Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.1

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.2

B. SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi
yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan
Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.3

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama

1
Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68
2
Hadariansyah, loc.cit.,
3
Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71

1
Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan
dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M 4

Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan
pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani dan
Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).
Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham
ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah
belajar kepada Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur
Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang tabi’in yang
baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asy’as, gubernur
Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj,
Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.

Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang


yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati karena
faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi
mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka
dalam tingkah lakunya.

Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut
nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga

4
Rosihan Anwar, loc. cit
2
merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah yaitu Abi
Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan


dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadaiyah, manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian
nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar
Tuhan.

Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act. Mereka,
kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-Qur’an dan Hadits)
untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau perbuatan manusia
sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan
disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah
Ta’ala.

Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum
Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat
Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya : “Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman dan barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi :
29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada
orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan
Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik
Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat
tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan
lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran
Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.5

5
Yusran Asmuni, op.cit., h. 74

3
C. CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH

Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.


1.      Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka perbuatan dan
nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya sendiri, tanpa ada campur
tangan Allah SWT.
2.      Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi
iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
3.      Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan amal-amal
kebajikan

D. AJARAN-AJARAN QADARIYAH

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.6

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat
dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.7

6
Harun Nasution, op.cit., h. 31
7
Rosihan Anwar, op.cit., h. 73

4
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib
yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum
yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan .kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan
mendukung paham itu
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar),
kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-
sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11).8

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

8
Abdul Rozak Ilmu Kalam, hal 64

5
1.      Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.

2.      Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas
berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak
mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.

3.      Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada
makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka
menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.

4.      Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.

5.      Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.

6.      Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).

7.      Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli
syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.

E. KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH

Iman kepada taqdir  merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap
muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan
tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk  Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar
termasuk mendapatkan petunjuk.

6
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah
menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya."
[Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]‘Alqamah rahimahullahu berkata
tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu
berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.”  ( Zaadul Masiir
VIII/283, Ibnul Jauzi)
Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk
berada dalam kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak
memiliki suatu kekuasaan pun, termasuk  terhadap dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik
kemanfaatan maupun kemudharatan. Karena itu kita harus yakin bahwa segala urusan itu  berada
di tangan Allah. Karena Dialah yang memberi kepada siapa yang dikehendaki  dan mencegah
dari siapa yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya
oleh Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya
pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2,
Imam Nawawi)  Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.

Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan


bahwa keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang dicintai
Rasulullah ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada hakekatnya berasal dari
Allah SWT.

Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya
manusia hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya
ada di tangan Allah SWT.  Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.

F. BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH

7
Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada
sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk.
Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya.
Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan
Allah. Kalau ada seseorang tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan
taqdir Allah.
Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam.
Kelompok yang berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang  muncul  pada akhir masa
sahabat. Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus al-
Ashwa yang mengingkari terhadap penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga
berpendapat bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof
Yunani .  Menurut kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk
kemaslahatan manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan
berbuat begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan
menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya.  Intinya, menurut kaum
Qadariyyah,  Allah hanya membuat yang baik dan  tidak yang buruk. Mereka berpendapat bahwa
Allah tidak menciptakan kecuali yang baik, karena Allah berkewajiban memelihara kepentingan
hamba-Nya.
Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di
jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan karena
yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku
aniaya. Karena tidak ada milik atau hak orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai
paham Qadariyyah ini Rasulullah bersabda,
ُ ‫وس َه ِذ ِه األُ َّم ِة إِنْ َم ِر‬
ْ َ‫ضوا فَالَ تَ ُعودُو ُه ْم َوإِنْ َماتُوا فَالَ ت‬
‫ش َهدُو ُه ْم‬ ُ ‫ا ْلقَ َد ِريَّةُ َم ُج‬

"Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika
mereka mati jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha.  disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan

"Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"

8
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena
taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari
dua macam yaitu baik dan buruk.

Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-
Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang
kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus
dihukum mati".

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok


Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati
terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci,
tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang
hamba memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan
keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti
kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.

G. SEJARAH SINGKAT PERPECAHAN DALAM ISLAM


Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karna
aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh bid’ah
yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
1.      Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang Yahudi yang
mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-konconya. Ide kotornya pertama
kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
2.      Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan pemikiran bid'ah
seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia
mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses.
Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat
penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih
hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.
3.      Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar
masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari
sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja [2] Para salaf pun menentang pemikirannya itu.

9
Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau
menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin
Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri
yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid'ah. Sekalipun
hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid'ahnya.
Ghailan ini akhirnya dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun
105H.
4.  Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia mengembangkan
pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah [3]
dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum
muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk
segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-
Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum
muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya
demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah
terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat 'Idul Adha :
"Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku
akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa
berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
5.   Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak
kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan kesesatan generasi
pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta
kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak
mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil
(penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah [4], bid'ah Kalam [5],
tidak meyakini Allah bersemayam di atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang maha tinggi) bagi
Allah, menolak ru'yah
[6]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H

10
6.   Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid. Mereka
berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.

Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani menyatakan terang-
terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah ini terpecah belah menjadi beberapa
golongan. Lalu muncullah kaum Musyabbihah
7.  dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam bin Al-Hakam,
Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak dasar ajaran Musyabbihah dan
pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut ajaran Syi'ah.
8.   Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah, Al-Asy'ariyah dan
Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-ahli filsafat. dengan demikian, pintu
perpecahan terbuka luas bagi setiap orang sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga
tertancaplah dasar-dasar perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.

Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum muslimin. Bahkan terus
bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan penyimpangan-penyimpangan baru di samping
perpecahan yang sudah ada, sejalan dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan
bid'ah kesesatan.

Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna dan sudah
menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau karena pura-pura tidak tahu!
Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat yang besar dan berbahaya di masa lalu masih
tetap ada sampai sekarang di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin
berbahaya dan semakin menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta golongan
Syi'ah lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan Ahli
Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani menampakkan taring,
mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji dari pada sebelumnya. Karena pada hari
ini mereka mengklaim ajaran mereka sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan pemikiran. Disamping
minimnya pemaham kaum muslimin tentang agama mereka dan kejahilan mereka tentang aqidah
yang benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.

11
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bagi aliran Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan
dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Qodariyah
tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Penganut Aliran Qodariyah)
mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud
untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan
berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
2. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
3. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
4. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
5. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-
Izzah, 2002)
6. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI-Press, 1986), cet ke-5

13

Anda mungkin juga menyukai