Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah Islam telah banyak dijelaskan tentang beberapa aliran atau

sekte yang perhubungan dengan persoalan teologi (paham-paham

keagamaan).Aliran yang dimaksud meliputi golongan Syi’ah, Khawarij,

Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, al-Azariqah dan golongan-golongan

lain yang masing-masing memiliki visioner atau pandangan yang berbeda

mengenai berbagai persoalan yang salah satunya yaitu terkait masalah teologi.

Persoalan teologi yang diperdebatkan oleh mereka dapat menyangkut

masalah sifat dan keesaan Allah, masalah qada dan qadar dan keadilan Allah,

masalah janji (al-wa’du) dan ancaman (wa’id) dan Asma Allah, masalah wahyu,

akal dan masalah kenabian serta persoalan lainnya yang dianggap perlu

diperdebatkan. Masalah-masalah tersebut diperdebatkan dengan pandangan yang

berbedaatau adakalanya terdapat persamaan persepsi antara masing-masing

golongan.Namun pendapat yang dikemukakan sama-sama memiliki dasar yang

kuat baik dari perspektif dalil (naqli) maupun akal (aqli).

Adapun tentang banyaknya sekte yang berkembang dalam sejarah

kehidupan manusia tidak dapat ditentukan secara pasti, karena masing-masing

penulis buku atau literatur mempunyai pandangan yang berbeda. Adakalanya

memahami suatu aliran tertentu disebut sebagai sekte, dan ada kalanya juga

memandang lain bahwa aliran tersebut bukan merupakan sekte, hal ini tergantung

pada perspektif mereka masing-masing.

1
Proses timbulnya beberapa aliran sebenarnya tidak terlepas dari persoalan

politik pasca wafatnya Rasulullah saw., bahkan dapat dinyatakan pula bahwa

pemicunya adalah persoalan khalifah yang akan menggantikan Rasul. Pada

awalnya terjadi perdebatan antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar, namun hal

inidapat diselesaikan dengan baik. Akan tetapi setelah itu muncul lagi gejala

perpecahan antara Ali bin Abi Talib dengan Utsman bin Affan. Selanjutnya yang

menjadi titik klimaks konflik yaitu terbunuhnya Uthman bin Affan pada saat

menjabat sebagai khalifah ketiga. Peristiwa inilah yang menyebabkan

berkembangnya sekte-sekte dalam teologi yang dalam istilah sering disebut

dengan Madzhab dalam Ilmu Kalam. Pada tulisan ini tidak akan membahas secara

konprehensif tentang penyebab munculnya berbagai sekte atau macam-macam

sekte, namun secara spesifik akan membahas masalah golongan Qadariyah.

Berikut akan dibahas tentang tokoh-tokohnya, pandangannya terhadap persoalan

teologi, macam-macamnya serta perkembangannya dalam sejarah pemikiran ilmu

kalam. Karena golongan tersebut sangat sering diperbincangkan dalam dikalangan

umat muslim, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengadopsi pemikiran dan

pendapat-pendapatnya untuk dijadikan pedoman dalam melakukan amalan-

amalan keagamaan.

2
B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian paham qadariyah ?

2. Bagaimana sejarah muncul paham qadariyah dan ruang lingkupnya?

3. Ajaran ajaran apa saja dalam paham qadariyah ?

4. Bagimana pendidikan islam memandang aliran qadariyah ?

5. Bagimana implikasi paham qadariyah pada masa kini ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari paham qadariyah

2. Untuk mengetahui sejarah muncul paham qadariyah dan ruang

lingkupnya

3. Untuk mengetahui ajaran ajaran paham qadariyah

4. Untuk mengetahui pendidikan islam memandang paham qadariyah

5. Untuk mengetahui implikasi paham qadariyah pada masa kini

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PAHAM QADARIYAH

Qadariyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan

kemampuan dan memiliki kekuatan, sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam.

Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu aliran yang memberikan

penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan

perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang

mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan

berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada

Tuhan.1

Adapun menurut pengertian terminologi Qodariyah adalah suatu aliran yang

mempercayai bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.

Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala

perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak

sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan nama suatu

aliran yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia

dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum

qodariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qodrat atau

kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan berarti manusia

terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar dipergunakan untuk menamakan

1 Eri Susanti “ Aliran Aliran dalam Pemikiran Islam “ Jurnal Ad- Dirasah, vol 01, No 01: FUAD IAIN
Pontianak. 2018 hal 33. Di akses 26 november 2020

4
orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan dan keburukan pada

hakekatnya kepada Allah.

Dalam konsep teologi Dilihat dari segi bahasa qadar berarti ketetapan,

hukum ketentuan, ukuran dan kekuatan. Dalam pengertian lain adalah

ketergantungan perbuatan hamba pada kekuatannya sendiri. Manusia mempunyai

kekuatan dan kebebasan mutlak untuk menentukan dan melakukan perbuatannya

atas kehendak dan pilihan sendiri. Dalam paham ini, perbuatan manusia

merupakan ciptaan dan pilihan manusia sendri, bukan ciptaan atau plihan Tuhan.

Hal ini didasarkan aats kemempuan manusia membedakan antara orang yang

berbuat baik dan berbuat buruk 2

B. SEJARAH PAHAM QADARIYAH DAN RUANG LINGKUPNYA

Bilamana mengkaji dan menganalisis persoalan konstelasi politik pada masa

khalifah, spesifik pada masa pemerintahan Utsman bin Affan yang merupakan

puncak terjadinya konflik antar-umat Islam dalam memperebutkan kursi

kekuasaan baik di tingkat khalifah maupun dibawahnya (gubernur), menyusul

dengan terbunuhnya Khalifah Utsman, maka menimbulkan asumsi bahwa

mungkin hal tersebut yang menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Qadariyah. Hal

ini ditengarai sebagian umat Islam telah berani membuat analisis tentang

pembunuhan Utsman tersebut, apakah si pembunuhnya berdosa atau tidak.Dan

yang menggerakkan tangan si pembunuh itu apakah manusia sendiri atau dari

Tuhan.

2 Baso Hasyim “Aplikasi pemikiran Jabriyah dan Qadariyah dalam masyarakat Islam Masa Kini”. Jurnal Al
asas, Vol II, No 01: April 2019 hal 63. Di akses 26 november 2020

5
Paham Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Tokoh utama paham

Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan alDimashqi. Ma’bad pernah

berguru pada Hasan al-Basri bersama Wasil ibn Ata, jadi beliau termasuk tabi’in

atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di

Damaskus.Ghailan seorang yang ahli dalam berpidato sehinggah banyak orang

yang tertarik dengannya. Kedua tokoh ini yang menyebarkan paham-paham

Qadariyah. 3

Kedua tokoh tersebut mati dibunuh, Ghailan dibunuh pada masa Hisham Ibn

Abdul Malik (724-743 M), dibunuh dengan diberikan hukuman mati oleh Hisyam

yang sebelumnya diadakan perdebatan antara Ghailan dan alAwzai. Ma’bad

dibunuh karena dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan Abd al-

Rahman al As’at, Gubernur Sajistan dalam menentang kekuasaan bani Ummayah.

Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ibn Yusuf alThaqafi (orang suruhan

Khalifah Abd alMalik Ibn Marwan), Ma’bad mati terbunuh tahun 80 H.

Kedua tokoh paham Qadariyah yaitu: Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan al-

Dimashqi yang menyebarkan paham-paham Qadariyah kepada umat Islam pada

masa itu, sehingga mengalami perkembangan ke berbagai daerah terutama Iraq

dan Iran. Ma’bad al juhaini menyebarkan pahamnya di Iraq dalam waktu yang

relatif singkat tetapi dengan hasil yang sangat gemilang.Banyak orang yang

tertarik dan menganut pahamnya.

3 Suhaimi. “ Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman:Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah yang bersandar
dibalik Legitemasi AlQu’an”. Jurnal El-furqania Vol 04, No 2: 109-110. Universitas Madura Pamekasan.
Agustus 2018 hal 110. Di akses 26 november 2020

6
Ghailan al-Dimashqi melanjutkan penyebaran paham Qadariyah di Sham

tepatnya di daerah Damashkus, sehingga mengalami perkembangan yang cukup

pesat.Namun sebelumnya masih mendapat tantangan dari Khalifah Umar Ibn Abd

al-‘Azis. Banyak sekali pengikut dari paham ini sampai kedua tokoh tersebut

wafat yang kemudian digantikan oleh para pengikut-pengikutnya.

Dalam perkembangannya penganut paham Qadariyah adalah

Mu’tazilah.Paham Mu’tazilah inilah yang menjadi penyambung ajaran Qadariyah,

karena dilihat dari perkembangan pemikirannya mengalami kesamaan dari

keduanya, walaupun terdapat sudut pandang yang membedakan secara spesifik.

Istilah Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk

pada qadar atau kadar Tuhan. Dalam bahasa Inggrisnya paham ini dikenal dengan

nama free will dan free act. Secara bahasa berasal dari Qadar yang artinya kuasa

atau berkuasa. Maksudnya manusia mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan

menentukan berbuatannya sendiri. Qadariyah adalah orang-orang yang meyakini

bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri, baik perbuatan terpuji

maupun berbuatan buruk, dan tidak ada intervensi Allah. Dengan kata lain bahwa

paham Qadariyah tidak mempercayai adanya takdir (ketentuan) Allah yang telah

ditetapkan pada zaman azali, karena seluruh perbuatan, tingkah laku baik atau

buruk secara totalitas dinisbatkan pada manusia itu sendiri. Senada juga dengan

statemen yang dilontarkan oleh Ibnu Hajar sebagaimana yang dinukil oleh Abu

Lubabah Husein dalam Hadis al-Sari bahwa kaum Qadariyah adalah orang yang

berkeyakinan bahwa perbuatan jelek seorang hamba adalah dirinya sendiri. 4

4 Suhaimi. “ Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman:Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah yang


bersandar dibalik Legitemasi AlQu’an”. Jurnal El-furqania Vol 04, No 2: 109-110. Universitas
Madura Pamekasan. Agustus 2018 hal 111. Di akses 26 november 2020

7
Penganut Qadariyah menganut paham kebebasan berkehendak dengan

meniadakan kekuasaan Tuhan baik dalam perbuatan moral manusia, keadilan

maupun dalam menanggapi pemaafan terhadap pelaku dosa.Jadi paham Qadariyah

menolak penisbatan kepada Tuhan terlepas apakah yang berhubungan dengan

dasar hukum dan perbuatan.

Orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat tentang takdir dalam dunia

Islam adalah seorang Nasrani dari Iraq yang masuk Islam, namun kemudian

kembali pada agamanya semula.Ia bernama Abu Yunus Sansawaih. Pendapatnya

membuat Ma’bad al-Juhani terinspirasi untuk kemudian mengikuti pendapat-

pendapatnya. Selanjutkan diteruskan oleh Ghulaim al-Damashqi, sehingga dalam

sejarah ketiga orang tersebut dinyatakan sebagai tiga serangkai yang menjadi

pioner berkembangnya paham Qadariyah.

Menurut paham Qadariyah bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan

atas kehendak sendiri.Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala

perbuatannya atas kehendaknya sendiri baik itu perbuatan baik maupun berupa

perbuatan jahat.Karena itu manusia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan

yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang

dilakukannya.Pahala atas kebaikan yang dilakukan tersebut berupa surga dan

hukuman atau balasan atas pelaku kejahatan adalah neraka.Hal ini merupakan

manifestasi dari pilihan manusia itu sendiri tidak ada hubungannya dengan takdir

Allah Swt.

Paham takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang

diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, dan segala sesuatu

8
yang terjadi merupakan wujud dari hukum alam yang lumrah disebut dengan

Sunnatullah. Pandangan Qadariyah tentunya sangat berlawanan dengan

pandangan bangsa Arab saat itu bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia

sebelumnya telah tercatat dalam ketentuan Allah.

Perbedaan yang muncul diakibatkan bangsa Arab dulu hidup dengan

tergantung pada kedaan alam, berpasrah pada keadaan yang walaupun penuh

dengan padang pasir, tetapi mereka menerima dengan apa adanya (fatalistik)

dalam hal ini sudah terdapat pengaruh Jabariyah oleh karenanya bangsa Arab

sangat menentang terhadap paham Qadariyah, karena dianggap menentang

terhadap ajaran Islam. Hal ini dapat lihat dengan munculnya hadis mengenai

Qadariyah yang menyatakan bahwa kaum Qadariyah merupakan Majuzinya umat

Islam, dengan kata lain merupakan paham sesat. Dengan perbedaan pandangan

inilah yang kemudian dalam perkembangannya muncul golongan Jabariyah,

sebagai tandingan untuk mementahkan paham Qadariyah. Aliran Qadariyah

berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan

manusia kepada perbuatan Tuhan. Pendapat ini diperkuat dengan dalil-dalil Shar’i

yang terdapat dalam alQur’an yang selama ini dijadikan pijakan secara legal

formal oleh aliran Qadariyah, yaitu dalam surat al-Kahfiayat 29 yang berbunyi:

‫ق ِمن َّربِّ ُكمۡ ۖ فَ َمن شَٓا َء فَ ۡليُ ۡؤ ِمن َو َمن شَٓا َء فَ ۡليَ ۡكفُ ۡر‬
ُّ ‫َوقُ ِل ۡٱل َح‬

Terjemahannya

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang

ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah

."ia kafir

9
:Dalam surat al-Ra’ad ayat 11 juga disebutkan yaitu

ۗ ۡ‫س ِهم‬
ِ ُ‫إِنَّ ٱهَّلل َ اَل يُ َغيِّ ُر َما بِقَ ۡو ٍم َحتَّ ٰى يُ َغيِّ ُرو ْا َما بِأَنف‬
Terjemahannya:

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Selanjutnya dalil naqli dalam surat al-Nisa ayat 111

‫َو َمن يَ ۡك ِس ۡب إِ ۡث ٗما فَإِنَّ َما يَ ۡك ِسبُهۥُ َعلَ ٰى نَ ۡف ِس ِه‬


Terjemahannya:

Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya

untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.

Beberapa ayat al-Qur’an yang telah dipaparkan di atas secara tekstual

mengandung pengertian bahwa manusia mempunyai daya dan kekuatan yang

dominan, artinya memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak. Namun kebebasan

tersebut akan memunculkan konsekuensi logis sebagai akibat dari tindakan yang

telah dipilih atau dilakukan sendiri. Jika manusia memilih perbuatan yang baik

maka konsekuensinya akan mendapatkan kebaikan, sebaliknya bilamana manusia

memilih jalan keburukan maka nantinya akan memperoleh keburukan pula. Inilah

inti ajaran dari golongan Qadariyah. Berkaitan dengan hal di atas menurut aliran

Qadariyah Allah membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat;

suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan

10
ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Sehingga dengan demikian manusia memperoleh balasan dari apa yang telah

diperbuat.

Paham Qadariyah menempatkan porsi rasio di atas ketentuan takdir Allah,

sehingga segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia adalah sesuai dengan

kehendak manusia itu sendiri, maka akibatnya akan kembali pada manusia yang

melakukan perbuatan tersebut sebagai konsekuensinya. Tidak hanya itu, aliran

Qadariyah juga melegitimasi pemikirannya pada teks Al Qur’an sebagai landasan

legal formal untuk memperkuat pendapatpendapatnya, sebagaimana yang telah

disebutkan di atas. Dapat dinyatakan bahwa golongan Qadariyah tidak hanya

sekadar memperioritaskan akal akan tetapi juga menempatkan wahyu sebagai

legitimasi. Oleh karena itu apapun pemikiran yang dihembuskan oleh aliran

Qadariyah tidak bisa dipersalahkan secara serta merta, karena argumentasi yang

diberikan sungguh berlandaskan pada wahyu ilahi, terlepas dari pendapatnya yang

sepihak.

Paham Qadariyah disebut paham indeterminisme sebagai lawan

determinisme (Jabariyah). Paham indeterminisme memiliki beberapa argumen

yang membuktikan kebebasan kehendak manusia dalam berbuat, antara lain:

1. Kehendak merupakan salah satu bentuk keinginan. Sebagai umumnya,

keinginan, kehendak itu mempunyai tujuan tertentu dan karena itu menghendaki

terjadinya tindakan untuk mencapainya.

11
2. Keinginan merupakan suatu tindak lanjut dari pengetahuan, dengan demikian

kehendak itu disebut juga keinginan rasional. Hal ini menentukan adanya

hubungan konsekuensi antara kehendak dengan pengetahuan sebelumnya.

3. Oleh karena kehendak itu bersifat rasional maka biasanya selalu mengarah

kepada nilai kebaikan umum termasuk keinginan yang bersifat parsial. Akibatnya,

seseorang tidak pernah menghendaki sesuatu kecuali jika mengandung nilai baik

menurut pandangan orang tersebut.

4. Tidak ada hubungan kemestian antara tujuan umum (dalam perbuatanTuhan)

dan tujuan parsial (dalam perbuatan manusia), sebaliknya manusia yakin bahwa

terdapat ruang perbedaan antara kebaikan transenden dan kebaikan terestial (alam)

kebaikan terestial dapat saja bersifat bebas sebagai anugerah dari Yang Maha

Baik.

5. Ketika kehendak itu mengarah kepada suatu objek, dasar ketergantungannya

adalah dirinya sendiri. Dengan demikian, ruang lingkup kosmologi tentang objek

yang bergerak dan diam, wujud pasif dan aktif adalah mencakup pengertian

tentang pengaruh yang sangat menentukan dari kekuatan manusia terhadap

perbuatannya sendiri.5

Jadi perbuatan manusia menurut paham Qadariyah adalah manusia

mempunyai kebebasan untuk memilih, dalam hal memilih perbuatan yang baik

dan buruk, sebab Allah telah menciptakan keduanya. Jika manusia berbuat baik

maka ia akan mendapatkan pahala karena telah mempergunakan kodrat yang

diberikan oleh Allah dengan sebaik-baiknya dan sebaliknya.

5 M Yunus Samad “ Pendidikan Islam dalam perspektif Aliran Kalam” Jurnal Lentera Pendidikan Vol 16,
No 01: 73-82. STAI DDI Pinrang. 2013 HAL 76. Di akses 26 november 2020

12
Adapun ciri-ciri corak pemikiran paham Qadariyah adalah:

1. Kedudukan akal lebih tinggi.

2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.

3. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas.

4. Kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Alquran dan

hadist

5. Mengambil metaforis dari wahyu

6. Dinamika dalam sikap dan berpikir.

Qadariyah sangat menghargai akal dengan memberi porsi sangat besar

dalam berpikir sehingga manusia diberi kebebasan dalam berkeinginan dan

berbuat. Kebebasan berpikir sangat dijunjung tinggi, tetapi tetap berdasar pada

Alquran dan Sunnah Rasulullah saw.

C. AJARAN AJARAN PAHAM QADARIYAH

Aliran Qadariyah ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak

dalam perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan baik dan buruk,

iman, kufur, dan taat atau maksiat. Mereka juga berpendapat kebaikan atau

perbuatan yang baik datang dari Allah, sedangkan perbuatan jahat datang dari

manusia itu sendiri.

Pendapat Ghaylan yang berkenaan dengan iman tidak jauh berbeda dengan

aliran Murji’ah, yang menyatakan iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa

berkurang. Oleh karena itu, manusia sebaiknya tidak boleh mengaku paling utama

dalam beriman. Dalam masalah sifat Allah sama dengan aliran Mu’tazilah yang

menafikan sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qadrah dan lain-lain. Ia berpendapat

13
sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah Alquran, aliran ini berpendapat

bahwa Alquran itu makhluq, maka tidak bersifat qadim. Sementara itu dalam

masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang berhak menjadi pemimpin

selama berpegang pada Alquran dan Sunnah serta mendapat dukungan umat.[3]

Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298,

pokok-pokok ajaran Qadariyah itu adalah:

a. Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasik

dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul

sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Utsman, perang unta antara Khalifah Ali

dan Siti ‘Aisyah janda Nabi saw. dan perang Shiffa antara Khalifah Ali dan

Mu’wiyah yang menyebabkan banyak orang bertanya : Siapa yang benar dan

siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka bertanya apakah

yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa peperangan itu

menjadi kafir atau masih tetap mukmin ?

Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij dijawab bahwa orang yang melakukan

dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang

yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin. Sedangkan Washil bin ‘Atha,

seorang tokoh Qadariyah menyatakan bahwa yang melakukan dosa besar itu fasik

dan kedudukannya antara kafir dan mukmin, tapi kata ‘Atha, orang yang

melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.

b. Allah swt tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia

sendirilah kata mereka yang menciptakan segala amal perbuatannya dan karena

itulah manusia akan menerima balasan baik (surga) atas segala amalnya yang

14
baik, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala amal perbuatannya

yang salah dan dosa. Karena itu pula Allah swt berhak disebut adil.

Boleh jadi pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin

Shafwan yang ekstrim yang menyatakan sebaliknya yaitu bahwa tidak ada

bedanya dengan batu yang menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut

keterangan Washil bin ‘Atha telah mengutus beberapa anak muridnya datang ke

Khurusan untuk bertukar pikiran atu berdebat dengan Jaham bin Shafwan.

c.      Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti

bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat,

mendengar dan melihat yang bukan dengan zat-Nya sendiri. Menurut mereka

Allah swt itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar dan melihat dengan zat-

Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah atas zat Allah. Pendapat yang

mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang qadim itu, menurut Qadariyah

sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu

dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin sekali

yang menyebabkan mereka berpendapat demikian itu adalah karena pada zaman

mereka banyak orang yang menganggap bahwa zat Allah swt itu jasmani dan

tidak memiliki sifat-sifat yang sama dengan sifat-siafat makhluk, antara lain ialah

Mutazil bin Sulaiaman yang hidup sezaman dengan tokoh Qadariyah.

d.   Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui

mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun Allah tidak menurunkan

agama. Sebab, katanya segala sesuatu memiliki sifat yang menyebabkannya baik

atau buruk. Misalnya, benar itu memiliki sifat-sifat sendiri yang menyebabkannya

15
baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki sifat sendiri yang

menyebabkannya buruk. Oleh karena itulah maka semua orang yang berakal

sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin dan

menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap

perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima dan

memberikan makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan

bantuan, walaupun hal itu semua tidak diajarkan oleh agama. Bahkan orang yang

mulhid (tidak berTuhan) pun begitu anggapannya. Agama tidak menyebabkan

sesuatu menjadi buruk karena larangannya. Agama pun tidak bisa membuat

sesuatu menjadi terbalik, seperti yang baik menjadi buruk karena dilarangnya atau

yang buruk menjadi baik karena diperintahnya. Bahkan perintah atau larangan

agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu. Artinya, kalau sesuatu itu

buruk tentu agama melarangnya, dan kalau sesuatu itu baik tentu saja agama akan

memerintahkannya. Aliran Qadariyah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar

luas di seluruh Irak atas prakasa Washli bin ‘Atha dan ‘Amr bin Ubaid pada tahun

105 H atau tahun 723 M.

D. PEDIDIKAN ISLAM MEMANDANG PAHAM QADARIYAH

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Qadariyah adalah paham yang lebih

condong kepada penggunaan akal pikiran yang sangat dominan, sehingga

menganggap bahwa perbuatan yang dihasilkan manusia itu atas dasar

kehendaknya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sejalan dengan hal

tersebut mengenai pendidikan Islam, seorang tokoh filosof muslim bernama Ibnu

Sina mengatakan bahwa seorang anak telah mempunyai kemampuan- kemampuan

16
alamiah, akan tetapi mengandalkan kemampuan tersebut tidak cukup untuk

mendidik seseorang, harus ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya. Ini

berarti bahwa manusia diberikan kebebasan dengan menggunakan akal pikirannya

dalam menentukan jalan hidupnya. Jadi, paham Qadariyah memberikan peran

yang sangat besar kepada manusia dalam memilih, berpikir, menentukan atau

memutuskan perbuatannnya. Kebebasan yang dimaksud bukan berarti kebebasan

tak terbatas, melainkan kebebasan dalam

determinisme. Di sinilah peran pendidikan Islam dalam mengajarkan berbagai hal

agama menjadi suatu kebiasaan yang tentunya dalam hal ini faktor lingkungan

sosial dapat memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia

dalam memilih atau memperbuat sesuatu.

Faktor lingkungan pendidikan Islam berfungsi menunjang terjadinya

kegiatan proses pembelajaran secara aman, tertib, dan berkelanjutan. Salah satu

lingkunganyang berperan adalah lingkungan masyarakat. Manusia adalah

makhluk yang diciptakan Allah swt. yang keberadaan hidupnya tidak dapat

menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat untuk meningkatkan kualitas

hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari lingkungan masyarakatnya

tidak hanya yang menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual,

termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan

manusia membutuhkan adanya lingkungan sosial masyarakat.6 Masyarakat yang

dimaksud adalah masyarakat yang terbuka dan dapat menerima yang baik dari

6 M Yunus Samad “ Pendidikan Islam dalam perspektif Aliran Kalam” Jurnal Lentera Pendidikan Vol 16,
No 01: 73-82. STAI DDI Pinrang. 2013 hal 77. Di akses 26 november 2020

17
manapun datangnya, tanpa terlepas dari ruh Ilahiyah. Masyarakat muslim juga

adalah masyarakat yang kuat fisik dan mentalnya.

Dengan demikian, pendidikan Islam sangat membuka peluang kepada

manusia agar senantiasa berusaha mananamkan nilai-nilai yang baik dalam

kehidupannya dengan mengerahkan seluruh kemampuan akalnya dan

pemahamannya terhadap wahyu (ruh ilahiyah), karena dua hal tersebut selalu

berdampingan satu sama lain dan saling melengkapi

E. IMPLIKASI PAHAM QADARIYAH DALAM KEHIDUPAN

MASA KINI

Kehidupan masyarakat dewasa ini ditandai dengan perkembangan kemajuan

sains dan teknologi, termasuk ilmu-ilmu soaial kemanusiaan sangat pesat

memberi pengaruh terhadap kesadaran manusia dalam pemahaman keagamaan,

sehingga teologi harus bersaing dengan ilmu-ilmu lain dalam pengkajian, untuk

dapat digunakan dalam meningkatkan produktiitas kehiduapan yang dibutuhkan

umat Islam dewasa ini yang jauh ketinggalan dibandingkan dengan Barat dalam

berbagai aspek.

Peningkatan produktivitas tersebut diyakini oleh kelompok Postmodernisme

saat ini bisa dicapai dengan kekuatan optimistik akan kemampuan rasio (akal)

karena kekuatan akal yang dimiliki manusia dapat digunakan untuk: 1) memahami

realitas, 2) membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas dan estetika,

3) menentukan arah hidup dan perkembangan sejarah, 4) memecahkan persoalan-

persoalan ekonomi, 5) mengendalikan sistem sosial politik, budaya dan lain-lain. 7

7 Baso Hasyim “Aplikasi pemikiran Jabriyah dan Qadariyah dalam masyarakat Islam Masa
Kini”. Jurnal Al asas, Vol II, No 01: April 2019 hal 69. Di akses 26 november 2020

18
Sejalan dengan hal tersebut Harun Nasution mengemukakan bahwa Umat

Islam di abad pertengahan berada pada posisi kemajuan yang luar biasa karena

menganut teologi sunnatullah yang ciri-cirinya adalah: 1) kedudukan akal yang

sangat tinggi, 2) kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, 3) kebebasan

berpikir, 4) percaya pada sunnatullah, 5) mengambil makn metaforis dari teks

wahyu, dan 6) dinamika dalam sikap dan cara berpikir. Umat Islam kemudian

mengalami kemunduran karna menganut teologi kehendak mutlak yang berciirkan

sebaliknya: 1) kedudukan akal yang rendah, 2) ketidak-bebasan manusia dalam

berkehendak dan berbuat, 3) kebebasan berpikir diikat oleh dogma, 4) tidak

percaya kepada sunnatullah, 5) terikat pada makna tekstual, dan 6) statis dalam

sikap dan cara berpikir. Teologi sunnatullah melambangkan Qadariah dan teologi

kehendak mutlak Tuhan adalah Jabariah.

Jadi, paham Qadariah dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang kreatif dan

dinamis yakni adanya kemempuan dan kebebasan dalam berkehendak dan

berkreasi mengelola alam ini yang merupakn syarat dalam meningkatkan

produktivitas yang dapat menetukan mas depan sendiri, sekaligus mengembalkan

kejayaan Islam, smentara paham Jabariah akan melahirkan sikap statis yang

mengakibatkan kemunduran karena lebih banyak tergantung pada kehendak

Tuhan dan menganggap manusia lemah tidak punya kemampuan. Hanya saja

implikasi kedua paham ini sulit dihilangkan dalam masyarakat dan akan menjadi

perdebatan, karena keduanya mempunyai landasan dalam ayat-ayat al-Qur’an.

Sehubungan dengan hal di atas, Iqbal mencoba memberi solusi yang dikutip

oleh Mulyadi Kartanegara sebagai berikut:

19
Tuhan dalam menciptakan alam pasti mempunyai tujuan tertentu. Tuhan

tidak mungkin digambarkan sebagai kekuatan buta. Tetapi ia juga tidak setuju

dengan kaum determinisme yang menggambarkan masa depan sebagai sesuatu

yang telah ditentukan secara mutlak pasti. Ia menggambarkan masa depan sebagai

kemungkinan yang terbuka, dimana sebab-sebab tertentu saling berpengaruh

menentukan hasil/akibat dan hanya kekuatan-kekuatan yang dominanlah yang

akhirnya akan muncul sebagai juara. Dengan kata lain peristiwa- peristiwa

alam/manusia tidak ditentukan oleh sebab-sebab yang mendahuluinya secara

mekanik, tetapi diarahkan kepada masa depan secara kreatif. Kreatifitas Tuhan

idak semau-maunya, menurut kebijaksanaan yang terletak di antara keduanya

Iqbal juga mengeritik kebebasan berpikir bagi Mu’tazilah yang hanya

mementingkan akal saja dan kebebasan yang mutlak tidak akan mungkin

membawa kebenaran. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak mengalami nasib yang

digambarkan oleh Hossein Nasr:

Di negeri Barat, dimana krisis dari peradaban modern sangat terasa karena

dihubungkan denan krisis lingkungan, diajukan pemecahan-pemecahan

yang mengndung faktor-faktor penyebab krisis itu sendiri. Kepada umat

manusia diserukan agar mereka mengendalikan nafsu, menjadi humanis-

humanis yang rasiaonal, dan memperhatikan tetangga mereka baik manusia

maupun binatang. Tetapi hanya sedkit yang menyadari bahwa seruan-seruan

ini tidak mungkin terlaksana apabila tidak ada kekuatan spiritual yang

mengekang kecenderungan buruk di dalam jiwa manusia.8

8 Baso Hasyim “Aplikasi pemikiran Jabriyah dan Qadariyah dalam masyarakat Islam Masa
Kini”. Jurnal Al asas, Vol II, No 01: April 2019 hal 70. Di akses 26 november 2020

20
Dengan demikian, sangat bijaksana jika keduanya (Qadariah dan Jabariah)

tidak dipertentangkan karena keduanya mempunyai landasan yang sama, akan

tetapi berusaha memadukan dengan memperhatikan asbab al-nuzul dari ayat yang

dijadikan landasan untuk mengetahui maksud ayat tersebut, sehingga tidak

terkesan hanya menjadikan ayat sebagai tameng suatu pendapat.

Misalnya asbab al-nuzul surah Ali Imran ayat 165 yang dijadikan landasan

oleh Qadariah terkait dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud akibat

kelalaian mereka, sehingga turunlah ayat tersebut. Begitu juga dengan ayat 17

surah al-Anfal turun terkait dengan peperangan Badar saat Rasulullah melempar

segenggam batu dan menyebabkan musuh banyak meninggal. Ini menunjukkan

bahwa yang pertama perlu dimiliki adalah kesungguhan dan kemampuan terhadap

sesuatu yang dilakukan dan kedua adalah tidak sombong dan takabur jika berhasil.

Karena itu, implikasi paham Qadariah dan Jabariah dalam kehidupan

sekarang adalah paham Qadariah sebagai suatu dorongan untuk kreatif dan

dinamis, karena itulah tuntutan perkembangan dan kemajuan kehidupan dewasa

ini, termasuk kehidupan umat Islam, sementara paham Jabariah dijadikan dasar

untuk tidak lupa akan adanya kekuatan yang lebih tinggi, sehingga tidak takabur

dan sombong dengan keberhasilan yang dicapai.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas pemakalah menyimpulkan manusia

adalah mahluk yang lemah yang diciptakan oleh Allah SWT dan dalam

21
kelemahannya manusia banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan

Tuhan.

Aliran qadariyah mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dalam

perbuatannya. Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan baik dan buruk, iman,

kufur, dan taat atau maksiat. Mereka juga berpendapat kebaikan atau perbutan

yang baik datang dari Allah SWT, sedangkan perbuatan jahat datang dari manusia

itu sendiri.

Aliran qadariyah sangat menghargai akal dengan memberi porsi sangat

besar dalam berpikir sehingga manusia diberi kebebasan dalam berkinginan dan

berbuat. Kebebasan berpikir sangat dijunjung tinggi, tetapi tetap berdasar pada Al-

Qu’an dan sunnah Rasullah SAW, sehingga kebebasan berpikir manusia tidak

mutlak sebab kebebasan dan kekuasaan dibatasi oleh hal-hal yang tidak dikuasai

oleh manusia itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Muhammad “Paham Qadariyah dan Jabariyah pada pelaku pasar


pelelangan ikan bajo dikabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan.” Jurnal
Multikultural dan Multirelegius Vol 14, No 2: STAIN Watampone. Agustus 2015

22
Hasyim Baso “Aplikasi pemikiran Jabriyah dan Qadariyah dalam masyarakat
Islam Masa Kini”. Jurnal Al asas, Vol II, No 01: April 2019

Samad M Yunus “ Pendidikan Islam dalam perspektif Aliran Kalam” Jurnal


Lentera Pendidikan Vol 16, No 01: 73-82. STAI DDI Pinrang. 2013

Suhaimi. “ Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman:Pemikiran Qadariyah dan


Jabariyah yang bersandar dibalik Legitemasi AlQu’an”. Jurnal El-furqania Vol
04, No 2: 109-110. Universitas Madura Pamekasan. Agustus 2018

Susanti Eri “ Aliran Aliran dalam Pemikiran Islam “ Jurnal Ad- Dirasah, vol 01,
No 01: FUAD IAIN Pontianak. 2018

23

Anda mungkin juga menyukai