Anda di halaman 1dari 15

Tipologi paradigma pemahaman Hadis

Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

Ilmu Ma’anil Hadis

Disusun oleh :

Cholis Miftahurrizaq (E95218075)

Dosen Pengampu :

Dr. Muhid, M.Ag

JURUSAN ILMU HADIST


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................ii

Daftar Isi.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................................iv


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................iv
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian tipologi paradigma pemahaman hadis..........................................1


2.2 Paradigma dalam tipologi pemahaman hadis.................................................2

BAB III PENUTUP

Kesimpulan................................................................................................................10

Saran...........................................................................................................................10

Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu sumber utama hukum agama Islam. Hadis
adalah sumber hukum kedua setelah Al Quran. Ada beberapa hal yang tidak
dijelaskan didalam Al quran namun dijelaskan didalam Hadis. Banyak hadis
yang diriwayatkan oleh rasulullah, sahabat, serta tabi’in, dan lain-lainnya. Hadis
merupakan salah satu petunjuk yang sangat penting keberadaannya dalam agama
islam.

Ketika mendengar atau membaca suatu hadis diperlukan pemahaman


yang begitu mendalam agar pesan yang disampaikan melalui hadis tersebut
dapat tersampaikan secara tepat. Namun banyak juga yang berbeda pandangan
menganai pemahaman hadis. Maka diperlukan ketelitian yang sangat jeli dalam
memahami sebuah hadis agar dapat mengimplementasikan pesan yang
disampaikan dengan seksama dan tepat. Melalui makalah ini penulis akan
membahas sedikit mengenai bagaimana cara memahami suatu hadis yang sesuai
dengan pemetaannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu tipologi paradigma pemahaman hadis?


2. Apa saja paradigma dalam tipologi pemahaman hadis?

1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui tipologi paradigma pemahaman hadis.

iii
2. Untuk mengetahui paradigma dalam tipologi pemahaman hadis.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tipologi paradigma pemahaman hadis


Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan
tipe atau jenis secara lebih spesifik.1 Paradigma dalam kamus saku bahasa
Indonesia ialah kerangka berpikir.2 Sedangkan pemahaman adalah proses, cara
perbuatan memahami.3 Jadi dapat dikatakan bahwa tipologi pradigma pemahaman
hadis ialah ilmu yang membahas tentang pemetaan pemikiran terhadap
pemahaman hadis.
Ketika sedang mendengar atau mambaca sebuah atau suatu hadis sering sekali
memahami hadis tersebut sesuai dengan teksnya saja dengan tanpa memahami apa
yang dimaksud atau ada pesan apa dari hadis tersebut, maka daripada itu
diperlukan yang namanya pemetaan agar dapat memahami hadis sesuai dengan isi
dan konteksnya.
Dalam menentukan pemetaan tentu saja harus bertitik tumpu kepada ulama
hadis dan para ulama hadis ada yang memiliki perbedaan pendapat dalam
menentukan kualitas hadis dan ada juga yang berbeda pendapatnya, hal ini terjadi
karena mereka memiliki standaritas yang berbeda dalam memahami hadis.
Hadis yang merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al Quran, tentu
saja tidak boleh sembarangan dalam memahami hadis. Dikarenakan hadis juga
merupakan salah satu sumber pedoman hukum setelah Al Quran, apabila suatu
hukum tidak tertulis atau tidak terdapat didalam Al Quran maka hadis dapat
dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan sebuah perkara atau hukum. Maka
daripada itu diperlukan implementasi yang kuat agar tidak salah dalam menilai
hadis. Oleh karena itu pemetaan pemahaman hadis ini sangat diperlukan agar

1
Matrapi, “Tipologi pemikiran pendidikan Islam”, ISLAMUNA. Vol. 5 No.1 juni 2018, hal. 1.
2
Tim B First, Kamus saku bahasa Indonesia, (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2010), hal. 178.
3
Muhammad Asriady, “Metode pemahaman hadis”, EKSPOSE. Vol. 16 No. 1 januari 2017, hal. 315.
dapat menilai atau memahami hadis-hadis yang sesuai dengan teks dan
konteksnya.
2.2 Paradigma dalam tipologi pemahaman hadis
Dalam memahami hadis diperlukan suatu pendekatan agar tidak salah dalam
menilai hadis, jika dirunut dengan pendekatan historis (historical approach), maka
akan timbul istilah change and continuity dalam memahami hadis nabi. Berikut
paradigma dalam tipologi pemahaman hadis, yaitu:
1. Paradigma normatif-tekstual
Paradigma normatif-tekstualis adalah memahami hadis nabi tanpa
mengindahkan sejarah yang melahirkannya atau maksud (pesan) dari
hadis terserbut.4
Paradigma ini menilai bahwa hadis harus dinilai atau dipahami sesuai
dengan teks hadis tersebut. Artinya makna original (aldalalah al-
ashliyah) teks hadis tersebut diwakili oleh zhahir teks hadis, sehingga
sesuatu atau apa saja yang dilakukan untuk memahami hadis diluar dari
makna zhahirnya teks hadis, maka dianggap tidak valid. 5
Sebagai implikasinya, menurut mereka yang memamhami hadis sesuai
dengan paradigma ini mereka berpendapat bahwa situasi dan kondisi yang
harus mengikuti bunyi teks hadis. Mereka juga cenderung anti majaz dan
anti heurmenetis (takwil), sehingga semua teks hadis harus dipahami
sesuai dengan teks atau bunyi hadis tersebut. Dasar dari paradigma ini
tertuju pada ayat Al Quran yang menjelaskan bahwa setiap ucapan dan
perilaku Nabi saw. tidak terlepas dari konteks kewahyuan bahwa segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah adalah wahyu.6 Telah
dijelaskan dalam Al Quran surat al Najm/53: ayat 3-4 yang berbunyi:

4
Liliek Channa AW, “Memahami makna hadis secara tekstual dan kontekstual”, ULUMUNA. Vol.
XV No. 2 desember 2011, hal. 395.
5
Dr.. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.28.
6
Muhammad Asriady, “Metode pemahaman hadis”, EKSPOSE. Vol. 16 No. 1 januari 2017, hal. 316.

2
ٓ ٰ ‫ق َع ِن ْٱلهَ َو‬
)4(‫ى‬ ٓ ٰ ‫ق َع ِن ْٱلهَ َو‬
ُ ‫) َو َما يَن ِط‬3(‫ى‬ ُ ‫ َو َما يَن ِط‬7

Artinya; “Dan tiadalah yang diucapkan itu (al Qur‘an) menurut


kemauan hawa nafsunya”. “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”.

Zaman dahulu, dikalangan para istri Nabi Saw, ada yang berpirikan
seperti itu. Mereka berfikir bahwa yang paling cepat menyusul Nabi Saw.
adalah paling panjang tangannya ditangan mereka. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Saw. sebagai berikut:

"‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْس َر ُع ُك َّن لَ َحاقًا بِي‬ ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ أُ ِّم ْال ٌم ْؤ ِمنِ ْينَ قَال‬
َ ِ‫ قَا َل َرسٌوْ ُل هللا‬:‫ت قَا َل‬
ْ َ‫أ‬.....
‫ط َولُ ُك َّن يَدًا‬

Artinya: “Dari Aisyah ummul mukminin, Rasulullah Saw, bersabda:


yang paling cepat menyusulku diantara kalian, --Sepeninggalanku—
adalah yang paling panjang tangannya….” (H.R. Muslim)8

Pada saat itu para istri Nabi mengira bahwa yang dimaksud beliau
adalah orang yang paling panjang tangannya secara fisik. Hal ini terjadi
karena perkataan atau hadis nabi yang disampaikan. Lalu, mereka
mengambil sebilah kayu untuk mengukur tangan mereka agar mereka
mengetahui tangan siapa yang lebih panjang diantara mereka.9

Secara fisik diantara mereka yang lebih panjang tangannya ialah


Saudah. Akan tetapi yang dimaksud dari sabda Nabi Saw. adalah “dengan
tangan yang paling panjang” yaitu bagi mereka yang sering atau banyak
bersedeqah serta dermawan terhadap oranglain di masa kehidupannya.
Diantara para istri Nabi Saw. yang paling cepat meninggal ialah Zainab

7
Kementerian Agama RI, Al-Quran Tajwid…, hlm. 526.
8
Dr.. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.29
9
Ibid., hal.29.

3
binti Jahsy r.a. Ia dikenal sebagai perempuan yang sangat terampil,
bekerja dengan kedua tangannya lalu menyedekahkan hasilnya.10

Tidak selamanya paradigma normatif-tekstual keliru dalam memahami


hadis Nabi Saw., karena banyak juga hadis-hadis yang harus diapahami
secara normative-tekstual, tanpa diperlukan kontekstualisasi. Hadis-hadis
seperti pelaksanaan ibadah mahdlah (murni) (seperti ibadah shalat dan
puasa) biasanya akan dipahami secara normative tekstual. Namun ada hal
terpenting dari paradigm ini, apabila melakukan kontekstualisasi hadis
dalam masalah ibadah mahdlah (murni) makan akan timbul praktik-
praktik bid’ah yang menyesatkan.11 Akan tetapi akan bermasalah apabila
hadis-hadis yang didalamnya terdapat sifat majazi, karena akan menolak
hadis-hadis shahih yang bersifat majazi, hanya karena bertentangan
dengan “akidah’ menurut pemahaman mereka.

2. Paradigma historis-kontekstual
Paradigma kontekstual adalah memahami hadis Nabi Saw.
berdasarkan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan dan
kepada siapa hadis itu ditujukan. Oleh karena itu, hadis Nabi saw.
seharusnya dipahami melalui redaksi lahiriah, aspek-aspek
kontekstualnya, dan asbabul wurudnya juga yang merupakan salah satu
aspek terpenting. 12
Paradigma ini cenderung lebih moderat, artinya mereka berpendapat
bahwa memahami hadis dengan paradigma historis-kontekstual dan tidak
serta merta menolak suatu hadis sebelum mereka mengkaji atau meneliti
hadis tersebut.13 Karena bisa saja apa yang disampaikan Nabi Saw. bersifat

10
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Terj. Muhammad al Baqir (Bandung:
Karisma, 1993), hal. 169.
11
Dr.. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.30.
12
Liliek Channa AW, “Memahami makna hadis secara tekstual dan kontekstual”, ULUMUNA. Vol.
XV No. 2 desember 2011, hal. 396.
13
Dr.. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.31.

4
metaforis, sehingga perlu dipahami juga secara simbolik dan seperti yang
kita ketrahui juga bahwa banyak kata-kata bahasa Arab yang bersifat
majaz.
Ada tiga tahap metodologi pemahaman hadis yang diterapkan dalam
paradigm kontekstual, yaitu:14
1. Melakukan kajian historis, yakni meneliti dan mengkaji secara
kritis mengenai aspek sanad dan matan hadis tersebut, sehingga
dapat diketahui bagaimana derajat yang dimiliki oleh hadis
tersebut.
2. Melakukan kajian kebahasaan atau linguistic, yakni melakukan
peelitian serta mengkaji aspek kebahasaan yang terdapat didalam
hadis tersebut, baik dengan cara mencermati dimensi-dimensi
semantic, struktur linguistic, dan aspek-aspek majaz yang terdapat
di dalam hadis tersebut. Melalui kajian ini maka akan diketahui
maksud dan isi atau kandungan yang terdapat didalam hadis
tersebut.
3. Melakukan kajian heurmenetis, yakni menggabungkan ilmu yang
lain atau mencoba untuk menginterkoneksikan hadis tersebut
dengan disiplin ilmu yang lain, misalkan memasukkan ilmu-ilmu
medis kedokteran agar dapat mencari penjelasan ilmiah mengenai
hal-hal yang diisyaratkan melalui hadis-hadis medis tersebut.
Jika setelah dilakukan peneletian dan ditemukan keutaamaan
dan khasiat yang ada di dalam jenis pengobatan herba yang
diajarkan Nabi, maka hadis tersebut dapat diamalkan karena telah
teruji secara historis dan medis ilmiah. 15 Namun apabila hadis
tersebut tidak terbukti secara koherensi dari sisi kebahasaannya
serta medis ilmiah, maka hadis tersebut dapat di mauqufkan

14
Ibid, hal. 31
15
Ibid, hal. 32

5
(dihentikan statusnya untuk diamalkan) sampai kemudian
ditemukan sumber infromasi yang valid untuk menerima dan
mengamalkan hadis tersebut.

Contoh hadis Nabi tentang ziarah kubur, yaitu:

"‫ َواللَّ ْفظُ أِل َبِ ْي بَ ْك ٍر‬,‫ َو ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هللاِ ْب ِن نُ َمي ٍْر َو ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُمثَنَّى‬,َ‫َح َّدثَنَا أَبُوْ بَ ْك ِر بْنُ أَبِي َش ْيبَة‬
‫ب ْب ِن‬ِ ‫ار‬ِ ‫ ع َْن ُم َح‬,َ‫ض َرا ُر بْنُ م َّرة‬ ِ ‫َان َوهُ َو‬ ٍ ‫ ع َْن أَبِ ْي ُسن‬,‫ضي ٍْل‬ َ ُ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ف‬:‫َو اِبْنُ نُ َمي ٍْر قَا لُوْ ا‬
َ َ‫ نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزي‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ار ِة‬ َ َ‫ ق‬:‫ قَا َل‬,‫ ع َْن أَبِ ْي ِه‬,‫ار ع َْن أَبِ ْي بُ َر ْيدَة‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ ٍ َ‫ِدث‬
‫ َونَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن‬,‫ فَأ َ ْم ِس ُكوْ ا َما يَدَا ُك ْم‬,‫ث‬
ٍ ‫ق ثَاَل‬ َ َ ‫ َو نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن لُحُوْ ِم اأْل‬,‫ْالقُبُوْ ِر فَ ُزوْ رُوْ هَا‬
َ ْ‫ضا ِح ِّي فَو‬
‫ َواَل تَ ْش َربُوْ ا ُم ْس ِكرًا‬,‫ذ إِاَّل فِي ِسقَا ٍء فَا ْش َربُوْ ا فِي اأْل َ ْسقِيَ ِة ُكلُّهَا‬£ِ ‫"النَّبِ ْي‬16

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan
Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Muhammad bin al Musanna
sedangkan lafaznya milik Abu Bakar dan Ibn Numair mereka berkata,
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudail dari Abu
Sinan Ia adalah Dirar bin Murrah dari Muharib bin Disar dari Ibn
Buraidah dari bapaknya ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Dulu
aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.
Dulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban
lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu
manfaatnya. Dulu aku melarang kalian tentang nabiz selain di tempat
minum, maka sekarang minumlah dengan menggunakan segala jenis
tempat minum dan jangan meminum minuman yang memabukkan”.

Sebelum Nabi Saw. memeprbolehkan ziarah kubur, Nabi pernah


melarangnya karena iman umat muslim pada masa itu masih sangat lemah,
sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan perbuatan sihir (menyembah
kuburan) sama sperti kamu jahiliyah yang menyembah patung, berhala,
16
Muhammad Asriady, “Metode pemahaman hadis”, EKSPOSE. Vol. 16 No. 1 januari 2017, hal. 318

6
api, dan lain-lain. Namun setelah umat Islam kuat imannya dan sudah
mengetahu mana perbuatan yang mengarah kepada kesyirikan dan
perbuatan yang megarah untuk beribadah kepada Alllah swt., bahkan
ziarah kubur juga dianjurkan (perintah) karena dapat mengingatkan
kepada pelakuknya tentang kematian dan hari kiamat.17

Jadi dapat disimpulkan bahwa beriziarah kubur tentu saja


diperbolehkan sesuai dengan hadis Nabi Saw. Akan tetapi jika menziarahi
kubur dengan maksud tertentu dan terjadi perbuatan syirik maka dialarang
untuk melakukan ziarah kubur.

3. Paradigma rejeksionis-liberal
Paradigm liberal adalah memahami hadis nabi dengan cara bebas,
artinya mereka akan menolak hadis-hadis yang bertentangan dengan akal
pikiran mereka dan mereka dan biasanya mereka menolak tentang hadis-
hadis medis yang dianggap mereka tidak masuk dalam nalarnya.18
Muhammad Abu Rayya yang merupakan salah satu kritikus hadis
Nabi Saw., yang berasal dari Mesir, menolak dan tidak mempercayai hadis
tentang lalat tersebut secara langsung dan ia mengkritik secara tajam
bahwa Abu Hurairah merupakan perawi hadis yang tidak bisa di percaya
hafalannya.19 Tentu saja ini sangat bertolak belakang karena Abu Hurairah
merupakan salah satu sahabat Nabi Saw., yang sangat banyak hafalan
hadisnya, jumlah hadis yang diriwayatkannya sebanyak 5.374 hadis.20
Muhammad Taufiq Shidqi yang merupakan seorang dokter di penjara
Departeman Pemerintahan daerah Kota Thurra (Mesir), juga bertentangan
pendapat dengan hadis tentang lalat, karena hadis tersebut menurutnya

17
Ibid, hal. 319
18
Dr.. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.32
19
Ibid, hal. 32
20
Dr. Mahmud Ath-Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits (Jakarta: Ummul Qura, 2016), hal. 234.

7
kontradiktif dengan akal dan teori medis. Karena lalat merupakan
serangga berbahaya dan bisa menyebabkan penyakit. Lalu bagaimana
mungkin Nabi Saw., menyuruh agar menenggelamkan lalat yang hinggap
diminuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Muhammad
Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadis tentang lalat yang dianggapnya
tidak masuk dalam nalar kelimuan medis. Hadis tersebut berbunyi:21

"ُ‫ال أَ ْخبَ َرنِي َو ُعبَ ْيد‬ َ َ‫َح َّدثَنَا خَ الِ ُد بْنُ َم ْخلَ ٍد َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ بِاَل ٍل قَا َل َح َّدثَنِي ُع ْتبَةُ بْنُ ُم ْسلِ ٍم ق‬
ُ‫ إِ َذا َوقَ َع ال ُّذبَاب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ْت أَبَا هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ يَقُوْ ُل قَا َل النَّبِ ُّي‬ ُ ‫ال َس ِمع‬ َ َ‫بْنُ ُحنَ ْي ٍن ق‬
‫ فَإ ِ َّن فِي ِإحْ دَى َجنَا َح ْي ِه دَا ًء َواألُ ْخ َرى ِشفَا ًء‬،ُ‫ب أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ ِم ْسهُ ثُ َّم لِيَ ْن ِز ْعه‬ِ ‫فِي َش َرا‬."

Artinya:” Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn


Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah
bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: Saya
mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Apabila ada
lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia
membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya
pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedangkan pada sayap yang
lain terdapat penawar (obat). (H.R. al Bukhari).22
Sebenarnya jika difikir dengan nalar hadis tersebut tidak masuk akal
dan sangat kontradiktif dengan teori ilmu kesehatan medis. Namun para
peneliti Muslim di Mesir dan Saudi Arabia telah melakukan penelitian
terhadap masalah hadis ini dan hasil dari penelitian tersebut sangat
mengejutkan para peneliti. Mereka membuat minuman yang dimasukkan
kedalam beberapa bejana yang berisi air, madu, dan juice, kemudian
dibiarkan terbuka begitu saja hingga dimasuki lalat. Setelah lalat masuk
kedalam beberapa minuman tersebut lalau mereka melakukan penelitian

21
Dr. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2016), hal.32
22
Ibid., hal. 33

8
terhadap air-air tersebut, antara air yang lalatnya tidak dibenamkan dan air
yang lalatnya dibenamkan. Hasilnya melalui pengamatan mikroskop
diperoleh bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan tidak dibenamkan
kedalamnya, mengandung banyak bakteri dan mikroba yang sangat
berbahaya bagi tubuh manusia. Sedangkan minuman yang dihinggapi lalat
dan lalat tersebut dibenamkan ke dalam air, justru tidak ditemukan
sedikitpun kuman dan mikroba. Itulah penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti Muslim secara ilmiah dan semakin membuktikan bahwa
hadis tersebut benar atau shahih derjatnya, sehingga hadis ini dapat
diamalkan dan ini merupakan salah satu fenomena I’jaz ilmi. 23. Melalui
penelitian maka kita dapat mematahkan pendapatnya Muhammad Taufiq
Shidqi dan Muhammad Abu Rayya yang mana mereka menolak secara
langsung hadis tentang lalat tersebut.

23
Ibid., hal 33

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tipologi paradigma pemahaman hadis ialah pemetaan pemikiran dalam


memahami hadis. Melalui Ilmu ini kita dapat menyimpulkan bagaimana hadis-hadis
Nabis Saw., harus dipahami sesuai dengan isinya. Untuk mengetahui isi, pesan, atau
kandungan yang terdapat didalam hadis tersebut diperlukan yang namanya paradigma
dalam tipologi paradigma pemahaman hadis, ada tiga paradigma yaitu, paradigma
normatif-tekstualis, paradigma historis-kontekstualis, dan paradigma rejeksionis
liberal.
Melalui paradigma ini dapat diketahui hadis tersebut harus diapahami dengan
paradigm normative-tekstualis, historis tekstualis dan jangan memahami hadis secara
rejeksionis liberal karena ini sangat tidak dibenarkan. Namun jika hadis terseebut
telah diteliti dari segi aspek sanad, matan, dan asbabul wurudnya, atau telah
dilakukan penelitian secara medis maka hadis tersebut dapat diterima dan diamalkan
dan apabila setelah dilakukan penelitian tidak sesuai hasilnya dengan hadis tersebut,
maka untuk sementara waktu hadis tersebut bisa dimauqufkan (atau diberhentikan
status pemalannya) sampai ada ditemukan fakta atau informasi yang valid dan dapat
meguatkan hadis tersebut.

SARAN
Demikianlah sedikit tulisan mengenai tipologi paradigma pemahaman hadis,
namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempuna, sehingga
penulis berpesan agar pembaca tidak terpaku pada tulisan ini sebagai sumber tunggal
dari pembahasan ini, melainkan juga agar pembaca mencari sumber referensi yang
lainnya guna menambah wawasan dan cakrawala keilmuan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dr.. Abdul Mustaqim,2016, Ilmu Ma’anil Hadis, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta

Dr. Mahmud Ath-Thahhan, 2016, Dasar-Dasar Ilmu Hadits Jakarta: Ummul Qura’
Kementerian Agama RI, Al-Quran Tajwid…
Liliek Channa AW, “Memahami makna hadis secara tekstual dan kontekstual”,
ULUMUNA. Vol. XV No. 2 desember 2011
Matrapi, “Tipologi pemikiran pendidikan Islam”, ISLAMUNA. Vol. 5 No.1 juni 2018
Muhammad Asriady, “Metode pemahaman hadis”, EKSPOSE. Vol. 16 No. 1 januari
2017
Tim B First,2016, Kamus saku bahasa Indonesia, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka
Yusuf Qardhawi, 1993, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Terj. Muhammad al
Baqir Bandung: Karisma, 1993.

11

Anda mungkin juga menyukai