Anda di halaman 1dari 15

TATHWIR HADITS

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW

Hadis pada masa Nabi dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan
dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang
diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan
taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat
merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.
2.

1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits


Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah sebagai berikut :
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan
menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah ini yaitu:

.‫وحدثوا عين وال حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar
daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya
dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang menunjukkan perintah ini
yaitu:
.‫التكتبوا عين شيئا إال القرآن ومن كتب عين شيئا غري القرآن فليمحه‬
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan barangsiapa
telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Ahmad dan Muslim).
2. Cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits

Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
 
a. Melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk
membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang
diberikan oleh Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang
kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis
(terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Fath Makkah.
3. Perbedaan para Shohabat dalam menguasai hadits

Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka
dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga,
perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.

Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara
lain:

a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn
Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak
yang berkaitan dengan soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah
Amr Ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara
sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW, banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut
usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn
Abbas.
Menurut Muhamad Musthafa Azami, bahwa para sahabat menerima hadits dari Rasulullah SAW
melalui tiga macam cara, yaitu:
1)Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering mengulang-
ulang apa yang telah diucapkannya.
2)Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah menerima
hadis dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
3)Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah
SAW.
4. Penulisan Hadits masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin

Sa’ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah SAW. Ibnu Hajar memastikan
bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya meriwayatkan hadis dari catatannya
tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu merupakan salinan dari catatan Abdullah bin Abi Aufa
yang menulis sendiri hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin Amr bin al-Ash termasuk sebagai ash-Shahifah
ash-Shadiqah. Abdullah bin Amr mencatat dari sumbernya, yakni Rasulullah sendiri. Yang terhimpun seribu
hadis Rasulullah SAW. Shahifah dalam tulisan tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya terhimpun
di dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad Ahmad.

Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr.
Mereka beralasan,
.‫ التكتب عين ومن كتب عين غري القرآن فليمحه‬: ‫أن رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم قال‬
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku. Dan
barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, hendaklah ia menghapuskannya.”
(HR. Muslim).
Dan mereka berkata kepadanya, Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi Muhammad SAW,
padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan ssuatu yang tidak dijadikan
syariat umum. Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut
Rasulullah SAW kemudian bersabda :

.‫أكتب عين فوالذي نفسي بيده ماخرج من فمي إال حق‬


Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar
dari muutku, selain kebenaran.
Hadits pada masa Khulafa’ Rasyidin

Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn al-
Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H s/d 40 H. Masa ini
juga disebut dengan masa sahabat besar.

Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya
menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW, yaitu:

1. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan
Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.

2. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya
dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi tersebut
menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya :
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi
Muhammad SAW merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.

f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari
Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.

Hadist pada masa Tabi’in

Pada era tabi’in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada masa ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi
dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi’in dapat memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat.
Kemudahan lain, yang diperoleh tabi’in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah.
5. Perkembangan Pembukuan Hadis

Perkembangan pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
 
a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah
atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan, dan
dha’if.
b. Al-Jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yakni
aqa‟id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat- sifat
akhlak (syama’il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat beberapa
hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Madjah, dan Sunan Abu Dawud.
Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha’if, tetapi tidak terlalu dha‟if seperti hadis
Munkar.
6. Masa Kodifikasi Haditts
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification, yaitu mengumpulkan dan
menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW secara resmi
berdasar perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan
secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, kodifikasi hadis (tadwin hadis) adalah
penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara (khalifah), bukan
dilakukan atas inisiatif sendiri. Tujuannya untuk menjaga hadis Nabi Muhammad SAW dari kepunahan dan
kehilangan baik karena banyaknya periwayat penghafal hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis palsu
yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis atas perintah Khalifah atau penguasa
daerah untuk disebarkan kepada msyarakat. Para ulama hadis sepakat mengatakan bahwa kodifikasi hadis mulai
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abd Aziz yang memerntahkan pada tahun 99-101 H.
Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadits
a. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah
b. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah
c. Kodifikasi Hadis Abad IV - VII Hijriyah
d. Kodifikasi hadits abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang

Perkembangan Pembukuan Hadits


Perkembangan pembukuan hadis pada abad 4-6 H ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam
2. Shahih
3. Al-Mustadrak
4. Sunan
5. Syarah
6. Mustakhraj
7. Al-Jam’u
Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu
secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajarinya
ialah sebagai berikut:
1. Al-Mawdhu’at
2. Al-Ahkam
3. Al-Athraf
4. Takhrij
5. Zawa’id
6. Jawami’ atau Jami’
Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti
dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah
hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
Alhamdulilla
ah

Anda mungkin juga menyukai