Anda di halaman 1dari 17

Makalah

Sejarah Perkembangan Hadist Pada Zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in

Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist

Imas Masripah, M. Pd

disusun oleh :

Fina Restiana 1452000005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SABILI


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, serta kepada
keluarganya, para sahabatnya, para tabi’in-tabi’at, dan In Sha Allah akan sampai kepada kita
selaku umatnya Nabi Muhammad Saw.
Dan tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada ibu Imas Masripah, M.Pd.I
selaku dosen Pengantar ulumul Hadist yang telah membimbing dalam penyusunan makalah
ini.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
harap kepada pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan saran mengenai makalah
yang kami susun. Mudah-mudahan Allah Swt melimpahkan Rahmat dan Inayah-Nya kepada
kita semua sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca
dan penyusun makalah ini. Aamiin.
SEJARAH HADITS PRAKODIFIKASI
PERIODE RASULULLAH SAW
SAHABAT DAN TABI’IN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


1. Rasulullah SAW Memerintah Kepada Para Sahabat Untuk Menghafal
Hadits dan Menyebarkannya.
Dalil-dalil yang menunjukkan tentang perintah ini, diantaranya:
1) “Dan ceritakanlah dari padaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk
menceritakan apa yang kamu dengar dari padaku. Barang siapa berdusta
terhadap diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di Neraka”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
2) “Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir di antaramu, menyampaikan kepada
orang yang tidak hadir.” (HR. Abdul Bar)
3) “Sampaikanlah dari padaku, walaupun satu ayat.” (HR. Bukhari)

Secara lebih jelas, hadits-hadits Nabi di atas mengandung pengertian sebagai berikut:
a) Diantara para Sahabat banyak yang kuat ingatannya.
b) Diantara para Sahabat sering juga banyak yang tidak hadir pada saat Rasulullah
SAW menyampaikan ajaran-ajaran Islam, baik dalam bentuk penyampaian
wahyu ataupun bentuk hadits.
c) Malu untuk bertanya secara langsung kepada Rasulullah SAW tentang suatu
masalah.
d) Bahwa tugas untuk mengembangkan ajaran Islam adalah kewajiban bagi setiap
individu muslim. (Drs. M. Syuhudi Ismail)

2. Peristiwa Dan Cara Penyampaian Hadits


a. Pada Majelis-Majelis Rasulullah SAW
Pada majelis-majelis pengajian itulah, para Sahabat menerima hadits yang
disampaikan oleh Rasulullah, kemudian setelah selesai pengajian para Sahabat
mengulangi, mempelajari dan menghafal.
Anas bin Malik mengatakan: “Kami berada disisi rasulullah kami
mendengarkan hadits dari beliau. Apabila telah selesai, maka kami
mempelajarinya kembali dan menghafalnya.”
b. Pada Peristiwa Yang Rasulullah Mengalaminya Kemudian Beliau
Menerangkan Hukumnya.
Abu Hurairah telah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah lewat di
muka seorang pedagang bahan makanan. Rasulullah bertanya tentang bagaimana
barang itu dijual, kemudian penjual itu menjelaskannya.
Rasulullah lalu menyuruh penjual tadi memasukkan tangannya. Penjual tadi
emasukkan tangannya ke dalam jualannya, sehingga tampak bagian bawah barang
itu basah dicampur air.
Menyaksikan hal demikian, Rasulullah bersabda:
“Bukanlah dari golongan kami, siapa yang menipunya.” (HR. Ahmad)
c. Pada Peristiwa Yang Dialami Oleh Kaum Muslimin, Kemudian
Menanyakan Hukumnya Kepada Rasulullah.
d. Pada Peristiwa Yang Disaksikan Langsung Oleh Para Sahabat Terhadap
Apa Yang Terjadi Atau Dilakukan Rasulullah. (Drrs. M. Syuhudi Ismail)

3. Cara Sahabat Menerima Dan Menyampaikan Hadits


a. Cara Sahabat Menerima Hadits
Cara-cara yang telah dialami oleh para Sahabat dalam menerima hadits
Rasulullah, dapat dinyatakan sebagai berikut:
1) Secara langsung
Maksudnya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat, atau menyaksikan
tentang apa yang dilakukan, disabdakan atau berhubungan dengan Rasulullah
SAW.
2) Secara tidak langsung
Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung mendengar, melihat, atau
menyaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan atau yang berhubungan
dengan Rasulullah SAW. (Drs. M. Syuhudi Ismail)
a) Terkadang Sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan sesuatu perbuatan,
dan sering kali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat,
puasa, zakat, haji dan lainnya. Kemudian Sahabat yang menyaksikan perbuatan
tersebut, kemudian menyampampaikannya kepada yang lainnya atau generasi
sesudahnya. (Drs. H. Ahmad Izzan)
b) Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang
ditanyakan menyangkut masalah yang pribadi. (Drs. M. Syuhudi Ismail)
c) Tempat tinggalnya berjauhan dengan tempat tinggal Nabi. (Drs. M. Syuhudi Ismail)

b. Cara Sahabat Menyampaikan Hadits


1) Dengan lafadz asli (lafdziyah)
Yakni menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi. Para sahabat dapat
melaksanakan cara ini karena mereka, selain kuat ingatan/hafalannya, juga
setelah menerima hadits dari Nabi, lalu mereka mempelajari dan mengulanginya
dengan jiwa penuh ketaatan dan konsentrasi. (Drs. M. Syuhudi Ismail)
2) Dengan makna saja (maknawy)
Yakni, hadits tersebut disampaikan oleh Sahabat, sedang isinya berasal dari Nabi.
Karena itu, banyak hadits yang mempunyai maksud yang sama tetapi dengan
matan yang berbeda. (Drs. M. Syuhudi Ismail)

4. Penulisan Hadits Pada Masa Rasululah SAW


Pada dasarnya pada masa Rasulullah SAW sudah banyak umat Islam yang
membaca dan menulis. Bahkan Rasul sendiri mempunyai 40 orang penulis wahyu,
akan tetapi pada masa Rasulullah Saw hadits tidak resmi ditulis. Mengapa
demikian? Diantaranya ditemukan hadits-hadits yang sebagiannya membenarkan
atau bahkan mendorong untuk melakukan penulisannya. Berikut ini dikutipkan
hadits-hadits yang berkaitan dengan penulisan hadaits tersebut. (Drs.H. Ahmad Izzan)

a. Larangan menuliskan hadits


Terdapat sejumlah hadits Nabi SAW yang melarang para Sahabat menuliskan
hadits-hadits yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi SAW sebagai berikut:
1) Dari Abi Said al-Khudri, bahwasanya Rasul bersabda: “Janganlah kamu
menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain al-
Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim) (Drs. H. Ahmad Izzan)
2) Abu Hurairah berkata, Nabi SAW suatu hari keluar dan mendapati kami sedang
menuliskan hadits-hadits, maka Rasulullah SAW bertanya, Apakah yang kamu
tiliskan ini? Kami menjawab, hadits-hadits yang kami dengar dari engkau ya
Rasulullah. Rasul SAW berkata, Apakah itu kitab selain al-Qur’an? Tahukah
kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali karena mereka menulis kitab
selain Allah. (HR. Khatib) (Drs. H. Ahmad Izzan)
3) “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-
Qur’an. Dan barangsiapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an,
hendaklah ia menghapusnya.” (Drs. H. Ahmad Izzan)
Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa yang boleh ditulis tentang apa yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para Sahabatnya, hanyalah ayat-ayat
al-Qur’an saja. Sedang yang lainnya tidak boleh ditulis. Hal ini dimaksudkan agar
ayat-ayat al-Qur’an jangan sampai bercampur dengan yang bukan ayat-ayat al-
Qur’an. (Drs. H.M. Syuhudi Ismail)

b. Perintah (membolehkan) menulis hadits


Perintah ini didasarkan pada dalil-dalil hadits Rasulullah sendiri, antara lain
sebagai berikut:
1) Abdullah Ibnu Amr Ibn Ash adalah salah seorang Sahabat yang rajin menulis
tentang apa yang diucapkan oleh Nabi. Melihat hal ini, Sahabat lain ada yang
menegur Abdullah dengan menyatakan: “Kamu telah menulis semua yang kamu
dengar dari Nabi. Padahal beliau itu sebagai manusia biasa, tentunya berbicara
dalam keadaan suka dan terkadang dalam keadaan duka.” Mendengar teguran
ini. Kemudian Abullah Ibn Amr mengadukannya kepada Nabi dan bertanya,
apakah boleh menulis hadits-haditsnya. Mendengar pertanyaan ini, Nabi
menjawab:
“Tulislah. Maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari
mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Daud) (Drs. H. M. Syahudi Ismail)
2) Dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Ikatlah ilmu dengan tulisan (menuliskannya).” (Drs. H. Ahmad Izzan)
3) Rasulullah SAW pernah menyuruh menuliskan surat kepada petugas-petugasnya
di daerah-daerah, yang isinya tentang kadar-kadar zakat unta dan kambing. (Drs. H.
M. Syuhudi Ismail)
5. Shahifah (Catatan) Hadits Pada Zaman Rasulullah SAW
Pada zaman Rasul, tidak sedikit diantara Sahabat yang secara pribadi telah
berusahan mencatat hadits-hadits Rasul. Shahifah yang berisi catatan hadits-hadits
Rasul itu dibuat dipelapah-pelapah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang
hewan. (Drs. H. M. Syududi Ismail)
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhanny, para Sahabat yang memiliki
shahifah ada sekitar 50 orang. Sedangkan menurut Munadzir Ahsan Kailany, ada
lebih dari 10.000 hadits. (Drs. H. M. Syududi Ismail)
Diantara para Sahabat Nabi yang telah menulis hadits-hadits Nabi dalam Shahifah
ialah:
a. Abullah Ibnu Amr Ibn Ash
Dalam shahifah ini, termuat hadits-hadits Rasul sebanyak lebih dari 1000 hadits,
demikian kata Ibnu Atsir. Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash adalah seorang Sahabat
yang sangat rajin menulis hadits, hal ini diakui oleh Abu Hurairah dengan
katanya:
“Tidak ada di antara Sahabat Rasululah SAW yang lebih banyak haditsnya
dari padaku kecuali hanya Abdullah Ibnu Amr. Sebab, dia menulisnya sedang
saya tidak.”
b. Jabir bin Abdullah al-Anshary tentang manasik haji.
c. Abdullah bin Aufa
d. Samurah bin Jundad
e. Ali bin Abi Thalib tentang diyat (denda)
f. Abdullah Ibnu Abbas
Ibnu Abbas, dalam menjelaskan hadits-hadits Nabi, banyak menggunakan tulisan-
tulisan di “alwah” yang dibawanya ke tempat-tempat pengajaran. Muridnya, Said
bin Jubair, selalu mencatat apa yang dijelaskan oleh Ibn Abbas.
g. Abu Bakar Ash-Shidiq
Menurut kitab “Thalaqatul Huffadz”, yang juga dinukil oleh Dr. Shuby Shalih
dalam kitabnya “Ulumul Hadits” menjelskan, bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq pada
mulanya juga memiliki shahifah yang memuat sebanyak 500 hadits. Tetapi, oleh
karena sifat “wara” beliau yang khawatir orang-orang akan menjadi lengah
terhadap pemeliharaan al-Qur’an, maka shahifah hadits yang beliau tulis itu
dihancurkan.
Pada waktu Rasul telah wafat, ada pula shahifah yang terkenal yang diberi
nama “Ash-Shohifatul As-Shohifatu” yang sampai sekarang secara utuh masih
dapat disaksikan.
Shahifah ini disusun oleh Hammam, murid setia Abu Hurairah. Hadits-hadits
yang termaktub dalam shahifah ini, berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah.
Walaupun diantara para Sahabat telah berusaha menulis hadits-hadits Rasul
dalam shahifahnya msing-masing, sudah barang tentu masih banyak hadits yang
tidak sempat ditulis. Dikarenakan banyaknya sabda, perbuatan dan kejadian-
kejadian yang berasal dan dialami oleh Nabi, selama 23 tahun kerisalahannya
terus-menerus, dan lagipula tidak sedikit peristiwa dalam masa kerisalahan itu,
terjadi di tempat-tempat yang tidak sempat disaksikan oleh para Sahabat yang
rajin mencatat.
Selain itu, dapat pula menjadi penyebab ialah adanya kekhawatiran
tercampurnya al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an, serta sebagian besar
Sahabat adalah orang-orang yang tidak pandai menulis. Yang jelas, bahwa hadits-
hadits Rasul sekarang telah termaktub dalam kitab-kitab hadits, tidak hanya
berasal dari shahifah-shahifah di atas tetapi juga dari hafalan-hafalan. Sebab
banyak Sahabat yang tidak membuat shahifah.
Hafalan para Sahabat terhadap hadits memang sangat terpelihara. Sebab,
selain kekuatan hafalan yang mereka miliki memang sangat istimewa, juga waktu
yang digunakan untuk mepelajari dan engkaji hadits sangat teratur.
Adapun masing-masing Sahabat, jumlah hadits yang dihafalnya tidaklah sama,
mengingat beberapa factor yang berhubungan dengan sahabat itu sendiri. (Drs. H.
M. Syuhudi Ismail)

6. Sebab-Sebab Para Sahabat Tidak Sederajat Pengetahuannya Tentang Hadits


Para sahabat sangat menghormati dan menaati Rasul. Mereka berusaha keras
untuk memperoleh dan mengamalkan pengetahuan yang diperolehnya dari Nabi
SAW.
Ada beberapa factor yang menyebabkan bedanya pengetahuan hadits para
Sahabat:
a. Tempat tinggal yang jauh
b. Kesibukan sehari-hari
c. Intelektual dan kecakapannya
d. Keintiman/keakraban pergaulannya dengan Nabi SAW
e. Masa cepat atau lambatnya masuk Islam

B. HADITS PADA MASA SAHABAT


Pada masa ini disebut “Zaman kehati-hatian dan penyederhanaan riwayat.”
Periode ini terjadi pada zaman Khulafa’ur Rasyidin, atau zaman Sahabat Besar.
Yakni, dimulai sejak wafatnya Rasul sampai berakhirnya pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)
1. Pengertian Sahabat
Kata Sahabat (arabnya: Shahabat) menurut bahasa adalah musytaq (pecahan) dari
kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain tanpa ada batas waktu
dan jumlah. Berdasarkan inilah para ahli hadits mengemukakan rumusan mereka
tentang Sahabat sebagai berikut. (Drs. H. Ahmad Izzan)
Ibn Hajar al-Asqalani mengetakan, Sahabat ialah orang yang pernah bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW, dengan ketentuan ia beriman dan hidup bersama
beliau, baik lama atau sebentar, meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak.
Demikian pula orang yang pernah melihat Nabi SAW walaupun sebentar atau
pernah bertemu dengan beliau namun tidak melihat beliau karena buta. (Drs. H.
Ahmad Izzan)

Said ib al-Musayyab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Sahabat


adalah orang yang pernah hidup bersama Rasulullah SAW selama satu atau dua
tahun dan pernah berperang bersama beliau sekali atau dua kali. (Drs. H. Ahmad Izzan)

2. Sikap Dan Kebijaksanaan Khulafa’ur Rasyidin Mengenai Hadits-Hadits


Rasulullah SAW
a. Khalifah Abu Bakar dan Umar
Khalifah Abu Bakar dan Umar menyerukan kepada umat Islam untuk lebih
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, serta meminta kepada para Sahabat
untuk menyelidiki riwayat.
Kebijaksanaan ini dimaksudkan:
1) Untuk memelihara al-Qur’an
2) Agar umat Islam perhatiannya hanya tercurah kepada pengkajian dan penyebaran
al-Qur’an
3) Agar masyarakat tidak bermudah-mudah dalam meriwayatkan hadits.
Pada zaman Abu Bakar dan Umar, al-Qur’an masih berada pada tahap dihafal
oleh para Sahaba dan baru pada rintisan pertama untuk dimushafkan.
Akibat dari kebijakan ini ialah:
1) Periwayatan hadits sedikit sekali (sangat terbatas)
2) Hadits dan ilmu hadits, belum merupakan pelajaran yang bersifat khusus
3) Pengetahuan dan penghafalan hadits, umumnya masih bersifat individual.

b. Khalifah Utsman dan Ali


Pada masa Khalifah Utsman dan Ali, keadaannya tidak terlalu berbeda dengan
keadaan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, tentang sikap pemerintah terhadap
periwayatan dan pendewanan hadits. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)
Khalifah Ali berseru kepada masyarakat umum, agar mereka terhindar dari
pencampuradukkan al-Qur’an dengan lainnya dan tidak meninggalkan al-Qur’an.
Dibalik itu, bahwa karena sejak zaman Umar daerah Islam telah meluas sampai
ke luar jazirah Arab. Maka para Sahabat telah mulai banyak yang terpencar ke
daerah-daerah. Kalau pada zaman Umar, larangan periwayatan hadits telah
dinyatakan dengan tegas, sedang zaman Utsman dan Ali, walaupun larangan itu
belum juga dicabut, tetapi tidaklah setegas di zaman Umar, maka sudah dengan
sendirinya punya pengaruh terhadap pengembangan hadits. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)
Oleh karena itu, penyebaran dan pengembangan riwayat, sedikit demi sedikit
telah mulai dilakukan oleh para Sahabat. Secara umum, periwayatan hadits masih
terbatas, belum meluas. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)

3. Sikap Dan Cara Sahabat Mengembangkan Hadits


a. Sikap sahabat dalam mengembangkan hadits
1) Sangat memperhatikan rawi dan matan hadits dalam hal periwayatan dan
penerimaan hadits.
2) Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadits (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)
b. Cara sahabat menyampaikan hadits
1) Dari mulut ke mulut (belum tertulis)
2) Periwayatan dengan cara lafadziyah dan ma’nawiyah
3) Banyak bersandar pada ingatan dan hafalan (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)

4. Pemeliharaan Hadits Pada Masa Sahabat


Pada masa Kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits adalah sedikit
dan agak lamban. Dalam periode ini periwayatan hadits dilakukan dengan cara
yang ketat dan sangat hati-hati.
Demikian juga halnya dengan Umar, bahwa dia tidak mudah menerima suatu
hadits sebagaimana yang terlihat dalam keterangan berikut. Ketika Abu Musa al-
Asari bertama kepada Umar, dia mengucapkan salam sapai tiga kali. Umar
mendengarnya, namun tidak menjawab, karena ia mengira Abu Musa akan
menemuinya. Dugaan tersebut melesat ternyata ia berbalik langsung pulang.
Ketika Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia balik pulang. Abu
Musa menjawab bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, Apabila seseorang
mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga dijawab oleh si pemilik
rumah, maka hendaklah dia pulang kembali. Umar tidak puas atas keterangan
Musa, bahkan Umar mengancam untuk menghukumnya kalau tidak
menghadirkan seorang saksi atas keterangan yang disampaikan Abu Musa
tersebut. Dan, pada saat itu tampilah Ubay ibn Ka’ab memberikan penjelasan
tentang kebenaran hadits tersebut.
Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Utsman dan Ali juga sangat teliti
dan hati-hati dalam menerima hadits. Ia pernah mengatakan dalam khotbahnya
agar para Sahabat tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah
mendengarnya di masa Abu Bakar dan Umar.
Sejarah mencatat, bahwa pada periode Khulafa al-Rasyidin, khususnya pada
masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits sangat sedikit dan lamban. Hal ini
dikarenakan kecenderungan mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat,
disamping sikap hati-hati dan teliti dalam menerima hadits. (Drs. H. Ahmad Izzani)

5. Masa penyebarluasan periwayatan hadits


Setelah Nabi SAW wafat yakni dalam periode Sahabat, para Sahabat tidak lagi
mengurung diri di Madinah. Mereka telah mulai menyebar ke kota-kota selain
Madinah. Terutama pada masa Khalifah Utsman ibn Affan terlihat begitu besar
memperluas kekuasaan Islam dan telah meliputi seluruh Jazirah Arab, wilayah
Syam (Palestina, Yordania, Siria, Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia,
dan kawasan Samarkand.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat
mendirikan masjid-masjid di daerah baru itu, dan ditempat baru itu sebagian dari
mereka menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan mengajarkan al-Qur’an dan
Hadits Nabi SAW.
Diantara kota-kota yang banyak terdapat para Sahabat dan aktivitas
periwayatan hadits adalah:
a. Madinah
Di kota ini terdapat para Sahabat yang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam
tentang haditsd, diantaranya Khulafa al-Rasyidin, Aisyah ra, Ab Allah ibn Umar,
Abu Said al-Khudri, Zaid ibn Tsabit dan lainnya.
b. Mekkah
Setelah kota Mekkah ditaklukkan pada masa Rasulullah SAW, disana ditunjuk
Muadz ibn Jabal sebagai guru yang mengajari para penduduk setempat tentang
masalah halal dan haram, dan memperkenalkan serta memeperdalam pengetahuan
mereka mengenai ajaran Islam dan sumber-sumbernya yaitu al-Qu’ran dan hadits.
Di kota ini pula lahir beberapa nama dari kalangan seperti Said ibn
Mussayyab, Urwah ibn Zubair, ibn al-Syihab, Ubaidillah ibn Utbah ibn Masud,
dan lainnya.
c. Kufah
Setelah Irak ditaklukkan pada masa Khlaifah Umar ibn al-Khaththab, di kota
Kufah tinggal sejumlah besar Sahabat, di antaranya Ali ibn Abi Thalib, Saad ibn
Abi Masud, dan lainnya. Ibn Masud mempunyai peran yang penting dalam
penyebaran agama Islam, termasuk di Kufah dan daerah sekitarnya.
Terdapat sejumlah 60 orang murid Ibn Masud di Kufah yang berperan dalam
penyebaran hadits. Diantaranya adalah Kamil ibn Zaid al-Nakhai, Amir ibn
Syurahil al-Syabi, said ibn Jubair , Ibrahim al-Nakhari, dan lainnya.
d. Basrah
Di kota Basrah terdapat sejumlah Sahabat, seperti Anas Ibn Malik yang dikenal
sebagai Imam fi al-Hadits di Basrah, Abu Musa al-Asyari, Abd Allah ibn Abbas,
dan lainnya. Para Sahabat tersebut melahirkan tokoh terkenal dari kalangan
tabiin, seperti Hasan al-Bashri dan Muhammad ibn Sirrin.
Di kota lain, seperti Syam, Mesir, Yaman, Khurasan, juga terdapat sejumlah
Sahabat yang aktif mengajar dan menyebarkan hadits Nabi SAW, yang pada
tahapan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh hadits dari kalangan tabi’in yang
berperan dalam penyebaran hadits. (Drs. H. Ahmad Izzan)

6. Penulisan Hadits Pada Masa Sahabat


Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW yang membolehkan
untuk menuliskan hadits, dan diberi kelonggaran untuk menulis hadits. Namun
para Sahabat, pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan hadits di
masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin. Hal ini dikarenakan besarnya mereka
untuk menyelamatkan al-Qur’an dan sekaligus Sunnah (hadits). Akan tetapi,
keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena ketika suatu larangan
untuk menuliskan hadits secara bertahap hilang, maka semakin banyak pula para
Sahabat yang membolehkan penulisan hadits.
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya dari al-Qsim ibn Muhammad,
dari Aisyah ra dia mengatakan bahwa ayahnya (Abu Bakar ) mengumpulkan
hadits yang berasal dari Rasulullah SAW yang jumlahnya sekitar 500 hadits.
Demikian juga dengan Umar yang semula berpikir untuk mengumpulkan hadits,
namun tidak lama berselang dia berballik dari niatnya tersebut.
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan hadits pada masa-
masa awal itu diantaranya adalah Abd Allah ibn Masud, Ali ibn Abi Thalib, Abu
Hurairah, Ibn Abbas, dan Abu Said.
Akan tetapi setelah sebab-sebab larangan penulisan hadits tersebut hilang,
maka para Sahabat pun mula mengendorkan larangan tersebut dan bahkan
diantara mereka ada yang justru melakukan atau menganjurkan untuk menuliskan
hadits. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat
pemelliharaan terhadap al-Qur’an telah aman dan terjamin, dia pun mulai
menuliskan sebagian hadits Nabi SAW yang selanjutnya dikirimkan kepada
sebagian pegawainya atau Sahabatnya. (Drs. H. Ahmad Izzan)
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
1. Pengertian Tabi’in
Tabi’in adalah orang yang pernah berjumpa dengan Sahabat dalam keadaan
beriman, serta meninggal dalam keadaan beriman juga.
Tabi'in (bahasa Arab: ‫التابعون‬, pengikut), adalah orang Islam awal yang masa
hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi
Muhammad SAW. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi, bahkan ada
yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in
merupakan murid Sahabat Nabi. (Drs. H. Ahmad Izzani)
2. Sikap Dan Cara Ummat Islam dalam Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
a. Sikap Umat Islam Terhadap Periwayatan Hadits
Umat Islam pada periode ini telah mulai mencurahkan perhatiannya terhadap
periwayatan hadits. Hal ini disebabkan:
1) Al-Qur’an telah dikodifikasikan (dikumpulkan/terjaga/aman)
2) Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ummat Islam telah makin banyak. Dan ini
berarti memerlukan petunjuk-petunjuk dari hadits-hadits Rasulullah SAW yang
lebih banyak lagi, disamping petunjuk al-Qu’ran yang mereka tetap dipegang.
3) Jumlah Sahabat yang meninggal dunia telah bertambah banyak dan yang masih
hidup telah banyak yang terpencar tempatnya di daerah-daerah. Keadaan
demikian mendorong para Sahabat kecil dan Tabi’in Besar melawat ke daerah-
daerah dimana Sahabat besar berada untuk memperoleh hadits-hadits Rasulullah
SAW.
b. Cara Ummat Islam dalam periwayatan hadits
1) Para Sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits,
demikian pula para Tabi’in. hal ini dapat dimengerti, karena pada periode ini
pemalsuan hadits telah berkembang.
2) Bentuk periwayatan pada periode ini masih sama dengan periode sebelumnya,
yakni dengan cara:
a) Dari mulut ke mulut (belum tertulis dan belum di kondifikasi)
b) Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma’nawiyah
c) Bersandar kepada ingatan dan hafalan. (Drs. H. M. Syuhudi Ismail)
3. Penulisan hadits pada masa tabi’in
Keengganan para Tabi’in dalam penulisan hadits ini semakin meningkat tatkala
mereka menyadari bahwa banyak di antara ahli hadits di masa itu menyertakan
pendapatnya ketika meriwayatkan hadits, dan kebanyakan ahli hadits pada masa
Tabi’in adalalah juga ahli fiqh, dan ahli fiqh cenderung menggabungkan hadits
dengan pendapatnya sehingga dikhawatirkan pendapat dan ijtihadnya tersebut
disatukan dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. Tujuan utamanya pelarangan
dalam menulis hadits ialah agar tidak terjadinya percampuran antara hadits dengan
al-Qur’an. (Drs. H. Ahmad Izzan)
Oleh karena itu, ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara
penulisan hadits dengan pendapat perawinya telah dapat diatasi, maka sebagian
besar Tabi’in memberikan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka
untuk menuliskan hadits-hadits yang mereka ajarkan. Terdapat kalangan Tabi’in
itu sendiri mereka terima dari para Sahabat adalah: Said ibn Zubair, yang
diterimanya dari ibn Abbas (w. 95 H), dan juga Said ibn Al-Mussayab (w. 94 H).
Penulisan hadits di masa Tabi’in semakin meluas pada akhir abad pertama dan
awal abad kedua Hijriyah. (Drs. H. Ahmad Izzan)
KESIMPULAN, KRITIK DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa, hadits pada masa Rasulullah SAW memerintah kepada
para Sahabat untuk menghafal hadits dan menyebarkannya. Pada masa Rasulullah SAW
dalam Penyampaian Hadits dilakukan dengan cara: Pada majelis-majelis Rasulullah
SAW, pada peristiwa yang Rasulullah mengalaminya kemudian beliau menerangkan
hukumnya, pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, kemudian menanyakan
hukumnya kepada Rasulullah. Dan ada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para
sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah SAW.
Pada masa ini, hadits belum berlaku untuk ditulis, dikarenanakan takut tercampurnya
al-Qur’an dan hadits. Selain itu, para Sahabat dalam mendapatkan hadits dari Rasulullah
SAW, dilakukan dengan cara secara langsung maupun tidak langsung. Pada masa
Sahabat juga, hadits-hadits Rasulullah SAW masih belum berupa tulisan. Karena kehati-
hatian para Sahabat dalam menerima hadits. Jadi, pada masa sahabat masih
menggunakan hafalan untuk mengingat hadits-hadits Nabi SAW dan menyebarkannya.
Dan pada masa para Sahabat (Khulafa al-Rasyidin), penyebaran hadits sangat lambat dan
sedikit perawi dikarenakan kehati-hatian dalam menerima hadits dan sedikit sekali yang
menulis hadits, meskipun sudah ada dalil dalam kebolehan menulis hadits Nabi SAW.
Hadits mulai banyak menulis pada masa Tabi’in, dikarenakan takut akan
tercampurnya al-Qur’an dengan hadits dan juga semakin banyak hadit palsu yang
bermunculan, sehingga Murid dari Tabi’in menulis hadits-hadits Nabi SAW yang telah
di ajarkannya.
B. Kritik dan Saran
Setelah makalah ini tersusun, penulis berharap mendapatkan kritik dan saran dari
pembaca maupun dari dosen. Agar terciptanya makalah yang baik dan benar, sehingga
pembaca dengan mudah memahami apa yang penulis susun ini. Dan penulis berharap
dengan adanya kritik dan saran ini, dapat membuat makalah ini lebih baik dan berfaedah.
Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Tafakur


Ismail, Syuhudi. 1987. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: ANGKASA
Rachman, Fatur. 1991. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif
Ismail, Syuhudi. 1978. Penela’ahan Hadits dalam Usaha Pemecahan Mas’alah Hukum
sebelum Penggunaan Methode Ijtihad. Ujungpandang
Ash-Shiddieqi, Hasbi. 1973. Sejarah Perkembangan Hadits. Jakarta: Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai