Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KELAHIRAN PEMIKIRAN SPEKULATIF (KHAWARIJ, QADARIYYAH,


MU’TAZILAH, MURJI’AH DAN SYI’AH)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat dan Pemikiran Islam

DOSEN PENGAMPUH :
MUHAMMAD ILHAM, S.Ud., M.Ag

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4 :

PUJI ASTUTI (PIAUD)


SAFIRA PUTRI MAHARANI (ESY)
SUKARNI SUSILAWATI (HTN)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AHSANTA

JAMBI 2020
PEMBAHASAN

Berpikir spekulatif adalah berpikir yang tidak membutuhkan data dan fakta yang
benar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), spekulasi adalah pendapat atau
dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yang bersifat untung-untungan.
Dalam filsafat, pemikiran spekulatif memang sah-sah saja, sebagai bagian proses untuk
menemukan pengetahuan (kebenaran).

Aliran-aliran dalam ilmu kalam, antara lain:


A. Aliran Khawarij
Khawarij adalah suatu nama yang mungkin diberikan oleh kalangan lapangan di
sana karena tidak mau menerima arbitrase dalam pertempuran siffin yang terjadi antara
Ali dan Mu‟awiyah dalam upaya penyelesaian persengketaan antara keduanya tentang
masalah khalifah. Khawarij berasal dari kata Kharaja yang artinya keluar, dan yang
dimaksudkan disini ialah mereka yang keluar dari barisan Ali sebagai diterimanya
arbitrase oleh Ali. Tetapi sebagian orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada
mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di
jalan Allah. Hal ini di dasarkan pada QS An-Nisa: 100. Berdasarkan ayat tersebut, maka
kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah atau
kampung halamannya untuk berjihad.1 Bila di masa Rasulullah kafir hanya untuk
mereka yang tidak memeluk Islam tapi kaum Khawarij memperluas pengertiannya
dengan memasukkan orang-orang yang telah masuk Islam. Yakni orang Islam yang bila
ia menghukum, maka yang digunakan bukanlah hukum Allah.2
Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur. Kufur
(orang-orang kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orang yang dikatakan
mukmin) berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu termanifestasi secara tajam
sekali, yakni orang yang telah percaya kepada Allah yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan orang-orang yang tidak percaya kepada Allah tersebut. Dengan
kata lain, mukmin adalah orang yang telah memeluk agama Islam sedangkan kafir
adalah orang yang belum memeluk agama Islam. Bila pada masa Rasulullah term kafir
hanya dipakai untuk mereka yang belum memeluk Islam, kaum Khawarij memperluas
1
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm. 33
2
Yunan Yusuf, Alam pikiran islam pemikiran: dari khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi
(Jakarta: Kencana, 2004), hlm.44

1
makna kafir dengan memasukkan orang yang telah beragama Islam ke dalamnya. Yakni
orang Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya bukanlah hukum Allah.
Secara umum, konsep mereka tentang iman bukan pembenaran dalam hati semata-mata.
Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl) menurut mereka, mestilah disempurnakan dengan
menjalankan perintah agama.
Seseorang yang telah memercayai bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan
Muhammad itu utusan Allah, tapi ia tidak melakukan kewajiban agama, berarti imannya
tidak benar, maka ia akan menjadi kafir.3 Pengikut Khawarij terdiri dari suku Arab
Badui yang masih sederhana cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat
ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang
berada di luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini
pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte. Berbeda dengan
kelompok Sunni dan Syi‟ah, mereka tidak mengakui hakhak istimewa orang atau
kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Khawarij tidak memandang
kepala negara sebagai orang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa juga yang tidak
luput dari kesalahan dan dosa. Karenanya, mereka menggunakan mekanisme syura
untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara
menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan atau dibunuh.4 Tokoh-tokoh
Dalam Aliran Khawarij: Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa‟ad, Hausarah al-Asadi,
Quraib bin Maruah, Nafi‟ bin al-Azraq, dan „Abdullah bin Basyir.

B. Aliran Qadariyyah
Qadariyyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan kemampuan
dan memiliki kekuatan. Qadariyyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu aliran
yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyyah manusia dipandang
mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar atau pada Tuhan. Adapun
menurut pengertian terminologi Qodariyyah adalah suatu aliran yang mempercayai
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini juga

3
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 46-47
4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.
140

2
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian
tersebut, Qodariyyah merupakan nama suatu aliran yang memberikan suatu penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qodariyyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
akan tetapi bukan berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar
dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan
dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah.5 Sekilas pemahaman Qadariyyah ini
sangat ideal dan sesuai dengan ajaran Islam. Di samping benar menurut logika, juga
didasarkan pada ayat-ayat alqur‟an dan hadis yang memberikan kebebasan kepada
manusia untuk memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Akan tetapi jika kita
mendalami ajaran Al-quran dan Hadis secara komprehensif serta memerhatikan realitas
kehidupan sehari-hari, maka akan tampak jelas bahwa paham Qadariyyah yang tidak
mempercayai adanya takdir adalah mengandung berbagai kelemahan dan telah
menyimpang dari ajaran Islam yang benar. 6 Tokoh-tokoh Aliran Qadariyyah: Ma‟bad
al-Jauhani dan Ghailan al-Dimasyqi.

C. Aliran Mu’tazilah
Kata Mu‟tazilah berasal dari kata I‟tazala dengan makna yang berarti menjauhkan
atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini kemudian menjadi nama sebuah aliran di
dalam ilmu kalam yang para sarjana menyebutnya sebagai Mu‟tazilah berdasarkan
peristiwa yang terjadi pada Washil ibn Atha (80 H/699 M- 131 H/748 M) dan Amr ibn
Ubayd dengan al-Hasan al-Bashri. Dalam majlis pengajian al-Hasan al-Bashri muncul
pertanyaan tentang orang yang berdosa besar bukanlah mu‟min dan juga bukanlah
orang kafir, tetapi berada diantara dua posisi yang istilahnya al Manzillah bayn al-
manzilatayn. Dalam uraian di atas bisa dipahami pemimpian tertua di aliran Mu‟tazillah
adalah Washil ibn Atha. Ada kemungkinan washil ingin mengambil jalan tengah antara
khawarij dan murjiah, melainkan berada di dua posisi. Alasan yang dikemukakan adalah
bahwa orang yang berdosa besar itu masih ada imannya tetapi tidak pula dapat

5
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
6
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Sehari-Hari Dari Lahir Sampai Mati,
(Jakarta: WahyuQolbu, 2016), hlm. 140

3
dikatakan mu‟min karena ia telah berdosa besar. Orang yang serupa itu apabila
meninggal dunia maka ia akan kekal di dalam neraka, hanya azabnya saja yang lebih
ringan dibandingkan orang kafir. Itulah pemikiran Washil yang pertama sekali muncul. 7
Pembina pertama aliran Mu‟tazilah ini adalah Wasil bin Ata‟. Sebagaimana telah
dikatakan oleh Al-Mas‟udi, Wasil bin Ata‟ adalah syaikh Al-Mu‟tazilah wa qadimuha,
yaitu kepala Mu‟tazilah yang tertua. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 81 H dan
meninggal di Basrah pada tahun 131 H. Di Madinah ia berguru pada Hasyim, Abd bin
Muhammad bin Hanafiyah kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan Al-
Basri. Kemunculan aliran Mu‟tazilah untuk pertama kalinya pada masa dinasti
Umayyah berada diambang kehancuran, yakni dimasa pemerintahan, Abd Al-Malik bin
Marwan dan Hisyam bin Abd Al-Malik. Dan ketika Dinasti Umayyah jatuh ke tangan
abbasiyah, golongan Mu‟tazillah mendapatkan tempat yang amat baik di dalam
pemerintahan. Bahkan di masa peerintahan Al-Ma‟mun teologi Mu‟tazillah secara resmi
dijadikan ideologi bangsa. 8

D. Aliran Murji’ah
Murji‟ah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau penangguhan.
Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan sebagai
“orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar merupakan imbangan
atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau dosa tidak berlaku
selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau menahan pemutusan dan penghukuman
pelaku dosa di dunia ini. Hal ini mendorong mereka untuk tidak ikut campur masalah
politik. Satu diantara doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan seorang imam
yang diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh kalangan islam sunni
namun tidak untuk kalangan syiah.9
Aliran Murji‟ah muncul sebagai reaksi dari aliran kharjiyyah yang memandang
perbuatan dosa sebagai quasi absolut dan merupakan sifat penentu, Murji‟ah lebih
cenderung sebagai reaksi terhadap kharijiyyah daripada terhadap aliran mayoritas.
Sangat kontras dengan aliran kharjiyyah yang mirip sekali dengan ajaran yang mirip

7
Ibn Rusyd, 7 perdebatan utama dalam teologi islam (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 30
8
Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini: Peletak dasar teologi rasional dalam islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm.
9
9
Muhammad Arifin Ilham, ensiklopedia tasawuf imam al-ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 320

4
sekali dengan ajaran St. John tentang “dosa yang dihukum mati”.10 Aliran Murji‟ah
muncul dengan mengusung keyakinan lain mengenai dosa besar. Masalah yang
mulanya hanya bersifat politis akhirnya berkembang menjadi masalah teologis. Lantara
dua aliran tersebut muncul mendahului aliran Mu‟tazillah, maka tidak salah pula jika
Wolfson menyebut bahwa keduanya sebagai aliran pra-Mu‟tazilah dalam teologi
islam.11

E. Aliran Syi’ah
Syi‟ah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau
pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai
pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syi‟ah, maka asosiasi pikiran orang
tertuju kepada syi‟ah-ali, yaitu kelompok masyarakat yang amat memihak Ali dan
memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok tersebut lambat laun membangun
dirinya sebagai aliran dalam Islam. Adapun ahl al-bait adalah “family rumah nabi”.
Menurut syiah yang dinamakan ahl bait itu adalah Fatimah, suaminya Ali, Hasan dan
Husein anak kandungnya, menantu dan cucu-cucu Nabi, sedang isteri-isteri nabi tidak
termasuk Ahl alBait.12 Sejak jaman Rasulullah serta khalifah Abu Bakar dan Umar bin
Khatab, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama
yang memiliki banyak pengikut, memiliki karakter dan identitas khusus dan memiliki
target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada masa Khalifah Utsman. Mereka
adalah orang-orang yang setia pada Ali, yang menganggap bahwa kekhalifahan Ali
berdasarkan Nash Al-quran dan wasiat dari Rasulullah SAW, baik yang disampaikan
secara jelas maupun samar.
Menurut mereka seharusnya kepemimpinan diduduki oleh Ali dan keturunannya,
serta tidak boleh lepas darinya. Para ulama masih berbeda pendapat mengenai asal-usul
Syi‟ah dan perkembangannya. Menurut Prof. Walhus, akidah Syi‟ah banyak
terpengaruh oleh ajaran Yahudi, bukan Persia karena mengingat pendirinya adalah
Abdullah bin Saba‟ yang berasal dari Yahudi. Sementara pendapat Prof. Dawzi
cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri Islam adalah orang Persia,
karena orang Arab bebas memeluk agama. Menurut Prof. Ahmad Amin, Syi‟ah sudah

10
Abdul Mujleb, Syafi‟ah, & Ahmad Ismail, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah,
2009), hlm. 320
11
Hamka Haq, Al-Syatibi, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 32
12
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm.52

5
muncul sebelum orang-orang Persia masuk Islam, tetapi masih belum ekstrim seperti
sekarang. Mereka hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari sahabat lainnya.
Kemudian pemahaman Syiah ini berkembang seiring perkembangan zaman dan adanya
kasus pembunuhan-pembunuhan yang mengatasnamakan Syiah. 13 Tokoh-tokoh Aliran
Syi‟ah yaitu Jalaludin Rakhmat, Haidar Bagir, Haddad Alwi, Nashr bin Muzahim,
Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy‟ari.

13
Ahmad Nahraei Abdus Salam, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, (Jakarta: Hikmah, 2008), hlm. 95

6
KESIMPULAN

A. Khawarij berasal dari kata Kharaja yang artinya keluar, dan yang dimaksudkan
disini ialah mereka yang keluar dari barisan Ali sebagai diterimanya arbitrase oleh
Ali. Tetapi sebagian orang berpendapat bahwa nama itu diberikan kepada mereka,
karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan
Allah. Hal ini di dasarkan pada QS An-Nisa: 100. Berdasarkan ayat tersebut, maka
kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah
atau kampung halamannya untuk berjihad.

B. Qadariyyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan kemampuan
dan memiliki kekuatan. Qadariyyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu
aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyyah manusia
dipandang mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada Qadar
atau pada Tuhan.

C. Kata Mu‟tazilah berasal dari kata I‟tazala dengan makna yang berarti menjauhkan
atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini kemudian menjadi nama sebuah aliran
di dalam ilmu kalam yang para sarjana menyebutnya sebagai Mu‟tazillah
berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Washil ibn Atha (80 H/699 M- 131 H/748
M) dan Amr ibn Ubayd dengan al-Hasan al-Bashri. Dalam majlis pengajian al-
Hasan al-Bashri muncul pertanyaan tentang orang yang berdosa besar bukanlah
mu‟min dan juga bukanlah orang kafir, tetapi berada diantara dua posisi yang
istilahnya al Manzillah bayn al-manzilatayn.

D. Murji‟ah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau penangguhan.
Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan
sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar merupakan
imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau dosa tidak
berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau menahan pemutusan dan
penghukuman pelaku dosa di dunia ini.

7
E. Syi‟ah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau
pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai
pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syi‟ah, maka asosiasi pikiran orang
tertuju kepada syi‟ah-ali, yaitu kelompok masyarakat yang amat memihak Ali dan
memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok tersebut lambat laun membangun
dirinya sebagai aliran dalam Islam. Adapun ahl al-bait adalah “family rumah nabi”.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujleb, Syafi‟ah, & Ahmad Ismail, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali,
(Jakarta: Hikmah, 2009)
Ahmad Nahraei Abdus Salam, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, (Jakarta: Hikmah, 2008)
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007)
Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, Panduan Muslim Sehari-Hari Dari Lahir
Sampai Mati, (Jakarta: WahyuQolbu, 2016)
Hamka Haq, Al-Syatibi, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Ibn Rusyd, 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006)
Muhammad Arifin Ilham, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah,
2009)
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Kencana, 2014)
Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam,
(Jakarta: Erlangga, 2008)
Yunan Yusuf, Alam pikiran islam pemikiran: dari khawarij ke Buya Hamka Hingga
Hasan Hanafi (Jakarta: Kencana, 2004)
Yusran Asmuni. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam
dan Pemikiran. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Anda mungkin juga menyukai