KELOMPOK 2 A :
ALIFHA AULIA 60700116001
SUHARNI 60700116003
HALIMA TUSSADDIYAH 60700116004
JUWITA HASRUDDIN 60700116011
RATNAWATI 60700116016
NURAZISYAH IMRAN 60700116025
MUTHMAINNA 60700116027
Kelompok 2
BAB II
PEMBAHASAN
Kajian terhadap hadis Nabi SAW. Sampai saat ini masih sangat menarik, meskipun
tidak sesemarak dengan studi yang dilakukan terhadap pemikiran yang berkembang di
seputar Al-Qur’an. Faktor utama yang berpengaruh adalah kompleksitas problem yang ada,
baik menyangkut otentisitas teks, variasi lafal (jumlah hadis bil mana), maupun tentang
waktu yang cukup panjang antara “Nabi dalam realitas kehidupannya”sampai masa kodifikasi
hadis kedalam teks kitab hadis, yang dilakukan pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin
Abdul Azis.
Ulama yang berhasil mengumpulkan hadis nabi SAW atas perintah khalifah adalah
Muhammad ibnu Syihab al-Zuhridan Abu Bakar Muhammad bin Muhammadbin Hazm,
sekalipun hadis-hadis Nabi sAW tersebut telah dikumpulkan oleh kedua ulama tersebut pada
masa Umar bin Abdul Azis, ternyata kedua hasil kodifikasi tersebut sudah tidak ditemukan
lagi.
Kitab tertua yang dapat dibaca oleh umat dewasa ini adalah kitab Al-Muwatha’ yang
ditulis oleh imam Malik.kemudian pada masa berikutnya muncullah ulama yang tekun
melakukan penelitiandan penelusuran terhadap hadis-hadis Nabi yang menghasilkan karya-
karya yang monumental yang dikenal dalam bentuk teks book kitab-kitab hadis seperti yang
ditulis imam Bukhari, imam Muslim, imam Abi Dawud, dan lain-lain.
Oleh karena itu, kajian yang dilakukan dalam studi hadis biasanya berawal dari kajian
apakah teks-teks hadis itu shahih atau tidak ?, sebab yang sangat diperlukan dalam studi hadis
itu adalah: apakah hadis itu dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) terhadap masalah yang
dihadapi umat yang diungkapkan dalam sebuah hadis atau tidak .
Rasulullah SAW selama hidupnya berperan sebagai aktor utama dalam gerakan
pembinaan dan pengembangan syariat islam yang dimulai dari masyarakat Arab di Mekah,
kemudian masyarakat Mekah sebagian kecil menerima atau beriman kepadanya, namun
itulah yang setia dan mebantu dalam melakukakn gerakannya.
Mereka adalah para pengikut yang sangat setia sebutlah Abu Bakar As-Siddiq, Khadijah,
Ali bin Abi Thalib, Arqam bin Abil Arqam, kemudan menyusul Hamzah, Umar bin Khattab
dan lain-lain. Kesetiaan mereka dibuktikan ketika beliau Rasulullah SAW melakukan hijrah
ke Madinah, mereka juga ikut menyertainya, sehingga mereka dapat membangun sebuah
masyarakat yang terdiri atas orang muhajirin dan anshar. Mereka ini disebutkan dalam Al-
Qur’an sebagai As-sabiqunal awwalun, beliau bersabda, berbuat, berperilaku, dan bersikap ;
sebagai manusia biasakah , sebagai Rasulkah, atau sebagai kepala negara pemimpin
masyarakat, panglima perang ataukah sebagai hakim ? bahkan lebih spesifik lagi adalah
apakah beliau itu tampil sebagai pribadi atau sebagai seorang suami ?
Selain itu, kapan hadis itu diucapkan atau dsabdakan beliau, dalam kondisi apa hadis itu
diwurdkan, sehingga diperlukan sebuah kajian yang berdimensi sejarah untuk mngungkapkan
atau memahami kondisi masyarakat yang hidup bersama dengan Nabi SAW, demikian juga
kajian terhadap asbab al-wurud dari teks hadis tersebut, yakni mengapa Nabi SAW
mengucapkan hadis itu ?
Beberapa kajian di atas, pada dasarnya dalam rangka mendudukkan pemahaman hadis
pada tempat yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal,
temporal, situasional maupun lokal. Pemahaman yang kaku, radikal, dan statis sama saja
menutup elastisitas keberadaan islam yang shalih li kulli zaman wa makan.
Dengan demikian, untuk memahami hadis-hadis Nabi SaW diperlukan sebuah kajian
terhadap :
1. Teks, yaitu memahami matan hadis berdasarkan teks dengan memperhatikan bentuk
lafal, susunan kalimat, dan makna yang bersifat lahiriyah (mantuq). Kajian ini disebut
sebagai sebuah kajian tekstual yang menggunakan pendekatan linguistik dan
teleologis.
2. Antar teks, yakni memahami hadis yang dikaji berdasarkan atau memperhatikan
hubungan antara sebuah teks hadis antara hadis yang lain semakna atau yang berada
dalam sebuah tema yang sama (keragaman lafal), demikian juga hubungan antara teks
hadis yang dikaji dengan teks ayat Al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan hukum
islamyang pertama, baik yang dipertegas maupun yang dijelaskan atau diuraikan.
Kajian seperti ini disebutkan pula kajian intertekstual.
Kajian ini dapat pula menggunakan berbagai pendekatan dalam memahami hadis-
hadis Nabi, seperti pendekatan teologis yang bersifat nomatif, pendekatan filosofis,
pendekatan syar’i, pendekatan sosiohistoris, dan lain-lain.
3. Konteks, yaitu memahami hadis dengan memperhatikan peristiwa (asbab al-wurud)
dan kondisi yang dialami Rasulullah SAW pada saat mengucapkan atau melakukan
sesuatu amalan. Kajian ini disebut sebagai sebuah kajian kontekstual yang
menggunakan metode pendekatan historis, sosiologis, filosofis yang bersifat
interdisipliner.
Untuk memahami hadis Nabi SAW secara komperensip dan integralistik serta holistik
diperlukan sebuah kajian yang menggunakan metode kontemporeryang berkembang
seperti yang digunakan dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu
metode maudu’i, tahlili, ijmali atau muqaran dengan melibatkan interpretasi tekstual,
intertekstual, dan kontekstual. Berikut penjelasan singkat tentang metode tersebut :
Metode tahliliy menjadikan petunjuk hadîts bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga
seolah-olah hadîts memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah
yang diberikan pada hadîts lain yang sama karena kurang memperhatikan hadîts lain yang
mirip atau sama redaksinya dengannya.
Dalam metode tahliliy, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadîts secara
subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadîts sesuai dengan
kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
1. Pengertian
Metode ijmaliy (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadîts-hadîts secara
ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadîts dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan enak dibaca.
2. Ciri-ciri Metode Ijmaliy
a) Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadist dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
b) Penjelasannya umum dan sangat ringkas.
Namun perlu diingat bahwa ciri metode ijmaliy ini tidak terleta pada jumlah hadîts-hadîts
yang disyarahkan, apakah keseluruhan kitab atau sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur
adalah pola atau sistematika pembahasan. Selama pensyarah hanya mensyarah hadits secara
singkat maka dapat dikategorikan dalam syarah global. Contoh :
يﺮﺍ َمايَ ِجيء َكذَ ِل َكﻔَ ََليَ ِﺮدأَنَّ ْالﻌَدَدقَدْ َجا َءفِيبَيَ ْ
اناْلَب َْوﺍب ُﻤ ْختَ ِﻠﻔ َق ْوله الو َهذَﺍ ِكنَايَﺔ َع ْن ْال َكثْ َﺮةفَإِنَّأ َ ْس َﻤ ْ
اءﺍلﻌَدَد َك ِث ً ص َ ﺍدم ْن ْاْلَب َْو ْ
ﺍبال ِخ َ ) أَدْنَاهَا ( َو ْﺍل ُﻤ َﺮ ِ
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk
hadîts bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadîts yang bersifat umum
atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
Metode ini tidak menyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana
pluralitas pemahaman suatu hadîts. Namun inilah ciri khas metode ijmaliy yang jika pensyarah
tidak konsisten dengan pola ini maka ia otomatis akan keluar dari ranah metode ijmaliy.
c. Metode Muqârin(Komparatif)
1.Pengertian
Metode muqârin adalah metode memahami hadîts dengan cara: (1) membandingkan
hadîts yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. (2) membandingkan berbagai pendapat ulama
syarah dalam mensyarah hadîts.
Jadi metode ini dalam memahami hadîts tidak hanya membandingkan hadîts dengan hadîts
lain, tetapi juga membandingkan pendapat ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadîts.
Diantara kitab syarah hadîts yang menggunakan metode muqarin ini adalah Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawiy karya Imam Nawawiy, Umdah al-Qâriy Syarh Shahih al-Bukhariy
karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmûd al-’Ainiy, dan lain-lain.
Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksidan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya, dan ada yang menguraikan berbagai aspek, baik yang menyangkut kandungan
(makna) hadîts maupun korelasi antara hadîts dengan hadîts.
Jadi, ciri utama metode ini adalah perbandingan, yang mencakup dua sasaran yakni
membandingkan hadits dengan hadîts, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadîts.
Contoh :
Diantara kitab yang menggunakan syarh muqârin adalah Umdah al-Qâry Syarh Shahih al-
Bukhâriy karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, menjelaskan
pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan
diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Untuk dapat memahami hadîts dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadîts, Yusuf al-Qardhawiy memberikan
beberapa pedoman, yaitu :
1). Mengetahui petunjuk Al Qur’an yang berkenaan dengan hadîtstersebut.
4). Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi ketika hadîts diucapkan diperbuat
serta tujuaannya.
5). Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-ubah dengan sasaran yang tetap.
6). Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
7). Mampu membedakan antara hadîts yang berkenaan dengan alam gaib dengan yang kasat
mata.
1.) Pengertian
Metode mawdhu’iy adalah memahami hadîts dengan cara menghimpun hadits yang
membicarakan tentang topik atau permasalahan yang sama kemudian memahami hadîts
tersebut secara tematik.
Meskipun metode ini lebih populer di kalangan ahli tafsir, namun metode ini juga telah
diterapkan untuk memahami hadîts-hadîts Rasulullah Saw. Diantara ulama kontemporer yang
mengembangkan metode ini adalah Yusuf al-Qardhawiy. Dalam konteks ini ia mengatakan
bahwa untuk memahami hadîts secara benar kita harus menghimpun semua hadîts shahih
yang berkaitan dengan satu tema tertentu, kemudian mengembalikan kandungan yang
mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan muqayyad, dan
menafsirkan yang ‘aam dengan yang khas.
Bertitik tolak dari pemikiran Yusuf al-Qardhawiy diatas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri
metode ini adalah:
a) Menghimpun hadîts- hadîts yang membicarakan satu topik atau permasalahan tertentu.
b) Memahami makna dari masing-masing hadîts.
Berkenaan dengan larangan memakai sarung sampai bawah mata kaki. Sebagian orang
menjadikan hadîts ini sebagai dalil keharusan memendekkan pakaian. Padahal menurut al-
Qardhawiy, jika sejumlah hadîts tentang permasalahn ini dikaji, maka akan diketahui maksud
hadis tersebut dan dalam konteks apa ia diucapkan.
Kelebihan:
a) Pembahasan lebih fokus dan mendalam karena objek pemahaman hanya satu
tema tertentu. Contoh: Jihad, Thaharah, Shalat dan sebagainya.
b) Metode mawdhu’iy bisa diterapkan untuk menjawab problematika umat tentang
suatu masalah.
c) Referensi yang lebih luas karena tidak fokus pada satu kitab matan seperti
halnya metode-metode sebelumnya.
Kekurangan:
Melahirkan syarah yang bersifat subjektif jika pensyarah tidak proporsional dalam
menghimpun hadîts
e. MetodeTakhrij
Menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati disi adalah berasal
dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah dan
kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakkan dan
memperlihatkannya, dan al-makhraj artinya tempat keluar, dan akhraja al-Hadits wa
kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan
menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang
mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika
diperlukan.
Dalam takhrij terdapat beberapa metode yang kami ringkas pokoknya saja sebagai berikut :
a. Metode petama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadist dari sahabat.
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadist,lalu
kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadist:
1) Al-Masanid (musnad-musnad): dalam kitab ini disebutkan hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadist,maka kita mecari hadist tersebut dalam kitab al-
masanaid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad
tersebut.
2) Al Ma’ajim (mu’jam-mu’jam): susunan hadist didalamnya berdasarkan urutan musnad
para sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3) Kitab-kitab Al-Athraf : kebanyakan kitab-kitab al-ahtraf disusun berdasarkan musnad-
musnad para sahabaat dengaan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang
peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-ahtraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara
lengkap.
b. Metode kedua,takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafazh dari hadits. Cara ini
dapat dibantu dengan:
1) Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak,misalnya;
“Ad-Durar Al-Muntatsirah fil Ahaditsi Al-Musytaharah” karya As-Suyuti, “Al-Laali’ Al-
Mantsurah fi Al-Ahadist Al-masyhurah” Karya Ibnu Hajar, “Al-Maqashid Al-Hasanah fi
bayaani Katsiirin min Al-Hadits Al-Musytahirah `alal Alsinah,” karya As-Sakhawy,
“Tamyiizu At-Thayyib min Al-Khabits fima Yaduru `Ala Alsinati An-naas min Al-Hadits”
Karya Ibnu Ad Dabi’ Asy-Syaibany, “Kasyful Khafa’ wa Muziilu Al-Ilbaas `amma
Isytahara min Al-Ahadist `ala Alsinati An-nas” Karya Al-`Ajluni.
2) Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u
Ash-Shaghir min Ahadits Al-Basyir An-Nadzir” karya As-Suyuti.
3) Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama kitab-kitab tertentu, misalnya :
“Miftah Ash-Shahihain” karangan At-Tauqadi, “Miftah At-Tartibi li Ahadits Tarikh Al-
Khatib” karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari, “Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits Al-Khilyah
karya Sayyid Abdulaziz bin Al-Ghumari, “Fihris li Tartibi Ahadits Shahih Muslim” karya
Muhammad Fuad Abdul Baqi, “Miftah Muwattha’ Malik” karya Muhammad Fuad Abdul
Baqi.
c. Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunannya oleh
orang dar bagian mana saja dari matan hadits.
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzi Al-Hadits An-
Nabawi, berisi Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu :
Kutubus Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini
disusun oleh seorang orientalis, DR. Vensink (wafat 1939 M), guru bahasa Arab di
Universitas Leiden, Belanda, dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini
Muhammad Fuad Abdul Baqi.
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi,
D. KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat
Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-
prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti
kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah
memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah
memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti
kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang
semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-
Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan,
yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orangorang
yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para
pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan
pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecahbelah menuju jalan-jalan
yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-
Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh
Nashiruddin al Albani].
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadis adalah sumber ajaran kedua setelah Al-
Qur’an. Dimana Hadis adalah pembicaraan, perkataan, percakapan, cerita, kabar dan
kejadian yang diungkapkan dan dialami oleh Rasulullah SAW. Dilihat dari segi itu
sudah menjadi kewajiban manusia untuk memahami atau mempelajari hadis. Dalam
mempelajari hadis ada berbagai macam metode yang digunakan yakni : metode
maudu’i, tahlili, ijmali atau muqaran.
B. Saran
Untuk melihat lebih jelas masing-masing metode penulis hanya merujuk beberapa
buku saja, untuk lebih jelasnya nanti perbanyak mencari sumber yang jelas agar lebih
baik dan bisa dimengerti.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar studi ilmu hadits penerbit “PUSTAKA AL-KAUTSAR” Jl.Cipinang raya Jakarta
timur
ILMU HADITS, pengantar memahami hadist Nabi SAW penerbit “Dar al-Hikmah wa al-
ulum” Alauddin Press Makassar
http://mamanpermatahati.blogspot.com