BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai pada akhirnya hadits sangat penting dan berguna bagi umat islam
untuk ditulis dan dibukukan dalam menghadapi suatu masalah . Oleh karena itu
dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana sebenarnya sejarah
perkembangan dan pembukuan hadits itu.
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam
berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlak dan lain
sebagainya. Sebab cara structural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai
penjelas terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuatkan dengan
berbagai pernyataan yang gambling dalam Al-Qur’an itu sendiri yang
menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya QS. Al-Ahzab: 21
dan Al-Hasyr: 7
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan
perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan
secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada
tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak
2
demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada
garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak
demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari
al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan
penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi
transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Diantara sahabat tidak semua bergaulnya dengan Nabi. Ada yang sering
menyertai, ada yang beberapa kali saja bertemu Nabi. Oleh sebab itu Al Hadits
yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya ataupun macamnya.
Demikian pula ketelitiannya. Namun demikian diantara para sahabat itu sering
bertukar berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang
diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat bahkan umat Islam pada umumnya
pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.Dengan demikian pelaksanaan Al
Hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan
pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karenanya para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-
larut. Al Hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh umat Islam dimasa Nabi
Muhammad hidup ini oleh ahli Hadist disebut sebagai Sunnah Muttaba’ah
Ma’rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran Al Hadist.
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
1 Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 65.
5
Segala hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan
keshahihanya atau kehasananya atau kedho’ifanya. Sehingga dalam abad ke 3 ini
sudah mulai dibedakan secara rapi antara hadis shahih, hadis hasan, dan hadis
dhaif.
Pada abad ke 3 hijriah, usaha untuk membukukan hadis memuncak sesudah
kitab-kitab Ibn Juraij dan al-Muwaththo’ Malik terbesar dalam masyarakat serta
disambut dengan gembira oleh masyarakat. Dari sini, timbul kemauan untuk
menghafal hadis, mengumpulkan, serta membukukannya. Dari sini pula, ahli-ahli
ilmu hadis mulai berpindah tempat dari suatu negeri ke negeri lain untuk mencari
hadis yang akhirnya membuat perkembangan hadis semakin maju.
Ada perbedaan dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist
mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an
yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.2
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah
memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadist-hadist Nabi.3
Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa
hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad
pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada
Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah
ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap
mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa
hal kepatuhan juga sebagian dari agama.4
Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena
mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis
baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.5
Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang
mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan
dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist
2
Shubhi ash Shaleh, Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Libanon: Dar al-‘ilm al Malayin. 1997. Hal
45
3
M.M Azami, Hadist Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya Jakarta:Pustaka Firdaus. 1994. Hal.106.
4
Abuddin Nata,Al-qur’an dan Hadist Jakarta: Raja Girafindo Persada. 1996. Hal.158.
5
Ibid. Hal. 83
6
itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan
itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi
sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya
ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa
ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab
tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian
fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat,
tabi’in serta fatwa ulama.
Menurut ahli hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan
keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena
hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-
sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih
awal.6 Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada
masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim,
khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat
kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis.
Baru pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak
pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah
Dinasti Abbasiyah.
Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist,
terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan
pemalsuan hadist yang semakin marak. Dalam setiap ajaran agama bagi para
pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini
sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta
pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau
acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2
dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam.
6
Opcit, Azami. Hal. 108
7
7
M.Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah Perkembagan Hadist, Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Hal.87
8
Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua yang
merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al
Qur’an, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari Muhammad SAW
9
Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H
/ 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam
penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk
menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak Al Hadist.
Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin
'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M)
diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu beliau Az-Zuhri
menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal
isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama,
sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-
tingginya, ditentukannya mana yang Maqbul dan mana yang Mardud. Para ahli Al
Hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 Al Hadits yang tidak
sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.
Apa yang telah dilakukan oleh para ahli Al Hadits abad 3 Hijriyah tidak
banyak yang mengeluarkan atau menggali Al Hadits dari sumbernya seperti
halnya ahli Al Hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli Al Hadits abad 3 umumnya
melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas Al Hadits yang telah ada
disamping juga menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat
dikatakan masa penyelesaian pembinaan Al Hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah
dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits, menghimpun
yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya. Kitab hadis masa itu yang
terkenal hingga sekarang adalah Al-Kutub As-Sittah (enam kitab hadis), yaitu :
a. Sahih Al-Bukhari karya Imam Bukhari
b. Sahih Muslim karya Imam Muslim
c. Sunan Abi Daud karya Imam abu Dawud
d. Sunan At-Tirmizi karya Imam Tirmizi
e. Sunan An-Nasa’i karya Imam Nasa’i
f. Sunan Ibni Majah karya Imam Ibnu Majah
Enam kitab inilah yang sampai sekarang dijadikan buku induk hadis. Para
ulama ketika membahas suatu permasalahan agama dan mencari hadis-hadis nabi
sebagai sumber hukumnya, maka mereka akan merujuk pada enam kitab hadis
tersebut.
8
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis “Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer”. (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 178.
14
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak
berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini
kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode
yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis
dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah
Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H)
hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam
Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-
Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di
Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain: