Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADITS

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Studi Al-Qur’an dan Hadits

DOSEN PENGAMPU :
H. MAJDI, M.Ag

DISUSUN OLEH :

SAFIRA PUTRI MAHARANI (20200313019)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AHSANTA JAMBI

2020/2021
PEMBAHASAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


Hadits pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.1 Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan
Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga
apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka.2

1. Kebijaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits


Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah
sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah ini
yaitu:
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa
yang kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia
bersedia menempati kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa
Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua,
Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, seringkali ia
menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan
3
menyampaikannya kepada orang lain.

b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang
menunjukkan perintah ini yaitu:
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.”
(HR. Ahmad dan Muslim).

1
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 31.
2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71.
3
Ibid.

2
2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits
Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW
sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW dan sahabatnya, seperti di
Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan ketika muqim (berada di
rumah). Melalui tempat tersebut Rasulullah SAW menyampaikan hadits yang disampaikan
melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan melalui
perbuatan serta taqrirnya yang disaksikan oleh para sahabat (melalui musyahadah).
Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
a) Melalui majlis al-„ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk
selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW.
b) Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang
berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut
hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath
Makkah.4 Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad
SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah,
ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan,
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Isi khatbah itu
antara lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil
harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan dan persamaan
diantara manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur‟an dan Hadits.5

3. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits


Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung
kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah
SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.

4
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 72-73.
5
Idri, Studi Hadis, 35.

3
Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal
dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:
a) Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk
Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib dan
Ibn Mas‟ud.
b) Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga
dan pergaulan suami istri.
c) Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
d) Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak bertanya
kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e) Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW,
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn
Abbas.
Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat menerima hadits
dari Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
1) Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadits dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering mengulang-
ulang apa yang telah diucapkannya.
2) Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah menerima
hadits dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
3) Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadits-hadits yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah
SAW.6

6
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 38-41

4
4. Penulisan Hadits Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin
Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadits Rasulullah SAW. Ibnu
Hajar memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya
meriwayatkan hadits dari catatannya tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu
merupakan salinan dari catatan Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadits-hadits
Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash termasuk
sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari sumbernya, yakni
Rasulullah sendiri. Yang terhimpun seribu hadits Rasulullah SAW. Shahifah dalam tulisan
tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya terhimpun di dalam kitab-kitab Hadits
terutama di dalam Musnad Ahmad.7
Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
Abdullah bin „Amr. Mereka beralasan,

Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari
aku. Dan barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, hendaklah ia
menghapuskannya.” (HR. Muslim).

Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi
Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau
menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka,
Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut Rasulullah SAW
kemudian bersabda,

Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya,
tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.8

B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin (Abu Bakar,
Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun
11 H s/d 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya

7
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), 63-64.
8
M. Agus Solihin dan Agus Suyadi, UlumulHadis (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 59.

5
berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa
yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.9
Pembatasan penyederhanaan hadits, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad
SAW, yaitu:
1) Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis
seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal
benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
2) Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan
yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara
utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada perubahan
sedikitpun.10
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang
kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:
a) Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b) Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri.
c) Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits.
d) Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e) Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f) Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka
memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.11

9
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 79.
10
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 83-84.
11
Idri, Studi Hadits, 40-41.

6
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada era tabi‟in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada masa
ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi‟in
dapat memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain, yang
diperoleh tabi‟in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru
dunia Islam. Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah.

1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat
tujuan para tabi‟in dalam mencari hadits. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al-Munawwarah,
Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, Yaman dan
Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadits pada kota-kota tersebut, antara lain
Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn
Adillah dan Abi Sa‟id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri
atas Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa‟ Rasyidin,
Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan
menghasilkan para pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn
Abdillah Ibn Umar. Tabi‟in, seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn Syihab
Al-Zuhri. Di antara ulama hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij
(w. 150 H di Makkah), Al-Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di Kufah (w. 161
H), Imam Malik al-Muwaththa‟ di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.12

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits


Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
kelompok (Khawarij, Syi‟ah, Mu‟awiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke
dalam ketiga kelompok tersebut).
Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh negatif, yakni dengan
munculnya hadits-hadits palsu (mawdhu‟) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-
masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Sedangkan pengaruh

12
Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70.

7
positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau
tadwin hadits, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.13

3. Perkembangan Pembukuan Hadits


Perkembangan pembukuan hadits pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas haditsnya ada yang
shahih, hasan, dan dha‟if.
b. Al-Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi sembilan masalah, yakni
aqa‟id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-
sifat akhlak (syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat
beberapa hadits dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu Madjah, dan
Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha‟if, tetapi tidak
terlalu dha‟if seperti hadis Munkar.14

D. Masa Kodifikasi Hadits


1. Definisi Kodifikasi Hadits
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification,
yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan
pembukuan hadits Nabi Muhammad SAW secara resmi berdasar perintah khalifah dengan
melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, kodifikasi hadits (tadwin
hadits) adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadits Nabi atas perintah resmi
dari penguasa negara (khalifah), bukan dilakukan atas inisiatif sendiri. Tujuannya untuk
menjaga hadits Nabi Muhammad SAW dari kepunahan dan kehilangan baik karena
banyaknya periwayat penghafal hadits yang meninggal maupun karena adanya hadits
palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
Jadi, kodifikasi hadits disini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadits Nabi
Muhammad SAW yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah „Umar Ibn „Abd al-
Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti

13
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88.
14
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 64-65

8
oleh para ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadits terbukukan dalam
kitab hadits.15

2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadits


a. Kodifikasi Hadits Abad II Hijriyah
1) Tokoh-tokoh hadits abad ke-2 hijriyah
Di antara tokoh-tokoh hadits yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriyah ialah Malik,
Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki‟ Ibn al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury, Ibnu Uyainah,
Syu‟bah Ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman Ibn Mahdy, Al-Auza‟y, Al-Laits, Abu Hanifah,
Asy-Syafi‟y.
2) Kitab-kitab hadits yang terkenal dalam abad ke-2 hijriyah
Adapun kitab-kitab hadits yang telah dibukukan dan terkenal di kalangan ahli hadits,
ialah:
a) Al-Muwaththa‟, susunan Imam Malik (95-179 H).
b) Al-Maghazi wa as-Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c) Al-Jami‟, susunan Abd ar-Razzaq ash-Shan‟any (211 H).
d) Al-Mushannaf, susunan Syu‟bah Ibn Hajjaj (160 H).
e) Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H).
f) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa‟ad (175 H).
g) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza‟y (150 H).
h) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H).
i) Al-Maghazi an-Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid al-Aslamy (130-207
H).
j) Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k) Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l) Al-Musnad, susunan Imam Asy-Syafi‟y (204 H).
m) Mukhtalif al-Hadits, susunan Imam As-Syafi‟y.
3) Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadits abad ke-2 hijriyah
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah
Al-Muwaththa‟ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadits (susunan
Imam Asy-Syafi‟y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-Siyar
(susunan Ibnu Ishaq).

15
Idri, Studi Hadis, 93.

9
Al-Muwaththa‟ paling terkenal dan mendapat sambutan yang sangat besar dari
ulama dan para ahli karena banyak yang membuat syarah (penjelasannya) dan
mukhtashar (ringkasannya). Kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari Nabi
SAW, sahabat, dan tabi‟in. Khabar yang musnad sejumlah 600, yang mursal sejumlah
228, yang mauquf sejumlah 613 dan yang maqthu‟ 285.16
b. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah
Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits (Masa
Keemasan). Ulama‟ hadits yang muncul pada abad ini digelari Muqaddimin, yang
mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru Negara Arab, Persia, dan lain-lain.17
1) Tokoh-tokoh hadits abad ke-3 hijriyah
Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir pada masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny,
Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhammad Ibn Sa‟ad,
Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa‟y, Abu Daud, Ibnu
Madjah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.
2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah
Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah di antaranya:
a) Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah al-Abasy.
b) Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad.
c) Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini dikumpulkan oleh para
penghafal hadits berdasar kepada riwayat Yunus Ibn Habib dari Ath-
Thayalisy).
d) Al-Musnad, susunan Nu‟aim Ibn Hammad.
e) Al-Musnad, susunan Abu Ya‟la al-Maushily.
f) Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
g) Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
h) Al-Musnad, susunan Abed Ibn Humaid.
i) Al-Musnad al-Mu‟allal, susunan Al-Bazzar.
j) Al-Musnad, susunan Baqy Ibn Makhlad (201-296 H). Musnad ini paling luas
isinya daripada musnad-musnad yanng lain.

16
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), 55-58.
17
Agus Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung; Pustaka Setia, 2008), 45.

10
k) Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H).
l) Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Hanbal.
m) Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr al-Marwazy.
n) Al-Musnad, susunan Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H).
o) Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H).
p) Al-Musnad, susunan Utsman Ibn Abi Syaibah (293 H).
q) Al-Musnad, susunan Abu al-Husain Ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H).
Dalam musnad ini dikumpulkan seluruh hadis Az-Zuhry.
r) Al-Musnad, susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab.
Seharusnya digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena
hadis yang diriwayatkannya secara musnad. Al-Bukhary pun menamai
kitabnya dengan Al-Musnad ash-Shahih.
s) Al-Musnad, susunan Said Ibn Manshur.
t) Al-Musnad, susunan Al-Imam Ibn Jabir.
Maka dengan usaha ulama besar abad ke-3, tersusunlah kitab hadis dalam tiga
macam, yaitu:
a) Kitab-kitab shahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tidak memasukkan
ke dalamnya, selain hadits-hadits yang shahih saja.
b) Kitab-kitab sunan ialah kitab-kitab yang penulisnya tidak dimasukkan ke
dalam hadits-hadits yang munkar dan yang sepertinya.
c) Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan ke
dalamnya segala rupa hadits-hadits yang diterima, dengan tidak menyaring dan
tidak menerangkan derajat-derajatnya. Oleh karena itu, derajatnya di bawah
derajat kitab sunan.18
Pada masa ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub al-
Sittah, yaitu:
a) Al-Jami‟al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H).
b) Al-Jami‟al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H).
c) Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-261 H).
d) Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H).
e) Al-Sunan karya al-Nasa‟ie (215-302 H).

18
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 59-70.

11
f) Al-Sunan karya Ibn Madjah (207-273 H).19
c. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H
Masa ini adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan
(„ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam‟u) dan berlangsung sekitar dua
setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi,
saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadits pada masa ini sebenarnya tidak jauh beda dengan gerakan
ulama pada masa sebelumnya.
1) Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H
a) Kitab Syarah ialah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadits-
hadits tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
b) Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya
dengan cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya
dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut.
c) Kitab Athraf ialah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits,
tetapi sanadnya ditulis lengkap.
d) Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
e) Kitab Jami‟ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
2) Tokoh-tokoh hadits abad IV-VII H
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin Ahmad
al Thabari, „Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah
Ya‟kub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin
Husain Ali al-Baihaqi, Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi,
Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi.
d. Kodifikasi Hadits Abad ketujuh Hijriyah sampai Sekarang
Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-syarh
wa al-jamu‟ wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai mensistemisasi
hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan
cara membagi hadits menurut kualitasnya. 20

19
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 92.
20
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam, 93.

12
1) Tokoh-tokoh hadits dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H),
Ibnu Sayyid an-Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany
(852 H), Ad-Dimyaty (705 H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy
(794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-Ala‟y (761 H), Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762
H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806
H), Al-Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806 H).
2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
a) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-7 Hijriyah
 Ath-Targhib, susunan Al-Hafizh Abdul Azhim Ibn Abd al-Qawy Ibn
Abdullah al-Mundziry (656 H).
 Al-Jami‟ baina ash-Shahihain, susunan Ahmad Ibn Muhammad al-
Qurthuby, yang terkenal dengan nama Ibnu Hujjah (642 H).
 Muntaqa Al-Akhbar fi al-Ahkam, susunan Majduddin Abul Barakah Abd
as-Salam Ibn Abdillah Ibn Abi al-Qasim al-Harrany (652 H).
 Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdil Wahid al-Maqdisy (643 H)
yang mentashih hadits yang belum ditashih oleh ulama sebelumnya.
 Riyadh ash-Shalihin, oleh Imam An-Nawawy. Kitab ini telah disyarahkan
oleh Ibnu Ruslan ash-Shiddiqy dalam kitab Dalil al-Falihin.
 Al-Arbain, oleh An-Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama, di
antaranya Ahmad Hijazy al-Faryany dalam kitab Al-Majelis ats-Tsaniyah
„ala al-Arba‟in an-Nawawiyah.
b) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-8 Hijriyah
 Jami‟ al-Masanid was-Sunan al-Hadits ila Aqwami Sanan, susunan Al-
Hafizh Ibnu Katsir.
 Al-„Ilmam fi Ahadis al-Ahkam, susunan Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied (792
H). Kitab ini telah disyarahkan oleh penulisnya dalam kitabnya Al-Imam.
c) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-10 Hijriyah
 Ith-haf al-Khiyar bi Zawa‟id al-Masanid al-„Asyrah, susunan Muhammad
Ibn Abu Bakar al-Baghawy (804 H).
 Bulugh Al-Maram, susunan Al-Hafizh Al-Asqalany. Di dalamnya
dikumpulkan sejumlah 1.400 hadits.

13
 Majma‟ az-Zawa‟id wa Mamba‟ al-Fawa‟id, susunan Al-Hafizh Abu al-
Hasan Ali Ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman asy-Syafi‟y al-Haitamay (1303 H).
Di dalamnya dikumpulkan Zawa‟id dari musnad-musnad Ahmad, Abu
Ya‟la, Al-Bazzar dan mu‟jam Ath-Thabrany.21

3. Perkembangan Pembukuan Hadits


Perkembangan pembukuan hadits pada abad 4-6 H ialah sebagai berikut:
a) Mu‟jam, artinya penghimpunan hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat
secara abjad seperti Al-Mu‟jam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (ww.
360 H).
b) Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits
Shahihayn (Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih
saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-Bas‟ti (w. 354 H), dan lain-
lain.
c) Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadits shahih yang belum disebutkan
dalam kitab Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan
keduanya, seperti Al-Mustadrak „ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-
Hakim An-Naisaburi (w. 405 H).
d) Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya, yaitu
cakupannya hadits-hadits tentang hukum seperti fiqh dan kualitasnya meliputi
shahih, hasan, dha‟if, seperti Muntaqa Ibnu Al-Jarud (w. 307 H), Sunan Ad-
Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H).
e) Syarah, yaitu penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan,
terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi
kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarh Ma‟ani Al-Atsar,
dan Syarah Musykil Al-Atsar yang ditulis Ath-Thahawi (w. 321 H).
f) Mustakhraj adalah seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits
dari sebuah hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan
sanad sendiri, misalnya Mustadrakhraj Abi Bakr Al-Isma‟ili „ala Shahih Bukhari (w.
371 H).
g) Al-Jam‟u, gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam‟u
Bayn Ash- Shahihayn yang ditulis oleh Isma‟il bin Ahmad yang dikenal dengan

21
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 88-93.

14
Ibnu Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam‟u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin
Mas‟ud Al-Baghawi (w. 516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan
Shahihayn, Al-Muwaththa‟, dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Madjah, ditulis oleh
Abu Al-Hasan Razin bin Mu‟awiyah As-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami‟ Al-Ushul li
Ahadis Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan 6
kitab hadits.22
Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-
kitab hadits terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk
memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajarinya ialah sebagai berikut:
a. Al-Mawdhu‟at, yaitu menghimpun hadits-hadits yang mawdhu‟ saja ke dalam
sebuah buku, seperti Al-Mawdhu‟at ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al-
Mawdhu‟at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) dan Al-La‟ali Al-Mashnu‟at fi Al-
Ahadits Al-Mawdhu‟at oleh Jalaludin As-Suyuthi (w. 911 H).
b. Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadits-hadits tentang hukum saja seperti fiqh,
misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), „Umdah Al-
Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600 H) Dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani (w.
852 H).
c. Al-Athraf, artinya teknik pembukuan hadits dengan menyebutkan permulaan
haditsnya saja, misalnya Athraf Al-Kutub As-Sittah ditulis oleh Al-Maqdish dikenal
Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
d. Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadits yang ada dalam
buku hadits atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri
sanad dan kualitasnya. Missal, Irwa‟ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar As-Sabil,
oleh Nashiruddin Al-Albani.
e. Zawa‟id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan Mu‟jam
ke beberapa buku induk hadits. Missal, Majma‟ Az-Zawa‟id wa Manba‟ Al-Fawa‟id
ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H). Zawa‟id diartikan mengumpulkan hadits-hadits
yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab
seperti Zawa‟id Ibnu Madjah dan Zawa‟id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-
Bushri (w. 840 H).

22
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 66-67.

15
f. Jawami‟ atau Jami‟, sebuah kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi
secara mutlak, seperti Al-Jami‟ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami‟
Al Jawami‟ dan Al-Jami‟ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).
Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada
kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadits, kecuali hanya membaca,
memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadits yang telah terhimpun sebelumnya.23

4. Kodifikasi Hadits Secara Resmi


Kodifikasi hadits secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadits atas perintah
Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat. Para ulama hadits
sepakat mengatakan bahwa kodifikasi hadits mulai dilakukan oleh Khalifah Umar bin
„Abd „Aziz yang memerintahkan pada tahun 99-101 H.
Berdasarkan beberapa riwayat, bahwa kekhawatiran akan hilangnya hadits dan
lenyapnya para ulama hadits merupakan faktor utama yang menyebabkan Khalifah Umar
bin „Abd „Aziz untuk melakukan kodifikasi hadits. Faktor yang lain adalah timbulnya
hadits maudhu‟ sebagai akibat meluasnya wilayah Islam dan terjadinya perselisihan di
kalangan kaum Muslimin mendorong khalifah untuk menghimpun dan membukukan
hadits. Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadits tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadits, serta petunjuk untuk
keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia akhirat.
2) Semangat untuk menjaga hadits, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat
berharga, yakni Al-Qur‟an dan Hadits. Jika umat Islam berpegang pada keduanya
mereka tidak akan tersesat selamanya.
3) Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadits pada saat itu.
4) Para penghafal dan periwayatan hadits semakin berkurang karena meninggal dunia
baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
5) Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadits Nabi dengan menghafal dan
kemudian meriwayatkannya.

23
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 68-70.

16
b. Faktor Eksternal
1) Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga banyak
periwayatan hadits yang tersebar ke berbagai daerah.
2) Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadits yang disebabkan oleh perbedaan
politik dan aliran.24
Jadi, dari beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya penulisan hadits
karena kekhawatiran hilangnya hadits dan kemurnian hadits. Kodifikasi hadits secara
resmi dilanjutkan dengan pembukuan hadits yang dilakukan para penguasa Bani Umayyah
dan para ulama.25
Selanjutnya, Syihab Az-Zuhri (09-124 H) mulai melaksanakan pembukuan hadits
sekaligus dilakukan usaha penyeleksian hadits yang maqbul dan mardud dengan metode
sanad dan isnad. Kemudian pembukuan hadits dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam
ahli hadits, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-
lain. Dari mereka kita kenal dengan Kutubus Sittah, yaitu Shahih Al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan An-Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah.26

24
Idri, Studi Hadits, 104-105.
25
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011), 67-76.
26
Agus Solahudin, Ulumul Hadits, 62-63.

17
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan hadits, antara lain:

Karakteristik
Hadits Perkembangan Model Buku
Penulisan
Catatan kepentingan
Hadits dihafal di luar
Larangan Penulisan pribadi dalam bentuk
Masa Rasulullah kepala
lembaran (shahifah)
Catatan pribadi
Penyederhanaan Disertai sumpah dan
dalam bentuk
Khulafa’ Rasyidin periwayatan hadits saksi pada masa ini
lembaran (shahifah)
Bercampur antara
Penghimpunan hadis Mushannaf,
hadits Nabi dan
(Al-Jam‟u wa At- Muwaththa‟,
Tabi’in fatwa sahabat dan
Tadwin). Musnad, Jami‟
aqwal sahabat
Referensi
Penghimpunan dan
(muraja‟ah) pada Mu‟jam, Mustadrak,
penertiban secara
buku-buku Zawa‟id, Jami‟ dan
Kodifikasi sistematik (al-Jam‟u
sebelumnya tetapi lain-lain.
wa at-tanzhim).
lebih sistematis.

Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadits, yaitu kekhawatiran hilangnya


hadits dan kemurnian hadits.

B. Saran
Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadits, kami menyadari bahwa dari berbagai
referensi yang ada masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam segi penulisan, sehingga
terjadi kesalahpahaman dalam konsep sejarah perkembangan hadits. Dan kami berharap dari
revisian makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamin.

18

Anda mungkin juga menyukai