Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEJARAH HADIS DAN PERKEMBANGANNYA

DISUSUN OLEH
Anju Alba Sitompul ( 0702193153 )
Maulana Aras ( 0702193152 )
Sukma Harahap (0702193149 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


SISTEM INFORMASI
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, dan dengan kehendak – nya lah Makalah tentang Proses
Berbangsa Dan Bernegara ini dapat diselesaikan sehingga menjadi penambah ilmu untuk kita
semua. Dan tak lupa memberikan ucapan Shalawat dan Salam kepada Baginda Muhammad
SAW, semoga kita merupakan ummat yang mendapat syafa’atnya kelak.

Dan juga taklupa terimakasih kami yang sangat besar terhadap dosen pengampu mata kuliah
pelajaran Al – Hadits yang membimbing kami dalam penulisan makalah ini

Meski sudah dilakukan pengerjaan maksimal dalam penulisan karya ini, masih juga terdapat
kekurangan dan kami menerima kritik dan saran, sehingga makalah ini menjadi lebih sempurna.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadis sangat penting dan mendasar
sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Mengetahui perkembangan hadis, baik dari
perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena
dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak
lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al Qur’an. Hal ini wajar saja
karena Al Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan
mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun
dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan
Utsmani ( Khathth Usmani ). Sedangkan penulisan hadist pada masa Nabi secara umum justru
malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan
mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah.

B. Rumusan masalah
a. Bagaimana sejarah hadis?
b. Bagaimana sejarah hadis dan perkembangannya pada masa pasca kodifikasi?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah hadis.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HADIS

A. Hadis Pada Masa Pra Kodifikasi


1. Periode Pertama: Perkembangan Hadis Pada Masa Rasululloh SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr Al-Wahyi wa At-Tahwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (Aqwal), Af’al, dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakan syariat Islam dan membentuk masyarakat
islam.
Hadis pada masa ini pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh mereka, tidak ditulis seperti
Alquran ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr.
Mushthafa As-Siba’I menyampaikan beberapa alasan diantaranya :
a. Alquran masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sangat
sederhana ditulis di atas pelapah kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum
dibukukan. (Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
b. Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat pada awal islam masih sangat langka dapat dihitung
dengan jari dan mereka sudah difungsikan sebagai penulis wahyu Alquran.
c. Ingatan orang-orang arab yang dikenal bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan
diandalkan Rasululloh untuk mengingat hadis.
Sebagian menyebutkan sebab hadis tidak ditulis yaitu dikhawatirkan akan bercampur dalam
catatan sebagian sabda Nabi dengan Alquran dengan tidak sengaja. Karena itu, Nabi melarang
mereka menulis hadis karena khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman ilahi. Tetapi
hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadis dengan cara tidak resmi. Memang
ada beberapa atsar yang sahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadis di masa Nabi
Muhammad SAW.
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai shahifah
(lembaran-lembaran) yang tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian hadis yang mereka dengar
dari Rosululloh SAW. Seperti shahifah Abdullah ibn Amr ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah”.
Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya
hukum-hukum diyat yang diterapkan kepada kelurga, dan lain-lain.
Menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan. Sebagian ulama
yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang akan
dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan alquran. Izin hanya diberikan kepada mereka
yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Alquran.
Tegasnya mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan,
apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Alquran, dan
keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri. Memang kita
dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya
untuk beberapa orang terentu. Riwayat Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.

2. Periode Kedua : Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)


Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan hadis (As-
Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan
hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang
para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar
para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.
Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni :
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW yang
mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari
Nabi Muhammad SAW.
Kekhawatiran Umar bin Al-khatab dalam pembukuan hadis adalah tasyabbuh/ menyerupai
dengan ahli kitab yakni yahudi dan nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantinya
dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka.
Umar khawatir umat islam meninggalkan Alquran dan hanya membaca hadis. Jadi Abu Bakar dan
Umar tidak berarti melarang pengkondifikasian hadis tetapi melihat kondisi pada masanya belum
memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu
ketika umat islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah di atas menerima
hadis dari orang perorang dengan syarat disertai saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya
jika disertai dengan sumpah disamping saksi.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber
ajaran setelah Alquran, yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruannya sebagaimana
terpeliharanya Alquran. Oleh karenanya, para sahabat berusaha memperketat periwayatan dan
penerimaan hadis.

3. Periode Ketiga : Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin


Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan
berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku
jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada
sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan hadis kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawanan untuk
mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga
(Centrum perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadis
yang banyak menerima, menghafal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah :
a. Abu Huraira, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan
menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
b. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
c. ‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan 2.276 hadis.
d. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
e. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali.r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah
menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan
golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah dan
ketiga golongan jumhur (golongan Pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasululloh SAW.untuk mendukung
golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada
masyarakat.
B. Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi dan Perkembangannya.
1. Periode Keempat : Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadis
\Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin ( masa penulis dan pembukuan). Maksudnya,
penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah. Adapun
kalau secara perseorangan, sebelum abad ke-2 H. hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabi’in,
sahabat kecil, sahabat besar, bahkan pada masa nabi.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz . Sebagian khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadar bahwa para perawi
yang menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila
tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada
kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersama dengan kepergian para
penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada gubernur
Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar, Al-
Laits, Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadis Rasul yang
terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn
Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli Fiqh, murid ‘Aisyah r.a (20 H/642 M – 98 H/716 M atau 106 H/724
M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107
H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha tujuh Madinah.
Disamping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya
untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di
antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad
Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqh dan
hadis. Beliau adalah guru Malik, Al-Auza’i, Ma’mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin.
Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas
perintah kepala Negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadis
yang ada di Madinah. Pembukuan hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn
Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulma-ulama
hadis pada masanya.
Diantara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadis. Dalam masa ini
muncullah propaganda-propaganda politik untuk mengembangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah
mempengaruhi massa, dibuatlah hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka mudah menarik
minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abasiyah. Sebagai imbalannya, muncul pula dari
pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus Propaganda penganut paham
Abbasiyah.
Disamping itu muncul pula golongan Zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya
menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisha-
kisah palsu yang di sandarkan kepada hadis-hadis maudhu’ (palsu). Hal ini menyebabkan sebagian
ulama mendorong mempelajari keadaan perawi-perawi hadis dan memang dalam masa ini telah
banyak perawi-perawi yang lemah.
Diantara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriah ialah Malik, Yahya Ibn Said
al-Qaththan, Waki’ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abd ar-
Rahman ibn Mahdy, Al-Auza’y, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y.

2. Periode Kelima : Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya


Abad ke-3 H. merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab
Muwaththa’-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing.
Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadis. Keadaan ini diubah oleh Al-Bhukari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah
yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, naisabur, rei, Baghdad, Bashrah, Kufah,
Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.
Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya. Para
ulama pada mulanya menerima hadis dari para perawinya lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa
mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan sahih tidaknya. Namun setelah
terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis,
para ulama pun melakukan hal-hal berikut :
a. Membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat kediaman, masa,
dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni dengan mentashihkan hadis.
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang
palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al Bukhari. Al-
Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih. Di dalam
kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini
diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak
Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun
kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat
dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Disamping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh
para ulama ke dalam kitab-kitab induk, sehingga kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah. Yang
kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah’. Dibawah kitab yang enam ini, para ulama
menempatkan Musnad Ahmad.

3. Periode Keenam : Dari Awal Abad IV H – Tahun 656 H


Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah
angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami.
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke 2 dan ke 3, digelari Mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri,
dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Parsi,
dan lain-lain.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pejangga abad ke-4. Para ulama abad ke-4 ini dan
seterusnnya digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan atau
nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri
kepada para penghafalnya.[11]
Ahli hadis pada abad ke-3 tidak banyak lagi yang mentakhrijkan hadis. Mereka hanya berusaha
mentahdzibkan, menghafalnya, dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab-kitab yang telah ada
itu. Dalam abad ke-4 ini lahirlah pemikiran untuk memandang cukup dalam meriwayatkan hadis
dengan berpegang kepada kitab saja, tidak melawat kemana-mana. Menurut riwayat, Ibnu Mandah
adalah ulama yang terakhir yang mengumpulkan hadis dengan jalan lawatan.
Pada periode ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab shahih pada abad ke-
3. Kitab-kitab itu antara lain : Ash-Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At-Taqsim wa Anwa’
(susunan Ibnu Hibban), Al-Mustadrak (susunan Al-Hakim), Ash-Shahih (susunan Abu ‘Awanah),
Al-Muntaqa (susunan Ibnu Jarud), Al-Mukhtarah (susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdisy).
Pada akhir abad ke-4 itu, selesailah penyusunan hadis. Maka ulama abad ke-5 menitikberatkan
usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serak dan memudahkan
jalan-jalan pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab
dan hadis-hadis tarqhib dalam sebuah kitab, serta mensyarahkannya. Di antara usaha ulama abad ke-
5 ialah mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam dan lain-lainnya dalam sebuah
kitab besar.
Ringkasnya, di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah :
1. Mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhary atau Muslim dalam sebuah kitab.
2. Mengumpulkan hadis-hadis kitab enam
3. Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab athraf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadis dari Al-
Bukhari dan Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari
atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Mustakhraj.
Banayk ulama telah berusaha menyusun istikhraj terhadap Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim.
Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki
syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau
disahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Kitab Mustadrak.

4. Periode Ketujuh : Tahun 656 H - Sekarang


Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w.656
H). sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi,
yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrijan, dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan
oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun
kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat
dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu
Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab
Zawa’id yang lain. Disamping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang
terdapat dalam beberapa kitab kedalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ Al-
Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwani Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ul Jawani
susunan Al Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hads-hadis yang tidak disebut perawinya
dan pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang
menyusun kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-‘Asyrah oleh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hambali oleh Ibnu Hajar, dan
masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai