Anda di halaman 1dari 11

PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADIS

Pendahuluan
Hadis menurut bahasa adalah sesuatu yang baru, hal ini mencakup sesuatu
(perkataan) baik banyak maupun sedikit.[1] Dan juga memiliki arti Khabar (warta), yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada
kemungkinan benar atau salahnya.[2] Adapun hadis menurut istilah adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa
ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadis. [3]
Menurut ahli ushul hadis adalah segala pekataan Rasulullah, perbuatan dan taqrir beliau,
yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syari.
Kaum muslimin meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum utama sesudah
Al-quran. Pada hakikatnya hadis tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Alquran itu sendiri. Secara historis perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-quran.
Jika Al-quran sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu
atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan
penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis. Jika Al-quran secara normatif
tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian dengan hadis.
Keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-quran
yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para
sahabat

berkaitan

dengan

penulisannya.

Bahkan

Al-quran

telah

secara

resmi

dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar As-Shiddiq yang dilanjutkan dengan
Usman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa
Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi
hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah
Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa
Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu, (Bairut: Libanon,
1992), hal. 26.
2
Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al
Rosul, (Bairut: Libanon, 1992), hal. 24.
3
Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,..hal. 27.
1

Rasulullah saw menyebabkan telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan


otentisitas hadis. Maka dalam waktu sejauh itu, tak heran banyak hadis-hadis palsu yang
tersebar dikalangan umat Islam terdahulu. Sehingga lahirnya rencana dan usaha
pembukuan hadis yang merupakan bentuk pengaruh positif dari peristiwa tersebut yang
terjadi sejak masa sahabat. Usaha pembukuan hadis tersebut diagendakan sebagai upaya
penyelamatan dari kemusnahan dan pemalsuan hadis. Untuk itu dalam makalah ini akan
dibahas mengenai pengumpulan dan kodifikasi hadis serta berbagai permasalahan yang
berhubungan dengannya.
Pengertian Pengumpulan (Tadwin) bukan Pencatatan dan Penyususnan Hadis
Tadwin artinya

kodifikasi

(pembukuan)/pencatatan.

Sedangkan

menurut

terminologi tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadis yang secara resmi
didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam
masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan. Lebih dari itu, kata tadwin juga
berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka
kata tadwin tidak semata-mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan,
pembukuan dan pendokumentasian.[4] Adapun pengertian tadwin hadis yaitu dilakukan
secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya,
sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.[5]
Hadis merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat
Rasulullah. Hadis adalah sumber hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan
pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al-quran, Karena itu perhatian kepada hadis
yang diterima dari Nabi Muhammad saw dilakukan dengan cara memahami dan
menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini
sudah ada sejak Nabi Muhammad saw masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis
sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga
kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang
pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Nabi Muhammad saw baik
4
5

Zainul Arifin, Studi Hadis, (Surabaya: Alpha, 2005), hal. 34.


Ibid, 35.

yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para
sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada,
jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain;
a.

Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan Al-qurun.

b.

Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.

c.

Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang
disampaikan Nabi Muhammad saw.
Setelah Rasulullah saw wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada

kaum muslimin. Rasulullah saw berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dalam
memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin.
Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke kotakota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada masyarakat.
Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan Al-quran
Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
a. Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad saw.
b. Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi
maksud dan isinya tetap sama. Hal ini membuka kesempatan kepada sahabat-sahabat
yang dekat dengan Rasulullah saw untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka
tersebar ke kota-kota lain.
Faktor-Faktor Yang Mendorong Umar Bin Abdul Aziz Mengkodifiksikan Hadis
Ide penghimpunan hadis nabi secara tertulis untuk pertama kali dikemukakan oleh
Khalifah Umar bin al Khattab (23 H=633 M). Ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar
karena Umar merasa khawatir umat Islam akan terganggu perhatiannya dalam mempelajari
Al-quran. Pembatalan niat Umar untuk menghimpun hadis nabi itu dikemukakan sesudah
beliau melakukan shalat Istikharah selama satu bulan. Kebijaksanaan Umar dapat
dimengerti karena pada zaman Umar daerah Islam telah semakin luas dan hal itu akibat

jumlah orang yang baru memeluk Islam semakin bertambah banyak.

[6]

Memasuki periode

tabiin, sebenarnya kekhawatiran membukukan/kodifikasi hadis tidak perlu terjadi, akan


tetapi pada periode ini telah bertabur hadis-hadis palsu yang mulai bermunculan setelah
umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan, yang semula berorientasi politik berubah
menjadi faham keagamaan, seperti Khawarij, Syiah, murjiah, dan lain- lain. Untuk
mengukuhkan eksistensi masing- masing golongan mereka merasa perlu menciptakan
hadis palsu. [7]
Kemudian semua karya tentang hadis dikumpulkan pada paruh akhir abad ke II
H/8M atau selama abad ke-3/9M. Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa di seputar
awal abad ke-II H, sejumlah kecil muhadditsun (ahli hadis) telah mulai menulis hadis,
meskipun tidak dalam himpunan yang runtun. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang
berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
1) Kelompok Syiah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang
menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis
telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H).
2) Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin
Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk
mengumpulkan hadis yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa
perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan
kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
3) Sejak awal abad II H yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul
Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah
kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri,
beliau berkirim surat yang isinya: Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW, lalu tulislah.
Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli dan kepada
Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: Tuliskan kepadaku

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), hal. 49.
7
M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hal.
52.
6

hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada Amrah (Amrah binti
Abdurrahman, 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan
khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada
para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang
nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta
menyebarkan ke berbagai tempat. Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan
marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi Muhammad saw, baru diupayakan
kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H yakni masa Umar bin
Abdul Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir
yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya. Maka dari hal tersebut ada
beberapa faktor yang melatar belakangi mengapa khalifah Umar bin Abd Aziz melakukan
kodifikasi hadis yaitu:
1) Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu
kekahawatiran bercampurnya hadis dengan Al-quran, karena arena Al-quran ketika itu
telah dibukukan dan disebarluaskan.
2) Munculnya kekhawtiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para
sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena seringnya terjadi
peperangan.
3) Semakain maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan
politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat islam.
4) Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan
kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Dengan demikian faktor terpenting pendorong dilakukannya pengkodifikasian
hadis adalah untuk menyelamatkan hadis-hadis nabi dari kepunahan dan pemalsuan.

Hadis ditulis pada Abad II Hijriah


1. Penulisan Hadis pada Masa Rasululah SAW
Pada masa Rasulullah keadaan hadis berbeda dengan Al-quran yang belum ditulis
secara resmi yaitu terdapat beberapa keterangan dan argumentasi yang kadang-kadang satu
dengan yang lainya saling bertentangan, diantaranya adalah:
a. Larangan Menulis Hadis
Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadis, di
antara hadis tersebut adalah hadis yang berasal dari Said al-Khudri :

-
Artinya:
"Nabi Muhammad saw bersabda: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar
dari aku selain Al-Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain
Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
b. Perintah (kebolehan) Menuliskan Hadis
Hadis-hadis Nabi Muhammad saw yang memerintahkan atau membolehkan
menuliskan hadis diantanya adalah:
Dari Anas Ibn Malik dia berkata bahwa Rasullullah saw bersabda: Ikatlah ilmu itu
dengan tulisan (menuliskannya).
c. Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi hadis-hadis mengenai penulisan
hadis. Ajjaz al Khatib menyimpulkan ada beberapa pendapat yang berfariasi dalam
rangka mengkompromikan dua kelompok hadis yang terlihat saling bertentangan
dalam hal penulisan tersebut yakni : [8]
1) Larangan menuliskan hadis terjadi pada masa awal islam yang ketika itu
dikhawatirkan terjadi pencampur adukan antara hadis dengan al-quran. Tetapi
setelah umat islam bertambah banyak dan mereka telah dapat membedakan antara

H. Mudasir, Ilmu Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.94.

hadis dan al-quran, maka hilanglah kekhawatiran itu dan mereka diperkenankan
untuk menuliskannya.
2) Larangan tersebut ditujukan terhadap mereka yang memiliki hafalan yang kuat,
sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan; sedangkan kebolehan diberikan
kepada mereka yang hafalannya yang kurang baik.
3) Larangan tersebut sifatnya umum, sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus
kepada mereka yang pandai membaca dan menulis sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam menuliskannya.
2.

Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin


Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasulullah saw bagi mereka yang diberi

kelonggaran oleh Rasulullah untuk melakukannya, namun para sahabat pada umumnya
menahan diri dari melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan Khulafa al-Rasidin.
Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-quran dan
sekaligus Sunah (Hadis), salah seorang sahabat yakni Umar menyatakan penolakannya
terhadap penulisan hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam
untuk menuliskan sesuatu yang lain selain Al-quran dan melontarkan kitab Allah (Alquran). Justru itu beliau melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Alquran, termasuk hadis. Lain halnya dengan para Tabiin, sikap mereka dalam hal penulisan
hadis adalah mengikuti jejak para sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabiin
memperoleh ilmu, termasuk didalamnya hadis-hadis Nabi Muhammad saw adalah dari
para sahabat. Akan tetapi tatkala Umar melihat bahwa pemeliharaan terhadap Al-quran
telah aman dan terjamin, beliau pun mulai menuliskan sebagian hadis nabi yang
selanjutnya dikirimkan kepada sahabat dan pegawainya.
3.

Hadis Pada Abad Ke II Hijriyah


Pada periode ini hadis-hadis Rasulullah saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara

resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari
Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam

kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi,

[9]

hal ini

didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadis
dan wafatnya para ulama hadis.

[10]

Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah,

bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadis-hadis yang
ada di benak mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi
berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal taqwa ini mengupayakan pengumpulan dan
penulisan hadis. Ada perbedaan dalam penghimpunan hadis dengan Al-quran, hadis
mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Al-quran yang
hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.

[11]

Yang dimaksud dengan periodeisasi

penghimpunan hadis disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam
sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai
terwujudnya kitab-kitab hadis yang dapat disaksikan sekarang ini. [12]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Islam sudah meluas sampai ke
daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang
keislaman itu sendiri adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis
tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orangorang yang baru memeluk agama Islam butuh pengajaran yang didasarkan pada hadishadis Rasulullah saw. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada
beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang
akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn
Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka
penyebarluaskan dakwah Islamiyah. [13]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadis telah diprakarsai oleh
ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur
Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak
9

Nawir Yuslem,Ulumul Hadist, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.125.


Shubhi ash Shaleh, Ulum al-Hadist wa Musthalahuh (Libanon: Dar al-llm al-Malayin, 1977),
hal.45.
11
Ibid.,hal.83.
12
Shubudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist, (Bandung: Angkasa, 1991), hal.69.
13
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal.97.
10

menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah.
Tentunya pengkodifikasian hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai
oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadis
yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama
untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah saw, hadis yang dipercaya kebenarannya
ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri
dari dosa dan taqwa. 14
Tuduhan yang dilontarkan kepada Imam Syihabuddin Al-Zuhri
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher,
seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850-1921 M.
Pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu
hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui
bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi Muhammad saw sungguh
demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka
melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu
secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari
agama.

[15]

Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadis yang

dilakukan oleh Imam Syihabuddin al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah
palsu, dengan tuduhan Goldziher terhadap Imam Syihab al-Zuhri yang telah melakukan
pemalsuan hadis dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Syihab alZuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam Syihab al-Zuhri memang mengakui
dirinya sebagai pemalsu hadis. Menurut Goldziher, Syihab al-Zuhri pernah berkata, inna
haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk
menulis Hadis). Kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (alahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam
teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Syihab al-Zuhri yang sebenarnya, seperti
yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti hadis14
15

Munim Qindil, Kehidupan orang-orang shaleh (Semarang: Asy Syifa,t.t), hal. 209.
Abuddin Nata, Al-quran dan Hadist, (Jakarta: Raja Girafindo Persada,1996), hal. 158.

hadis yang telah dimaklumi secara definitif yaitu hadis-hadis yang berasal dari
Nabi Muhammad. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori
Goldziher, bahkan sebaliknya. Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam
dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Rasulullah saw yang belum ditulis hanya
dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian
hadis itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi Muhammad saw
secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi
sesudahnya.
Kesimpulan
Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw setelah
diangkat menjadi nabi yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Kaum muslimin
meyakini bahwa hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-quran yang secara
historis perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan Al-quran, yaitu keberadaan hadis
dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-quran. Pada zaman Rasulullah para
sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadis
langsung dari Nabi Muhammad saw baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas
masalah yang dihadapi. Akan tetapi pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan
penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal
ini di sebabkan antara lain;
d.

Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan Al-quran.

e.

Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.

f.

Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang
disampaikan Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai

ditulis pada masa Nabi Muhammad saw, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak,
resmi dan massal pada awal abad II H yakni masa Umar bin Abdul Aziz.
Adapun faktor-faktor yang mendorong Umar ibn Abdul Aziz melakukan
pengumpulan dan pengkodifikasian hadis pada periode tersebut diantaranya adalah :
10

5) Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu
kekahawatiran bercampurnya hadis dengan Al-quran, karena arena Al-quran ketika itu
telah dibukukan dan disebarluaskan.
6) Munculnya kekhawtiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyaknya para
sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena seringnya terjadi
peperangan.
7) Semakain maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan
politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat islam.
8) Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan
kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Daftar Kepustakaan
Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits fi
IlmiHadits al Rosul, Bairut: Libanon, 1992.
Abuddin Nata, Al-quran dan Hadist, Jakarta: Raja Girafindo Persada, 1996.
H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut: Libanon,
1992.
______________, Ushul al HaditsUlumuhu, Bairut: Libanon, 1992.
M. Zuhri, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Nasir Yuslem,Ulumul Hadist, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Shubhi ash Shaleh, Ulum al-Hadist wa Musthalahuh, Libanon: Dar al-llm al-Malayin,
1977.
Shubudi Islami, Pengantar Ilmu Hadist, Bandung: Angkasa, 1991.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Zainul Arifin, Studi Hadis, Surabaya: Alpha, 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai