiran Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan (649-705 M) pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja. Sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam Mu’tazilah16.

3. Pokok-Pokok Ajaran Qadariyah

Ada beberapa pokok-pokok ajaran Qadariyah, yaitu sebagai berikut:

a) Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan semua perbuatannya


atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik.
Oleh karena itulah manusia mendapatkan pahala atas kebaikan yang telah
dilakukannya dan memperoleh hukuman atas kejahatan yang
dilakukannya17.
b) Manusia akan masuk surga atas kehendaknya sendiri dan masuk neraka atas
kehendaknya sendiri pula, bukan karena takdir Tuhan. Pengertian takdir
yang dipahami oleh kelompok Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir
yang umum dipakai oleh bangsa Arab pada saat itu. Pengertian takdir yang
umum di pahami bangsa Arab ketika itu adalah bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dulu. Menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan
sejak zaman ajazali terhadap dirinya. Sementara menurut paham Qadariyah,
takdir adalah ketentuan Allah yang telah diciptakan-Nya untuk alam
semesta beserta seluruh isinya sejak zaman azali, yang biasa disebut
sunatullah18.

16 Ibid.
17 Ahmad Rifa’i Zen, op. cit., hlm. 76
18 Ibid.

6
c) Tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia
kepada perbuatan Tuhan. Paham-paham semacam ini sesuai dengan
beberapa ayat Al-Quran misalnya Q.S.Al-Kahfi [18]: 29.

Artinya:
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika

mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman
yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Q.S.Al-Kahfi
[18]: 29)

Artinya:
“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan mereka sendiri...” (Ar-Ra’d : 11)19
d) Struktur iman dibangun atas dasar unsur esensial, yaitu: Ma’rifatullah dan
Iqrar. Ma’rifatullah yang dimaksud di sini adalah ma’rifah tsaniyah,
pengetahuan yang mendalam tentang Tuhan yang bersifat iktisabi (diperoleh
melalui usaha). Ma;rifah Ula-nya merupakan karya Tuhan yang bersifat
dharuri (tidak termasuk kategori Tuhan)20.

19 Ibid.
20 Elmansyah, op. cit. hlm. 103

7
e) Pelaku dosa besar tidak dipandang sebagai orang kafir. Hal ini disebabkan
oleh karena amal, bukan merupakan unsur esensial iman. Untuk kosekuensi
dari dosa besar ini, Qadariyah sebagaimana disampaikan oleh Ghilan,
mengambil sikap irja’ (mengembalikannya kepada keputusan tuhan)21.

21 Elmansyah, op. cit. hlm. 104

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Qadariyah dimaknai sebagai suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan dan memberi penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Setiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia
dapat berbuat sesuatu, atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
 Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan
masih merupakan sebuah perdebatan. Ada dua pendapat tentang
munculnya aliran Qadariyah ini, yang pertam menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali di
munculkan oleh Ma’bad al-Jauhani (w. 699 M/80 H) dan Ghilan ad-
Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689 M. Yang kedua menurut Ibnu Nabatah,
pengarang buku ‘Syahrul Uyun’, menerangkan bahwa orang yang mula-
mula mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang penduduk Iraq,
pada mulanya ia Nasrani kemudian masuk Islam dan kemudian menjadi
Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bad al-Juhani dan Gailan ad-Dimasyqi
mengambil paham Qadariyah.
 Pokok-pokok ajaran Qadariyah:
a) Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan semua
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik.
b) Manusia akan masuk surga atas kehendaknya sendiri dan masuk neraka
atas kehendaknya sendiri pula, bukan karena takdir Tuhan.
c) Tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan
manusia kepada perbuatan Tuhan.
d) Struktur iman dibangun atas dasar unsur esensial, yaitu: Ma’rifatullah
dan Iqrar.
e) Pelaku dosa besar tidak dipandang sebagai orang kafir. Hal ini
disebabkan oleh karena amal, bukan merupakan unsur esensial iman.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mu’in, M Taib TA. Prof. K.H. 1966. Ilmu Kalam . Jakarta: Widjaya
Zen, Ahmad Rifa’i. 2011. Ilmu Kalam. Depok: CV Arya Duta
Abbas, Sirodjudin. K.H. 2006. I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jamaah. Jakarta: CV
Pustaka Tarbiyah
Elmansyah. 2017. Kuliah Ilmu Kalam. Pontianak: IAIN Pontianak Press. Diakses
dari
https://books.google.co.id/books?id=9cFKDwAAQBAJ&pg=PA102&dq=ilmu+k
alam+qadariyah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj67rri7_DdAhXJPI8KHTYzBpgQ
6AEICTAA#v=onepage&q=ilmu%20kalam%20qadariyah&f=false . 18 Oktober
2018
Hamzah, Muchotob dkk. 2017. Pengantar Studi Aswaja An-Nadliyah. Yogykarta:
LkiS. Diakses dari
https://books.google.co.id/books?id=HgxgDwAAQBAJ&pg=PA29&dq=QADAR
IYAH&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjK2_HBy43eAhWHsI8KHbM6A7AQ6AE
IMzAB#v=onepage&q=QADARIYAH&f=false . 18 Oktober 2018

10

Anda mungkin juga menyukai