Anda di halaman 1dari 12

QADARIYAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu kalam

Dosen pengampu:

Mujiburrohman M.Hum

Disusun oleh :

Azzahra Tsamratul Lisya 21.01.01.0043

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAI NIDA EL ADABI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat membuat makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya .
Dalam makalah ini kami membahas mengenai “pemikiran kalam aliran qadariyah” . Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen mata kuliah ilmu kalam, dimana
dalam pembuatan makalah ini kami selaku pembuat makalah masih memiliki banyak
kekurangan, Baik dalam penulisan maupun kata-kata yang tidak sesuai.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebik baik.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadariyah…………………………………………………………….3
B. Kemunculan Qadariyah…………………………………………………………..3
C. Perkembangan Dan Tokoh Qadariyah……………………………………………5
D. Paham dan Argumen Qadariyah………………………………………………….7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………8

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...9

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang
dipahami pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu
aliran yang berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan
ulama-ulama kalam dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Ada ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada
pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah,
bukan kewenangan manusia . Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Qadariyah
dan Jabariyah serta aliran-aliran lainya.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain
manusia mempunyai qudrah (kekuatan untuk melaksanakan kehendak atau
perbuatannya). Dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada
qadar Tuhan.
Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan
dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan
kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki
pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata .
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian
pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma‟bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. Ibnu Nabatah
menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu‟ib. Sementara
W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham

1
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik
oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud Qadariyah?
2. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Qadariyah?
3. Bagaimana perkembangan dan siapa saja tokoh Qadariyah?
4. Bagaimana paham Qadariyah dan argumennya?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadariyah
Qadariyah (‫( قدرية‬adalah sebuah ideologi di dalam akidah Islam yang muncul pada
pertengahan abad pertama Hijriah di Basrah, Irak. Kelompok ini memiliki keyakinan
mengingkari takdir, yaitu bahwasanya perbuatan makhluk berada di luar kehendak Allah
dan juga bukan ciptaan Allah. Para hamba berkehendak bebas menentukan perbuatannya
sendiri dan makhluk sendirilah yang menciptakan amal dan perbuatannya sendiri tanpa
adanya andil dari Allah SWT.
Istilah “qadariyah”, dalam konteksnya dengan aliran Teologi Islam, merupakan
kata musytarak. Di satu sisi kata qadariyah merujuk kepada golongan yang meniadakan
qadar Tuhan dan menetapkannya untuk manusia, dan di sisi lain menunjuk kepada
golongan kebalikannya yang menetapkan qadar bagi Tuhan dan meniadakannya dari
manusia. Terhadap hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa sebutan qadariyah berasal
dari pengertian manusia itu memiliki qudrah atau kekuasaan untuk mewujudkan
kehendaknya, dan bukan dari pengertian manusia majbur atau terpaksa.
Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Qadariyah adalah sebuah
pemikiran atau aliran yang mengingkari takdir ALLAH mereka berkehendak bebas
menentukan perbuatannya sendiri, tanpa adanya campur tangan dari ALLAH.

B. Kemunculan Qadariyah
Faham Qadariyah muncul petama kali sebelum pertengahan abad ke-8 M, dan
yang membawanya ke lingkungan umat Islam adalah Ma‟bad al-Juhani dan Ghilan
Dimisyqi. Dijelaskan di dalam sebuah kitab berjudul Syarh al-Uyun, bahwa faham
Qadariyah ini semula berasal dari seorang Kristen, penduduk Irak bernama Abu Yunus
Sansaweh. Mula-mula ia masuk Islam, kemudian murtad dan kembali ke Agama Kristen.
Dari orang inilah Ma‟bad dan Ghilan mengambil faham ini.
Pandangan Qadariyah tersebut sama sekali tidak berimplikasikan pada penolakan
terhadap adanya campur tangan Tuhan terhadap perwujudan perbuatan manusia.
Qadariyah tetap mengakui bahwa pemilik hakiki qudrah dan iradah adalah Tuhan semata,

3
sehingga kalau Tuhan tidak menganugerahkannya, manusia mesti tidak bisa berbuat apa-
apa. Hanya saja kemudian Allah meminjam istilah Murtadla Muthahhari man-tafwidl-
kan (menyerahkan) qudrah dan iradah itu sepenuhnya kepada manusia, dan manusia
bebas mempergunakan untuk berbuat.
Apa pun tanpa campur tangan dari Tuhan. Ini berarti qudrah dan iradah dari
Tuhan itu, menurut Qadariyah, masih bersifat murni dan bebas nilai, dan manusia sendiri
yang diberi hak untuk mewarnai dengan nilai baik atau buruk. Itulah sebabnya Qadariyah
memandang manusia sebagai pelaku perbuatan dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam
pengertian lainnya. Konsekuensi dari pandangan di atas, karena Tuhan telah men-tafwidl-
kan qudrah dan daya berbuat itu kepada manusia, maka lepaslah hubungan manusia
dengan Tuhan dalam hal mewujudkan suatu perbuatan. Hubungan manusia dengan
Tuhannya hanya terjadi dalam hal pen-tafwidl-an qudrah dan iradah yang masih dalam
kondisi bebas nilai tersebut, dan setelah itu manusia sendiri yang mewujudkan
perbuatannya. Lebih jauh dikatakan, bahwa Tuhan menurut Qadariyah tidak mengetahui
perbuatan yang akan dilakukan oleh manusia. Dengan pandangan seperti itu Qadariyah
memberikan kebebasan yang besar kepada manusia dalam mewujudkan suatu perbuatan.
Manusia bebas menentukan pilihan dan perbuatannya. Implikasinya, jika manusia itu
baik, maka kebaikan itu berasal dari diri manusia sendiri, bukan dari pihak eksternal di
luar dirinya; dan begitu pula sebaliknya. Pandangan inilah yang kelak diambil alih oleh
kaum Mu‟tazilah, yan meski mengalami beberapa modifikasi tetapi esensinya tetap sama.
Karenanya tidak mengherankan jika aliran Mu‟tazilah sering juga disebut dengan nama
Qadariyah.
Qadariyah terletak pada pemberian rincian lebih detail dan argumen rasionalnya.
Misalnya, jika Qadariyah belum pernah melakukan pengklasifikasian perbuatan, maka
Mu‟tazilah telah membagi perbuatan menjadi dua macam, yaitu perbuatan yang timbul
dengan dirinya sendiri (refleks) dan perbuatan bebas (sengaja). Tentu perbuatan jenis
yang kedua inilah yang dimaksudkan sebagai perbuatan yang diciptakan atau dihasilkan
oleh manusia. Untuk menguatkan pandangannya, Qadariyah mengemukakan dalil-dalil
naql. Ayat-ayat al-Quran yang kelihatannya mendukung pendapat mereka.
Dengan demikian kemunculan Qadariyah memberikan kebebasan besar untuk
manusia berbuat sesuatu tanpa adanya bantuan tuhan.

4
C. Perkembangan Dan Tokoh Qadariyah
Paham Qadariyah ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi
sekitar tahun 70 H/ 689 M pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
(685-705M).
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan
politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila aliran Ajbariyah berpendapat
bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah
dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka aliran Qadariyah
mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka
Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang
berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan
memilih perbuatan yang baik maupun yang buruk. Jika Allah itu telah menentukan lebih
dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih
atau ikhtiar atas perbuatannya (kholiqul af'al). Manusia harus memiliki kebebasan
berkehendak. Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia
itu hanyalah bergantung pada qadar Allahh saja, selamat atau celakanya seseorang itu
telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat
tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang
menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.
Ajaran-ajaran paham Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga
khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma'bad al-
Juhni dan dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum bunuh di
Damaskus (80/690M). Setelah peristiwa ini, maka pengaruh paham Qadariyah semakin
surut. Akan tetapi dengan munculnya paham Mu'tazilah, sebetulnya dapat diartikan
sebagai penjelmaan kembali dari paham-paham Qadariyah. Sebab antara keduanya,
terdapat persamaan demikian filsafatnya, yang selanjutnya disebut sebagai kaum
Qadariyah Mu'tazilah.
Ma'bad al-Juhni adalah seorang tabi'i yang baik, pernah belajar kepada Washil bin
Atho', pendiri Mu'tazilah. Kemudian ia melibatkan diri dalam lapangan politik dan

5
memihak kepada Abdurrahman ibn al-Asy'ash, gubernur Sijistan dalam menentang
kekuasaan Bani Umayyah. Dia dihukum mati oleh Al-Hajaj, Guberbur Basrah, karena
ajaran-ajaranya pada tahun 80
Sesudah Ma'bad meninggal, paham Qadariyah terus disebarkan oleh Gailan ad
Damasqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada
Kalifah Usman bin Affan. Ketika penyebaran dilakukan di Dammaskus, ia segera
mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Tapi sesudah khalifah ini wafat,
Ghailan kembali melanjutkan penyebaran paham Qadariyah ini, sehingga ia ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati oleh Hisyam ibn Abdul Malik (720-743 M). Sebelum
dieksekusi, terlebih dahulu diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza'i yang
dihadiri oleh Hisyam sendiri .
Sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia
yang baik itu berasal Allah, sedangkan perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri
yang menciptakannya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah.
Para penganut ajaran Qadariyah dikatakan Majusi, karena mereka mengatakan
adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Hal ini sama
persis dengan ajaran agama Majusi atau Zaroaster yang mengatakan adanya dewa terang,
kebaikan dan siang, disebut Ahura Mazda dan dewa keburukan, gelap dan malam,
disebut Ahriman atau Angra Manyu.
Ada pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran-
ajaran Qadariyah itu bukan Ma'bad al-Juhni melainkan ada seorang penduduk Irak, yang
mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen
lagi. Dari orang inilah, Ma'bad al-Juhni dan Gailan ad-Damasqi mengambil
pemikirannya.
Mereka sulit diketahui aliran-aliran. Karena mereka dalam segi tertentu
mempunyai kesamaan ajaran dengan ajaran Mu'tazilah dan dalam segi yang lain
mempunyai kesamaan dengan ajaran Murji'ah, sehingga disebut Murji'atul Qadariyah.
Bid'ahnya Qadariyah terdiri dari dua perkara besar yaitu :
1. Pengingkaran terhadap ilmu Allah yang telah mendahului suatu kejadian
2. Pernyataan bahwa hamba sendiri yang mempunyai kuasa penuh untuk mewujudkan
penuh untuk mewujudkan perbuatannya

6
Dua perkara ini sudah punah sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ibnu Hajar dan
Al-Qurthubi. Tetapi Qadariyah sekarang hanya menetapkan ilmu Allah terhadap
perbuatan hamba sebelum terjadi, hanya saja mereka berbeda dengan ulama salaf dalam
hal perbuatan hamba terjadi atas kehendak sendiri tanpa ada campur tangan dari Allah.
Kesesatan firqah ini lebih ringan daripada yang pertama.

Oleh karena itu, ulama salaf mengkafirkan Qadariyah yang mengingkari ilmu Allah
saja.Meskipun Qadariyah sudah punah tapi pemikirannya tumbuh subur dikalangan
Mu'tazilah, sehingga Mu'tazilah bisa disebut ahli waris paham Qadariyah.

Dengan berkembangnya aliran Qadariyah manusia semakin berfikir harus semakin


bebas berkehendak.

D. PAHAM DAN ARGUMEN QADARIYAH


Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah masalah perbuatan
manusia (af'al ai-'ibad). Dalam kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi'ah) dan
daya (istitha'ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan
kehendak. Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya
sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh qadha dan qadhar Tuhan Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah
yang kemudian melahirkan paham Qadarīyah dan paham Jabarīyah. Lahirnya paham
Qadarīyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan
pemeluk agama Masehi, “Teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan
kebebasan manusia
Bertanggung jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Menurut Jabarīyah,
segala yang dialami manusia, baik masa lalu maupun masa depan, baik musibah atau
keberuntungan, telah ditentukan oleh Allah swt., Manusia bagaikan air yang mengalir ke
berbagai arah, tanpa kehendak dan tanpa pilihan. Hanya Allah swt., yang berkehendak
dan menentukan nasib manusia serta kelangsungan hidupnya di dunia. Semua yang
terjadi dijagat raya ini semata-mata qhada dan qadar Allah, bukan kehendak mahluk.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai agama rahmatan lil ‟alamin dan agama yang menjunjung tinggi adanya
toleransi dalam beragama, Islam sendiri mempunyai problematika internal yang membuat
Islam itu sendiri pecah menjadi banyak kelompok atau aliran. Pada dasarnya aliran-aliran
teologi dalam Islam muncul sejak zaman khalifah Ar-Rasyidin Utsman Ibnu „Affan yang
menerapkan sistem nepotisme pada pemerintahannya.
Qadariyah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang muncul pada zaman
dinasti Umayyah. Qadariyah secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu qodaro yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Sedangkan secara istilah Qadariyah adalah aliran yang
melakukan pengingkaran terhadap dalil „aql dan naql (Qur‟an dan Hadis) serta
menekankan kebebasan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Pendiri aliran
ini adalah Ma‟had al-jauhany. Ia adalah seorang alim Al-Qur‟an dan Hadis tetapi
kemudian ia menjadi sesat dan mengeluarkan pendapat-pendapat salah dan batal.
Adapun pokok pikiran aliran Qadariyah diantaranya :
1. Mengingkari takdir Allah SWT.
2. Berlebihan dalam menetapkan kemampuan manusia dan menganggap mereka bebas
berkehendak.
3. Menganggap Al-Qur‟an adalah makhluk (qadim).
4. Mengungkapkan surga dan neraka akan musnah (fana‟).

8
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986.


Jakarta:
UI-Press, Cet ke-5.
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia.
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari Mabahits fi
Ulum al Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa
Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta, hal. 43
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. 2008.
Banjarmasin: Antasari Press, hal. 68.
Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah, hal. 255
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 70.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, 1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 74
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 34.
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub

Anda mungkin juga menyukai