Anda di halaman 1dari 17

Makalah

Sejarah penulisan dan kodifikasi Hadis nabi


Dosen pengampu:
Sri Ulfa Rahayu,M.th

Mata kuliah Al hadist


Disusun oleh:
Haziq alifio
(0704202048)
Program studi
Biologi
Fakultas sains dan teknologi
(Saintek)
Universitas Islam Negeri sumatera Utara Medan
2020
Kata pengantar

Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah swt, yang selalu memberikan kita kekuatan, kesehatan serta
melimpahkan ilmu pengetahuan kepada kita, dan terutama telah menurunkan islam yang mulia sebagai
agama yang diridhai oleh Allah swt. Semoga kita selalu menjadi hamba yang beriman kepada Allah
SWT,amin ya robbal Allamin. Pada kesempatan kali ini saya sebagai pemakalah dari tugas yang telah
diberikan, untuk menyajikan makalah yang telah saya buat yang berjudul “ sejarah penulisan dan
kodifikasi Hadis “. saya juga menyadari bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dengan kata
sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah. Oleh karena itu saya tetap menerima kritik dan
saran
Daftar isi
Judul…………………………
……………………………………………….i
Kata pengantar……………………………………………………………………..ii
Daftar isi…………………………………………………………………………....iii

Bab 1 Pendahuluan
A. Latar belakang………………………………………… 1
B. .Rumusan masalah……………………………………. 2
C. Tujuan pembelajaran…………………………………. 2
Bab II pembahasan
A. Pengertian kodifikasi hadis
B. Tujuan kodifikasi Hadis
C. Sejarah kodifikasi Hadis
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar pustaka
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar belakang
Hadis merupakan pedoman kedua bagi umat islam di dunia setelah Al – Qur’an, yang
tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam disiplin ajaran islam. Hadis adalah
segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabii.[1]1
Dengan demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda
dengan Al – Qur’an.Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan
panjang masanya dibandingkan dengan Al-Qur’an.Al-Hadits butuh waktu 3 abad untuk
pengkodifikasiannya secara menyeluruh. Banyak sekali liku-liku dalam sejarah
pengkodifikasian hadits yang berlangsung pada waktu itu.
Munculnya hadits – hadits palsu merupakan alasan yang amat kuat untuk mengadakan
kodifikasi hadits. Selain itu, kodifikasi hadits ketika itu di lakukan karena para ulama hadits
telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadits akan menghilang bersama wafatnya
mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian memelihara
hadits, dan banyak berita – berita yang diada-adakan oleh kaum penyebar bid’ah.

1
Al Fatih Suryadilaga, Ulumul Hadis,(Yogyakarta : Penerbit Teras, 2010),
hlm.21
Keberadaan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari zaman nabi, sahabat, tabi’in,
hingga pembukuan hadits setelah abad ke-2 Hijriyah. Perkembangan Hadis dari masa awal
lebih memfokuskan pada lisan, hal ini karena pada waktu itu Rosulullah khawatir akan
bercampurnya antara Nash Al-Qur’an dengan Hadis. selain itu juga disebabkan karena
Rasulullah lebih memfokuskan pada penulisan Al-Qur’an oleh para Sahabat. Periodisasi
Pembukuan Hadis secara resmi baru dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
B. Rumusan masalah
1. Apa itu kodifikasi hadis
2. Mengapa kodifikasi hadis perlu dilakukan
3. Bagaimana sejarah perkembangan kodifikasi hadis
4. Apa saja kitab-kitab Hadis yang terkenal Hasil kodifikasi nya

C. tujuan pembelajaran
1. Untuk mengetahui pengertian dari kodifikasi Hadis
2. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi hadis
3. Untuk mengetahui kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasi
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian kodifikasi hadis

Kodifikasi berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah Tadwîn. Yakni:
pencatatan, penulisan atau pembukuan. Sedangkan kodifikasi hadis sendiri merupakan
sebuah proses pencatatan atau pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW.
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan pengumpulan Al-
Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi disponsori atau
diperintahkan oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak
resmi sebenarnya sudah di lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih
hidup.
2
Sejarah mencatat bahwa pada masa rasul Hadis belum banyak ditulis apalagi
dibukukan. Menurut data sejarah, awal mula kodifikasi hadis secara resmi diperkasai oleh
Umar Abdul Aziz. Ia adalah khalifah ke 8 dari dinasti Umayyah. Kodifikasi Hadis yang
dilakukan pada masa ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiranUmar Bin Abdul Aziz
terhadap berbagai persoalan selama masa pemerintahannya akibat pergolakan politik
yang sudah terjadi sejak lama yang mengakibatkan perpecahan umat islam kepada
beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada
orientasi hadis-hadis nabi dan menimbulkan kehawatiran. Kehawatiran itu pada tiga hal,
yaitu: pertama, hilangnya Hadis dan dengan meninggalnya para ulama. Hal ini kemudian
memicu para ulama untuk segera membukukan hadis sesuai petunjuk sahabat yang
mendengar langsung dari nabi. Kedua, bercampurnya antara Hadis yang sahih dan yang

2
[2] Octoberrinsyah, Al- Hadis, (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2005), hlm 42.
palsu. Ketiga, semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para
tabi’in antara yang szatu dengan yang lainnya tidak sama.[2]Demikianlah persoalan yang
menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya Umar bin Abdul Aziz selaku
khalifah dan segera mengambil tindakan positif guna menyelamatkan Hadis dari
kemusnahan dan pemalsuan melalui pembukuannya.

B. Tujuan kodifikasi hadis

Proses kodifikasi hadis, Pada awalnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Khalifah


Umar bin Abdil Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:
1 Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal
hadis di medan perang;
2. Bercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis yang palsu;
3. Meluasnya daerah kekuasaan islam.
Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-kan
hadis-hadis Nabi Muhamad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.3

C. Sejarah kodifikasi Hadis

Dalam sejarah kodifikasi hadis, sejarahnya dapat dibagi menjadi dua bab, yakni:
1. Sejarah hadits pra-kodifikasi
2. Sejarah dan perkembangan kodifikasi hadis

Sejarah Hadits Pra-Kodifikasi

a. Hadis Pada Periode Rasul


Selama nabi masih hidup, beliau lah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-
satunya bagi kaum Muslimin, baik melalui wahyu Al-Qur’an maupun dengan
ucapan-ucapan beliau sendiri di luar Al-Qur’an, termasuk juga melalui tingkah
laku beliau. Paling tidak, ada tiga alasan mengapa nabi ditempatkan sebagai
seorang pembimbing agama satu-satunya, yakni:
1) Sebagai seorang utusan Allah yang harus ditaati;
2) Nabi merupakan teladan yang baik bagi seluruh umat manusia, khususnya
umat muslim; dan
3) Sebagai salah satu tokoh sentral di dunia arab saat itu.
Berpijak dari tiga alasan diatas, maka sangatlah wajar bila beliau merupakan pusat
perhatian bagi semua masyarakat saat itu. Seluruh tindak tanduknya menjadi
sorotan bagi setiap masyarakat muslim.perbincangan tentang diri dan pribadi
beliau tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat. Perbincangan tentang diri dan
pribadi nabi adalah bagian dari peristiwa harian mereka, sehingga dalam
pengertian sederhana, pengertian transfer informasi (hadis) yang disandarkan
kepada beliau sudah mulai muncul.
Berdasarkan deskripsi tentang hubungan antara nabi dengan masyarakat pada saat itu,
dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1) Telah terjadi pengajaran agama islam, baik yang didasarkan kepada ayat-ayat
Al-Qur’an ataupun selain Al-Qur’an (penjelasan dan tafsiran nabi terhadap Al-
Qur’an); dan
2) Secara tidak disengaja telah terjadi proses transformasi informasi yang berasal
atau berkenaan dengan nabi, di mana informasi ini di kemudian hari dikenal
dengan istilah sunah atau hadis nabi.
Dalam konteks penyebaran hadis maka penyebaran hadis pada saat nabi dapat di
identikkan dengan proses pengajaran agama islam ((‫ دين لسالم‬oleh nabi kepada
masyarakat saat itu.
Cara Periwayatan dalam memperoleh dan menyampaikan hadis pada periode rasul
tentu saja berbeda dengan periode selainnya. Di samping penyebaran hadis pada
periode rasul identik dengan pengajaran agama oleh beliau, cara periwayatan
hadis pada saat itu lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan
dengan periode sesudahnya. Hal ini disebabkan karena di zaman nabi selain tidak
ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga karena pada
zaman itu seseorang akan dengan mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada
hadis yang diragukan kesahihannya.
Pada dasarnya, sifat penerimaan berita tentang tindakan, perkataan atau penetapan
rasullah terhadap sesuatu oleh para sahabat nabi hanyalah terjadi dalam dua
kemungkinan,yaitu secara langsung (mubasyarah) dan secara tidak langsung atau
melalui pemberitaan sahabat nabi yang lain.
Sanad pada masa sahabat nabi belum memperoleh posisi yang sangat istimewa dan tidak
mempunyai makna penting. Hal ini dikarenakan setiap sahabat nabi diyakini
memiliki yang tinggi dan dapat dipercaya.
Adapun cara-cara para sahabat dalam memperoleh (menerima) dan meriwayatkan hadis
pada zaman nabi adalah sebagai berikut :
1 Melalui majelis-majelis kajian agama yang diselenggarakan oleh nabi baik
secara langsung maupun tidak langsung;
2) Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami oleh nabi sendiri, sehingga nabi
memberikan penilaian(hukum) terhadap peristiwa tersebut;
3) Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami para sahabat nabi, baik urusan
pribadi ataupun orang banyak yang kemudian ditanyakan pada nabi tentang
hukumnya;
4) Peristiwa atau kejadian yang disaksikan oleh para sahabat melalui contoh-
contoh sikap nabi dalam merespon suatu peristiwa;
5) Dikirimnya beberapa sahabat nabi untuk pergi ke berbagai daerah, baik khusus
untuk berdakwah ataupun untuk memangku jabatan
b. Hadis pada periode sahabat
Di tangan para sahabat nabi, wilayah kekuasaan sudah mulai mulai berkembang
hingga keluar jazirah Arab. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan
Islam banyak sahabat yang kemudian dikirim dan menetap di daerah-daerah
tersebut untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-sunnah) ,
hingga akhirnya daerah tersebut menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam.
Di antara yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan adalah Madinah,
Mekah, Kufah, Basyrah, Syiria, Mesir, Maghrib (Afrika selatan), Andalusia
(Spanyol) , dan lain-lain.
Melalui mereka, riwayat-riwayatan tentang tindakan nabi tersebar di
berbagai wilayah kekuasaan Islam. Namun, sebagai mana diketahui bersama,
tak ada satu pun sahabat nabi yang selalu mengetahui seluruh tindakan nabi.
Karenanya, dalam rangka mendapatkan informasi tentang seluruh tindakan
nabi, mereka melakukan tukar-menukar informasi. Sejak itu, fenomena
perlawatan untuk mencari hadis ( al-rihlah fit thalib al-‘ilm) mulai
berkembang, terutama oleh generasi pasca-sahabat, yakni al-tabi’in dan atba’
al-tabi’in.
Perlawatan ini dilakukan dalam rangka mencari, memantapkan, dan
menyebarkan pengetahuan. Termasuk adanya upaya cross refence dalam
rangka pembuktian kebenaran suatu informasi yang pernah diterima mereka.
Perkembangan hadis pada fase ini oleh Fazlur Rahman disebut fase
perkembangan hadis secara semi formal.
Meskipun pada masa sahabat nabi, sanad belum memperoleh posisi yang
sangat istimewa dan tidak mempunyai makna yang penting, karena setiap
sahabat nabi diyakini memiliki sifat kejujuran yang tinggi dan dapat dipercaya.
Namun, para sahabat tetap berhati-hati dalam menerima atau meriwayatkan
hadis.
Adapun tolak ukur yang sering digunakan para sahabat sebagai acuan
untuk saling koreksi/kritik atas periwayatan hadis, pada umumnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tolak ukur yaitu :
1) Metode perbandingan dengan Al-Qur’an ;
2) Metode rujuk silang atau cross reference antar periwayatan hadis; dan
3) Pendekatan rasional yang digunakan untuk menilai kelayakan isi hadis sebagai
sebuah sabda nabi.
c. Hadis pada periode tabi’in
Kondisi periwayatan hadis pada periode tabi’in sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kondisi periwayatan hadis pada periode sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in
sanad hadis sudah mulai mendapat perhatian yang cukup serius. Jika setiap
sahabat nabi dapat dinilai adil, maka penilaian ini tidak lagi berlaku bagi setiap
generasi tabi’in
Tata cara penyampaian dan penerimaan hadis yang mulai dikembangkan dan dibakukan
adalah :
1) Sima’(mendengar dari guru)
2) Qira’ah ( membaca di hadapan guru )
3) Ijazah ( pelimpahan otoritas )
4) Munawalah (pelimpahan otoritas dengan syarat)
5) Kitabah (menulis untuk murid)
6) Washiyyah (wasiat), dan
7) Wijadah ( temuan ).
Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama untuk
menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadis yang sedang
berkembang.
Mata rantai periwayat hadis (sanad) pun makin panjang di bandingkan
dengan generasi sahabat, karena generasi pasca sahabat tidak hidup sezaman
dengan nabi. Seorang mukharrij(periwayat hadis) bisa jadi memperoleh hadis dari
periwayat yang :
1) Dasar dari generasi sebelumnya, akan tetapi masih sempat sezaman;
2) Berasal dari satu generasi dengannya;
3) Berasal dari generasi sesudahnya yang masih sempat sezaman dengannya.
Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis
Hampir selama abad l H. Telah terjadi sikap ambivalensi dari sebagian besar sahabat nabi
dan para tabi’in besar dalam memperhatikan persoalan penulisan hadis. Sikap
ambivalensi tersebut tampak pada kenyataan bahwa di satu sisi, penulisan
hadis adalah suat tindakan yang jelas-jelas akan memberikan banyak
keuntungan (manfaat). Akan tetapi, di sisi lain, ternyata mereka juga khawatir
bahwa penulisan hadis tersebut akan berdampak negatif, yakni terjadinya
pencampur adukkan hadis dengan al-Qur’an. Akibatnya, masyarakat bisa
menjadi bingung dalam membedakan mana yang Al-Qur’an dan mana yang
selainnya.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah menyebutkan bahwa ada sekitar 50 sahabat nabi
yang ternyata mempunyai manuskrip-manuskrip yang belakangan dikenal
dengan sebutan shuhuf (bentuk tunggalnya = shahifah), yakni suat karya di
mana beberapa materi hadis nabi ditulis. Oleh karena itu, periode penulisan
hadis dalam bentuk suhu ini diklasifikasikan sebagai sebuah gerakan
pembukuan hadis yang sangat dini. Karena ciri khusus dari trend penulisan
hadis saat itu adalah dalam bentuk shuhuf, maka periode tersebut dapat
disebut sebagai periode gerakan penulisan hadis dalam bentuk shuhuf.
Sayangnya, karya-karya asli yang dalam bentuk shuhuf tersebut sudah musnah,
meskipun ada sejumlah salinannya yang dapat ditemukan saat ini .
A. Pembukuan Hadis Abad ke II, III, dan Pertengahan Abad IV H
1) Gerakan Penulisan Hadis dalam Bentuk Mushannaf
Selama abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, kompilasi hadis dilakukan hanya
terbatas kepada hadis-hadis yang beredar secara lisan. Berikutnya, para ulama
mulai mengelompokkan hadis di bawah topik yang menunjukkan tema
persoalannya. Pengelompokan hadis dalam bentuk ini disebut dengan istilah
mushannaf, yakni kompilasi hadis yang sudah terklasifikasikan atau
tersistematisasi. Oleh karena itu, gerakan penulisan hadis dalam bentuk
tersebut disebut sebagai gerakan penulisan hadis dalam bentuk mushannaf.
Meskipun ibn Juraij dan ma’mar bin rasyid adalah penghimpun hadis dalam
bentuk mushannaf, namun karya yang terkenal dari jenis penulisan hadis
dalam bentuk ini adalah karya Al-Muwaththa’ yang disusun oleh imam malik
bin anas, seorang pendiri madzhab fikih kedua.
2) Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad
Meskipun karya mushannaf dinilai sistematis dan secara akademik bermanfaat sekali,
namun ia merupakan karya hadis yang di dalamnya telah ditambahkan
pendapat-pendapat hukum. Ia bukanlah karya yang layak sebagai sebuah
karya literatur hadis, di mana studi hadis hanyalah merupakan kajian yang di
dalamnya telah diposisikan sebagai bagian dari kepentingan diskusi hukum.
Oleh karena itu, trend gerakan penulisan mulai berubah dalam bentuk yang
lain. Gerakan penulisan hadis pada fase berikutnya adalah gerakan penulisan
hadis dalam bentuk musnad, yakni gaya hadis yang hanya disandarkan kepada
rasullah saja.
Karya musnad adalah sebuah karya hadis yang di susun berdasarkan pengelompokan
hadis hadis di bawah nama-nama periwayat hadis dari generasi sahabat. Pada
umumnya, penyusunan tata urutan nama sahabat nabi tersebut didasarkan atas
tingkat senioritas. Akan tetapi masing-masing hadis yang ada dalam setiap
kelompok tidak di susun secara beraturan.
Adapun karya musnad yang paling populer adalah kitab musnad karya Ahmad
Bin .Hanbal, seorang pendiri mazhab fikih ke-4. Karya ini merupakan karya
hadis terbaik dalam bentuk musnad.
3) Gerakan penulisan hadis dalam bentuk himpunan hadis-hadis shahih
Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad ternyata tidak membedakan materi-materi
hadis yang otentik (shahih) dan yang lemah (dha’if). Penggunaannya pun juga
sulit, karena hadis-hadisnya disusun tidak berdasarkan tema atau topik tertentu,
melainkan tersebar di berbagai bagian kitab. Oleh karena itu, muncullah
sebuah gerakan baru yang hampir sering dengan gerakan penulisan hadis
dalam bentuk musnad tersebut di bawah panji-panji gerakan penulisan hadis
yang didasarkan pada kategori hadis-hadis shahih. Beberapa penulis karya di
bawah gerakan tersebut memasukkan hadis-hadis yang dinilai kurang kredibel
untuk kepentingan-kepentingan agama dan hukum mereka, hanya saja mereka
tetap menunjukkan kualitas hadis-hadis tersebut.

Di antara karya-karya kompilasi hadis yang dihasilkan melalui gerakan penulisan hadis
dengan kategori himpunan hadis-hadis shahih adalah sebagai berikut :
a) Al-jami’ al-shahih, karya Muhammad bin Abdullah al Bukhari (w.256 H)
b) Al-jami’ al-shahih karya Muslim bin al-Hajjaj (w.261 H)
c) Kitab Al-sunan karya Abu Dawud,Sulaiman bin Asy’as (w.275 H), dll.
b. Pembukuan Hadis pada Pertengahan kedua abad ke IV H, ke V H dan
Seterusnya.
Pembukuan atau kompilasi hadis nabi pada abad ke V H menunjukkan karakteristik yang
sangat berbeda dari abad-abad sebelumnya. Bila pada abad-abad sebelumnya,
dapat dikatakan sebagai kitab-kitab hadis yang asli, yakni suatu kompilasi
hadis nabi yang didasarkan atas sanad penghimpun hadis yang diperolehnya
dari perjalanan individu kepada guru-guru yang ada di berbagai daerah
imperium Islam. Maka, karya-karya hadis pada abad ke V H (tepatnya sejak
pertengahan abad ke IV) tidak semuanya dapat diklasifikasikan sebagai kitab-
kitab hadis yang asli. Hal ini lebih dikarenakan karya-karya yang muncul
semenjak pertengahan abad ke IV H lebih banyak disandarkan pada hasil
karya ulama-ulama sebelumnya.
Secara umum, bentuk dari karya-karya yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H,
bahkan hingga saat sekarang adalah dalam bentuk elaborasi (sharah) ,
kritisime, ringkasan (mukhtashar), pengembangan, komentar, revisi dan
penseleksian atau pembuatan indek-indek untuk referensi secara mudah.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari model-model karya yang muncul
semenjak pertengahan abad ke IV H tersebut :
1) Kompilasi hadis dalam bentuk karya pelengkap (istidrakat)
Pertama: al- ilzamat ‘ala al-bukhari wa mislim karya Ali bin Umar al-daruqutni (w.385
H). Dan yang kedua : almustadrak ‘ala al-shahihain karya Muhammad bin Ali
Al-hakim (w. 404 H).
2) Kompilasi hadis dalam bentuk catatan-catatan kritis
a) Ma’alim al-sunah karya Hammad bin Muhammad al-Khottobi, dikenal dengan al-Khottobi
(w. 389 H). Karya ini merupakan karya tentang komentar terhadap karya kitab al-Sunan karya
Abu Dawud. Di samping karya ini, al-Khottobo juga membuat karya komentar lainnya yang
berjudul I’lam al-Sunan yang merupakan karya komentar terhadap al-Jami’ al-Shohih-nya al-
Bukhari dan ditulis segera setelah al-Khottobi menyelesaikan Ma’alim al-Sunan.
b) Kitab Qur’an wa al-Hadis karya Ahmad bin Muhammad Abu Ubaid al-Harawi, dikenal
dengan al-Harawi (w. 401). Beliau mengkaji kosa kata yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis
tanpa disertai sanad dan sumber rujukan kitab hadisnya.
c) Tafsir Gharib al-Shahihain karya Muhammad bin Abi Nasr al-Hamidi, dikenal dengan al-
Hamidi (w.488 H).
3) Kompilasi hadis dalam bentuk ringkasan (mukhtashar)
a) Al –Mulakhkhis li ma fi al-Muatha’ min al hadis al musnad karya Ali bin Muhammad bin
Khallaf al-Qabisi, dikenal dengan al-Qabbisi (w.403 H). Karya ini berisi 525 hadis lengkap
dengan sanadnya
b) Al-tajrid al-sharih karya Abu al-Abbas Ahmad bin Ahmad al Zubaidi(w.893 H). Karya ini
terdiri dari dua jilid dan merupakan sebuah karya populer yang menghimpunkan hadis-hadis
yang terdapat di dalam al-Jami’ al-shahih karya al-Bukhari tanpa disertai sanad dan
pengulangan hadis yang sering dijumpai dalam karya asli al-Bukhari.

D. Kitab-Kitab Hasil dari Proses Kodifikasi Hadis


Adapun kitab-kitab hasil dari kodifikasi hadis yaitu :
1. Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik;
2. Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad;
3. Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim;
4. Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim;
5. Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud;
6. Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr;
7. Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi;
8. Sunan Ibnu Majah penyusun Ibnu Majah;
9. Dan lain-lain.
Bab III
Kesimpulan

Dalam kodifikasi pada zaman ulama-ulama muqoddimin seperti masa Nabi Muhammad SAW,
shahabat, dan tabi’in kenyakan masih menggunakan metode hafalan terutama pada zaman Nabi
SAW. Pada masa beliau hadits tidak diperbolehkan untuk ditulis karena takut akan tercampur
dengan Al-Quran, sebab lain karena shahabat tidak terlalu fokus dengan hadits yang merupakan
sunnah beliau. Kodifikasi secara tertulis terjadi pada masa tabi’in, tepatnya pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang pada saat itu masyarakat arab banyak yang berkelana dan menikah
dengan bangsa lain yang kekuatan hafalannya berbeda dengan masyarakat arab. Dikhawatirkan
hadits akan hilang, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk pembukuan
hadits yang dikoordinatori oleh Muhammad Shihab Al Zuhri.

Selanjutnya proses kodifikasi hadis, yang pada awalnya dilatar belakangi oleh
kekhawatiran Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan di masa
pemerintahannya. Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu: Hilangnya hadis-hadis
dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal hadis di medan perang,
Bercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu, Meluasnya daerah
kekuasaan islam. Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk
menyelamat-kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian sejarah pengkodifikasian hadis dibagi menjadi dua bab yaitu :
1. Sejarah pra-kodifikasi hadis, yaitu sebelum adanya perintah untuk mengumpulkan
hadis yang terdori dari beberapa periode yakni : periode pada masa rasul,periode masa
sahabat dan periode pada masa tabi’in.
2. Sejarah perkembangan kodifikasi hadis, yaitu mulai diperintahkan untuk
mengumpulkan hadis-hadis yang masih berada dimana-mana belum menjadi satu
mushaf.
Kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasi yaitu :
1. Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik,
2. Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad,
3. Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim,
4. Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim,
5. Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud,
6. Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr,

7. Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi,


8. Sunan Ibnu Majah penyusun Ibnu Majah.
Dan lain-lain.

Saran

Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari makalah saya masih jauh dengan kata
sempurna,maka saya membutuhkan kritik dan saran yang membangun supaya saya dapat
menyusun makalah dengan lebih sempurna
Daftar pustaka

http://www.garisguru.my.id/2017/11/makalah-kodifikasi-hadits.html
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis,(Yogyakarta : Penerbit Teras, 2010),
hlm.21
El-Rasheed, Brilly. 2010. Makalah: Catatan Historis Kronologis Kodifikasi Hadits.

Anda mungkin juga menyukai